Share

BAB 2: KEKESALAN DANISH

Hari ini adalah hari yang paling menjengkelkan bagi seorang pria yang merasa paling tampan dan paling keren di seluruh dunia. Pria tersebut bernama Danish Adelio dan berusia kurang lebih 20 tahun. Bisa dikatakan paling menjelengkelkan karena Danish masih harus bekerja di tanggal 31 Desember.

“Aduh! Mau kapan selesainya? Lama banget!” Danish tidak hentinya melirik jam tangannya.

“Sabar, Lio! Namanya juga pekerjaan, ya harus mau gak mau diselesaikan dulu,” kata Pak Damar produser film.

“Pokoknya gue gak mau tau! Kayaknya cuma gue aja satu-satunya manusia di muka bumi ini yang masih bekerja di tanggal 31 Desember.” Danish cemberut.

            Pak Damar kehilangan kesabarannya. Pak Damar langsung melotot sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.

“Lio, situ gak liat ini saya juga lagi kerja bukan lagi santuy?” Pak Damar menjitak kepala Danish.

“Eh, iya-iya! Maaf, Pak!” Danish kehabisan kata-kata.

“Diam! Semakin kamu banyak bicara, semakin lama pekerjaanmu selesai!” Pak Damar memarahi Danish.

            Danish memang sedang membintangi film layar lebar pertamanya yang berjudul Probably not in Love. Film ini direncakanan akan tayang dalam waktu dekat, yaitu sekitar akhir Januari. Hal itu membuat Danish harus kejar tayang shooting setiap hari dari pagi sampai malam tanpa mengenal lelah.

--

                Selesai shooting, Danish buru-buru memacu mobilnya untuk pergi menuju The Siberian Café. Di sana, Danish akan menemui 2 sahabatnya, yaitu Garry dan Theo.

 “Hai, Lio!” Theo menyapa Danish.

            Danish tersenyum kepada Garry dan Theo. Setelah itu, Danish duduk di hadapan Garry dan Theo sambil cemberut.

“Kenapa tempat ini rame banget kayak pasar malem?” Danish nampak kesal.

“Aduh, Lio. Loe yang minta diajak, loe yang malah kesel. Semua tempat penuh kali kalo malem taun baru kayak gini. Salah loe juga sih kenapa datengnya pake acara terlambat segala,” kata Theo.

“Salahin produser gue kenapa lama banget beresnya!” Danish membalas ucapan Theo sambil cemberut.

            Melihat Danish yang sangat kesal, Theo memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan dan menyerahkan buku menu kepada Danish. Theo meminta Danish untuk segera memesan makanan dan minuman.

“Nih, pesen dulu! Loe rese kalo lagi kelaparan,” kata Theo.

            Danish mengangguk dan memilih menu yang terdapat dalam buku menu tersebut. Sementara itu, Garry yang semula sedang memainkan ponselnya tiba-tiba langsung tertawa. Theo dan Danish menatap Garry dengan sangat heran.

“Ada apa yang lucu?” Danish menatap Garry penasaran.

“Nih!” Garry menyerahkan ponselnya kepada Theo dan Danish.

            Danish mengernyitkan dahinya saat menatap layar ponsel Garry. Sebuah situs berita selebriti Indonesia baru saja merilis sebuah berita tentang Danish Adelio. Danish membaca judul berita tersebut.

“Danish Adelio, Playboy Kelas Lele yang Paling Tampan. Tunggu-tunggu, ini berita macam apa?” Danish kesal dan hampir saja melempar ponsel Garry.

“Eh, itu handphone gue jangan dilempar, dong!” Garry panik.

            Garry dan Theo memandangi Danish lalu tertawa terbahak-bahak. Danish semakin tidak terima dengan perlakuan kedua sahabatnya.

“Apa yang lucu?” tanya Danish kesal.

“Lio, ini beneran fakta yang lucu banget! Loe emang beneran playboy kelas lele.” Garry tidak hentinya tertawa.

“Ngaco! Gue bukan playboy! Semua cewek itu bukan pacar gue. Mereka aja yang ngejar gue dan berharap jadi pacar gue.” Danish berusaha membela dirinya.

