Setelah pertemuan selesai dan kliennya berpamitan, Nio tetap duduk sebentar di kursi, membiarkan pikirannya berkelana. Ia membayangkan senyumnya Ruby, tatapan matanya saat mencoba gaun pengantin di butik tadi siang. Ia ingin memberi Ruby sesuatu yang lebih dari sekadar perayaan. Ia ingin membuat momen yang hanya milik mereka, bukan sekadar formalitas hukum atau pesta besar yang penuh hiruk-pikuk.
“Di mana, ya?” batinnya bertanya. “Pantai? Taman yang penuh bunga? Atau tempat yang dekat dengan hati Ruby?”***Nio kembali ke kantornya setelah pertemuan dengan klien. Sesampainya di ruangannya, ia melepas jas dan duduk di kursi kulit yang empuk, menatap sejenak keluar jendela. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menerobos kaca gedung tinggi itu dengan lembut. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah lima sore, masih ada waktu sebelum jam kerja benar-benar usai.Nio meraih pena dan menunduk pada kalender meja yang tergeletak rapi di sudut meja keNio bisa membayangkan betapa bahagianya Ruby di sini, di tempat terbuka dengan suasana hangat dan akrab.Destinasi ketiga adalah sebuah pantai pribadi yang cukup eksklusif. Jalan menuju ke sana agak jauh, namun ketika mobil berhenti dan Nio turun, semua lelah perjalanan terbayar lunas. Hamparan pasir putih membentang luas, ombak bergulung perlahan, dan suara laut menjadi musik alami yang menenangkan.Clara tersenyum, seolah tahu reaksi Nio. “Ini lokasi favorit untuk beach wedding. Bisa dilakukan sore menjelang senja, ketika matahari terbenam. Bayangkan, pelaminan kecil dengan latar belakang laut, kursi tamu berderet rapi di pasir, dan janji suci diucapkan dengan suara ombak sebagai saksi.”Nio berjalan pelan ke arah bibir pantai, membiarkan pasir menyentuh sepatunya. Ia memandang jauh ke cakrawala, membayangkan Ruby berdiri di sampingnya, gaunnya tertiup angin laut, cahaya keemasan senja memeluk wajahnya.“Indah sekali,” ucapnya lirih. Ia tersenyu
Setelah pertemuan selesai dan kliennya berpamitan, Nio tetap duduk sebentar di kursi, membiarkan pikirannya berkelana. Ia membayangkan senyumnya Ruby, tatapan matanya saat mencoba gaun pengantin di butik tadi siang. Ia ingin memberi Ruby sesuatu yang lebih dari sekadar perayaan. Ia ingin membuat momen yang hanya milik mereka, bukan sekadar formalitas hukum atau pesta besar yang penuh hiruk-pikuk.“Di mana, ya?” batinnya bertanya. “Pantai? Taman yang penuh bunga? Atau tempat yang dekat dengan hati Ruby?”***Nio kembali ke kantornya setelah pertemuan dengan klien. Sesampainya di ruangannya, ia melepas jas dan duduk di kursi kulit yang empuk, menatap sejenak keluar jendela. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menerobos kaca gedung tinggi itu dengan lembut. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah lima sore, masih ada waktu sebelum jam kerja benar-benar usai.Nio meraih pena dan menunduk pada kalender meja yang tergeletak rapi di sudut meja ke
