Share

Mencari Sekutu di Tengah Badai

Penulis: Mustika Ainel
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-08 16:25:03

ada. Layar laptop Arif kini kembali menampilkan folder kosong.

Rasa dingin yang menjalari tulang Aisyah menguat menjadi kepastian. Itu bukan glitch sistem. Seseorang telah memantau dan menghapus pesan itu, persis saat ia membacanya. Harris. Pengkhianatan itu nyata, dan mereka tahu Aisyah telah melihatnya.

Aisyah menutup laptop, jantungnya berdebar kencang. Jika Harris, pengacara terpercaya Arif, adalah kaki tangan Adrian, maka seluruh Firma Hukum Atmadja adalah musuh. Ia tidak bisa lagi mengandalkan sistem internal. Ia membutuhkan sekutu dari luar, seseorang yang tidak terikat oleh nama Atmadja.

Ia menghabiskan sisa malam itu di ruang kerja, bukan mencari aset yang dibekukan, melainkan mencari nama. Ia menyaring pengacara litigasi di Jakarta yang memiliki reputasi keras, independen, dan yang paling penting, di luar lingkaran pengaruh Atmadja Group.

Pagi menjelang, dan ia menemukan satu nama yang terus muncul: Laras.

Laras (32), seorang pengacara litigasi yang dikenal karena keberaniannya mengambil kasus-kasus yang dianggap mustahil, terutama yang melawan konglomerat besar. Dia tidak bekerja di gedung pencakar langit kaca, melainkan di kantor kecil di kawasan bisnis lama, menjauhi hingar bingar elit.

Aisyah segera menelepon.

*

“Saya sudah dengar tentang Anda, Nyonya Aisyah,” kata Laras, meletakkan berkas yang tebal di atas meja kayu solidnya. Kantor Laras terasa hangat, berantakan dengan tumpukan buku, jauh dari kemewahan steril Atmadja Tower.

Laras mengenakan setelan celana abu-abu yang praktis. Matanya tajam, memancarkan kecerdasan yang tidak sabar.

“Saya mengapresiasi Anda bersedia bertemu secepat ini, Ibu Laras,” kata Aisyah, duduk tegak di kursi kulit tua. “Setelah bertemu Harris, saya tahu saya butuh seseorang yang benar-benar independen.”

Laras tersenyum tipis. “Independen adalah istilah yang bagus, Nyonya. Saya lebih suka menyebut diri saya keras kepala. Saya tidak suka diintimidasi, dan saya benci ketidakadilan.”

“Kalau begitu, Anda sudah tahu intinya?” tanya Aisyah.

“Tentu saja,” jawab Laras, menyilangkan tangan. “Adrian Atmadja menuntut pembatalan wasiat. Aset dibekukan. Harris—pengacara internal Anda—tiba-tiba menjadi pasif. Dan rumor beredar bahwa Anda adalah pemburu emas yang memanipulasi mendiang suami Anda di ranjang kematiannya.”

“Semua itu adalah fitnah,” kata Aisyah tajam.

“Saya percaya Anda,” balas Laras cepat, “tapi yang saya hadapi bukan hanya Adrian. Atmadja adalah dinasti. Kekuatan mereka bukan hanya di pengadilan, tetapi di media, di bank, dan di kursi-kursi parlemen.”

Laras mengambil jeda. “Bahkan sebelum Anda sampai di sini, saya sudah menerima beberapa panggilan telepon yang sangat ‘persuasif’.”

Aisyah mencondongkan tubuh. “Persuasif bagaimana?”

“Seorang pengacara senior dari Firma Hukum Atmadja menelepon. Dia tidak mengancam, tetapi ia mengingatkan saya bahwa beberapa klien besar saya memiliki kontrak yang sangat sensitif dengan Atmadja Group.”

Aisyah merasakan sakit hati. “Adrian mencoba menjatuhkan Anda bahkan sebelum Anda menerima kasus saya.”

“Tentu saja,” Laras mengangguk, tanpa menunjukkan rasa takut sedikit pun. “Itu adalah taktik mereka. Mereka mencoba menciptakan isolasi total di sekitar Anda, membuat Anda tidak punya pilihan selain tunduk pada negosiasi Harris.”

“Dan apa respons Anda, Ibu Laras?”

