Share

RUSAK
RUSAK
Author: Runika Nabastala

PERTEMUAN

     "Aku harus cepat." Safa menyetop ojek pinggir jalan, ia tak mau kehilangan banyak waktu di perjalanan. Tadi ia bangun sedikit terlambat sehingga ia harus bergegas.

     Safa gadis berumur 22 tahun lulusan manajemen informasi untuk pertama kalinya mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Selain ingin membantu ekonomi kedua orang tuanya, Safa juga ingin menghabiskan banyak waktu dengan bekerja, supaya ia bisa melupakan mantan kekasihnya yang secara sepihak memutuskan hubungan mereka berdua.

     Setelah sampai di gedung bertingkat berlantai dua puluh, Safa memberikan uang ongkos kepada ojek tersebut sembari memasang wajah cerianya. "Doakan saya mang, ini pertama kalinya saya ngelamar pekerjaan." Pria berumur itu tersenyum, "Iya, semangat neng. Jangan pantang menyerah!" Balasnya membuat semangat Safa semakin berkobar.

    Ditatapnya gedung besar bertuliskan PHIONEXT magazine itu dengan penuh kekaguman, selangkah lagi impiannya untuk bekerja di sana akan tercapai. Jiwa optimisnya semakin gencar bersemayam dalam dada setelah melihat para karyawan dengan gagah dan menawannya dengan setelan kerja mereka.

     PHIONEXT Magazine, salah satu kantor majalah populer terbesar di Indonesia yang didirikan oleh perusahaan industri media PT. Next Motivation Media tbk. Milik Subagio Bagaskara. Majalah ini sering mengulas sisi lain dari perempuan-perempuan hebat dan berprestasi yang berjasa dalam dunia pendidikan di Indonesia di zaman milenial ini. Itulah salah satu alasan yang membuat Safa ingin bekerja di sana. Karena baginya, perempuan juga memiliki hak kesetaraan yang sama dengan laki-laki dalam mencapai sebuah kesuksesan.

     Ia segera masuk ke dalam gedung ketika melihat waktu di jam tangannya semakin menipis. Jantungnya berdegup semakin kencang saja ketika sampai di lantai dua tepatnya di depan pintu ruangan HRD. Beberapa orang laki-laki dan perempuan juga ada di sana sedang duduk menunggu giliran untuk dipanggil. Safa tersenyum meringis melihat antusiasnya mereka semua dalam menjalani sesi penting ini. Berbagai ritual mereka lakukan sebagai bahan persiapan wawancara. Seperti merapihka make-up, kemeja atau membetulkan dasi.

Safa berdehem untuk melegakkan tenggorokannya, "Permisi." Safa memberikan simpulan yang merekah kepada para pesaingnya itu.

     Mengusap keringat di dahi, beberapa kali ia menghembuskan napas kasar untuk menenangkan pikirannya. Rasa percaya dirinya semakin turun setelah satu perempuan keluar sambil menangis karena telah ditolak.

     Sungguh tragis, kantor ini bahkan tidak tahu seberapa keinginannya mereka untuk bekerja di sini. Tapi dengan begitu peluang Safa untuk bekerja di sini tentu akan lebih besar lagi.

Seorang sekertaris keluar, memanggil namanya, "Safa Rizka Amalia!" Safa langsung bangkit ketika namanya di sebut. Sebelum masuk ia sedikit merapihkan anak rambutnya yang keluar dari ikatan rambut, juga rok hitam selututnya.

     Lima belas menit berlalu, Safa keluar tanpa ekspresi. Pelamar yang didominasi kaum hawa hanya menatapnya datar, penuh tanya meski bibir mereka terlalu gengsi untuk menanyakan nasib perempuan yang baru saja keluar dari ruangan itu.

"Diterima!"

     Papan nama bertuliskan Arjuna Arditama bertengger di meja berukutan satu meter itu. Dan kini pemiliknya sedang sibuk menandatangani berkas yang menggunung dengan malas. Tidak sepatutnya Arjuna berada di sini. Kakaknya mungkin akan lebih pantas mendapatkan posisi itu. Tapi ini sudah kuasa tuhan, Zhafran telah meninggal sebelum ia mengambil posisinya. Atas desakan Mamanya akhirnya Arjuna menuruti keinginan Mamanya itu.

     Ah, memikirkan itu membuat Arjuna semakin rindu dengan kakak laki-laki sekaligus Ayah dalam hidupnya.

"Permisi," Suara ketukan terdengar sehingga Arjuna menoleh kemudian mempersilahkan masuk. "Iya!"

Sekertaris muda yang tadi ikut dalam wawancara memberikan beberapa lembar CV kepada pimpinan untuk ditindaklanjuti.

"Berapa orang yang diterima?"

"Lima orang pak."

