Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Alana duduk tegang di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas keras, hati serta pikirannya gagal membuat santai.
Bunyi detik waktu menambah serunya permainan semesta. Alana menunggu Tara dengan tidak sabar. Bukan karena Alana menginginkannya. Gadis itu hanya penasaran, apakah sang suami siri benar-benar akan mendatanginya malam ini atau tidak.
Tak lama, suara deru mobil membuatnya memejam kaku.
Satu … dua … tiga ….
Derap langkah cepat dan suara pintu dibuka dengan kasar sontak membuat Alana menoleh.
Tara datang dalam keadaan kacau. Aroma alkohol menguar tajam, kemejanya tak serapi biasanya. Alana bimbang, bergerak mendekat untuk menyambut atau justru menjauh karena jujur dia sangat takut.
Sorot tajam Tara menusuk mata Alana. Pintu kamar ditutup dengan sangat keras, lalu Tara mengancing serta melempar kuncinya ke sembarang arah.
“Kamu nggak akan bisa melarikan diri. Kamu bilang aku bisa melakukan hal terburuk sekalipun kan? Jangan menyesal dengan ucapanmu! Wanita murahan!”
Alana bangkit, situasinya sulit. Ini tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Alana refleks mundur saat Tara semakin mendekat.
“Tunggu, Tara. Maksudku … Mas. Meski begitu kamu nggak boleh menyakitiku.”
Tara terbahak kencang. Dengan kasar dan cepat tangannya menekan kedua pipi Alana. “Mas? Panggilan yang terdengar menjijikkan!”
“Tolong jangan buhun aku.”
Cengkraman Tara semakin kuat. Alana hanya bisa meringis menahan perih. “Ini mungkin akan jauh lebih buruk daripada kematian,” bisiknya penuh penekanan.
Susah payah Alana menelan air liur. Lebih menyakitkan dibanding kematian?
“Aku nggak akan memperlakukanmu dengan lembut sama sekali. Jangan harap!”
Setelah itu tubuh Tara malah tumbang. Alana refleks meraih lengan Tara berharap kepalanya tidak membentur lantai.
“Kamu kenapa?” tanya Alana khawatir.
Tara menghempas cekalan tangan Alana dengan kasar lalu duduk bersandar pada tembok.
“Jangan berlagak peduli! Aku sangat membencimu!”
Alana tetap mencoba mendekat. Titah Ratri untuk menyelesaikan malam ini dengan hasil pasti membuatnya berani. Bayang-bayang sang ayah terbaring di ranjang rumah sakit membuatnya membuang harga diri.
Dengan ragu gadis itu mengusap pipi Tara dengan lembut. Jari-jari itu gemetar seiring degup jantungnya yang tak karuan.
“Maafkan aku.”
Anehnya, Tara tak menampik. Kepala yang sedari tadi menunduk akhirnya terangkat, tatapan mata itu meredup, signal mulai berdamai.
“Asyila,” lirih pria itu lemah, mengambil tangan Alana lalu mengecupnya hangat.
“Asyila…. Maaf aku menyakitimu.” Pria tinggi itu menangis dan entah kenapa hati Alana seolah terhunus. Tara begitu mencintai istrinya.
“Aku menyakitimu Asyila. Maafkan aku.”
Tanpa aba-aba Tara meraup wajah Alana lalu mencium bibirnya dengan kasar.
“Aku mencintaimu Asyila, maafkan aku.”
Alana tak mampu melawan meski sepenuh jiwa raganya menolak. Napasnya seolah dibatasi. Gadis yang bahkan tak pernah berpacaran itu susah layah mengimbangi apa yang sang suami lakukan atas tubuhnya.
“Asyila! Aku merindukanmu. Jangan pergi.” Tara menggila tanpa peduli kesakitan Alana di bawah sana.
“Mas! Tolong, berhenti seben-” Tara tak membiarkan Alana melanjutkan kalimatnya. Bibir mungil itu kembali di bungkam berbarengan dengan irama hentakan yang semakin tak karuan.