Laras menyandarkan punggungnya. “Saya memberitahu mereka bahwa saya tidak menerima kasus berdasarkan siapa yang paling kuat, tetapi berdasarkan siapa yang benar. Dan sejujurnya, Nyonya Aisyah, saya sangat benci ketika orang mencoba mendikte pekerjaan saya.”

Aisyah merasakan gelombang rasa hormat yang mendalam. “Anda mengambil risiko besar untuk saya.”

“Risiko adalah bagian dari litigasi,” potong Laras. “Tapi kita harus jelas. Jika saya mengambil kasus ini, Anda harus jujur. Apakah ada celah, sekecil apa pun, dalam surat wasiat itu? Adakah yang bisa Adrian gunakan untuk mengklaim bahwa Arif tidak waras?”

Aisyah menggeleng. “Tidak. Notaris Wijaya bersaksi bahwa Arif jernih. Tapi saya yakin Adrian akan memalsukan dokumen, atau mungkin menyuap saksi.”

“Kami akan menghadapinya,” kata Laras. “Strategi pertama kita adalah menyerang balik. Kita tidak bisa hanya bertahan. Adrian ingin mengklaim klausa hukum. Kita akan mengklaim moralitas.”

“Bagaimana?”

“Kita akan mengajukan mosi darurat untuk menantang pembekuan aset,” jelas Laras, berbicara dengan cepat, seolah sudah merencanakan semuanya. “Kita akan menggunakan tuntutan Adrian tentang ketidakmampuan mental Arif untuk keuntungan kita. Kita akan meminta pengadilan meninjau semua keputusan bisnis Arif dalam enam bulan terakhir. Jika Arif tidak waras, maka semua kontrak yang dia tandatangani juga harus dipertanyakan.”

Aisyah terkesiap. “Itu akan menghancurkan stabilitas Atmadja Group.”

“Tepat,” Laras tersenyum kejam. “Adrian ingin perusahaan? Biarkan dia mendapatkan perusahaan yang terancam gugatan massal. Itu akan memaksanya mundur. Dia tidak ingin kekacauan. Dia ingin kontrol bersih.”

Aisyah menyadari bahwa bekerja dengan Laras adalah pelajaran baru dalam kekuasaan. Ini bukan lagi tentang kesopanan atau etiket keluarga, ini adalah tentang perang kotor.

“Saya setuju,” kata Aisyah. “Apa pun yang diperlukan untuk memenangkan kembali apa yang menjadi hak Arif.”

“Bagus,” Laras mengambil pena dan membuka berkas. “Saya akan mulai bekerja. Kami akan segera mengajukan tuntutan balik. Tapi saya perlu semua berkas yang Anda miliki. Email, catatan, apa pun yang Arif tinggalkan.”

Aisyah menceritakan tentang email yang menghilang dan pengkhianatan Harris.

Laras mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah serius. “Penghapusan email itu adalah bukti yang kuat. Itu menunjukkan bahwa Harris atau Adrian punya akses ke perangkat Arif dan memantau Anda. Itu bukan hanya pertarungan wasiat, Aisyah. Ini adalah intrik.”

“Saya tahu,” Aisyah mengakui. “Saya merasa ada yang disembunyikan Arif dari saya. Bukan hanya wasiat, tapi alasan mengapa dia tiba-tiba mengalihkan segalanya kepada saya, bukan kepada Adrian.”

Laras mengangguk, matanya menatap tajam Aisyah.

“Adrian mengklaim Anda ingin uang. Anda mengklaim Anda ingin kebenaran dan menghormati wasiat suami Anda. Tapi saya harus bertanya, Nyonya Aisyah. Mengapa Arif melakukan ini?”

“Saya... saya tidak tahu,” Aisyah berbisik, merasa rentan. “Saya hanya tahu dia mencintai saya, dan dia ingin saya aman.”

Laras menghela napas. Dia mendorong berkas tebal yang berisi tuntutan Adrian ke arah Aisyah.

“Saya akan menerima kasus Anda, Nyonya Aisyah. Saya akan memenangkan hak Anda sebagai pewaris, dan saya akan melindungi Anda dari Adrian. Tapi Anda harus siap menghadapi kenyataan yang jauh lebih gelap.”

Aisyah mengambil berkas itu. Beratnya terasa di tangannya.

