"Gak makan siang?" tanya Abian saat masuk ke ruangan dan kini berhenti di samping meja Kanza.
Kanza menoleh sejenak lalu menggeleng ia kembali menatap monitor komputernya. Semenjak kejadian 2 hari yang lalu dimana ia pingsan, Kanza lebih pendiam. Kanza tahu jika Abian yang membawa ke klinik bersama Bu Nuri, dan ia juga tahu jika mereka berdua tidak ember penyebab Kanza pingsan. Hanya saja mood Kanza tidak kunjung membaik ditambah keluarga besarnya yang semakin kemari semakin menyebalkan.
"Ayo saya temenin makan. Saya gak mau liat anggota tim saya pingsan lagi." Ucap Abian terkesan tegas dan datar.
"Makasih Pak sebelumnya, tapi saya gak bakal pingsan lagi." Jawab Kanza.
Abian mendengus, "Saya gak mau ada anggota yang ngrepotin saya
Abian bingung harus bagaimana menghadapi wanita yang marah terhadapnya. Baru kali ini ia merasa pusing sendiri dengan sikap orang yang marah terhadapnya. Biasanya ia akan cuek dan tidak mempedulikan karena semua yang ia katakan, ia utarakan itu lebih dari logis. Maka dari itu lawan bicara sering kalah telak jika berdebat dengannya. Tapi kenapa ia sekarang menjadi kepikiran ketika beberapa hari lalu Kanza marah padanya, sampai-sampai berani melempar buku menimbulkan suara nyaring. Apa ia terkena Karma karena mulutnya sering kelewat tajam hingga sekarang marahnya Kanza membuat Abian uring-uringan dan moodnya ikut buruk. Satu lagi, ajakan keluar kemarin ditolak mentah-mentah oleh Kanza. Padahal ini merupakan pertama kali Abian sampai mendatangi rumah seseorang untuk minta maaf dan menebus kesalahannya. Hari ini pun Abian melihat Kanza ha
Burhan masuk ruangan Tim Cirrus dengan tersenyum lebar. Suasana hatinya sangat senang, tak sabar ia membawa kabar baik yang akan ia sampaikan kepada Tim Cirrus. Walaupun hal pribadi tapi setidakknya ia ingin berbagi kebahagiannya. "Selamat siang semua." Sapa Burhan kini masuk dan berjalan menuju depan sana. Semua langsung berdiri menyapa Burhan dengan hangat dan ramah. Bahkan semua langsung menghentikan aktivitas mereka dan berdiri untuk menghormati kedatangan Burhan. Termasuk Abian yang langsung keluar ruang kerjanya. "Wah kayaknya bapak ada kabar gembira nih." Ujar Hasan setelah melihat raut wajah Burhan yang berseri-seri. Burhan tersenyum malu, "Kamu tahu aja Hasan." "I
Kanza mengrenyit melihat Abian benar-benar menjemputnya. Dalam hati ia sudah menggerutu sebal, lama kelamaan Abian itu seenaknya sendiri tidak di kantor, di luar pun juga sulit dibantah. Bodohnya Kanza juga tidak bisa membantah, mungkin karena dulu gurunya jadi ia benar-benar harus menghormati. Tapi tetap saja menjengkelkan kalau dipikir-pikir. Dan Kanza melihat Abian sudah berdiri di samping mobilnya dengan wajah datar andalannya. Huft, Kanza penasaran kenapa Abian jarang sekali tersenyum. Tapi, tunggu... "Loh istri bapak gak ikut?" tanya Kanza melihat bangku depan kosong dari kaca depan. Ia jadi was-was kalau ternyata Abian sudah punya calon atau istrikan bisa gawat. Ia tidak ingin dilabrak tiba-tiba disangka pelakor. Tunggu, memang Kanza berulah apa saja sampai berpikiran jauh seperti itu. Tapi semua bisa terjadi, contoh saja Panca
Setelah memutuskan untuk pulang, akhirnya Kanza kembali satu mobil dari Abian. Ia menghela nafas berfikir agar tidak terlalu canggung. Kalau sebelumnya saat ia membonceng Abian dengan motor maka tidak secanggng ini karena bisa alasan ia tidak mendengar ucapan Abain karena berisiknya sekitar, tapi jika didalam mobil seperti ini bisa-bisa ia mati karena canggung. Tidak. Bercanda. Di dalam mobil mereka berdua hanya terdiam, Gibran yang kelelahan pun jatuh tertidur di kursi belakang. Baru beberapa menit, Abian membelokkan stirnya ke salah satu market kecil. Di situ juga ada beberapa jajanan seperti cilok, siomay dan batagor. Ada juga es buah, es cendol di sekitaran situ."Bentar saya mau beli batagor. Saya laper."Sontak membawa keterkejutan pada Kanza, "Loh bapak belum makan? Tadi gak makan?"