“Jangan memintaku berhenti Asyila! Jangan!”
Alana tak tahan, kukunya tajam menggores bahu Tara yang semakin menggila.
Entah pukul berapa Tara akhirnya benar-benar berhenti. Alana tak punya tenaga lagi untuk mendorong tubuh besar yang masih menindihnya posesif. Alana menyerah dan memilih diam, menikmati kelelahan dan segala kesakitan dalam hening. Menatap nanar langit-langit kamar ditemani wangi parfum Tara yang menguar lembut. Sampai pada matanya yang semakin berat dan akhirnya menutup.
Bercinta untuk pertama kalinya dengan pengalaman seburuk-buruknya. Belum lagi, Alana harus mendengar suaminya terus menerus menyebut nama wanita lain diatas tubuhnya. Dia tak boleh mengeluh bahkan tak berhak mengklaim sakit hati.
***
Tenggorokan Alana kering. Tubuhnya nyeri, tapi seperti melayang, remuk redam.
Matanya mengerjap sesekali sebelum akhirnya benar-benar sadar. Hari sudah pagi, lebih tepatnya menjelang siang.
“Nona sudah bangun?”
Suara Santi membuatnya terkejut. Sejenak Alana lupa dengan apa yang terjadi, detik kemudian baru sadar dan langsung terduduk kaku, lalu meringis perih.
“Nona, pelan-pelan saja.”
Alana menangis lirih, mengira jika dirinya sudah mati sejak semalam.
“Anda baik-baik saja?”
Hanya tangisan yang menjadi jawaban atas kekhawatiran Santi. Alana belum mampu mengeluarkan sepatah katapun.
“Minumlah ini, Nona. Agar Anda lebih tenang. Setelah itu saya akan siapkan air hangat untuk berendam.”
Santi yang sedikit banyak tahu apa yang telah terjadi pada Alana pun hanya mampu menepuk ringan pundak polosnya yang naik turun karena isakan.
Butuh waktu lama bagi Alana untuk tenang. Semalam bagai mimpi buruk yang membuatnya trauma, bahkan hanya dengan membayangkan wajah Tara saja sudah membuatnya ketakutan.
Alana beringsut, kembali sembunyi di balik selimut.
“Tolong biarkan aku sendiri dulu, Santi,” lirihnya sedikit terbata.
Santi mengerti, Alana butuh waktu.
“Baik. Saya akan menunggu panggilan, Nona.”
Setelah Santi keluar, Alana menangis sampai puas, berteriak pada bantal agar suaranya tertahan. Lalu menggosok-gosok tangannya pada bahu, seperti membersihkan dari debu, kemudian mengusap kasar bibir yang kemarin beradu dengan Tara.
Akan tetapi, sebuah kalimat yang pernah didengarnya dari Ratri membuat Alana berhenti.
“Jangan menganggap dirimu hina, anggap saja sedang melayani suamimu. Ingat, pernikahan kalian sah dimata agama.”
Alana lupa, selain dilarang sakit hati, dia juga dilarang merutuki nasib. Sekali lagi, ini adalah pilihannya, tidak ada alasan untuk memberi makan pada egonya.
Dengan tangan gemetar, Alana meraih gagang telepon lalu menekan angka dua. “Santi, tolong bantu aku mandi,” pintanya hampir seperti berbisik.
"Ayah. Aku rindu hariku yang lalu."
***
Setelah memastikan Alana nyaman berendam di bathtub, Santi mulai membereskan semua kekacauan yang diciptakan Tara semalam.
Santi menggeleng heran, yang dia tau Tara cukup pendiam, tapi nyatanya buas juga saat diberi mangsa segar.
Pria itu pergi pagi-pagi sekali setelah mendapatkan kembali kesadarannya. Meninggalkan Alana begitu saja seperti seorang wanita habis pakai yang tidak ada harganya.