            Garry dan Theo masih saja tertawa terbahak-bahak, seolah tidak percaya dengan pembelaan Danish. Jelas-jelas Garry dan Theo sebenarnya setuju dengan judul berita tersebut.

“Lagi pula, kayaknya semua cewek yang deket sama loe gak pernah dijadiin pacar, deh. Terus mau loe apa, Lio?” Garry menatap Danish seperti seorang detektif.

“Nanti juga di saat yang tepat akan ada yang gue pilih sebagai pacar. Berhubung seleksi buat jadi pacar Danish itu super sulit, jadi gue belum memutuskan pokoknya!” Danish masih berusaha membela dirinya.

Untungnya seorang pelayan datang membawakan makanan dan minuman yang dipesan. Danish makan dengan lahap seperti belum makan seharian. Danish nampaknya cuek dan tidak memperhatikan Theo dan Garry yang terus memandangi Danish sambil bergosip ria.

“Kalian ngomongin gue?” Danish menatap kedua sahabatnya dengan sinis.

“Eh, engga. Gue lagi ngomongin ini kentang gorengnya enak banget!” Garry menunjuk kentang goreng di hadapannya.

            Danish hanya menghela napasnya dan kembali melanjutkan makannya. Tiba-tiba, Garry angkat bicara.

“Selesai makan, ayo kita main lucky wheel. Nanti yang namanya kepilih, kita kasih tantangan sebagai resolusi tahun barunya. Kalian setuju, kan?” tanya Garry.

Danish dan Theo saling berpandangan. Danish hanya tersenyum penuh arti karena yakin tidak akan terpilih namanya. Danish terlihat santai.

“Lio, pokoknya loe harus ikut main,” kata Garry.

“Siap! Gue yakin engga akan kepilih namanya,” kata Danish santai.

“Oke deh, kita buktiin, ya! Gue puter nih. Satu, dua, tiga,” kata Garry.

            Danish tidak mempedulikan Garry. Santai saja pikir Danish, karena pasti namanya tidak akan terpilih. Namun, sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntungan Danish.

“Oke, nama yang muncul adalah … Danish Adelio!” Garry bertepuk tangan.

            Danish langsung pura-pura tidak mendengar dan memilih memainkan ponselnya. Garry langsung berteriak kepada Danish.

“Bagus! Loe pasti pura-pura gak denger,” kata Garry.

“Hah, masa gue kepilih? Itu lucky wheel pasti rusak!” Danish berusaha membela dirinya.

“Nih, loe liat aja sendiri.” Theo menatap Danish kesal.

            Danish menatap ponsel Garry dan langsung terdiam. Theo dan Garry kembali tertawa sampai puas. Mau tidak mau, Danish harus menerima tantangan yang akan dijadikan resolusi tahun barunya.  

“Tantangan apa yang cocok buat Lio manusia tampan?” Garry berpikir keras.

“Tantangan punya 100 orang pacar!” Theo menjawab asal.

“Ngaco! Lio bakalan terus jadi playboy kelas lele nanti,” kata Garry kesal.

            Theo hanya tertawa karena memang hanya bercanda sekaligus menyindir kelakuan Danish. Garry masih menatap Danish sambil berpikir dan pada akhirnya menemukan sebuah tantangan yang cocok untuk Danish.

“Tantangannya adalah Danish Adelio harus bawa seorang pacar sungguhan!” Garry bertepuk tangan.

“Hah? Tantangan macam apa ini? Loe ada-ada aja. Kesel gue!” kata Danish.

“Ya, Lio, kalo gue tantang loe buat berhenti marah-marah dan berhenti ngedumel gak jelas kayaknya sia-sia, deh. Gue paham banget kalau itu udah jadi watak loe dari lahir. Mending gue kasih tantangan yang lain aja,” kata Garry  santai.

            Danish akhirnya tidak menanggapi lagi perkataan Garry. Danish memasang tampang cemberut dan kesalnya. Mana bisa Danish punya seorang pacar? Sebenarnya, selama ini Danish bukannya tidak mau berpacaran, namun Danish merasa belum siap berpacaran. Selain itu, dari sekian juta wanita yang ada di dunia ini, belum ada yang benar-benar bisa memahami Danish dengan benar. Danish sepertinya butuh buku panduan akhlak untuk memperbaiki kelakuan rusaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status