Deary KN,
Duniaku penuh akan kegelapan di dalamnya, yang keras dan tak bersinar. Setiap detik, menit, dan waktunya memiliki kisah yang rumit. Aku kira ini akan berakhir dengan seiring berjalannya waktu berlalu. Tak disangka semua hanya omong kosong, yang tergantikan oleh kisah baru. Hidupku tidak ada kebahagiaan, hanya sebatas ruang gelap di dalamnya. Semua itu terjadi semenjak wanita itu datang, dia menjadi belenggu di dalam keluargaku, membuat duniaku penuh kelam.
Mulai besok, langkah awalku terbebas dari kegelapan, menjadi seperti burung di langit. Dunia yang damai dan nyaman, meskipun ada sedikit kesedihan di dalamnya. Tidak seperti burung dalam sangkar, aku ingin terbebas, dan menghirup udara kehangatan. Besok, selalu hari yang aku tunggu, tidak ada rasa sakit yang berlebihan.
Selamat malam perindu,
Kellansa Ansaria Amersoln.
Langit malam dipenuhi warna yang pekat, ditambah udara dingin nan sejuk merasuki kulit tipis rongga hidungnya yang agak mancung sedikit. Bibir merah merona bak buah ceri, agak sedikit basah yang membuat kecantikannya terlihat alami. Serta matanya berwarna cokelat mahoni, sehingga kecantikannya menambah dua kali lipat.
Gadis itu berdiri di balkon kamarnya, sembari meratapi ruang alam semesta. Hanya sebatas secarik tulisan yang menemaninya, di dalamnya terukir penuh makna dan perasaannya. Raut wajahnya yang dingin seketika menjadi sedih. "Kabar baik untukmu, bulan. Mulai besok, hari indah akan datang.” Sedangkan tanpa ia sadar air mulai menetes di kantung matanya. "Kepedihan akan segera berlalu," gumamnya.
Bunyi pintu kamarnya terbuka, ia segera menyeka bekas air matanya. Menampakkan wanita yang jauh lebih tua darinya, dia menyunggingkan senyum padanya dengan rasa hormat. Dia berkata, "Nona! Tuan besar memanggil." Kedua tangannya berposisi di bawah tali pusar, sementara gadis tersebut tidak mengubah posisinya yang membelakangi wanita itu.
"Baiklah," jawab gadis itu.
Bik Inem, dia seoarang asisten rumah tangga paling senior diantara maid yang lain. Wanita yang sudah berkepala empat itu, lantas pergi meninggalkan ruangannya dengan sopan. "Saya pergi ke dapur dulu, Nona," izinya.
Ia menarik napasnya sebelum menemuinya, merubah posisinya menghadap pintu balkon dengan tubuh tegap, dan penuh percaya diri. "Kamu harus kuat, Kella!" semangatnya untuk diri sendiri, kemudian pergi meninggalkan balkon dan kamarnya.
•••
Gaun putih polos melewati anak tangga, sikapnya yang anggun, dan elegan terlihat di dalamnya. Matanya yang memancarkan aura kepiluan tertutup oleh tatapannya yang dingin tidak ada senyuman yang tersungging di dalamnya, hanya sebatas bibir yang tertutup rapat.
Matanya menoleh pada Pria berumur berkepala tiga yang matanya tampak tajam. Pria itu membaca koran sembari menghisap puntung rokoknya, kemudian gadis itu mendekatinya. Pria yang memiliki mata hazel itu menyudahinya, "Duduk sini!" perintahnya dengan dingin.
Gadis itu duduk di dekatnya, ada sebuah rasa canggung dan takut di hatinya.
Pria berwajah dingin itu bertanya, "Mulai besok, kamu akan meninggalkan rumah ini dan tinggal di apartemen, kan? " Dia meletakkan puntung rokoknya di asbak lalu mengangguk.
“Benar, Papah," sahutnya dengan tatapan kosong.
Pria dengan wajah dingin memberikan cek kosong kepadanya. Gadis itu tidak mengerti apa maksudnya, mata mahoninya tercetak jelas penuh kebingungan. "Ini cek kosong, terserah kamu ingin menulis berapa, asalkan kamu segera membereskan semua barangmu sekarang!" titahnya dengan suara berat miliknya.
Kella meneguk salivanya dengan berat, ia tidak menyangka Papah yang selalu disayanginya seperti itu. Kella tersenyum kecut. "Apakah Papah sungguh menginginkannya?" tanyanya.
Pria tersebut tidak perduli.