Cukup lama melamunkan nasib Alana, Santi sampai lupa akan tugasnya. Kemudian cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku, lalu mengambil beberapa gambar untuk dikirim kepada sang majikan.
Napasnya turut berat. “Semoga laramu membuahkan hasil manis Nona Alana.”
Santi langsung mendapat balasan pesan. [Bantu gadis itu pulih, aku yakin dia terkejut.] Ya, meski angkuh, tapi Ratri tak sekejam itu.
Kembali menatap kekacauan di atas kasur membuat asisten rumah tangga yang sudah sejak remaja bekerja pada Ratri itu bergidik ngeri. Dia masih perawan, dan melihat bercak darah di sprei membuatnya merinding.
"Sesakit apa malam pertama itu?"
“Hari ini aku mau ke rumah sakit, Santi.” Alana mematut dirinya pada cermin. Dress putih panjang dibawah lutut bermotif bunga kecil warna-warni itu membuatnya tampak berbeda. Alana yang dulu hanya dress well saat ada acara saja, sedang belakangan baju hariannya sudah seperti akan menghadiri pesta sederhana.“Apa perlu aku temani?”Alana menggeleng. Dia ingin menikmati kesendiriannya. Satu bulan terus menerus berada dirumah membuatnya jengah.“Aku udah kabarin Bu Ratri. Dia izinkan aku, tapi syaratnya jangan pulang sampai sore.”Santi tersenyum. Alana begitu lemah lembut, meski full fasilitas gadis itu tak semena-mena. Meski istimewa, tapi tak pernah mau merepotkan.Santi menyerahkan sebuah tas bekal ukuran sedang warna silver. “Ema sudah siapkan makan siang, cemilan, dan vitamin. Nikmati saat bersama ayahmu.”“Ah, kalian berlebihan. Aku hanya pergi sebentar.”“Ini titah Nyonya Ratri. Bagaimanapun kesehatan Nona nomor satu.” Santi mengerling disambut senyum simpul Alana.Dengan perasaa
“Nona, Nona Alana harus makan.” Kali ini Ema berusaha membujuk.Alana sadar dirinya tak pantas merajuk, tapi rasa dalam dirinya masih begitu berantakan, dan kini hari sudah menjelang malam.“Ema, aku nggak tau apa aku bisa menelannya.”Ema tersenyum. “Ini adalah potato cheese bread hangat kesukaan nona. Aku tambahkan banyak keju di dalamnya.” Lantas menyodorkan sepiring tanggung kue yang dimaksud.“Aromanya enak,” gumam Alana. Aroma butter, keju dan susu yang menggoda.Sebenarnya dia lapar, entah apa yang membuat Alana malas makan. Tidak semua orang bisa cepat menerima perubahan bukan? Begitupun dengan Alana.“Dan ini susu cokelat hangat.”Akhirnya Alana beranjak, duduk perlahan di tepian ranjang. Bagian bawah tubuhnya masih terasa ngilu.“Aku mau susu cokelatnya dulu aja, Ema. Terima kasih banyak.”Ema mengangsur mug putih dari atas meja.Alana menerima lalu meneguknya perlahan. Hangatnya pas, jadi bisa meluncur nyaman di tenggorokan.“Tadi ada telepon dari Nyonya Ratri. Katanya dia
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Alana duduk tegang di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas keras, hati serta pikirannya gagal membuat santai.Bunyi detik waktu menambah serunya permainan semesta. Alana menunggu Tara dengan tidak sabar. Bukan karena Alana menginginkannya. Gadis itu hanya penasaran, apakah sang suami siri benar-benar akan mendatanginya malam ini atau tidak.Tak lama, suara deru mobil membuatnya memejam kaku. Satu … dua … tiga ….Derap langkah cepat dan suara pintu dibuka dengan kasar sontak membuat Alana menoleh.Tara datang dalam keadaan kacau. Aroma alkohol menguar tajam, kemejanya tak serapi biasanya. Alana bimbang, bergerak mendekat untuk menyambut atau justru menjauh karena jujur dia sangat takut.Sorot tajam Tara menusuk mata Alana. Pintu kamar ditutup dengan sangat keras, lalu Tara mengancing serta melempar kuncinya ke sembarang arah.“Kamu nggak akan bisa melarikan diri. Kamu bilang aku bisa melakukan hal terburuk sekalipun kan? Jangan menyesal
