"Siapa dia?" tanya Gerald sambil berusaha menghalau sinar yang silau ke wajahnya.
"Kamu gak tahu Yusuf Akbar?" tanyaku berdebar. "Siapa?" "Dia preman." "Terus kenapa ngikutin kita?" "En-enggak tahu," jawabku gugup. Kulihat wajah Yusuf Akbar menatapku dengan tajam, bahkan sangat tajam, namun tidak ada ekspresi apapun setelah itu, dia menjauh dan memacu motornya dengan kencang, membuatku bingung sebenarnya apa dan kenapa dengannya. Sesampainya di tempat pesta, kami membaur dan bercengkerama dengan beberapa orang yang kami kenal, Kak Gerald berpencar denganku setelah teman seangkatannya datang dan mengajaknya membaur ke meja lain, tinggallah aku bersama beberapa teman, duduk dan menyaksikan pentas seni yang sedang berlangsung. Sebenarnya tanpa Kak Gerald pentas seni ini semuanya biasa-biasa saja dan terkesan membosankan. Aku mulai mengantuk dan ingin pulang, namun di penghujung acara tiba-tiba musik menghentak di setiap lampu yang tadinya terang benderang diganti dengan sinar redup dari tembakan lampu berwarna-warni. Para mahasiswa yang ada disana diundang untuk menari di lantai dansa dengan pasangan mereka atau teman yang mereka sayangi. Suasana menjadi riuh tawa dan kebahagiaan, beberapa siluet tubuh terlihat begitu mesra saling memeluk dan mendekap hangat, aku turut bahagia untuk itu, namun ketika lampu dinyalakan lagi aku begitu terkejut karena disana ada Kak Gerald dan Kak tari yang terlihat begitu mesra saling memeluk dan Kak Sari meletakkan kepalanya di dada Kak Gerald. Seketika perasaan bahagia dalam hatiku luruh, aku terkejut, dan saking terpananya aku bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata. Baru saja, beberapa jam lalu dia menjemput dan membuatku terbang ke nirwana, namun sekarang dia menghempasku ke lembah penuh kegelapan dan duri. Kutekan dadaku menahan sakit, mengedarkan pandangan perlahan mundur menjauh dari tempat itu. Sambil mengusap sudut mata yang basah aku menggumam dalam hati bahwa tidak seharusnya aku begitu bahagia mendapat rayuan receh seperti tadi, untung saja teman-temanku tidak berada disini karena jika saja iya, mereka pasti akan menertawakanku. Aku berlari, tak tentu arah, meninggalkan aula kampus sambil terisak menahan sesak di dada. "Tunggu Hassa ...." Dibelakangku seseorang berusaha memanggil namun suaranya jauh, Tentu itu adalah gerald tapi aku tahu dia tidak akan menyusulku. Aku menangis sepanjang trotoar sambil melirik jam tangan, waktu menunjukkan pukul 10 malam dan aku tahu tidak ada lagi angkot atau bis kota yang akan lewat, karena jam operasional mereka sudah berakhir. Aku berusaha untuk memesan ojek online, sementara di langit suara petir mulai bergemuruh namun tidak ada driver yang tersedia, jadi, terasa lengkap sudah penderitaanku malam ini. Sambil menangis dan membenamkan wajah dari balik lengan, aku meratapi nasib sialku malam ini. Aku menyesal termakan ajakan dan kata-kata manis dia yang ternyata setelahnya mengabaikanku di pesta. Kuhentikan langkah di sebuah halte, duduk di sana, sementara hujan mulai turun dengan derasnya, pakaianku basah terkena siraman hujan berangin, karena halte tidak berdinding, hatiku makin remuk redam dengan kesenduan malam ini. Sembari terisak-isak sedih, tiba tiba aku tak merasakan siraman air hujan lagi di tubuh ini, setelah kuangkat kepala ternyata seorang pria berdiri di belakangku dan melindungi tubuh ini dengan air hujan. Aku tersentak kaget karena mengira itu adalah orang jahat, ternyata dia yusuf dan dia memang penjahat. Ah, dadaku sesak. "Ada apa? Kenapa mengikutiku?" Tanyaku sambil mengusap air mata. "Tidak ada." "Pergilah sana," usirku sambil berusaha tegar. "Mana bisa meninggalkan kamu di pinggir jalan begini." "Apa pedulimu?! Biarkan aku sendiri saja." Kubuang muka dan berusaha menghindari tatapannya. "Baiklah, menangislah sesukamu, kalo sudah selesai, katakan agar aku bisa mengantarmu pulang," jawabnya sambil duduk di sampingku dan menghisap rokoknya. "Kau boleh