Share

KEKECEWAAN

: Kekecewaan

Sepanjang perjalanan menuju kontrakan, Safa hanya bisa menangis. Bukan hanya telah mendapatkan perlakuan kasar dari pimpinan barunya, tapi juga karena mengetahui mantan kekasih yang masih dicintainya telah meninggal.

Safa tergugu, menahan deras air mata yang tumpah ruah ketika telah sampai di kamar berukuran kecil yang berada di kontrakan. Rima masih berada di kampus, alasan itu dimanfaatkan untuk mengeluarkan semua isi hatinya untuk Zhafran.

"Mas, kenapa pergi secepat ini? Aku bahkan belum sempat mendengarkan permintaan maaf darimu." Napas Safa semakin berat, ketika melihat foto-foto kenangannya bersama Zhafran. Dulu hubungan mereka sangat indah bahkan sudah serius. Zhafran berjanji akan melamarnya setelah lulus kuliah. Zhafran adalah sosok dewasa, ia bahkan sudah mempunyai rencana akan tetap mendukung impian Safa meski mereka telah menikah. Zhafran bukan tipe pengekang, apalagi tempramen seperti adiknya, Arjuna. Dia adalah penyayang yang sangat menghormati perempuan. Safa sampai tak percaya jika Zhafran telah selingkuh. Pada akhirnya yang memutuskan hubungan adalah Zhafran dengan alasan ia telah mencintai perempuan lain.

"Apa kesalahanku mas?! Kenapa kamu malah pergi dengan perempuan lain?!"

"Aku mencintainya, lebih dari perasaanku padamu sa," Tiada kata maaf yang Zhafran ucapkan, ia tak menyesali keputusannya untuk berpaling dari Safa.

Meski begitu, rasanya Safa tak pernah rela melepaskan Zhafran begitu saja.

"Mas, adikmu jahat! Kenapa dia katakan bahwa aku yang membunuhmu? Jangankan mengambil nyawamu, membunuh perasaanku padamu saja aku tidak sanggup." Tangisnya berberai di ruangan kecil itu, hingga menjelang menjelang malam.

       Matanya masih sembab karena menangis lagi semalaman. Seharian itu Safa tak menyapa Rima karena mengunci diri di kamar, bahkan Rima mengira Safa masih berada di tempat kerjanya. Ia baru mengetahui Safa ada di dalam kamar karena suara dering ponsel ketika Rima meneleponnya.

"Mbak Safa kenapa matanya sembab?" Tanya Rima ketika Safa sedang meneguk air putih dalam gelas.

"Tidak pergi kerja mbak?" Safa menggeleng, air matanya ingin mengalir lagi. 

"Bukannya sudah diterima? Atau kesalahan informasi?" Tanya Rima terus menerus. Ditatapnya wajah sedikit tembam dan lugu itu dengan serius, meletakkan gelas yang isinya tinggal setengah. "Aku mengundurkan diri." 

Bola mata Rima membelalak, terkejut. "Kenapa mbak bukannya mbak suka pekerjaan itu?" 

"Iya aku suka, tapi sepertinya atasanku tak menyukaiku. Tatapannya seperti ingin membunuh padahal baru pertama kali bertemu." Sungguh, kesan pertama mengenal atasannya membuat Safa tidak mau lagi datang ke Phionext Magazine. Kini ia sudah tahu bahwa citra sohor yang menghormati kesetaraan gender hanya tipuan belaka. Nyatanya pimpinannya saja tidak bisa menghargai perempuan.

"Yang benar mbak?!" 

"Kalau tidak melakukan kesalahan tentu saja aneh. Sudah mbak, jangan dipikirkan pasti ada gantinya." Lanjutnya semabari mengelus punggung Safa untuk menguatkannya.

Ditatapnya sendu gelas plastik yang berada di meja. Safa bersedih bukan karena tidak dapat pekerjaan tapi kabar kematian Zhafran yang sangat mendadak ia ketahui.

"Jadi mbak Safa sedih karena itu, ya?" 

"Bukan juga." 

"Lalu karena apa?" Safa menatap lagi wajah Rima dengan air mata yang terlanjur mengalir. "Mas Zhafran. Mas Zhafran meninggal." Tangis Safa membuncah ke sekian kali. Rima  kemudian memeluknya. Hanya Rima satu-satunya orang yang bisa menguatkannya saat ini ketika ia jauh dari kedua orang tuanya. Safa juga bingung, apa yang harus ia jelaskan pada kedua orang tuanya jika ia resign di hari pertamanya kerja. Rasanya tak mungkin jika ia menceritakan perlakuan buruk atasannya itu.

"Yang sabar mbak, doakan khusnul khatimah."