Ijab kabul dilaksanakan dengan sangat privat, hanya ada saudara sang ayah yang mewakili Alana sebagai wali, Ratri, Tara dan Penghulu.Pernikahan mereka sah secara agama. Tidak ada sesi foto bersama atau hal-hal yang membahagiakan di momen ini. Hening dan singkat. Bahkan, sang paman tidak diperbolehkan banyak berbincang dengan Alana.Gadis itu kembali ke kamarnya segera setelah ijab kabul selesai. Seperti sebuah permainan gelap yang hanya membutuhkan sedikit formalitas saja agar semua tetap berjalan dengan semestinya.Meski hanya sebuah pengukuhan ikatan semu, tapi hari ini Alana tetap dirias menawan meski sederhana. Alana mematut diri di cermin besar pojok kamar. Baju kurung putih dipadukan dengan bawahan songket warna abu-abu tua membuatnya berbeda. Anggun dan cantik. Sayangnya, sama sekali tidak ada yang peduli akan hal itu saat ini. Alana hanyalah alat untuk mewujudkan impian seorang kaya yang ingin tetap kaya.Tanpa sadar Alana tersenyum pada kaca. Senyum pahit yang entah bermak
Beberapa kantong belanja berjajar di lantai kamar Alana. Belum lagi di kasur dan meja rias. Alana bingung saat memasuki ruangan barunya ini."Ini semua dari Nyonya Ratri." Penjelasan singkat datang dari Ema sebelum Alana bertanya."Untuk apa semua ini, Ema?"Ema berjalan mengitari barang-barang itu. "Ada baju tidur, parfum, perawatan wajah dan tubuh, ada juga beberapa buku bacaan. Semuanya untuk Nona." Mata Ema berbinar. Pasalnya semua produk ini dari merk brand terkenal."Ah, bukankah ini terlalu berlebihan?""Tentu tidak, karena Nyonya Ratri menganggap Nona spesial."Alana tersenyum, bukan karena lucu tapi lebih ke menertawakan dirinya. Spesial dari mana? Saat ini Alana hanya sedang menjual diri."Apa ada yang Nona butuhkan lagi? Nona mau makan malam?"Alana menggeleng cepat. Seharian melakukan pemeriksaan medis ini dan itu membuatnya kehilangan selera makan. Sejujurnya, gadis itu berdebar menunggu hasilnya keluar. Dia takut jika tidak sesuai dengan apa yang Ratri inginkan."Terima
"Jangan berharap lebih! Pernikahan ini akan berakhir tepat di hari kamu melahirkan! Tidak lewat satu menit pun!"Alana bungkam, tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau dia harus setuju."Tandatangani ini dan segera pindah ke rumah yang sudah disiapkan."Sekali lagi, tidak ada penolakan dari gadis berambut ikal yang hidupnya serasa berada di ujung tanduk itu."Ingat Alana, bersikaplah profesional." Seorang wanita paruh baya yang Alana kenal bernama Ratri itu pergi begitu saja membawa berkas yang sekaligus harapan baginya.Mata kering nan panas itu memejam sesaat. Entah benar atau salah keputusan yang diambil, tapi demi operasi sang ayah, Alana harus melakukan perjuangan hingga titik darah penghabisan."Aku yakin ini yang terbaik. Tuhan beri cobaan sepaket dengan jalan keluar. Aku percaya ini salah satu petunjuk untuk bisa keluar dari masalah ini." Sekali lagi Alana meyakinkan dirinya.Tak lama, sebuah panggilan telepon memecah heningnya lorong rumah sakit. "Alana, kemasi barang penting