pergi, aku akan minta ayah menjemputku," balasku. "Apa kau tega membiarkan ayahmu datang untuk menjemput di cuaca hujan sederas ini?" Sorot matanya terlihat ditimpa sinar kilat dan hujan, namun bukan sorot kejahatan tapi seperti sebuah perasaan iba dan entahlah apa. "Kalo begitu biarkan aku pulang jalan kaki," balasku. "Terserah." Aku bangkit lalu menyusuri jalan dengan hati remuk redam, kupikir ia akan mengabaikanku namun ternyata ia mengikuti dan menyorot jalan yang kulewati dengan lampu motornya, tanpa mengucapkan apa apa. Terlihat manis namun aku tidak bisa menerimanya. Ada beberapa pria yang terlihat duduk di tepi jalan sana, nampak seperti berandalan yang mabuk, mereka memperhatikan, hendak mendekat tapi tak jadi karena mendapati pria berkelat kulit coklat itu di belakangku. "Bang Yusuf, ngapain di situ?" goda mereka sambil tertawa. "Diamlah atau kupatahkan gigimu!" Mereka yang tadi tertawa langsung bungkam tak bersuara. Sampai di depan gerbang rumah, dia terus mengawasi hingga aku masuk, kututup gerbang dan masuk ke dalam rumah, orang tuaku mungkin sudah tidur karena tak kudapati seorangpun di ruang tv. Aku naik ke lantai dua dan langsung masuk ke kamarku, lantas menyalakan lampu, kucoba membuka tirai yang langsung menghadap ke arah jalan, dan ternyata Yusuf masih di sana, dengan motor yang menyala dan wajahnya mendongak ke arah kamarku. Kututup tirai secepat yang aku bisa sambil menekan dada, aku gugup ketahuan olehnya, ada rasa takut sekaligus berdebar yang tidak kumengerti apa, aku bertanya namun tak menemukan jawaban mengapa dia mengikuti dan mengawasiku sampai seperti ini. Hingga tak lama kemudian suara motor itu bergemuruh dan menjauh dari depan rumahku. Aku mengganti pakaian laku merebahkan diri di peraduan, sambil mengingat kembali apa saja yang sudah dilakukan preman tampan itu kepadaku, kenapa dia harus bersikap sebaik itu kepada wanita yang tidak dikenalnya."Siapa dia?" tanya Gerald sambil berusaha menghalau sinar yang silau ke wajahnya."Kamu gak tahu Yusuf Akbar?" tanyaku berdebar."Siapa?""Dia preman.""Terus kenapa ngikutin kita?" "En-enggak tahu," jawabku gugup.Kulihat wajah Yusuf Akbar menatapku dengan tajam, bahkan sangat tajam, namun tidak ada ekspresi apapun setelah itu, dia menjauh dan memacu motornya dengan kencang, membuatku bingung sebenarnya apa dan kenapa dengannya.Sesampainya di tempat pesta, kami membaur dan bercengkerama dengan beberapa orang yang kami kenal, Kak Gerald berpencar denganku setelah teman seangkatannya datang dan mengajaknya membaur ke meja lain, tinggallah aku bersama beberapa teman, duduk dan menyaksikan pentas seni yang sedang berlangsung.Sebenarnya tanpa Kak Gerald pentas seni ini semuanya biasa-biasa saja dan terkesan membosankan. Aku mulai mengantuk dan ingin pulang, namun di penghujung acara tiba-tiba musik menghentak di setiap lampu yang tadinya terang benderang diganti dengan sinar redup
Setelah kembali ke gedung kampus, Aku membaur dengan beberapa sahabat dan teman sekelasku, kami bercanda sambil membahas tugas kuliah yang tidak ada habis-habisnya.Ada Reka, Firda, Santi, dan Bagus sahabat terdekat yang selalu kompak untuk mendukung dan kami tidak pernah saling meninggalkan sejak SMA."Eh, kamu tahu enggak kalau nanti malam ada pesta pembukaan pameran seni kampus kita," cetus Santi."Masak sih, aku kurang update karena mungkin terlalu sibuk dengan urusan danntugas kuliah," jawabku."Halah, sok sibuk, akhir-akhir ini tugas kuliah sudah berkurang tapi kamu masih tetap sibuk aja, sebenarnya apa yang kamu lakukan? Bahkan hang out dengan kami aja udah jarang kamu lakukan?" tanya Bagus menyela."Aku membant Bunda di rumah dengan beberapa pesanan kue kering.""Oh, kerennya anak Sholeha," balas Reka. Sebenernya nya aku tidak begitu sibuk, namun akhir-akhir ini aku lebih suka berdiam di rumah sambil menikmati rasa kasmaran sendiri terhadap Kak Gerald, ditambah kegalauanku
