Share

Rahasia Si Gadis Cupu
Rahasia Si Gadis Cupu
Penulis: Ayakshara_senja

Kisah awalku menuju kebebasan

Deary KN,

    Duniaku penuh akan kegelapan di dalamnya, yang keras dan tak bersinar. Setiap detik, menit, dan waktunya memiliki kisah yang rumit. Aku kira ini akan berakhir dengan seiring berjalannya waktu berlalu. Tak disangka semua hanya omong kosong, yang tergantikan oleh kisah baru. Hidupku tidak ada kebahagiaan, hanya sebatas ruang gelap di dalamnya. Semua itu terjadi semenjak wanita itu datang, dia menjadi belenggu di dalam keluargaku, membuat duniaku penuh kelam.

    Mulai besok, langkah awalku terbebas dari kegelapan, menjadi seperti burung di langit. Dunia yang damai dan nyaman, meskipun ada sedikit kesedihan di dalamnya. Tidak seperti burung dalam sangkar, aku ingin terbebas, dan menghirup udara kehangatan. Besok, selalu hari yang aku tunggu, tidak ada rasa sakit yang berlebihan.

      Selamat malam perindu,

      Kellansa Ansaria Amersoln.

Langit malam dipenuhi warna yang pekat, ditambah udara dingin nan sejuk merasuki kulit tipis rongga hidungnya yang agak mancung sedikit. Bibir merah merona bak buah ceri, agak sedikit basah yang membuat kecantikannya terlihat alami. Serta matanya berwarna cokelat mahoni, sehingga kecantikannya menambah dua kali lipat.

Gadis itu berdiri di balkon kamarnya, sembari meratapi ruang alam semesta. Hanya sebatas secarik tulisan yang menemaninya, di dalamnya terukir penuh makna dan perasaannya. Raut wajahnya yang dingin seketika menjadi sedih. "Kabar baik untukmu, bulan. Mulai besok, hari indah akan datang.” Sedangkan tanpa ia sadar air mulai menetes di kantung matanya. "Kepedihan akan segera berlalu," gumamnya.

Bunyi pintu kamarnya terbuka, ia segera menyeka bekas air matanya. Menampakkan wanita yang jauh lebih tua darinya, dia menyunggingkan senyum padanya dengan rasa hormat. Dia berkata, "Nona! Tuan besar memanggil." Kedua tangannya berposisi di bawah tali pusar, sementara gadis tersebut tidak mengubah posisinya yang membelakangi wanita itu.

"Baiklah," jawab gadis itu.

Bik Inem, dia seoarang asisten rumah tangga paling senior diantara maid yang lain. Wanita yang sudah berkepala empat itu, lantas pergi meninggalkan ruangannya dengan sopan. "Saya pergi ke dapur dulu, Nona," izinya.

Ia menarik napasnya sebelum menemuinya, merubah posisinya menghadap pintu balkon dengan tubuh tegap, dan penuh percaya diri. "Kamu harus kuat, Kella!" semangatnya untuk diri sendiri, kemudian pergi meninggalkan balkon dan kamarnya.

•••

Gaun putih polos melewati anak tangga, sikapnya yang anggun, dan elegan terlihat di dalamnya. Matanya yang memancarkan aura kepiluan tertutup oleh tatapannya yang dingin tidak ada senyuman yang tersungging di dalamnya, hanya sebatas bibir yang tertutup rapat. 

Matanya menoleh pada Pria berumur berkepala tiga yang matanya tampak tajam. Pria itu membaca koran sembari menghisap puntung rokoknya, kemudian gadis itu mendekatinya. Pria yang memiliki mata hazel itu menyudahinya, "Duduk sini!" perintahnya dengan dingin.

Gadis itu duduk di dekatnya, ada sebuah rasa canggung dan takut di hatinya.

Pria berwajah dingin itu bertanya, "Mulai besok, kamu akan meninggalkan rumah ini dan tinggal di apartemen, kan? " Dia meletakkan puntung rokoknya di asbak lalu mengangguk.

“Benar, Papah," sahutnya dengan tatapan kosong.

Pria dengan wajah dingin memberikan cek kosong kepadanya. Gadis itu tidak mengerti apa maksudnya, mata mahoninya tercetak jelas penuh kebingungan. "Ini cek kosong, terserah kamu ingin menulis berapa, asalkan kamu segera membereskan semua barangmu sekarang!" titahnya dengan suara berat miliknya. 

Kella meneguk salivanya dengan berat, ia tidak menyangka Papah yang selalu disayanginya seperti itu. Kella tersenyum kecut. "Apakah Papah sungguh menginginkannya?" tanyanya. 

Pria tersebut tidak perduli. 