"Semuanya sesuai dengan keinginan perusahaan?" Pemuda itu sedikit menaikkan alisnya. Permintaan karyawan baru tentu saja harus sesuai dengan perusahaan meskipun ia sama sekali tak menyukainya.

"Tentu."

Sekertaris itu memberikan selembar kertas pada Arjuna, "Ini yang paling muda namanya Safa, dia fresh graduate tapi memiliki semangat yang sangat tinggi. Saya yakin dia cocok dengan kriteria perusahaan, apalagi dia perempuan." Ucapnya dengan sopan.

Arjuna mengaitkan kedua alisnya hingga bertemu. Membaca setiap rinci dan foto riwayat hidup dari selembar kertas yang ia pegang.

Suasana berubah seketika, saat Arjuna terfokus pada gambar dan nama yang tertera pada dokumen. Wajahnya kian memerah, napasnya jadi tak beraturan.

BRAK

Arjuna hilang kesabaran.

Secara tiba-tiba Arjuna langsung menggebrak meja ketika melihat wajah yang terpampang pada dokumen itu membuat sekertarisnya bergidik ngeri.

Arjuna memberikan tatapan menohoknya kepada sang sekertaris, wajahnya memerah dan telapak tangannya terkepal, "Panggil perempuan ini sekarang!" Teriaknya.

"T-tapi, orangnya sudah pergi pak." Pelannya dengan gemetar takut setelah ini Arjuna akan lebih marah lagi.

"Besok pagi segera panggil dia ke ruangan saya!"

"S-siap pak." Tangan sekertaris itu sedikit gemetar, baru kali ini ia melihat pimpinannya marah dan ternyata mengerikan juga.

"Kamu boleh pergi sekarang!"

"B-baik pak. Saya permisi." Sekertaris itu buru-buru keluar meninggalkan Arjuna yang masih tenggelam dalam emosi. Diremuknya kertas itu dalam genggamannya itu. Matanya membara seakan perempuan itu berada di hadapannya dan ingin segera ia lenyapkan."Pembunuh, tunggu pembalasanku!"

Safa pulang ke kontrakan dengan wajah berseri-seri. Kontrakam sederhana yang dihuni temannya lebih tepatnya adik kelas yang mengenyam pendidikan kuliah semester dua.

"Kayaknya lagi bahagia banget."

"Banget... Banget... Aku keterima kerja di kantor impianku Rim." Katanya kemudian disambut pelukkan erat dari teman satu kontrakannya itu. "Selamat mbak!"

"Rima ikut senang. Semoga betah ya, gaji pertama harus kasih jatah pokoknya!" Keduanya tertawa, menguraikan pelukkan masing-masing.

"Sudah hubungi orang tua belum? Pasti mereka senang."

"Oh, iya saking senangnya sampai lupa." Safa segera mengambil ponsel dari tas mungilnya untuk menghubungi bapak dan ibunya yang berada di Bogor.

      Paginya, Safa sudah bersiap berangkat ke kantor dengan setelan kemeja putih, rok dan sepatu pentopel hitamnya. Ini baru masa training jadi mungkin sebulan ini ia akan terus memakai baju setelan seperti ini. Kemudian, ia padukan dengan blezer hitam membuatnya terlihat elegan. Apalagi tubuh tinggi semampai menunjangnya untuk terlihat semakin cantik dan menawan. Khas dari pegawai PHIONEXT Magazine yang terlihat berkelas.

     Untuk yang kedua kalinya Safa menginjakkan kaki di tempat megah itu. Namun kali ini statusnya telah menjadi pegawai training.

Safa melihat sekelilingnya yang nampak asing, mungkin karena waktu itu saking tegangnya ia tak memperhatikan ruangan sekitar. Namun entah mengapa ia merasakan ada yang aneh terjadi pada dirinya, para pegawai yang lain melihatnya dengan tatapan yang sulit ia mengerti, tak ada balasan senyum atau apapun dari sapaannya. Mungkin karena ia pegawai baru jadi sedang mengetes mentalnya?

Safa dihinggapi perasaan bingung, tak ada yang memberikannya instruksi harus memulai kerja yang bagaimana, jadi ia memutuskan untuk bertanya. Baru saja ia melangkah untuk mencari informasi, seseorang dengan lantang memanggilnya.

"Safa Rizka Amalia?" Safa menoleh dengan sedikit keterkejutannya.

"Iya, saya pak." Jawabnya sedikit tergugup.

"Kamu dipanggil pimpinan sekarang."

DEGG

Jantungnya seolah terhenti. Masalah apa yang ia perbuat sehingga dipanggil pimpinan di hari pertamanya bekerja.

"Tolong agak cepat ya!" Katanya lagi membuat Safa semakin gusar. Namun ia berusaha untuk berpikir positif, barangkali sesuatu yang baik sedang menantinya?

