Bab 3
Aku terkejut melihat kedatangan adiknya Mas Taka, Nadifa Reinata. Ia muncul begitu saja, aku harap Difa tidak melihat sosok yang berada di layar ponsel tadi.
"Kamu kok nggak bilang ke sini?" tanyaku heran.
"Iya, Mbak. Tadi disuruh nganter ini sama Mas Taka. Nggak tahu nih apaan isinya," ucap Difa membuatku menghela napas lega. Aku pikir ia tadi lihat aku menghubungi siapa, ternyata Difa tidak membicarakan hal itu.
Difa pun pamit dan pergi lagi. Aku membuka titipan yang masih tertutup rapat. Sebuah bingkisan kado, apa ini untukku?
[Lingerie ini untukmu, simpan, nanti dipakai.] Aku terkejut, bukankah Mas Taka tidak pulang malam ini? Kenapa kirim bingkisan seperti ini? Nanti saja kubuka jika sudah ketahuan benar atau tidaknya Mas Taka yang kirim.
Aku coba menghubungi Mas Taka. Namun, ponselnya tidak aktif. Coba hubungi Difa pun, kontaknya sudah tidak dapat dihubungi. Akhirnya aku letakkan saja bingkisan itu di atas kasur. Mungkin maksud Mas Taka ini nanti digunakan ketika ia pulang nanti.
Matahari tampak sudah berada di atas kepala. Tukang yang diperintahkan oleh Mas Taka pun pamit, sebab kerjaan mereka sudah beres.
Rasa penasaran pun mulai melanda ketika aku kembali ke kamar. Lebih baik coba kubuka saja bingkisan ini.
Setelah kubuka, benar isinya lingerie merah. Namun, di dalamnya ada sebuah flashdisk. Aku jadi semakin penasaran dengan ini semua.
Aku ambil laptop yang ada di atas meja. Lalu membukanya. Aku terkejut ketika melihat video yang ada di layar laptop. Mas Taka sedang duduk berdua Amira? Berati lingerie itu untuk Amira, istrinya Mas Reno? Nggak mungkin, ini nggak mungkin terjadi. Kalau benar begitu, itu artinya Mas Taka telah mengkhianatiku.
Tanpa pikir panjang, aku memilih menyusul Mas Taka. Ya, aku rapikan lingerie tadi sebagai bukti dan membawa flashdisk yang dikirim oleh Difa tadi. Namun, ketika aku mau berangkat. Mas Reno menghubungiku.
"Halo," ucapnya.
"Mas, udah ya, aku buru-buru, mau nyusul suamiku," ujarku padanya.
"Memang tahu di mana suamimu sekarang?" tanya Mas Reno seraya ngeledek.
Aku memang belum tahu, tapi aku bisa bertanya pada teman kantornya. Namun, teringat video suamiku sedang duduk berdua dengan istrinya Mas Reno pun membuatku jadi emosi.
"Mas, sudahlah jangan urus aku, urus saja istrimu tuh, yang sudah godain suami orang," tukasku dengan nada kesal.
"Maksudnya apa, Diana? Amira selingkuh dengan suamimu?" tanya Mas Reno diiringi dengan suara tawa.
"Iya, aku ada videonya, kamu tuh kalau punya istri dijaga, jadi nggak lirik suami orang!" hardikku lagi. Kali ini emosiku meninggi. Sebab, suamiku memiliki aset di beberapa tempat, sembarangan saja Amira mau merebutnya. Aku yang sudah menemani Mas Taka dari nol, lalu ia yang menikmatinya?
"Sayang, coba kamu tenang, jangan mudah percaya, siapa tahu itu hoax, kan bisa diedit," sanggah Mas Reno tidak percaya.
"Kalau nggak percaya, ke sini saja!" suruhku. Kemudian, ia pun mengindahkan ucapanku.
Kini Mas Reno harus mutar untuk tiba di rumahku. Kira-kira butuh waktu lima menit untuk sampai di depan.
Setelah ia tiba di rumah, aku menyuruhnya untuk memperhatikan video dalam laptop. Di ruang tamu, aku menunjukkan video singkat itu.