"Wah, sungguh hebat sekali! Ternyata dibalik persetujuanmu ada udang dibalik batu." Mata Kella berkaca-kaca. "Kella kira, Papah akan sedih bila anak kandungnya sendiri meninggalkan rumahnya," ujarnya pelan.
Pria tersebut sama sekali tidak ada rasa kasihan pada anaknya, dia asik kembali membaca koran.
Kella memilih berdiri karena ucapannya terabaikan.
Melihat Kella yang hendak pergi, mata pria itu menatap tajam. "Mau kemana kamu!" gertaknya sembari melemparkan koran.
Mendengar suara itu, seketika tubuh Kella menegang melihatnya marah.
“Duduk kembali!" perintahnya dengan tegas.
Kella menurutinya. "Sudah selesaikan berbicaranya? Sekarang giliran Saya."
Pria tersebut kembali mengambil puntung rokoknya, lalu dihisap benda itu dan menyemburkan asap rokoknya. "Kamu harus menerima uang ini, sebagai tanda patuh kepada orang tua! Kamu juga akan di antar oleh Pak Hendri," ucapnya tanpa rasa bersalah.
Kella tersenyum miring. "Wow! Papahku hebat sekali! Alasannya yang sungguh fleksibel."
Anons Amersoln, Papah Kella, dia selalu begini. Tidak pernah perduli mau itu perasaannya ataupun yang diinginkan, dirinya hanya patuh pada Istri barunya. Sementara pada putri kandungnya sendiri bersikap acuh, dan bahkan jauh lebih dingin.
Kella berdiri lagi.
“Mau kemana kamu! Aku menyuruhmu untuk duduk!" Anons menggertaknya dengan tegas membuat Kella segera menoleh pada sang empu.
“Aku akan pergi meninggalkan ruangan yang memuakkan ini," timpalnya dengan dingin, kemudian meninggalkan papanya dengan wajahnya yang penuh akan kekesalan.
•••
Kella berjalan dengan tatapan yang kosong, ia seperti cangkang tak berisi. Kella merasakan pedih yang mendalam di hatinya, ia pikir persetujuannya demi kebaikannya sendiri. Nyatanya? Mata Kella mulai berlinang air, ia ingin menangis dengan keras. Rasanya sungguh mengesalkan, ia juga ingin berteriak pada dunia. Kenapa memiliki Papah yang seperti itu? Kenapa Papahnya berubah?
Kali ini entah kenapa hatinya sangat pedih, ia masih berjalan di lorong lantai atas. Kella selalu berharap Papahnya akan memberikan pelukan sedih dan hangat, ketika akan menjadi Perempuan mandiri. Ia akan berkemas bersamanya, dan menaminya ke apartemennya.
Sungguh, apakah ini akhir dari semuanya? Dia akan terbebas, tetapi ia akan kesepian? Kella menyeka air matanya, bukankah ini yang kau inginkan? Tapi, kenapa sesakit ini? Kella yang dulu ceria dan lugu, dan kini berubah drastis. Sifatnya yang ceria menjadi cuek, dingin, dan gampang merasakan kesedihan.
Kella berjalan tanpa memerhatikan panggilan dari seseorang. Silvins Tiara Amersoln ia merupakan anak dari Amelia Deand dan suami pertamanya. Sementara Amel Istri baru dari Papahnya, yang termasuk Ibu dan saudara tirinya.
Silvi mendapatkan marga Amersoln setelah pernikahan Ibunya, dan sejak saat itu juga kebahagiaan Kella berubah. Kata adil sepertinya sudah menghilang di antara mereka. Perlakuan manis hanya berlaku pada Ibu dan saudara tirinya.
Sekarang Kella sampai di rumah, langkahnya bertemu dengan Silvia yang tampak marahi melihatnya. Kella berusaha tak memperdulikan Silvia dengan tak menoleh sedikitpun.
Silvi mendengus dengan kesal, tatapannya penuh akan kebencian. Silvia tidak kuat menahan kemarahannya lalu berteriak, "Dasar Kakak jalang!" Nadanya berisi hinaan.
Mendengar hinaan dari mulut adik tirinya, Kella menarik napas panjang berusaha untuk sabar, ia menghentikan langkahnya dan menoleh. "Sekali lagi kamu bilang jalang. Mulutmu akan aku sobek!" ancamnya dengan suara dinginnya.
Silvia tersenyum remeh, dia sama sekali tidak takut dengan ancaman Kakak tirinya. "Saya tidak takut! memang benarkan kamu itu jalang! Hahaha jalang kecil seperti Ibunya dulu!" tawanya dengan nada mencemooh.