"Ruangannya di mana ya pak?" Tanyanya ramah meski jantungnya terasa mau copot.

"Ada di lantai tiga, kamu naik lift. Di sana ada tanda panah, kamu ikuti saja tanda panah itu sampai bertemu pintu utama ruangan pimpinan." Katanya terdengar dingin di telinga Safa

"Baik pak, terima kasih." Safa sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat.

Safa menghembuskan napas kasar, mengikuti arahan yang tadi diberikan, mulutnya sambil melapalkan apa yang ia dengar agar selalu ingat.

Setelah ke lantai tiga dan mengikuti papan tanda panah. Akhirnya sampai pada sebuah pintu besar berwarna hitam, sebelum itu ia menekan bel yang ada di sana. "Permisi."

"Masuk!" Mendengar suara itu Safa langsung masuk ke dalam. Suasana damai ditambah aroma terapi menenangkan, namun sedikit sunyi dan menyeramkan.

Safa menelan ludah dengan kasar, ketika tatapan tak bersahabat ia dapatkan dari seorang pimpinan muda redaksi."Bapak manggil saya?"

Safa memelintir ujung-ujung blezernya ketika pria itu bangkit kemudian berjalan ke arahnya dengan tatapan menyeramkan. Tak sedikitpun ada keramahan yang Safa terima di kantor ini, termasuk dari pimpinan kantor ini.

Tentu saja Safa heran, apa yang membuatnya terasa seperti dimusuhi seperti ini.

Pria itu berjalan semakin mendekat, membuat Safa refleks mundur beberapa langkah ke belakang sampai punggungnya menyentuh dinding.

Perlahan Arjuna menyentuh kancing kerah kemeja Safa membuatnya merinding, entah apa yang akan dilakukan atasannya saat itu yang jelas Safa sudah tak bisa lagi berpikir jernih.

"Sehebat apa sampai kau berani bekerja di sini untuk ukuran perempuan murahan seperti dirimu?" Bisiknya di telinga Safa tersinggung dan refkles langsung menampar pipi Arjuna dengan keras.

Sontak Arjuna yang terhuyung memegang wajahnya, mengelap sudut bibirnya yang berdarah kemudian menatap tajam Safa yang masih syok dengan perbuatannya sendiri. "M-maafkan saya." Safa menutup mulutnya, matanya mulai berkaca-kaca.

"Selain murahan ternyata tidak tahu diri rupanya." Arjuna membenahi kemejanya yang kusut kemudian mulai mencengkram bahu yang terasa kecil di telapak tangannya dengan kencang. Ia rasakan tubuh Safa bergetar. Entah apa kesalahannya, Safa juga tidak tahu, yang jelas pria di hadapannya itu terlihat seperti ingin membunuhnya.

"Apa kesalahan saya pak?" Tanyanya dengan bibir bergetar sambil menatap mata memerah pria itu yang menyiratkan kebenciannya pada Safa. Tak terasa air matanya mengalir, meminta dikasihani agar dilepaskan. Kini Safa tidak menginginkan pekerjaan ini lagi, yang ia inginkan hanyalah agar ia bisa lolos dari kebuasan Arjuna.

"Setelah kau membuat Kak Zhafran mati masih tanya salahnya di mana?!" Arjuna dengan keras mendorong tubuh mungil Safa hingga ambruk ke lantai. Ia rasakan ngilu di tubuhnya setelah membentur bagian paling dingin itu.

Ia tak salah dengarkan?

Zhafran, mantan kekasihnya meninggal?

Dan orang yang saat ini di hadapannya adalah adiknya?

      Hatinya semakin hancur saat itu juga, pria yang nasih dicintainya ternyata telah tiada. Entah sejak kapan? Kenapa ia baru diberi tahu sekarang?

Ingin rasanya Safa menanyakan hal itu, namun ini bukan saatnya untuk mendramatisir dengan pertanyaan-pertanyaan sembrono seperti itu, yang harus ia lakukan sekarang adalah kabur dari tempat dingin itu detik itu juga, karena bisa saja Arjuna benar-benar membunuhnya. Safa segera mengambil tasnya, berjalan ke arah pintu keluar yang tertutup untungnya Arjuna lupa menguncinya sehingga Safa bisa lolos dengan mudah.

Gadis jenjang itu berlari sekuat tenaga sembari mengusap air matanya hingga orang-orang yang kebetulan lewat menatapnya dengan heran.

Sementara Arjuna masih memaki Safa yang lolos dari jangkauannya."Awas kau!" Deru napasnya kian beradu dengan dinginnya ruangan di lantai tiga itu.

"Ku biarkan lolos kali ini, setelah ini jangan harap kau bisa hidup tenang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status