"Ah, ini sih bisa saja hoax. Cuma duduk dan rangkulan doang," ucap Mas Reno.
"Mas, aku nggak rela kalau Amira merebut suamiku," timpalku.
"Kamu cantik kalau marah," rayu Mas Reno. Ia mulai meluluhkan hati ini lagi. Aku pun tak kuasa menahan rasa ketika menatap wajahnya yang tampan.
Ia mendekatiku, jarak kami saat ini sekitar tiga jari. Lalu ia mencu*buku mesra. Aku pun membalasnya meskipun singkat.
"Sudahlah, aku mau berangkat dulu," ucapku sambil merapikan bibir ini. Khawatir lipstik jadi belepotan.
"Yah, kok dilepas," ujarnya seraya kecewa.
"Aku mau minta penjelasan Mas Taka, sudah ya, Mas, kita sudahi hubungan ini," ucapku sambil melangkah pergi. Mas Reno pun turut mengejar karena pintu akan aku tutup.
Aku coba hubungi kantor Mas Taka. Ya, kudapatkan nomor kantor dari Difa. Aku menanyakan keberadaan Mas Taka saat ini.
"PT. Indomulya Utama, selamat siang," ucapnya membuka percakapan.
"Halo, Mbak. Selamat siang," ucapku sambil duduk di kursi mobil taksi online yang kusewa.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Mau tanya, Mas Taka ke luar kotanya di mana ya? Maksud saya Bandung sebelah mananya? Meeting dengan perusahaan apa?" tanyaku dengan sederet pertanyaan.
"Wah, pagi ini tidak ada karyawan yang berangkat ke luar kota, Mbak. Semua sedang meeting bersama di PT. Jaya Kosmetik," ungkapnya membuatku bertambah kesal. Aku tutup teleponnya tanpa mengucapkan terima kasih lagi. Lalu mengurutkan dada ini pelan-pelan. Aku kecewa, PT. Jaya Kosmetik itu tempat Amira bekerja, itu artinya Mas Taka sedang meeting di sana.
'Astaga, kenapa Amira tega mencintai suamiku? Kenapa ia menggoda suami orang?' gerutuku dalam hati dengan tangan mengepal.
Bersambung
Bab 50Mas Taka sontak melepaskan dekapan Diana. Begitu juga sebaliknya, Diana segera mundur dan mengedarkan pandangannya ke arahku. Kemudian, ia tersenyum lekat sambil menghapus air matanya.Aku menghampiri Mas Taka, lalu menggandeng lengannya yang masih terdiam kaku di depan pintu."Maaf, aku bikin suasana rumah ini jadi kacau, sekali lagi maaf," ucap Diana sambil menunduk.Mas Taka menatapku, ia masih terdiam membisu."To the point aja, ada apa Diana? Kenapa datang-datang langsung nyergap suami orang?" cecarku sedikit sinis. Sebab, kecemburuan suatu hal yang wajar terjadi jika menyaksikan kejadian singkat tadi.Tidak lama kemudian, Mas Reno muncul turun dari mobil, membawa Dika dengan menggendongnya. Ada tawa yang terdengar renyah di ujung sana.
Bab 49"Siapa itu Taka?" tanya mertuaku pada anaknya. Dengan jawaban yang sama, ia hanya menggelengkan kepalanya.Kemudian, kami melepaskan seat. Setelah itu terlihat kaki seseorang turun dari mobil tersebut. Dari high heels yang dikenakan sudah terlihat ia adalah wanita.Aku coba tarik napas, lalu menoleh ke arah Mas Taka sesekali, dan memusatkan perhatianku padanya."Rosa kah itu?" tanyaku. Mamaku yang masih berada di dalam mobil, berusaha menepuk bahu ini dari belakang."Jangan emosi dulu, bicarakan baik-baik di dalam rumah," pesan Mama Silvi, mamaku. Seharusnya ia tidak berada di sini. Namun, karena aku khawatir dengannya, jadi meminta mama ikut ke rumah lebih dulu.Aku melontarkan senyuman pada mama dan mertuaku. Kemudian, kembali menyorot Mas Taka."
