Share

Demo.

Yuni pingsan setelah mengatakan hal itu kepada Ki Reksa-suaminya.

Ki Reksa panik bukan kepalang, dengan sigap Ki Reksa mengangkat tubuh Yuni dan membaringkannga ke atas ranjang.

"Kamu ini kenapa bisa sampai seperti ini, Yun? Bikin aku khawatir aja!" Ki Reksa menggerutu sambil sesekali memberi aroma teraphi ke hidung Yuni.

Perlahan mata Yuni bergerak, Yuni pun perlahan membuka matanya.

"Aduh!" ucapnya sambil memegang kepalanya.

"Kangmas? Saya kenapa?" tanya Yuni.

"Kamu pingsan, kecapekan kamu itu. Sudah, ayo kita makan bersama, saya lapar! Habis itu kita tidur."

Yuni pun berusaha untuk bangkit lalu berjalan mengikuti Ki Reksa untuk makan bersama.

Yuni mengambil nasi dan lauk pauknya lalu menyodorkannya kepada Ki Reksa.

Seusai makan, Yuni membersihkan sisa makanan lalu menyusul suaminya ke dalam kamar.

"Kangmas kemana saja, toh? Belakangan ini sering sekali pergi saat malam hari?" ucap Yuni mencurigai suaminya.

"Pergi kemana? Ngaco saja kamu kalau bicara." kilah Ki Reksa.

"Saya gak ngaco, Kangmas! Setiap pagi saya selalu mendapati Kangmas pulang sebelum matahari terbit," ucapnya.

"Suami bangun pagi kamu curigai, giliran suami bangun siang kamu marahi. Sudah, saya mau tidur saja!"

Ki Reksa berbaring membelakangi Yuni.

Yuni pun menghela nafasnya kasar, dan turut membelakangi suaminya itu.

Bukan Yuni tak senang akan tingkah laku suaminya yang bangun sebelum matahari terbit, namun Yuni sangat hafal dengan tabiat suaminya yang suka marah ketika dirinya di bangunkan sebelum matahari terbit.

******

Suara adzan menggema memanggil seluruh makhluk hidup untuk segera bangun dan mensucikan diri untuk menghadap kepada Sang Maha Kuasa.

Bu Tiwel dan Alina pun bergantian mengambil wudhu lalu menggelar sajadah bersama Alina.

"Allahu akbar!" Takbiratul ikhram keluar dari bibir tua Bu Tiwel.

Alina mengikuti setiap gerakan yang di pimpin oleh Bu Tiwel.

Bacaan demi bacaan, rakaat demi rakaat di lakukan hingga selesai.

"Assalamu'alaikum warahmatullah," ucap Bu Tiwel seraya menolehkan kepalanya bergantian kanan dan kiri.

Seusai mengucap salam, Alina mengecup tangan Bu Tiwel.

Mereka lalu berdzikir dan menadahkan tangannya untuk berdo'a meminta kepada Sang Maha Kuasa untuk di beri perlindungan dan keselamatan selalu.

Selepas berdo'a, Bu Tiwel akan berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.

Alina pun membantu Sang Ibu. Setelah matang, Bu Tiwel menyajikan sebakul nasi hangat dengan lauk ikan asin serta sambal terasi dan rebusan daun kangkung sebagai pelengkapnya.

Alina sangat antusias sekali dapat merasakan makan dengan nasi hangat yang baru matang.

Sangat sulit di jaman itu untuk dapat merasakan makan dengan nasi. Bahkan untuk makan ikan atau daging saja setauhun sekali belum tentu dapat ia rasakan.

"Pelan-pelan, Nduk!" tegur Bu Tiwel.

"Uhuk ... Uhuk ..." Alina tersedak. Bu Tiwel segera menuangkan air dalam kendi untuk diberi pada Alina.

"Sudah Ibu bilang pelan-pelan, kamu ini makan kok ya buru-buru banget!" gerutu Bu Tiwel.

Alina pun hanya bisa meminta maaf kepada Sang Ibu.

Tiba-tiba, di luar rumah terdengar suara gaduh.

"Keluar kamu Alina, dasar gadis pembawa sial!" teriak salah satu warga.

Bu Tiwel dan Alina pun segera bangkit dan berjalan memuju teras depan untuk melihat kegaduhan yang terjadi.

"Ada apa ini ibu-ibu, bapak-bapak?" tanya Bu Tiwel.