Kella mengepalkan tangannya, aura kemarahannya datang. Kella langsung mencengkram kerah gaunnya, “Mulutmu tidak bisa dijaga, yah? Sekali lagi kamu sebut saya sebagai jalang bukan hanya kerah yang akan dicengkeram, tapi lehermu jadi sasarannya. Kamu ingat ini!" ancamnya dengan mata melotot tajam.
Kella melepaskan cengkraman di gaunnya lalu mengibas tangannya seperti baru terkena debu, lalu kembali menuju ke kamarnya. Silvia menatap punggung Kella dengan aura penuh kebencian. "Awas saja kamu!" gerutunya dengan tangan kanannya yang mengepal erat. Rasanya kebencian yang Silvia rasakan semakin memuncak.
•••
Sampai di depan pintu kamar Kella tersadar, ia langsung merogohkan sakunya mencari sesuatu, setelah itu membuka pintu dengan kunci. Di dalam kamar, Kella berdiri di depan pintu, tubuhnya benar-benar bergetar hebat. Meremas dadanya yang terasa begitu sakit. Air mata yang sejak tadi ditahan sudah mengalir ke pipi dengan menderas begitu. Dunianya seketika terasa runtuh. Tak apa menangis seperti anak kecil, asalkan tangis mampu melepaskan beban. Selama ini ditahan oleh kata semangatnya.
“Kau harus kuat Kella! Harus!” Kella menenangkan dirinya untuk berusaha tetap kuat dan tegar, tapi kenyataannya tidak sesuai realita. Ia tidak sekuat perkataannya, semua hanya di dalam mulutnya yang tidak ada tindakan sedikit pun.
Kella tidak bisa menahan tangisnya, tubuhnya mulai merosot hingga jatuh ke lantai, duduk tak berdaya sambil menangis sekeras mungkin. Hatinya terenyuh sakit, dadanya sesak mengingat cemohan mereka yang menyebutnya jalang. Padahal ia bukan jalang, yang seperti itu adalah mereka berdua! Nasib naas masuk ke dalam keluarganya dan menjadi boom penghancur.
Kella menggeleng tegas, ia tidak ingin menjadi lemah. Kella harus kuat sesuai mottonya, “Kau harus kuat, Kella!" semangatnya untuk diri sendiri. Kella menyeka bekas air matanya, kemudian kakinya melangkah ke kasur empuknya, dan tidak lupa melepaskan kacamata yang selalu ia pakai. Dia harus memakainya setiap hari, atau sesuatu yang tidak diinginkan muncul di depannya, dan akan ia lepaskan setiap ingin tidur.
•••
Bulu matanya yang lentik mengerjap, mimpinya yang indah terusik karena kicauan burung. Mata damainya terbuka, ada sedikit rasa kantuknya. Kella meraba nakasnya mencari jam bekernya, ia lihat dengan matanya yang memelotot.
Jam menunjukkan pukul 06.45 dan dia belum menyiapkan apapun. Kella segera bergegas membereskan semuanya, dari pakaian, bukunya, serta barang kesukaannya. Setelahnya, Kella meraih handuknya yang berada di gantungan baju, dan pergi ke kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, selepas mandi ia memakai gaun berwarna merah muda dengan sablonan bunga di dalamnya. Serta rambutnya yang ia ikat satu ke belakang, dan tidak lupa untuk memakai kacamatanya. Wajahnya yang cantik seperti pahatan dari karya Seni Profesional ia sembunyikan, itu semua untuk misinya.
Kella menatap pada sebuah cermin sebesar dirinya, "Kau cantik Kella, sama seperti Bunda. Kau pasti bisa melewatinya, harus!" gumamnya penuh percaya diri.
Kemudian ekspresinya berubah sedih. "Tapi sebentar lagi kau harus pergi." Ia sedih bukan karena mereka, melainkan rumah ini penuh kenangan Bundanya. Sempat meneteskan air matanya ia segera menyekanya, Kella menggeleng tegas, "Nggak! Kau harus kuat!” Kella mengepalkan tangannya, menguatkan dirinya, setelah itu memakai kacamata yang selalu ia pakai.
Setelah semuanya selesai, ia keluar dari kamarnya sembari membawa koper, tas berisi biola, dan tas ranselnya. Perasaannya bercampur aduk, ia senang akan pergi dari jeratan ketidakadilannya dan sedih mendengar papahnya seakan seperti mengusirnya. Padahal, ia sendiri ingin menjadi wanita mandiri, tetapi siapa yang menduga dengan perkataan papahnya kemarin.