"Wah, sungguh hebat sekali! Ternyata dibalik persetujuanmu ada udang dibalik batu." Mata Kella berkaca-kaca. "Kella kira, Papah akan sedih bila anak kandungnya sendiri meninggalkan rumahnya," ujarnya pelan.

Pria tersebut sama sekali tidak ada rasa kasihan pada anaknya, dia asik kembali membaca koran.

Kella memilih berdiri karena ucapannya terabaikan.

Melihat Kella yang hendak pergi, mata pria itu menatap tajam. "Mau kemana kamu!" gertaknya sembari melemparkan koran.

Mendengar suara itu, seketika tubuh Kella menegang melihatnya marah.

“Duduk kembali!" perintahnya dengan tegas. 

Kella menurutinya. "Sudah selesaikan berbicaranya? Sekarang giliran Saya." 

Pria tersebut kembali mengambil puntung rokoknya, lalu dihisap benda itu dan menyemburkan asap rokoknya. "Kamu harus menerima uang ini, sebagai tanda patuh kepada orang tua! Kamu juga akan di antar oleh Pak Hendri," ucapnya tanpa rasa bersalah. 

Kella tersenyum miring. "Wow! Papahku hebat sekali! Alasannya yang sungguh fleksibel."

Anons Amersoln, Papah Kella, dia selalu begini. Tidak pernah perduli mau itu perasaannya ataupun yang diinginkan, dirinya hanya patuh pada Istri barunya. Sementara pada putri kandungnya sendiri bersikap acuh, dan bahkan jauh lebih dingin.

Kella berdiri lagi. 

“Mau kemana kamu! Aku menyuruhmu untuk duduk!" Anons menggertaknya dengan tegas membuat Kella segera menoleh pada sang empu. 

“Aku akan pergi meninggalkan ruangan yang memuakkan ini," timpalnya dengan dingin, kemudian meninggalkan papanya dengan wajahnya yang penuh akan kekesalan.

•••

Kella berjalan dengan tatapan yang kosong, ia seperti cangkang tak berisi. Kella merasakan pedih yang mendalam di hatinya, ia pikir persetujuannya demi kebaikannya sendiri. Nyatanya? Mata Kella mulai berlinang air, ia ingin menangis dengan keras. Rasanya sungguh mengesalkan, ia juga ingin berteriak pada dunia. Kenapa memiliki Papah yang seperti itu? Kenapa Papahnya berubah? 

Kali ini entah kenapa hatinya sangat pedih, ia masih berjalan di lorong lantai atas. Kella selalu berharap Papahnya akan memberikan pelukan sedih dan hangat, ketika akan menjadi Perempuan mandiri. Ia akan berkemas bersamanya, dan menaminya ke apartemennya. 

Sungguh, apakah ini akhir dari semuanya? Dia akan terbebas, tetapi ia akan kesepian? Kella menyeka air matanya, bukankah ini yang kau inginkan? Tapi, kenapa sesakit ini? Kella yang dulu ceria dan lugu, dan kini berubah drastis. Sifatnya yang ceria menjadi cuek, dingin, dan gampang merasakan kesedihan. 

Kella berjalan tanpa memerhatikan panggilan dari seseorang. Silvins Tiara Amersoln ia merupakan anak dari Amelia Deand dan suami pertamanya. Sementara Amel Istri baru dari Papahnya, yang termasuk Ibu dan saudara tirinya.

Silvi mendapatkan marga Amersoln setelah pernikahan Ibunya, dan sejak saat itu juga kebahagiaan Kella berubah. Kata adil sepertinya sudah menghilang di antara mereka. Perlakuan manis hanya berlaku pada Ibu dan saudara tirinya.

Sekarang Kella sampai di rumah, langkahnya bertemu dengan Silvia yang tampak marahi melihatnya. Kella berusaha tak memperdulikan Silvia dengan tak menoleh sedikitpun.

Silvi mendengus dengan kesal, tatapannya penuh akan kebencian. Silvia tidak kuat menahan kemarahannya lalu berteriak, "Dasar Kakak jalang!" Nadanya berisi hinaan. 

Mendengar hinaan dari mulut adik tirinya, Kella menarik napas panjang berusaha untuk sabar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh. "Sekali lagi kamu bilang jalang. Mulutmu akan aku sobek!" ancamnya dengan suara dinginnya.

Silvia tersenyum remeh, dia sama sekali tidak takut dengan ancaman Kakak tirinya. "Saya tidak takut! memang benarkan kamu itu jalang! Hahaha jalang kecil seperti Ibunya dulu!" tawanya dengan nada mencemooh. 

Kella mengepalkan tangannya, aura kemarahannya datang. Kella langsung mencengkram kerah gaunnya, “Mulutmu tidak bisa dijaga, yah? Sekali lagi kamu sebut saya sebagai jalang bukan hanya kerah yang akan dicengkeram, tapi lehermu jadi sasarannya. Kamu ingat ini!" ancamnya dengan mata melotot tajam.