"Halah, gak usah sok polos, Bu! Saya tidak menyangka selama ini kebaikan kalian hanya kedok belaka!" ucap salah seorang warga bertubuh kurus, berkulit hitam itu.

Beberapa warga lain pun turut membenarkan hal tersebut.

Alina beringsut bersembunyi di punggung Sang Ibu.

Tak lama kemudian, datanglah ustad Ahmad bersama dengan tetua desa menghentikan aksi demo yang dilakukan warga.

"Astaghfirullah, ada apa ini? Kenapa kalian sudah ribut pagi buta begini di depan rumah orang?" ucap tetua desa yang bernama Kadir.

"Kami tidak terima jika di kampung kita ada pelaku pesugihan, Pak!" teriak Hendro, salah satu warga Rejoseno.

"Pesugihan gimana toh, Pak? Apa kamu punya buktinya? Jangan main tuduh saja," tanya Pak Kadir.

"Kinara mati karena kemarin bermain dengan Alina, bahkan Yuni istri saya juga sebelumnya mengambil air ke rumah Bu Tiwel dan keesokan harinya jatuh sakit. Lantas apa namanya kalau bukan pesugihan? Kalian berbuat picik! Munafik!" teriak Ki Reksa yang entah muncul dari mana.

"Astaghfirullah, saya tidak melakukan hal sekeji itu. Saya bukan pelaku pesugihan!" jelasnya.

Air mata Bu Tiwel luruh. Bu Tiwel merasa sangat sedih dirinya mendapat tuduhan yang sangat hina seperti itu.

Alina pun menangis memeluk Ibunya yang tengah bersedih.

"Harap tenang, kematian Kinara sudah menjadi takdir Allah, semua yang hidup pastilah akan mati dan kembali kepada Allah SWT. Jadi jangan kalian menuduh orang secara sembarangan, jatuhnya fitnah!" jelas ustad Ahmad.

"Halah, fitnah, Tuhan, opo kuwi?(apa itu?), ajaran sesat kok di bawa masuk ke kampung ini. Usir sJa mereka Pak Kadir, saya menuntut keadilan atas kematian anak saya, Kinara!" ucap Ki Reksa.

Ustad Ahmad hanya bisa mengelus dadanya saja.

Sangat sulit memberi pengertian kepada orang yang sama sekali tidak mempercayai adanya Tuhan, bahkan untuk mengakuinya pun mereka tidak mau.

"Saya tidak bisa sembarangan mengusir warga di sini. Memang kenapa? Toh, Ki Reksa tidak punya bukti kuat yang menunjukkan bahwa Bu Tiwel pelaku pesugihan. Saya tidak akan mengusir mereka selagi bukti belum terlihat. Sudah, bubar sana! Atau kalian akan saya beri pelajaran!" hardik Pak Kadir.

Semua warga pun akhirnya pergi satu persatu meninggalkan kediaman Bu Tiwel, termasuk Ki Reksa.

Ki Reksa yang gagal menghasut warga pun hanya bisa mendengkus kesal.

"Ah, sial! Kenapa susah sekali meyakinkan pria tua itu untuk mengusir mereka berdua? Ini sangat sulit!" gerutu Ki Reksa.

Ki Reksa yang kesal pun berjalan dengan gontai menuju rumah.

Sementara itu di kediaman Bu Tiwel, Pak Kadir dan ustad Ahmad sedang mencari solusi untuk masalah yang menimpa Bu Tiwel dan Alina.

"Jangan usir saya, Pak. Saya akan tinggal dimana lagi kalau Bapak usir saya," ucap Bu Tiwel di sela tangisnya.

"Sudah jangan di fikirkan, saya tidak akan mengusir kalian. Saya akan mencari buktinya sendiri, saya yakin ini adalah fitnah!" ujar Pak Kadir.

"Ustad Ahmad, saya minta tolong awasi Bu Tiwel dan Alina, saya hanya tidak ingin salah satu warga akan nekat menteror Bu Tiwel dan Alina karena masih berada di kampung ini. Saya akan kembali dan mencoba mencari masalah serta bukti fitnah yang dituduhkan pada Bu Tiwel."

Pak Kodir pun berlalu setelah ustad Ahmad mengangguk setuju.

Ustad Ahmad merasa sangat iba kepada Bu Tiwel dan Alina.

Namun tanpa sengaja matanya menangkap sosok gadis remaja berdiri di ambang pintu Alina.

"Siapa gadis itu?" batin ustad Ahmad.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status