Share

Siapa gadis itu?

Alina tengah bermain di kebun penuh rumpun bambu dekat dengan kebun miliknya.

"Nduk, wis surup(sudah senja), ayo masuk."

"Nggih(iya), Bu."

Alina bangkit dari duduknya, menepuk pelan baju belakangnya menyingkirkan debu yang menempel.

Srek ... Srek ... Srek ...

Alina pun menghentikan aktifitasnya dan menoleh mencari sumber suara.

Dilihatnya seorang gadis seusia dengannya tengah mengintip dibalik rimbunnya pohon bambu.

Alina pun menghampiri gadis itu dan menyapanya.

"Hai, kamu kenapa mengintip? Apa kamu mau main sama aku?" tanya Alina, gadis itu pun mengangguk.

"Tapi maaf, aku hari ini harus pulang. Bagaimana kalau besok kita main bersama? Oh ya, nama aku Alina." Alina menyodorkan tangannya.

Gadis itu pun menyambut uluran tangan Alina. Rasa dingin terasa saat Alina menjabat tangan gadis itu.

"Rose," jawabnya singkat.

"Nduk, ayo pulang!" teriakan Bu Tiwel menyadarkan Alina.

"Rose, aku pulang dulu ya, Ibu sudah nyariin."

Tanpa mendengar jawaban dari Rose, Alina berlari menuju rumahnya.

"Kamu lama banget, udah mau surup(senja) Nduk, Ibu yang khawatir."

Alina pun meminta maaf kepada Sang Ibu lalu membersihkan diri di kamar mandi belakang rumah.

Alina dan Bu Tiwel kini tengah menikmati makan malam dengan nasi jagung dan sayur jantung pisang.

Selepas makan, Alina membersihkan piring bekas mereka makan.

Seperti biasa, setelah makan biasanya Bu Tiwel dan Alina akan berbincang-bincang.

"Bu, Lina tadi ketemu sama gadis yang seusia sama Lina. Dia kok dingin ya pas Lina sentuh tangannya?" jawab Alina.

Bu Tiwel terkejut, namun sebisa mungkin dirinya menyembunyikan keterkejutannya itu.

"Memang kamu kenal orangnya?" tanya Bu Tiwel.

Alina pun menggeleng, "Enggak, tadi dia bersembunyi di balik pohon bambu. Katanya, dia mau main sama Alina."

"Sudah, jangan di fikirkan, ayo tidur. Besok kan kamu seklolah."

Alina pun mencium punggung tangan Bu Tiwel lalu berpamitan untuk tidur.

Pagi harinya, Alina sudah siap untuk berangkat sekolah.

Membawa bekal beberapa ubi rebus dengan sayur kangkung yang di masak Bu Tiwel, juga beberapa potong buah mangga sebagai pelengkapnya.

Alina selalu dibiasakan membawa bekal dari rumah, dari pada membeli jajan di sekolahnya.

Di sekolah seperti biasanya, Alina di bully oleh Yudi CS.

"Hei, anak aneh!" ujar Yudi.

Alina tak mendengarkan panggilan Yudi dan berjalan melewatinya menuju ke perpustakaan.

Sejahat apapun Yudi CS, mereka hanya akan mengatai Alina saja.

"Hai, gadis manis." sapa sosok perempuan yang tengah duduk di atas rak buku.

Alina mengabaikannya, karena bagi dia sosok tersebut tidak lah penting.

Tak henti di situ, berbagai jenis makhluk menyapa dan berusaha menggoda Alina.

Rasa takut tentu saja ada dalam diri Alina, namun Bu Tiwel memberi pengertian kepada anak semata wayangnya itu.

"Nduk, kamu adalah salah satu orang pilihan Allah. Kamu punya kelebihan yang gak orang lain punya. Pesan Ibu, jangan pernah kamu terpengaruh sama apa yang kamu lihat nantinya. Abaikan saja kalau mereka yang 'tak terlihat' mencoba mengganggu kamu. Abaikan juga omongan orang yang bilang bahwa kamu aneh, faham?"

Alina mengangguk mendengar nasihat Ibunya.

Seiring waktu, Alina sudah beranjak remaja.

Kini usianya genap dua belas tahun. Pagar gaib yang dulu di pasang oleh ustad Ahmad pun perlahan menghilang, sehingga dirinya dapat melihat 'mereka' kembali.

Bu Tiwel sangat mengkhawatirkan keadaan putrinya itu.

Bu Tiwel sempat merundingkan untuk menutup mata batin Alina, dengan ustad Ahmad.

"Saya tahu kekhawatiran Ibu Tiwel, tapi kalau untuk menutup mata batin Alina saya rasa tidak mungkin." jelas ustad Ahmad.

