Share

Bab 6

Begitu jam pelajaran berakhir, Natasya langsung merapikan buku-bukunya. Ia bersiap mengikuti Bu Margareth ke ruang guru.

“Doakan semoga aku selamat,” bisik Natasya ke arah Tari sebelum akhirnya pergi.

Tari mengangguk sambil mengangkat tangan kanannya yang terkepal, tanda memberikan dukungan.

Tari kemudian bergegas menuju kelas XII IPA 1. Mencari Ryan. Tari merasa tidak enak hati karena akhir-akhir ini ia secara tidak sengaja telah asyik dengan dirinya sendiri, tanpa memedulikan Ryan.

Tari menunggu di depan kelas XII IPA 1, memerhatikan satu per satu siswa yang keluar dari ruangan tersebut. Ruang kelas tersebut pun akhirnya kosong. Namun, Tari tidak menemukan sosok Ryan.

“Apa dia sudah pulang?” tanyanya pada diri sendiri. Tidak mungkin. Mana mungkin Ryan pulang tanpa memberikan kabar sedikit pun padanya.

Tari lantas melangkah menuju lapangan basket. Mungkin ia dapat menemukan sosok Ryan di sana.

Benar saja. Dari kejauhan Tari dapat melihat Ryan berdiri di luar lapangan basket. Ia memutar-mutar bola dengan jari telunjuknya sambil mengobrol dengan seseorang dari tim pemandu sorak. Mereka terlihat tertawa bersama. Entah kenapa, Tari tidak suka melihat pemandangan di hadapannya. Api cemburu mulai menyala di dadanya. Ia lantas berbalik. Meninggalkan Ryan yang masih tampak asyik mengobrol bersama gadis centil berbadan proporsional yang tengah dibalut dengan pakaian seksi khas pemandu sorak tersebut.

***

Ryan sedang menunggu Tari keluar dari kelas ketika temannya, Albert, menariknya menuju lapangan basket. Albert adalah mantan ketua tim basket. Semasa masih menjabat sebagai ketua, Ryan diberi tanggung jawab sebagai wakil ketua. Mereka lengser dari jabatannya sekitar empat bulan lalu, di awal tahun ajaran baru karena kelas XII tidak diperkenankan menjabat kepengurusan inti. Hal ini bertujuan agar mereka mulai bisa memfokuskan diri dalam pelajaran untuk menghadapi ujian. Walaupun demikian, mereka sesekali masih dimintai nasihat oleh Randy, murid kelas XI yang kini menjabat sebagai ketua tim basket.

Randy meminta nasihat tentang strategi yang sebaiknya digunakan untuk menghadapi lawan di ajang pertandingan basket antar-SMA di Bandung. Albert dan Ryan pun menyampaikan beberapa saran berdasarkan pengalaman mereka menghadapi lawan tangguh di ajang pertandingan bergengsi tersebut.

Setelah menyampaikan beberapa hal yang dianggapnya penting, Ryan pun pamit pulang. Ia memain-mainkan bola basket dengan sebelah tangannya sambil melangkah meninggalkan lapangan basket. Tiba-tiba, seorang adik kelas yang tergabung dalam tim pemandu sorak mendekatinya.

“Kak Ryan…” sapanya. “Perkenalkan, aku Linda, ketua tim cheerleader saat ini,” katanya sambil mengulurkan tangan.

“Oh, hai. Salam kenal,” sahut Ryan sembari membalas uluran tangannya.

“Aku penggemar berat Kakak, lho.”

Ryan tertawa mendengar hal tersebut. “Penggemar apaan? Aku kan bukan artis.”

“Aku serius. Aku sangat suka melihat pertandingan kakak. Seandainya bisa, aku sangat ingin menjadi pemandu sorak yang menyemangati permainan Kakak,” ujarnya dengan wajah serius.

Ryan mengerutkan keningnya.

“Kenapa, Kak? Apa perkataanku tadi terdengar aneh?” tanya Linda dengan wajah takut.

Ryan pun kembali tertawa melihat ekspresi gadis di depannya tersebut. Bagaimana tidak? Ia terlihat sangat lugu.

“Nggak, nggak ada yang aneh, kok,” jawab Ryan masih berusaha menahan tawa.

“Untunglah. Aku kira aku baru saja berkata berlebihan,” ucap Linda sambil berusaha tertawa.

Ryan berusaha menghentikan tawanya karena merasa tidak enak dengan Linda. Ia merasa jahat karena telah menertawakan salah seorang penggemarnya tersebut. “Terima kasih. Aku sangat tersanjung mendengarnya,” ucap Ryan akhirnya.

 Ryan buru-buru mengakhiri percakapan dengan gadis itu dan bergegas menuju kelas XII IPA 2. Ia mencari Tari. Sayangnya, orang yang ia cari tidak ada.

“Apa dia sudah pulang?” tanyanya pada diri sendiri. Diraihnya ponselnya dari saku tas. Ia memencet beberapa tombol, kemudian mendekatkan ponsel tersebut ke telinganya.

Tuttt… Tuuttt…

Orang di seberang sana tak kunjung menjawab teleponnya.

***

Tari berdiri sendirian di depan gerbang sekolah. Ia sedang larut dalam lamunan ketika getar ponsel tiba-tiba menyadarkannya. Dilihatnya nama Ryan terpampang di layar ponselnya. Tari tidak bergeming. Hanya menatap layar di depannya dengan pikiran yang bercampur aduk.

Tari hanya menarik napas panjang ketika ponselnya berhenti bergetar. Ia masih terbayang kejadian yang dilihatnya di dekat lapangan basket. Entah kenapa, dadanya terasa sesak melihat pemandangan tersebut. Ia merasa minder. Tidak percaya diri. Tentu saja hal ini bukan pertama kali dirasakannya. Sebagai gadis yang tidak memiliki keistimewaan, tidak pandai bergaul, dan berpenampilan biasa saja, memiliki sosok Ryan yang tampan, bertubuh jangkung, dan pandai bermain basket sebagai seorang pacar tentunya merupakan hal yang tidak pernah dibayangkannya.

Ryan selalu dikerumuni oleh gadis-gadis berpenampilan menarik dari tim pemandu sorak yang senantiasa memberikannya dukungan setiap kali bermain basket. Sedangkan Tari, hanya bisa melihatnya bermain dari barisan kursi penonton. Tari sampai sekarang tidak tahu kenapa Ryan bisa menyukainya. Itulah yang membuat Tari tidak yakin dengan nasib hubungan mereka ke depannya.

Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan berhenti di depannya. Pak Ujang turun dari kursi kemudi dan membukakan pintu mobil untuk Tari. Setelah Tari duduk di kursi belakang, sopirnya itu pun melajukan mobil meninggalkan sekolahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status