Pintu kamarnya ia kunci dengan sengaja, agar tidak ada yang memasuki kamarnya. Kella berjalan menuruni anak tangga, langkahnya berhenti dan menoleh kepada tiga orang yang asik bercengkrama. Kella tersenyum kecut, "Kella pamit." Ia kembali berjalan melewati mereka yang sama sekali tidak ada tanggapan untuknya.
Suara jam beker berdering keras membuat sang empu langsung membuka matanya. Kella merasa terusik tidurnya, tangannya meraba-raba jam beker hingga jam itu terjatuh dari nakasnya. Kella secara mengambil jam beker, meskipun sedikit kesulitan, lalu menekan tombol off agar berhenti. Tangannya meraih handuk yang berada di kapstok dan melakukan ritual di kamar mandi seperti biasa. Selang beberapa menit Kella sudah berada di kamar tidurnya yang sudah memakai baju segaram sekolah, berdiri di depan cermin besar sambil memperhatikan tubuhnya sendiri. “Hm ... kenapa tubuhku mulai gendut, yah?” gumamnya berpikir. Pasalnya dulu tubuh Kella tergolong kurus, dan sekarang tampak sedikit berisi. Rambut Kella terkepang ke belakang, dengan kacamata sebagai aksesoris tetapnya. Ia tersenyum, "Perfect juga!" takjubnya pada diri sendiri. Fashionnya memang jelek, dan terlihat seperti anak cupu. T
Kella sedang dihukum, sebanyak dua puluh kali. Kepalanya terasa pening dan letih, ia hampir saja pingsan. Dengan sekuat tenaga ia harus tetap melaksanakan hukuman, bila tidak kakak Osis tadi akan memarahinya. Lelaki itu sejak tadi mulai mengawasinya. Kella memutarinya sudah sebanyak lima belas kali, yang membuatnya terasa letih. Kakinya juga serasa lemas, bahkan nafasnya sudah tersengal hanya untuk masuknya udara ke dalam rongga hidungnya. Ia menoleh pada siswa yang masuk ke kelas, sedangkan dirinya masih dihukum. Kella juga menyadari kesalahannya, yang sudah teledor dan terlambat bangun. Ia ingin mengeluh, tetapi itu tidak akan bisa. Di sini juga tidak ada kenalannya, hanya ada lelaki yang menatapnya selalu. Bukan hanya lelaki itu yang menatapnya, tadi saja banyak mata iri yang menatapnya tajam. Mungkin saja, mereka fans dari pengawasanya. Apalagi tatapan judes dari kakak osis yang perempuan
Mata Kella yang terkulai, mengerjap dengan sedikit. Bulu matanya tergerak dengan pelan, ia membuka mata dengan pandangan menyipit. Batinnya menerka-nerka, sekarang ia sedang berada di mana. Dokter Alana mendekatinya dengan perasaan legah. "Syukurlah. Kamu sudah sadar?" tanyanya. Kella baru tersadar dengan ingatan yang samar, matanya sudah melihat ruangan putih yang dominasi. Tubuh kecilnya berusaha untuk duduk. Alana yang melihatnya susah untuk bangun segera membantu. Kella menoleh pada perempuan berjilbab itu sambil memegang kepalanya yang terasa agak pusing, pening dan berat. "Apakah ini rumah sakit?" tanyanya dengan lemah. Alana menggeleng. "Bukan, kamu di UKS,” jawab Alana sembari tersenyum lembut. Kella beralih ke dinding langit kemudian matanya mengedar ke ruangan UKS seperti mencari seseorang, namun di sana hanya ada Alana saja.  