“Maksud Anda apa, Ibu Laras?”

Laras mencondongkan tubuh, suaranya turun menjadi bisikan konspiratif, meskipun mereka hanya berdua di ruangan itu.

“Kasus ini bukan hanya tentang wasiat, Aisyah,” Laras memperingatkan, matanya menembus Aisyah, “Ini tentang rahasia apa yang mereka sembunyikan. Saya telah melihat gugatan wasiat ini berkali-kali. Gugatan ini terasa seperti tirai asap. Adrian tidak hanya berjuang untuk kekuasaan; dia berjuang untuk melindungi aib keluarga Atmadja. Dan saya yakin, aib itu jauh lebih dalam dari sekadar...

...perebutan kekayaan. Kita harus mencari tahu apa yang Arif Atmadja coba tebus sebelum dia...."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   ketehangan di kantor lama

    Aisyah mencengkeram lengan Laras erat-erat, hampir mencekik pergelangan tangan pengacaranya itu. Matanya melebar, bukan karena ketakutan, tetapi karena kaget. “Di seberang jalan?”Laras, meskipun lebih tinggi dari Aisyah, mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha menutupi Aisyah dari pandangan siapa pun yang mungkin kebetulan melihat ke dalam mobil. Ia segera menutup tabletnya.“Sistem pemantauan keamanan yang terpisah. Adrian sengaja memilih tempat yang tidak terhubung ke jaringan utama Atmadja Group,” bisik Laras, napasnya sedikit tersengal-sengal. “Harris benar. Tapi... kita tidak menduga kalau letaknya tepat di depan hidung kita. Apartemen Anda berada di lantai sembilan. Jarak pandang lurus. Mereka mungkin melihat pergerakan Anda, Aisyah.”Laras menggeleng. “Ini buruk sekali. Serangan semalam—pencurian data di apartemen Anda, semuanya ada di tangan mereka. Kita hampir memberitahu Harris kalau kita tahu segalanya. Untung dia terlalu bodoh untuk menghubungkan petunjuk itu.”“Lalu ke

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Terjatuhnya Arif

    "Kita akan bertemu dengannya. Kita akan menawarkan dia imunitas penuh jika dia mau membuka mulutnya, dan aku yakin rasa marah karena dikhianati oleh Adrian lebih besar daripada rasa takutnya kepada keluarga Atmadja saat ini," pungkas Aisyah, ekspresinya tajam.Laras menyandarkan punggungnya pada jok mobil. Malam itu, di jalanan ibu kota yang basah, ketenangan Laras terasa kontras dengan gejolak yang Aisyah alami. Namun, ada kilatan puas di mata pengacara itu. Kegagalan Adrian di pengadilan adalah kesenangan kecil yang mahal.“Kau benar,” kata Laras. “Harris sudah lama loyal pada keluarga itu, terutama Ayah Atmadja. Dia percaya diri dengan jaminan imbalan dan perlindungan yang Adrian berikan. Ketika Adrian mengorbankan dia untuk menutupi jejaknya sendiri, harga dirinya pasti hancur.”“Jadi, kita akan menawarinya pintu keluar,” ujar Aisyah. “Adrian sudah menjadikan Harris kambing hitam, dia tidak punya apa-apa lagi yang harus dipertaruhkan selain hidupnya.”Mereka mengatur pertemuan rah

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Pria Misterius di Apartemen Aisyah

    Pria pertama melangkah maju, tangannya terentang—dan saat itulah alarm kebakaran apartemen Aisyah berbunyi nyaring, memekakkan telinga.Aisyah telah menekan tombol darurat yang tersembunyi di bawah wastafel saat ia merobek kertas.Dua pria itu mengerang frustrasi, memegangi telinga mereka. Suara itu terlalu keras di ruangan tertutup.“Sialan!” teriak salah satu pria itu.Aisyah memanfaatkan sepersekian detik kebingungan mereka. Ia mendorong tubuhnya ke samping, menabrak pria kedua, dan berlari keluar kamar mandi, melompati bingkai pintu yang roboh.Ia tidak berhenti berlari. Ia tahu apartemen itu tidak aman.Ia berhasil mencapai pintu belakang yang mengarah ke tangga darurat. Di belakangnya, ia mendengar teriakan marah dan langkah kaki berat.“Tangkap dia! Jangan sampai lolos!”Aisyah menuruni tangga darurat dengan kecepatan panik. Ia tidak tahu siapa mereka, tetapi ancaman fisik itu lebih nyata daripada gugatan hukum mana pun. Ia berhasil keluar dari gedung, berlari ke jalanan malam