Ruby melangkah kembali ke dalam gedung kantornya dengan langkah ringan. Setelah siang yang penuh kejutan di butik, ia masih merasakan sisa hangat kebahagiaan yang begitu nyata. Jemari tangannya sesekali menyentuh pipi sendiri, seakan tak percaya bahwa ia benar-benar baru saja mencoba gaun pengantin, gaun yang akan ia kenakan dalam sebuah hari yang kembali menjadi miliknya dan Nio.Setelah menekan tombol lift dan naik ke lantai tempat ruangannya berada, Ruby menghela napas panjang. Saat pintu terbuka, ia segera berbaur dengan kesibukan kantor yang kembali menyambutnya. Beberapa rekan kerja menyapa singkat, lalu berlalu dengan tumpukan berkas di tangan. Ruby masuk ke ruangannya, menutup pintu perlahan, dan kembali duduk di depan meja. Dokumen yang tadi ia tinggalkan masih menunggu. Senyum kecil masih menempel di wajahnya, meski kini ia berusaha memfokuskan diri pada pekerjaan.Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Nio muncul di layar, membuat jantungnya berdebar seketika. Ruby segera menga
“Tentu saja,” jawab Nio sambil tersenyum nakal, seolah menikmati kegugupan Ruby. “Aku akan menunggu, dan setiap gaun yang kau kenakan … aku akan jujur padamu.”Ruby mendengus kesal, meski wajahnya masih merah. “Kau selalu saja membuatku kalah.”Manajer butik lalu memanggil seorang asisten yang ramah untuk membantu Ruby ke ruang ganti. Ruby masuk dengan langkah pelan, sementara Nio duduk di sofa empuk butik, menunggu dengan sabar, meski jelas ada kilatan antusias di matanya.Gaun pertama yang dikenakan Ruby adalah model klasik dengan ekor panjang dan renda penuh. Saat ia keluar dari balik tirai, Nio langsung terdiam. Matanya berbinar, lalu berkata, “Kau terlihat seperti putri.”Ruby menahan senyum, pura-pura mengernyit. “Terlalu berlebihan, Nio. Aku bahkan kesulitan berjalan dengan ekornya.”Gaun kedua lebih modern, dengan potongan ramping dan detail manik-manik berkilau. Ruby merasa agak aneh memakainya, tapi begitu ia berdiri di depan Ni
Pelayan mencatat pesanan dengan sopan, kemudian meninggalkan mereka berdua dengan segelas air putih yang sudah tersedia. Suasana hening sejenak, hanya diisi suara lembut musik klasik yang mengalun di latar belakang.Ruby menatap Nio sambil menyandarkan dagunya pada tangan. “Kau benar-benar serius soal perubahan namamu, ya?”Nio tersenyum tipis. “Tentu. Aku ingin semua orang mengenalku sebagai Nio Alenka. Nama itu bukan hanya milikku, tapi juga simbol dari kehidupan baru bersamamu.”Ruby tersentuh. Ia menunduk sejenak, lalu berbisik, “Aku tidak menyangka kita akan sampai sejauh ini. Ada masa ketika aku merasa segalanya akan runtuh… tapi kini aku duduk di sini bersamamu.”Nio mengulurkan tangan ke atas meja, meraih jemari Ruby dengan lembut. “Karena kita tidak pernah berhenti berusaha. Kau yang membuatku bertahan, Ruby.”Mata mereka saling bertemu, begitu dalam seakan waktu berhenti. Ruby hanya bisa tersenyum kecil, meski pipinya sedikit me
Jam makan siang akhirnya tiba. Suasana kantor mulai lengang, sebagian karyawan beranjak keluar membawa tas kecil atau sekadar dompet di tangan. Derap sepatu dan suara pintu berderit memenuhi koridor.Nio, yang sejak pagi sibuk dengan dokumen-dokumen barunya, berdiri dari kursi. Matanya melirik jam dinding. “Sudah waktunya,” gumamnya kecil. Ia merapikan jas, lalu melangkah keluar dari ruangannya.Langkahnya membawanya menuju lantai tempat Ruby bekerja. Sepanjang perjalanan, ia sempat menerima sapaan sopan dari beberapa staf.Setibanya di depan pintu berlapis kayu dengan nama Ruby terukir elegan, Nio mengetuk pelan. Tiga ketukan terdengar jelas di dalam ruangan.“Masuk,” terdengar suara Ruby dari balik pintu.Nio mendorong pintu perlahan. Pandangan pertamanya langsung jatuh pada Ruby yang tengah duduk rapi di balik meja kerjanya. Rambutnya terurai lembut, cahaya lampu ruangan jatuh ke wajahnya yang serius menatap dokumen. Pulpen masih berada di tangannya, sementara layar laptop menampil