Share

kampanye Hitam Dimulai

Author: Mustika Ainel
last update Last Updated: 2025-12-08 16:28:13

...meninggal,” Laras menyelesaikan kalimatnya, suaranya kini kembali normal, tetapi dampaknya pada Aisyah begitu besar.

Aisyah duduk tegak, mencerna kata-kata itu. "Jadi, kamu berpikir wasiat ini hanyalah cara Arif untuk memicu konflik, agar rahasia mereka terungkap?"

Laras mengangguk, menyandarkan sikunya di meja. “Aku tidak tahu apa yang Arif sembunyikan. Tapi lihat polanya. Dia tahu Adrian adalah anak yang emosional dan ambisius. Memberikan 51 persen saham padamu, seorang istri baru, adalah provokasi yang disengaja. Dia tahu Adrian akan menggugat. Dan gugatan itu membuka pintu bagi kita untuk mengajukan discovery—permintaan dokumen—yang jauh melampaui surat wasiat biasa.”

“Dia menggunakan saya sebagai perisai, atau mungkin sebagai senjata,” gumam Aisyah, rasa sakit dan pencerahan bercampur aduk.

“Mungkin keduanya. Tapi sekarang, kamu adalah pewaris, Aisyah. Dan kamu harus bertarung seperti pewaris Atmadja.” Laras menutup berkas. “Aku akan mengajukan mosi darurat kita besok pagi. Tapi bersiaplah. Adrian tidak akan menunggu.”

*

Laras benar. Adrian tidak menunggu.

Keesokan harinya, saat Aisyah sedang meninjau dokumen finansial dasar yang masih bisa ia akses, ponselnya meledak. Bukan dengan panggilan, melainkan dengan notifikasi dari semua platform berita dan media sosial.

Laras menelepon, suaranya terdengar tegang. “Kamu sudah lihat beritanya?”

“Belum. Ada apa?” tanya Aisyah, tangannya gemetar saat ia membuka tautan berita utama dari salah satu media konglomerat.

“Adrian baru saja meluncurkan kampanye hitam. Ini terstruktur, Aisyah. Dia menggunakan agensi PR kelas atas,” jelas Laras. “Mereka tidak hanya menyebutmu pemburu emas. Mereka menggali latar belakangmu, menyajikan foto-foto yang dimanipulasi, dan mengklaim kamu memiliki hubungan yang tidak pantas sebelum menikah dengan Arif.”

Aisyah menatap layar. Foto dirinya yang diambil di sebuah klub malam beberapa tahun lalu—sebelum ia bertemu Arif—telah diubah secara digital agar terlihat seperti ia sedang berinteraksi intim dengan seorang pria tak dikenal. Judul besar di bawah foto itu berbunyi: Dari Meja Bar ke Tahta Atmadja: Kisah Pemburu Harta Karun.

“Mereka... mereka memalsukan ini,” bisik Aisyah, rasa mual kembali menyerang. Ini bukan hanya pertarungan uang, ini adalah penghancuran karakter secara total.

“Tentu saja mereka memalsukannya. Tapi di mata publik, kebohongan yang diulang-ulang adalah kebenaran,” kata Laras. “Adrian menyewa beberapa komentator politik dan sosial untuk menyerangmu di T*****r. Mereka menuntut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyelidiki latar belakangmu, mengklaim kamu tidak layak mengelola perusahaan publik.”

Aisyah menutup mata, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Rasa sakit akibat penghinaan publik ini jauh lebih tajam daripada kebencian Keluarga Atmadja. Kebencian mereka bisa ia abaikan, tetapi penilaian massa terasa seperti asam yang membakar.

“Apa yang harus kita lakukan, Laras?” tanya Aisyah, suaranya serak. “Jika ini terus berlanjut, bahkan jika kita memenangkan wasiat, reputasi saya akan hancur.”