      Hari-hari yang gelap itu, lama-kelamaan sirna. Kesedihan adalah sesuatu yang sementara meskipun kejadian pahitnya tak pernah bisa dilupakan. Safa mulai menata kembali hidup dan masa depannya. Safa mulai mencari lowongan pekerjaan baru melalui online maupun datang ke perusahaannya langsung.

Safa cukup tahu diri untuk kembali ke kantor itu, meskipun di kampung kedua orang tuanya sangat berharap ia mendapatkan pekerjaan yang bagus untuk membantu perekonomian mereka.

Tak terasa sudah hampir seminggu Safa berkeliling kota untuk mencari lowongan pekerjaan namun tak ada yang mau menerimanya. Rasanya semakin bosan dan pasrah saja. Entah syaratnya dipersulit atau dengan alasan ketidaksesuaian dengan perusahaan yang dilamar. Safa sampai bingung, jika perusahaan terkenal saja bisa menerimanya lalu kenapa yang lainnya tidak?

Impiannya kini sebatas angan yang harus ia kubur dalam-dalam. Mengetahui kematian mantan kekasih membuatnya semakin terpukul, kini masalah berat menimpanya secara bersamaan.

Kemarin-kemarin sudah puas rasanya Safa menangis meratapi kepergian Zhafran. Bahkan sebatas ingin mengucap salam perpisahan saja tak bisa karena Safa tak tahu di mana kuburannya. 

        Safa mengembuskan napas kasar kesekian kali. Tenggorokannya terasa kering, sejak pagi mencari pekerjaan tak ada yang kunjung mau menerimanya. Sebotol air mineral telah tandas ia minum di bawah terik sinar matahari yang berada tepat di atas puncak kepalanya. 

Safa sudah enggan masuk ke Phionext Magazine yang nyatanya begitu merendahkan perempuan sepertinya. Syukur-syukur ada perusahaan baru yang mau menampungnya saat ini. Namun sayangnya, sejak tadi lamarannya ditolak tanpa ada alasan yang jelas.

Entah karena pimpinan redaksi yang kejam padanya, menghalalkan segala cara agar tak ada perusahaan yang mau menerima dirinya?

Sehebat itukah seorang Arjuna?

"Ah, mana mungkin pasti hanya pikiranku saja." Pikirnya sambil berusaha menghilangkan pikiran buruk yang ada di kepalanya.

       Safa berhenti sejenak untuk beristirahat. Ia duduk di kursi yang berada di trotoar jalan. Kini Jakarta semakin bagus dan rapih saja, disekelilingnya sudah mulai terlihat bersih tanpa ada pedagang kaki lima yang mangkal di sana. Namun kemajuan itu membuat Safa semakin merasa tertinggal, semuanya jadi terasa lebih menyulitkan baginya.

"Hei Safa!" Safa yang tadinya menunduk, menoleh ketika mendengar suara itu.

"Iya betul, Safa." Tebaknya ketika melihat wajah Safa yang terkena terpaan sinar matahari.

Safa menyipit untuk memperjelss wajah Dimas yanh tak bisa ia lihat dengan jelas karena silau."Dimas?" 

Dimas, teman SMA nya yang sekarang sudah sukses berkarir di bidang kuliner. Wajahnya sedikit bulat dan perutnya buncit karena hobinya menyicip masakan dan memasak. Berkat bantuan kacamata membuat dirinya masih terlihat awet muda, masih sama seperti saat masa sekolah dulu.

"Ngapain?" 

"Duduk santai." Balasnya sambil tersenyum. "Panas-panas begini duduk santai di trotoar?" Safa tersenyum, lebih tepatnya meringis.

"Lebih baik mampir di kafe ku, yuk?" Safa menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Safa hanya punya uang untuk makannya selama sebulan ini, itupun ia dapatkan dari sisa uang beasiswa semester terakhir. Cukup untuk menyambung hidup dengan menu makan sederhana, biaya skincare juga perlu, belum lagi jika ada keperluan mendadak. Sayang sekali jika uangnya terpakai untuk bersantai di kafe yang jelas tak akan membuatnya kenyang.

"Eng-gak dulu deh," Katanya sungkan.

"Ayolah, gratis kupon makan teman lama." Dimas menarik lengan Safa sehingga ia tak bisa mengelak lagi. Safa hanya bisa garuk-garuk kepala, Dimas mengajaknya entah karena terlihat jelas kalau Safa lagi susah atau bagaimana.

    Sementara itu, diam-diam seseorang memperhatikan mereka dari kaca mobil. Rupanya sejak awal, Safa telah diikuti oleh seseorang.

Seringaian jahat ditunjukkan kepada kedua orang yang berada jauh dari posisinya sekarang."Rupanya benar, mantan kekasihmu itu perempuan murahan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status