Dokter Alana menyuruhnya untuk istirahat, padahal Kella sama sekali tidak ingin tidur. Gadis itu merasa sudah jauh lebih baik, tetapi kenapa tidak di izinkan? Aneh. Sudah jam berapa ini? Kella merasa bosan di tempat yang hampa ini dengan bau obat yang menyengat hidung. Dokter Alana izin untuk pergi ke Rumah Sakit Teknikal, sementara dia sendirian di UKS. “Huh! Membosankan!” gerutu Kella. Kella melihat ke arah jam dinding, sudah pukul 14.30. Rasanya mengesalkan sendiri di tempat seperti ini. Matanya menatap dinding lain, dengan suasana seperti di pemakaman. Ini sungguh membosankan! Kella ingin sekali berteriak, tapi ia tahu berada di mana. Jika melakukan hal itu, bisa saja ia akan dihukum. Tapi ... tunggu! Bukankah dia sedang sendiri? Ini kesempatan bagus untuk mengecek data tadi! Kella segara berdiri dan mulai berjalan ke le
Ruangan putih mendominasi. Dengan lampu yang menyala, buku yang tertata rapi. Boneka yang ia jaga, serta selimut hello Kitty milik seorang gadis yang terfokus pada papan mading. Papan tersebut berisi sebuah rencana, dan tempat yang perlu di selidiki. Kella menyiapkan semuanya dengan hati-hati agar tidak diketahui. Kemudian, tangannya menopang di dinding. “Ini baru awal,” dia melingkari tulisan tersebut. “Besok, mari kita mulai!” monolognya dengan mata serius ke dinding. Sudut bibirnya tersungging, ketika merasa senang untuk memulai misinya. Kemudian, dilihatlah jam di dinding. Jam tersebut menunjukkan larut malam, segera ia kembali ke kasurnya. Lalu di matikan lampunya, matanya juga mulai menutup rapat dan tertidur lelap. ••• Pagi hari. Hari ini adalah pertama kalinya duduk di kelas sendiri. Setelah tiga hari
Brak...! Suara gebrakan meja tersorot banyak mata. Murid yang berada di kantin terkejut akan suara tersebut. Begitu juga dengan Kella yang tidak menduga jika gadis di sampingnya ini berani berlaku kasar. “Pergi dari sini!” murka Velyn dengan menggebu-gebu. Tangannya mengepal dan menunjuk berlainan arah. Kella tidak mengerti dengan gadis satu ini, jika dia ingin duduk silahkan, dan kenapa harus juga mengusirnya? Kella menatapnya dengan kening tertaut. “Kalau kamu ingin duduk silahkan, tapi kenapa harus mengusirku? ” tanyanya. Gadis tersebut terlihat gagap dan tidak tahu harus menjawab apa. “Kami hanya ingin bertiga, dan kamu bukan dari bagiannya.” Sahut gadis bernama Dinda dengan rambut pendeknya. Kella tercengong, “Apa hanya itu?” batinnya. Kella menghela nafasnya, “Tinggal duduk saja kok susah, lagi pula aku tidak mengganggu kok!” jelasnya. Tubuh gadis tersebut m
Kella berjalan melewati perumahan, dan bermacam toko. Pagi ini, dia akan berangkat ke sekolah seperti biasa. Lantunan syadu dalam mulutnya, bersenandung riang di jalanan yang sepi. Sehingga tanpa sadar telah sampai di tujuan. Kella memasuki gerbang, dan berjalan menyapa pak satpam. Seperti kebiasaannya dulu, ketika masih berseragam putih biru. Dia berangkat pada pukul 06.00. Sengaja kepagian, agar bisa membaca buku di perpustakaan sekolah. Kella melewati gedung kelas, lalu berjalan ke gedung sebelahnya. Dia berhenti di depan perpustakaan. Lalu menarik nafasnya, bersiap memulai mencari sesuatu. Kella masuk ke dalamnya, yang sudah di buka setiap pukul 6 pagi. Kemudian, dia mulai menyusuri setiap rak. Di sana bermacam buku, dimulai dengan buku pengetahuan, referensi, adat dan budaya. Serta yang dia cari, yaitu tentang peristiwa sekolahnya. Senyum Kella tercetak, meski sedi
Kella meletakkan ransel di kursinya. Lalu tubuhnya ia dudukan, rasanya seperti mimpi yang samar. Dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa, hanya bisa berdiam beku. “Hai! Kamu Kella, kan? kita bertemu lagi,” sapanya dengan seru. Kella menoleh, terlihat jelas gadis yang berkenalan dengannya memakai pita hello kitty, dia bersikap ramah. “Hai, kamu bukanya yang waktu MOS, kan?” tanya Kella kembali. Lalu gadis tersebut mengangguk padanya, sembari tersenyum. “Indira Camelia Ans, hari ini kamu jadi teman sebangku aku, yah?” tawar gadis tersebut sembari tersenyum ramah. Kella menatapnya dalam, baru kali ini ada seorang memperlakukannya dengan baik. Bahkan papah kandungnya saja tidak ada respon terhadapnya, papahnya hanya mengutamakan adik tiri. Dia mengulurkan tangannya. “Kellansa Ansaria,” balasnya dengan muka datar. Lalu ransel Indira letakkan di kursi samp