“Tepat. Itu yang mereka inginkan. Mereka ingin kamu lelah, Aisyah. Mereka ingin kamu berpikir: ‘Ini tidak sebanding dengan harganya’ dan akhirnya menyerahkan aset itu kepada Adrian demi kedamaian,” ujar Laras. “Tapi kita tidak akan mundur. Kita akan menggunakan ini untuk keuntungan kita.”

“Bagaimana?”

“Kita akan diam. Tidak ada respons media, tidak ada bantahan. Setiap bantahan darimu hanya akan memberi mereka validasi. Kita akan membiarkan Adrian terlihat putus asa dan kejam,” instruksi Laras. “Sementara itu, aku akan menyiapkan berkas untuk kasus pencemaran nama baik yang terpisah. Begitu asetmu dicabut pembekuannya, kita akan menyerang balik. Kita akan menuntutnya sampai dia bangkrut.”

Aisyah menarik napas dalam-dalam. Strategi Laras terasa dingin dan kejam, tetapi efektif.

“Kamu harus kuat, Aisyah. Mereka akan terus menekanmu. Adrian ingin kamu merasakan betapa kotornya kekuasaan ini,” Laras mengingatkan.

“Aku sudah merasakannya,” jawab Aisyah, kini membuka matanya, tatapannya dingin. “Aku tidak peduli mereka memanggilku apa. Aku hanya peduli pada kebenaran Arif. Dia memberi saya ini, dan itu pasti untuk suatu alasan yang penting. Aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injak ingatan suamiku.”

“Bagus. Itu semangat yang aku butuhkan,” kata Laras. “Aku akan menghubungimu nanti sore dengan pembaruan tentang mosi kita. Jangan buka media sosial, jangan baca komentar. Fokuslah pada apa yang penting.”

Aisyah memutuskan panggilan itu, lalu mematikan notifikasi di ponselnya.

Ia berjalan ke kamar utama, kamar yang ia bagi dengan Arif selama dua tahun. Kamar itu dipenuhi kemewahan yang kini terasa menjijikkan. Ia menyentuh bingkai foto pernikahannya di nakas.

Aku tidak hanya berjuang untuk uangmu, Arif. Aku berjuang untuk membersihkan namamu dari dosa keluarga ini.

Aisyah mulai membersihkan kekacauan di meja kerja Arif yang belum sempat ia sentuh. Ia menyingkirkan tumpukan buku, mencari petunjuk yang mungkin terlewat. Di sudut laci, ia menemukan laci tersembunyi yang terkunci.

Ia mencoba kunci-kunci yang ia temukan di dompet Arif, dan kunci perak kecil berhasil. Laci itu terbuka.

Isinya: hanya sebuah amplop cokelat tua yang tebal, terasa usang dan berdebu, seolah disimpan di sana selama bertahun-tahun. Itu bukan dokumen wasiat atau kontrak. Itu tampak seperti sesuatu yang pribadi.

Aisyah mengeluarkan amplop itu. Ia merobek segelnya yang telah menguning karena usia.

Di dalamnya, ada sebuah foto. Foto itu buram, dicetak di atas kertas foto tipis yang sudah retak di sudut-sudutnya. Foto itu diambil di luar ruangan, di depan sebuah bangunan yang tampak kumuh.

Di foto itu, Arif terlihat jauh lebih muda—mungkin dua puluh tahunan—berdiri santai sambil merangkul bahu seorang pria paruh baya yang tidak ia kenal. Pria itu memiliki wajah yang keras dan mata yang tajam, sangat kontras dengan senyum Arif yang riang.

Siapa pria ini? Dan mengapa Arif menyembunyikan foto ini?

Aisyah membalik foto itu, berharap ada tanggal atau nama.

Dengan tulisan tangan yang tergesa-gesa—bukan tulisan tangan Arif, melainkan tulisan tangan yang sama sekali berbeda—tertulis satu kalimat singkat yang dingin, seolah sebuah vonis.