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Dekripsi Malam

    Aisyah merasakan hawa dingin. Ini bukan hanya tentang warisan. Ini tentang…...sebuah konspirasi yang tersembunyi jauh di dalam inti Atmadja Group.Aisyah dan Laras meninggalkan kompleks Kediaman Atmadja dengan tergesa-gesa. Buku catatan bersampul kulit itu kini terasa panas di tangan Aisyah, seolah memancarkan energi rahasia.“‘Proyek Khatulistiwa’,” gumam Laras, saat mereka sudah duduk di mobil Aisyah yang melaju kencang menjauhi gerbang. “Nama yang megah untuk apa pun yang disembunyikan Arif.”“Itu hanya sketsa kecil di sudut laci,” jawab Aisyah, membolak-balik buku catatan yang penuh dengan simbol. “Tapi mengapa Arif harus menyembunyikan ini di tempat yang sangat terisolasi? Dan mengapa Adrian repot-repot mengosongkan brankas, tetapi melewatkan laci kecil ini?”“Mungkin dia tidak menyadarinya, atau mungkin dia pikir itu hanya omong kosong pribadi,” duga Laras. “Para pria Atmadja terkenal sombong, Aisyah. Mereka meremehkan apa pun yang tidak tampak besar dan mencolok.”Laras menunj

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Jejak Kertas Misterius

    Asal-usul kekayaan adalah dosa.Kalimat itu, tergores di balik foto usang, terasa seperti batu pemberat yang tiba-tiba dilemparkan ke dalam air yang tenang. Aisyah segera menelepon Laras, suaranya dipenuhi urgensi yang tak tertahankan.“Anda yakin tulisan ini bukan tulisan tangan Arif?” tanya Laras, memegang foto itu di bawah cahaya lampu neon di kantornya. Aisyah telah bergegas ke sana, membawa satu-satunya petunjuk fisik yang ia miliki.“Saya yakin,” jawab Aisyah, menyandarkan diri pada meja Laras. “Tulisan tangan Arif lebih rapi, lebih formal. Ini terasa tergesa-gesa, dan sangat tua.”Laras membalik foto itu lagi, menatap pria paruh baya yang dirangkul Arif muda. “Pria ini, dia tidak ada di album pernikahan Anda?”“Tidak pernah. Tidak ada yang pernah menyebutkan dia,” kata Aisyah. “Adrian juga tidak. Keluarga Atmadja selalu menjaga citra mereka sempurna. Saya yakin pria ini dan kalimat itu adalah kunci untuk memahami mengapa Arif mengubah wasiatnya.”Laras mengangguk. “Jika ‘asal-u

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   kampanye Hitam Dimulai

    ...meninggal,” Laras menyelesaikan kalimatnya, suaranya kini kembali normal, tetapi dampaknya pada Aisyah begitu besar.Aisyah duduk tegak, mencerna kata-kata itu. "Jadi, kamu berpikir wasiat ini hanyalah cara Arif untuk memicu konflik, agar rahasia mereka terungkap?"Laras mengangguk, menyandarkan sikunya di meja. “Aku tidak tahu apa yang Arif sembunyikan. Tapi lihat polanya. Dia tahu Adrian adalah anak yang emosional dan ambisius. Memberikan 51 persen saham padamu, seorang istri baru, adalah provokasi yang disengaja. Dia tahu Adrian akan menggugat. Dan gugatan itu membuka pintu bagi kita untuk mengajukan discovery—permintaan dokumen—yang jauh melampaui surat wasiat biasa.”“Dia menggunakan saya sebagai perisai, atau mungkin sebagai senjata,” gumam Aisyah, rasa sakit dan pencerahan bercampur aduk.“Mungkin keduanya. Tapi sekarang, kamu adalah pewaris, Aisyah. Dan kamu harus bertarung seperti pewaris Atmadja.” Laras menutup berkas. “Aku akan mengajukan mosi darurat kita besok pagi. Ta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status