Keesokkan harinya aku kembali ke kampus, menyusuri jalan dengan membawa sebuah paper bag berisi jaket dari Yusuf Akbar.Sambil melangkahkan kaki aku berdoa dalam hati semoga tidak ada yang menyadari bahwa aku sedang membawa jaket seorang preman Apa yang akan terjadi akan jadi rumor yang beredar jika mereka tahu bahwa aku kemarin sore sempat mengobrol dan diobati oleh preman yang paling berbahaya di kota ini, mereka akan mengolok-ngolokku menggunakan isu itu dan membuatku jauh dari target pria yang kuidamkan, Kak Gerald.Lagipula diantara banyak gadis yang mengidolakan Kak Gerald, aku adalah satu-satunya mungkin yang paling tergila gila. Senyumnya membuat ku menerawang dan bagaimana cara ia menatap dan berbicara melelehkan perasaanku. Aku mungkin terlalu menyukainya."Hai, kamu ...."Kebalikan badan dengan cepat karena merasa bahwa suara yang memanggilku sudah familiar, ternyata benar dia adalah pria yang sedang aku pikirkan, dari balik kaca mobilnya dia tersenyum dan menyapaku, sekal
"Maaf, aku tidak sengaja," jawabku sambil mengusap air mata. Seumur hidup ayah tak pernah membentakku, mengapa pria ini kasar sekali pada wanita lemah.Aku meringis karena kakiku sakit, kulirik dan celanaku sobek serta kakiku berdarah oleh besi sepeda, dan pecahan beling yang entah dari mana.Hati ini makin sedih setelah mendapati buku dan diktatku jatuh ke dalam kubangan becek dan mereka basah, tentu perasaan ini makin tak karuan, apalagi di dalamnya ada tugas yang belum sempat kusetorkan pada dosen, yang semalam aku sudah begadang mengerjakannya sehingga telat bangun pagi."Oh, ya Allah, astaghfirullahaladzim ...." Aku hanya bisa memunguti bukuku dengan air mata berderai."Kenapa kau mengucap istighfar? apa kau melihatku seperti melihat setan!" ia membentak dan kembali membuatku kaget setengah mati."Bu-bukan ... Bang, saya hanya .....""Hanya apa? Kau sengaja ya, kau di bayar orang untuk menabrakku, hah?!""Astaghfirullah, enggak, Bang." Tubuhku gemetar, takut dan khawatir ia aka
Sesampainya di kampus, langsung menuju ke toilet dan mencoba memperbaiki penampilanku dan membersihkan bajuku yang kata preman berbahaya tadi sudah kotor.Setelah selesai kulirik jam yang melingkar di tanganku di sana sudah menunjukkan hampir pukul 9 pagi, aku nyaris terlambat dan kurasa kelas akan dimulai, maka, dengan langkah setengah berlari aku segera menuju ke ruangan kelasku, tak mempedulikan mereka yang menatapku dan sebagian menertawai keburu buruan ini.Ternyata di sana, orang yang aku harapkan sudah hadir dan duduk di bangku dosen. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam lalu meminta maaf atas keterlambatanku."Selamat pagi Maafkan saya yang terlambat datang," ujarku sambil menunduk hormat."Uhm, Apa yang membuatmu datang terlambat, Hassa?" Duh, jantungku seolah berhenti berdetak ketika mendengar pria pujaanku menyebut nama ini."A-anu ...""Kesiangan Kak, kurasa semalam dia telah begadang untuk menonton drama Korea, sehingga terlambat kuliah."Seorang temanku yang isen
Hidupku sempurna sebelum bertemu dia, dia yang punya pesona dan tatapan mata yang membuat seluruh isi kota meleleh jatuh cinta, sayangnya dia sangat dingin, cenderung seperti ular yang berbisa, diganggu sedikit saja dia akan marah.Bukan hanya marah, dia akan menghajar siapa saja yang menghalangi langkah atau keinginannya, dia populer dan jadi bahan pembicaraan dari kaum muda sampai ibu ibu tua. Karena ketampanan pesonanya juga karena kengerian yang diciptakannya, dialah Yusuf Akbar, pria yang akhir akhir ini selalu berpapasan denganku di jalan menuju tempat kuliah. Malas sekali rasanya, apalagi tatapan itu seolah menusuk ulu hatiku, tapi apa boleh buat hanya itu satu satunya jalan ke universitas dan parahnya Yusuf kerap duduk dan berjaga di sana bersama para anak buahnya.**"Hassa, apa kau sudah siap?" tanya Bunda di bawah sana, aku yang masih terlelap di bawah selimut bulu yang hangat langsung tersentak dan melirik jam weker di samping tempat tidurku."Astaghfirullah aku kesiangan!