Pagi ini Kanza datang dengan sedikit bertanya-tanya. Saat masuk ruangannya terlihat sedikit ramai, ada pegawai yang tadi malam jadwalnya shift bersama dengan timnya. Ia melihat tanda merah di salah satu layar besar seperti monitor didepannya itu. Layar untuk memantau wilayah Indonesia. Disitu ada Abian yang sudah sibuk memantau bersama pegawai yng bershift malam. Lagi dan lagi Kanza melihat tanda merah yang masih hidup disalah satu titik wilayah. Mata Kanza menatap layar tanpa kedip, ia melihat bahwa tadi pagi terjadi gempa bumi di salah satu wilayah Yogyakarta. Tercatat magnitudo 5.3, titik kedalaman 48 km di bawah permukaan laut dan tidak berpotensi tsunami, setidaknya itu yang Kanza tangkap. Sedangkan hatinya mendadak tidak karuan mengingat keluarganya tinggal di Yogyakarta. "Perhatian!" suara Abian mengintrupsi semua anggota timnya termasuk nenyadarkan Kanza dari pikiran yang mulai kacau. "Tim Cirrus ambil alih pantauan mulai sekarang. Meski gempa tidak b
Tok tok tok"Mas Al?" Saras mengetuk pintu kamar Abian dengan pelan."Masuk gak dikunci." Ujar Abian dari dalam.Saras membuka pintu kamar Abian, kepalanya menyembul sejenak sekedar memastikan apakah kakaknya itu sibuk tidak. Ternyata kakaknya sedang tiduran dan bermain ponsel, tumben sekali tidak sibuk."Mas sibuk gak?" tanya Saras kini masuk ke dalam kamar dan mendekat kearah ranjang yang Abian tempati."Udah kelar sih, kenapa?" tanya Abian mendudukkan dirinya dan meletakkan ponselnya.
"Oh ya nama saya Saras, Kak. Saya adik Mas Al."Kanza tiba-tiba tersenyum lebar mengusir rasa canggung, "Saya Kanza, salam kenal ya.""Kak Kanza dipaksa Mas Al ya kesini?" tanya Saras membuat Kanza tersenyum kikuk pasalnya memang benar kalau dia dipaksa.Saras mengangguk paham, "Jujur aja random banget Mas Al.""Iya. Oh ya ngomong-ngomong kamu semester berapa?" tanya Kanza kini menaruh atensi penuh ke wanita manis di depannya itu. Saras tersenyum canggung dan kikuk, ia merasa sedikit trauma sekarang jika ditanya perihal kuliah. Tapi melihat mata Kanza yang sangat penasaran akhirnya Saras memberanikan diri untuk menjawab."Semester 3."
Sejak pertemuanku dengan Saras. Adik dari Bapak Abian itu, ia terus-terusan berkomunikasi denganku. Sayangnya kami belum bisa bertemu lagi. Tapi hari ini kami berdua sudah janjian untuk jalan-jalan berdua membeli bahan makanan. Dia ingin mengajakku membuat Makaroni schotel di rumahnya. Aku mengiyakan saja karena ia juga bilang Pak Abian sedang tidak berada di rumah. Terlebih jika di rumahku tidak ada alat yang lengkap termasuk oven. Setelah bersiap Saras menjemputku dengan motor maticnya. Aku tersenyum lebar ketika Saras sampai di depan rumah. "Ayok Mbak keburu siang." Ucap Saras menyerahkan helm yang sering aku pakai ketika pulang dengan Pak Abian. Tunggu, jika dipikir aku terlalu sering pulang bersama Pak Abian. Oke mulai sekarang tidak boleh dekat-dekat. Aku menerima helm tersebu