"Kenapa, ustad? Saya hanya ingin anak saya seperti anak lainnya yang normal, saya sedih ustad melihat anak saya di hina dan di kucilkan seakan dia adalah sebuah aib bagi desa ini," ucap Bu Tiwel cemas.

"Apa tidak ada cara lain, ustad? Apakah selamanya anak saya akan seperti itu?" imbuhnya.

"Saya rasa iya, Bu. Saya khawatir, kehadiran Alina bukan lah sebuah kebetulan semata. Anak dengan kemampuan spesial seperti Alina, bukan tanpa alasan jika dirinya hadir di tengah masyarakat kita. Apalagi, Alina memiliki weton yang menjadi incaran banyak dukun dan pengguna ilmu hitam." papar ustad Ahmad.

"Bu, saya rasa jika sudah saatnya nanti, Alina akan menghadapi hal yang lebih besar dari pada ini. Saya risau, Alina akan menghadapi banyak ujian untuk kedepannya nanti. Saya harap, kita semua bisa berdo'a memohon kepada Allah SWT, untuk memberikan perlindungan kepada kita semua."

Air mata Bu Tiwel tak dapat di bendung lagi.

"Apakah benar, hadirnya Alina dalam hidupku hanya untuk menghadapi hal-hal di luar nalar manusia? Bagaimana jika anakku tidak sanggup menghadapi hal itu?" batin Bu Tiwel.

Bu Tiwel pulang kembali ke rumahnya dengan buru-buru, sebab khawatir bahwa Alina akan mencari keberadaan dirinya.

"Assalamu'alaikum." ucap Bu Tiwel.

"Waalaikumsallam, Ibu dari mana saja?" tanya Alina.

"Ibu ada urusan sebentar tadi, kamu sudah makan?" Alina menggeleng.

"Baiklah, yuk makan bareng."

Alina dan Bu Tiwel menghabiskan makan siang mereka dengan nikmat dan tenang.

Bu Tiwel selalu mengajarkan kepada Alina untuk tidak berbicara ketika makan.

Selesai makan, seperti biasa Alina akan bermain di dekat pohon bambu kemarin.

"Ingat, pulang sebelum surup(senja) ya, Nduk." pesan Bu Tiwel kepada Alina.

Alina pun mengangguk dan mencium punggung tangan Ibunya itu.

"Rose! Rose!" panggil Alina.

Srek ... Srek ... Srek ...

"Alina."

Alina pun menoleh dan tersenyum melihat Rose datang.

"Kamu nunggu lama, ya? Maaf ya, aku baru pulang sekolah. Kita mau main apa?" tanya Alina.

"Apa saja," jawab Rose.

"Bagaimana kalau kita bercerita saja? Aku belum tau soal kamu."

Rose pun mengangguk setuju.

"Kamu rumahnya dimana?" tanya Alina memulai pertanyaan.

"Jauh di sebuah desa yang sangat terpencil." jawab Rose.

"Kamu ke sini jauh-jauh apa gak di cari Bapak-Ibumu?" tanya Alina.

"Tidak, karena Bapak dan Ibu saya tidak pernah mencari saya." jawabnya.

"Kenapa?" tanya Alina penasaran.

"Nduk, ndang muleh wis arep surup(ayo pulang sudah mau senja)."

Tanpa sadar hari berlalu begitu cepat, sehingga Bu Tiwel berteriak memanggil Alina untuk segera pulang.

Alina pun berpamitan kepada Rose.

Namun, tanpa sepengetahuan Alina, diam-diam Rose mengikutinya.

Srek ... Srek ... Srek ....

"Rose? Kamu ngikutin, aku?" tanya Alina.

"Aku mau ikut kamu, boleh?" tanyanya.

Setelah menimbang dengan masak, Alina mengangguk menyetujui keinginan Rose.

"Assalamu'alaikum, Bu." ucap Alina.

"Waalaikumsallam, Nduk. Ayo cepat, bersih-bersih dulu, keburu surup(senja)!"

Alina berjalan menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri.

Kriet .... Kriet ... Kriet ...

Ranjang Alina berbunyi, Bu Tiwel yang kebetulan lewat pun menggelengkan kepalanya.

Bu Tiwel mengira, bahwa Sang Anak masih di dalam kamarnya.

Saat menuju dapur, Bu Tiwel terkejut mana kala Alina datang dari arah kamar mandi.

"Loh, Nduk, kamu habis mandi?" tanya Bu Tiwel.

"Nggih(iya), Bu. Ada apa memangnya?" tanya Alina penasaran.

Bu Tiwel pun menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Ah, perasaanku saja kali, ya?" batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status