Kella melepaskan cengkraman di gaunnya lalu mengibas tangannya seperti baru terkena debu, lalu kembali menuju ke kamarnya. Silvia menatap punggung Kella dengan aura penuh kebencian. "Awas saja kamu!" gerutunya dengan tangan kanannya yang mengepal erat. Rasanya kebencian yang Silvia rasakan semakin memuncak.

•••

Sampai di depan pintu kamar Kella tersadar, ia langsung merogohkan sakunya mencari sesuatu, setelah itu membuka pintu dengan kunci. Di dalam kamar, Kella berdiri di depan pintu, tubuhnya benar-benar bergetar hebat. Meremas dadanya yang terasa begitu sakit. Air mata yang sejak tadi ditahan sudah mengalir ke pipi dengan menderas begitu. Dunianya seketika terasa runtuh. Tak apa menangis seperti anak kecil, asalkan tangis mampu melepaskan beban. Selama ini ditahan oleh kata semangatnya.

“Kau harus kuat Kella! Harus!” Kella menenangkan dirinya untuk berusaha tetap kuat dan tegar, tapi kenyataannya tidak sesuai realita. Ia tidak sekuat perkataannya, semua hanya di dalam mulutnya yang tidak ada tindakan sedikit pun.

Kella tidak bisa menahan tangisnya, tubuhnya mulai merosot hingga jatuh ke lantai, duduk tak berdaya sambil menangis sekeras mungkin. Hatinya terenyuh sakit, dadanya sesak mengingat cemohan mereka yang menyebutnya jalang. Padahal ia bukan jalang, yang seperti itu adalah mereka berdua! Nasib naas masuk ke dalam keluarganya dan menjadi boom penghancur.

Kella menggeleng tegas, ia tidak ingin menjadi lemah. Kella harus kuat sesuai mottonya, “Kau harus kuat, Kella!" semangatnya untuk diri sendiri. Kella menyeka bekas air matanya, kemudian kakinya melangkah ke kasur empuknya, dan tidak lupa melepaskan kacamata yang selalu ia pakai. Dia harus memakainya setiap hari, atau sesuatu yang tidak diinginkan muncul di depannya, dan akan ia lepaskan setiap ingin tidur.

•••

Bulu matanya yang lentik mengerjap, mimpinya yang indah terusik karena kicauan burung. Mata damainya terbuka, ada sedikit rasa kantuknya. Kella meraba nakasnya mencari jam bekernya, ia lihat dengan matanya yang memelotot.

Jam menunjukkan pukul 06.45 dan dia belum menyiapkan apapun. Kella segera bergegas membereskan semuanya, dari pakaian, bukunya, serta barang kesukaannya. Setelahnya, Kella meraih handuknya yang berada di gantungan baju, dan pergi ke kamar mandi. 

Beberapa menit kemudian, selepas mandi ia memakai gaun berwarna merah muda dengan sablonan bunga di dalamnya. Serta rambutnya yang ia ikat satu ke belakang, dan tidak lupa untuk memakai kacamatanya. Wajahnya yang cantik seperti pahatan dari karya Seni Profesional ia sembunyikan, itu semua untuk misinya. 

Kella menatap pada sebuah cermin sebesar dirinya, "Kau cantik Kella, sama seperti Bunda. Kau pasti bisa melewatinya, harus!" gumamnya penuh percaya diri.

Kemudian ekspresinya berubah sedih. "Tapi sebentar lagi kau harus pergi." Ia sedih bukan karena mereka, melainkan rumah ini penuh kenangan Bundanya. Sempat meneteskan air matanya ia segera menyekanya, Kella menggeleng tegas, "Nggak! Kau harus kuat!” Kella mengepalkan tangannya, menguatkan dirinya, setelah itu memakai kacamata yang selalu ia pakai.

Setelah semuanya selesai, ia keluar dari kamarnya sembari membawa koper, tas berisi biola, dan tas ranselnya. Perasaannya bercampur aduk, ia senang akan pergi dari jeratan ketidakadilannya dan sedih mendengar papahnya seakan seperti mengusirnya. Padahal, ia sendiri ingin menjadi wanita mandiri, tetapi siapa yang menduga dengan perkataan papahnya kemarin.

Pintu kamarnya ia kunci dengan sengaja, agar tidak ada yang memasuki kamarnya. Kella berjalan menuruni anak tangga, langkahnya berhenti dan menoleh kepada tiga orang yang asik bercengkrama. Kella tersenyum kecut, "Kella pamit." Ia kembali berjalan melewati mereka yang sama sekali tidak ada tanggapan untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status