Bab 48"Apa, Amira? Barusan kamu bicara apa?" tanya mamaku seperti meringis kesakitan.Tiba-tiba saja aku teringat, bahwa mama lemah jantung. Astaga, apa yang aku lakukan barusan?"Mah, Amira tidak bicara sungguhan, ia hanya main-main supaya diizinkan tetap bersama Taka, percayalah," lirih Mas Taka menghampiri. Aku baru tersadar, bahwa inilah tujuan Mas Taka menyuruhku ikut bersama mama, hanya ingin menjaga kondisi mertuanya baik-baik saja. Namun, aku sendiri yang membuyarkan rencana Mas Taka.Bruk!Mama ambruk seketika, ia jatuhkan bobot tubuhnya ke lantai."Mah!" teriakku ketika melihat sosok wanita yang membesarkanku kini jatuh lunglai ke lantai.Mas Taka membantu mengangkat mama dan membawanya ke rumah sakit. Aku yang selepas operas
Bab 47"Nanti kita lihat saja di rumah ya, aku nggak bisa bicara sambil nyetir," ucap Mas Taka membuatku tambah penasaran. Apa yang sebenarnya ia rahasiakan dariku? Kenapa nunggu sampai di rumah?Aku terus menerus mempertanyakan dalam hati. Sesekali mataku melirik ke arahnya. Ia terlihat agak pendiam, tidak banyak bicara dan bersikap mesra seperti yang dilakukan biasanya. Dingin, kini Mas Taka berubah sedingin es, lelaki yang sudah berjanji telah memaafkan kini sikapnya berubah lagi.Otakku terus berputar, mengingat apakah ada kesalahan yang kuperbuat namun belum diketahui olehnya. Aku ingat-ingat tapi tidak ada satu pun yang melintas di kepala ini."Mas, jika ada satu kesalahan yang belum kusadari, tolong beritahu, aku ingin memperbaikinya," pintaku membuat ia menoleh. Sayup matanya memandangku diiringi senyuman tipis.&nbs
Bab 46"Taka, kamu pindahin aja istrimu ke kelas 2, ngapain di VVIP," sindirnya membuatku menelan ludah. Tidak seperti biasanya ia bersikap seperti itu.Aku hanya tertunduk, sebab sebelumnya aku juga sudah memintanya untuk memindahkan aku ke ruangan yang sesuai dengan asuransi, supaya tidak menjadi beban keluarga."Mah, dua hari lagi juga sudah boleh pulang kok, nggak apa-apa di sini dulu," jawab Mas Taka membelaku.Diva hanya menunduk, sesekali wajahnya menatapku juga, tapi tidak seperti biasanya. Ada apa dengan mereka?"Mah, kalau aku ada salah, maafin aku," ucapku coba berlapang hati meminta maaf lebih dulu."Nggak, Amira, ini bukan tentang minta maaf, tapi tentang harga diri!" celetuk mertuaku membuatku sedikit mencerna ucapannya."Apa maksud Mam
Bab 45"Kenapa bisa banyak darah, Sus? Padahal saya tidak merasakan sakit apa-apa?" tanyaku penasaran. Sebab, jika pendarahan, tentu aku mengalami nyeri hebat."Sebentar, Bu. Saya mau cek bagian saluran air seninya dulu," balasnya.Suster itu sangat sibuk memeriksa kenapa banyak darah yang berceceran di selimut hingga baskom untuk air kencing. Dengan cekatan ia membuang lebih dulu isi baskomnya. Kemudian, memeriksa kembali.Mas Taka yang trauma melihat darah ketika kemarin aku pendarahan pun pamit keluar."Sebentar ya, Bu. Kita ulang kembali masang kateter lagi. Sama pembalutnya diganti," ujar suster."Apa nggak bisa dilepas saja, Sus?" tanyaku balik."Nunggu 24 jam, Bu," jawabnya."Tapi ini kenapa kok bisa ba