Aisyah membaca tulisan itu, dan seluruh darahnya seolah ditarik ke kakinya. Ia merasakan jurang gelap yang Laras peringatkan.

Asal-usul kekayaan adalah dosa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   ketehangan di kantor lama

    Aisyah mencengkeram lengan Laras erat-erat, hampir mencekik pergelangan tangan pengacaranya itu. Matanya melebar, bukan karena ketakutan, tetapi karena kaget. “Di seberang jalan?”Laras, meskipun lebih tinggi dari Aisyah, mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha menutupi Aisyah dari pandangan siapa pun yang mungkin kebetulan melihat ke dalam mobil. Ia segera menutup tabletnya.“Sistem pemantauan keamanan yang terpisah. Adrian sengaja memilih tempat yang tidak terhubung ke jaringan utama Atmadja Group,” bisik Laras, napasnya sedikit tersengal-sengal. “Harris benar. Tapi... kita tidak menduga kalau letaknya tepat di depan hidung kita. Apartemen Anda berada di lantai sembilan. Jarak pandang lurus. Mereka mungkin melihat pergerakan Anda, Aisyah.”Laras menggeleng. “Ini buruk sekali. Serangan semalam—pencurian data di apartemen Anda, semuanya ada di tangan mereka. Kita hampir memberitahu Harris kalau kita tahu segalanya. Untung dia terlalu bodoh untuk menghubungkan petunjuk itu.”“Lalu ke

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Terjatuhnya Arif

    "Kita akan bertemu dengannya. Kita akan menawarkan dia imunitas penuh jika dia mau membuka mulutnya, dan aku yakin rasa marah karena dikhianati oleh Adrian lebih besar daripada rasa takutnya kepada keluarga Atmadja saat ini," pungkas Aisyah, ekspresinya tajam.Laras menyandarkan punggungnya pada jok mobil. Malam itu, di jalanan ibu kota yang basah, ketenangan Laras terasa kontras dengan gejolak yang Aisyah alami. Namun, ada kilatan puas di mata pengacara itu. Kegagalan Adrian di pengadilan adalah kesenangan kecil yang mahal.“Kau benar,” kata Laras. “Harris sudah lama loyal pada keluarga itu, terutama Ayah Atmadja. Dia percaya diri dengan jaminan imbalan dan perlindungan yang Adrian berikan. Ketika Adrian mengorbankan dia untuk menutupi jejaknya sendiri, harga dirinya pasti hancur.”“Jadi, kita akan menawarinya pintu keluar,” ujar Aisyah. “Adrian sudah menjadikan Harris kambing hitam, dia tidak punya apa-apa lagi yang harus dipertaruhkan selain hidupnya.”Mereka mengatur pertemuan rah

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Pria Misterius di Apartemen Aisyah

    Pria pertama melangkah maju, tangannya terentang—dan saat itulah alarm kebakaran apartemen Aisyah berbunyi nyaring, memekakkan telinga.Aisyah telah menekan tombol darurat yang tersembunyi di bawah wastafel saat ia merobek kertas.Dua pria itu mengerang frustrasi, memegangi telinga mereka. Suara itu terlalu keras di ruangan tertutup.“Sialan!” teriak salah satu pria itu.Aisyah memanfaatkan sepersekian detik kebingungan mereka. Ia mendorong tubuhnya ke samping, menabrak pria kedua, dan berlari keluar kamar mandi, melompati bingkai pintu yang roboh.Ia tidak berhenti berlari. Ia tahu apartemen itu tidak aman.Ia berhasil mencapai pintu belakang yang mengarah ke tangga darurat. Di belakangnya, ia mendengar teriakan marah dan langkah kaki berat.“Tangkap dia! Jangan sampai lolos!”Aisyah menuruni tangga darurat dengan kecepatan panik. Ia tidak tahu siapa mereka, tetapi ancaman fisik itu lebih nyata daripada gugatan hukum mana pun. Ia berhasil keluar dari gedung, berlari ke jalanan malam

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Dekripsi Malam

    Aisyah merasakan hawa dingin. Ini bukan hanya tentang warisan. Ini tentang…...sebuah konspirasi yang tersembunyi jauh di dalam inti Atmadja Group.Aisyah dan Laras meninggalkan kompleks Kediaman Atmadja dengan tergesa-gesa. Buku catatan bersampul kulit itu kini terasa panas di tangan Aisyah, seolah memancarkan energi rahasia.“‘Proyek Khatulistiwa’,” gumam Laras, saat mereka sudah duduk di mobil Aisyah yang melaju kencang menjauhi gerbang. “Nama yang megah untuk apa pun yang disembunyikan Arif.”“Itu hanya sketsa kecil di sudut laci,” jawab Aisyah, membolak-balik buku catatan yang penuh dengan simbol. “Tapi mengapa Arif harus menyembunyikan ini di tempat yang sangat terisolasi? Dan mengapa Adrian repot-repot mengosongkan brankas, tetapi melewatkan laci kecil ini?”“Mungkin dia tidak menyadarinya, atau mungkin dia pikir itu hanya omong kosong pribadi,” duga Laras. “Para pria Atmadja terkenal sombong, Aisyah. Mereka meremehkan apa pun yang tidak tampak besar dan mencolok.”Laras menunj

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Jejak Kertas Misterius

    Asal-usul kekayaan adalah dosa.Kalimat itu, tergores di balik foto usang, terasa seperti batu pemberat yang tiba-tiba dilemparkan ke dalam air yang tenang. Aisyah segera menelepon Laras, suaranya dipenuhi urgensi yang tak tertahankan.“Anda yakin tulisan ini bukan tulisan tangan Arif?” tanya Laras, memegang foto itu di bawah cahaya lampu neon di kantornya. Aisyah telah bergegas ke sana, membawa satu-satunya petunjuk fisik yang ia miliki.“Saya yakin,” jawab Aisyah, menyandarkan diri pada meja Laras. “Tulisan tangan Arif lebih rapi, lebih formal. Ini terasa tergesa-gesa, dan sangat tua.”Laras membalik foto itu lagi, menatap pria paruh baya yang dirangkul Arif muda. “Pria ini, dia tidak ada di album pernikahan Anda?”“Tidak pernah. Tidak ada yang pernah menyebutkan dia,” kata Aisyah. “Adrian juga tidak. Keluarga Atmadja selalu menjaga citra mereka sempurna. Saya yakin pria ini dan kalimat itu adalah kunci untuk memahami mengapa Arif mengubah wasiatnya.”Laras mengangguk. “Jika ‘asal-u

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   kampanye Hitam Dimulai

    ...meninggal,” Laras menyelesaikan kalimatnya, suaranya kini kembali normal, tetapi dampaknya pada Aisyah begitu besar.Aisyah duduk tegak, mencerna kata-kata itu. "Jadi, kamu berpikir wasiat ini hanyalah cara Arif untuk memicu konflik, agar rahasia mereka terungkap?"Laras mengangguk, menyandarkan sikunya di meja. “Aku tidak tahu apa yang Arif sembunyikan. Tapi lihat polanya. Dia tahu Adrian adalah anak yang emosional dan ambisius. Memberikan 51 persen saham padamu, seorang istri baru, adalah provokasi yang disengaja. Dia tahu Adrian akan menggugat. Dan gugatan itu membuka pintu bagi kita untuk mengajukan discovery—permintaan dokumen—yang jauh melampaui surat wasiat biasa.”“Dia menggunakan saya sebagai perisai, atau mungkin sebagai senjata,” gumam Aisyah, rasa sakit dan pencerahan bercampur aduk.“Mungkin keduanya. Tapi sekarang, kamu adalah pewaris, Aisyah. Dan kamu harus bertarung seperti pewaris Atmadja.” Laras menutup berkas. “Aku akan mengajukan mosi darurat kita besok pagi. Ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status