Alana Dea, gadis sederhana yang tiba-tiba hidupnya berubah drastis dalam waktu kurang dari satu minggu. Kejadian besar membuatnya bertemu Ratri dan setuju untuk dijadikan istri kedua sang putra–Tara Raharja. Diharuskan menikah dan segera hamil membuat Alana dan Tara terlibat hubungan satu malam yang telah di atur oleh Ratri sedemikian rupa. Alisya, istri pertama Tara yang lima tahun ini belum bisa memberikan keturunan pun tak sanggup mengelak titah sang ibu mertua. Ada sebuah perjanjian menyakitkan jika sampai Ratri tak segera memiliki cucu. Terlihat kejam, tapi nyatanya, baik Alana, Tara, Alisya, bahkan Ratri sekalipun sama-sama menggenggam luka. Lalu, apakah kisah rumit ini akan berakhir baik atau bahkan sebaliknya?
Lihat lebih banyak"Jangan berharap lebih! Pernikahan ini akan berakhir tepat di hari kamu melahirkan! Tidak lewat satu menit pun!"
Alana bungkam, tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau dia harus setuju.
"Tandatangani ini dan segera pindah ke rumah yang sudah disiapkan."
Sekali lagi, tidak ada penolakan dari gadis berambut ikal yang hidupnya serasa berada di ujung tanduk itu.
"Ingat Alana, bersikaplah profesional."
Seorang wanita paruh baya yang Alana kenal bernama Ratri itu pergi begitu saja membawa berkas yang sekaligus harapan baginya.
Mata kering nan panas itu memejam sesaat. Entah benar atau salah keputusan yang diambil, tapi demi operasi sang ayah, Alana harus melakukan perjuangan hingga titik darah penghabisan.
"Aku yakin ini yang terbaik. Tuhan beri cobaan sepaket dengan jalan keluar. Aku percaya ini salah satu petunjuk untuk bisa keluar dari masalah ini." Sekali lagi Alana meyakinkan dirinya.
Tak lama, sebuah panggilan telepon memecah heningnya lorong rumah sakit.
"Alana, kemasi barang pentingmu malam ini juga, kalau sudah siap, segera kabari aku. Tidak perlu membawa banyak baju, semua sudah tersedia. Besok pagi kamu harus melakukan pemeriksaan medis."
"Baik, Bu." Hanya itu yang mampu Alana ucapkan pada Ratri. Wanita itu sangat tegas dan tanpa basa basi.
Alana segera pamit pada sang ayah. Meski tergeletak tak sadarkan diri, gadis itu yakin pria tua yang selama ini berjuang mati-matian untuknya itu mendengar apa yang dia ucapkan.
"Doakan Lana, Yah. Tugas ayah hanya bertahan, maka sesulit apapun itu pasti akan Lana hadapi."
Kemudian dengan lembut tangan gemetar dan dingin itu mengusap rambut sang ayah, lalu mengecup keningnya beberapa kali.
Alana ingin segera berkemas, lalu pindah ke tempat yang dia tak tahu dimana tepatnya sesuai titah Ratri tadi. Dia pikir, lebih cepat lebih baik, menunda tak akan mendapatkan apa-apa.
***
Sebuah mobil mewah menunggu Alana di depan gerbang, lengkap dengan seorang sopir yang sedari tadi berdiri siaga. Entah kenapa, Alana seperti disergap ketakutan luar biasa. Dunia seperti apa yang akan dia hadapi sebentar lagi? Apakah semua akan baik-baik saja sesuai janji Ratri kemarin?
Alana tak memiliki kekuatan apapun, dia hanya seorang gadis biasa dengan kehidupan normal yang tiba-tiba harus menanggung sebuah beban berat setelah mobil taksi yang disopiri sang ayah mengalami kecelakaan fatal saat selesai mengantar penumpang.
Tak ada asuransi, bahkan tak memiliki uang tabungan sama sekali. Perusahaan taksi dimana sang ayah bekerja lepas tangan dan mengatakan itu bukan kecelakaan yang ditanggung perusahaan, mereka bilang ini murni kelalaian sopir.
“Kami tidak akan menuntut biaya perbaikan mobil yang jumlahnya cukup besar, sebagai gantinya kami tidak bisa membantu banyak untuk biaya pengobatan.” Begitu kata salah satu penanggung jawab perusahaan.
"Silakan, Nona." Suara ramah sopir dengan perawakan mirip dengan ayahnya itu membuyarkan angan Alana.
Lantas gadis yang masih berusia awal duapuluhan itu masuk ke dalam mobil dengan interior mewah yang bahkan tidak pernah mampir dalam mimpinya. Otak pintarnya mencoba mengkalkulasi harga mobil yang dia tumpangi saat ini. Sepertinya satu unit ini cukup untuk membiayai operasi sang ayah dan menghidupi kesederhanaan mereka sampai bertahun-tahun kedepan.
Hembusan napas dalam pertanda sesuatu yang menyesakkan berkali Alana lakukan. Ya, tiap-tiap manusia pasti sedang berjuang untuk hidupnya, termasuk Alana dan sopir yang kini bersamanya sekalipun.
"Sebentar lagi kita sampai, Nona. Nama saya Sugito. Saya bertugas mengantar Nona pergi kemanapun sejak hari ini sampai nanti-nanti. Mobil ini khusus untuk Nona."
Mata Alana membulat. Dia difasilitasi mobil semewah ini plus beserta sopir? Sekaya apa orang yang akan dia hadapi? Seketika Alana merasa hidupnya tak adil.
Bagaimana bisa Tuhan membagi sesuatu seperti langit dan bumi? Uang cash yang kini Alana pegang saja mungkin hanya cukup untuk membeli dua liter bensin untuk kuda besi ini.
"I-iya, Pak. Terima kasih. Nama saya Alana."
Setelah itu hening. Alana sibuk memindai kawasan yang baru saja dia lewati. Kawasan elite yang pernah dia lihat brosurnya di kursi penumpang taksi sewaan ayahnya dulu.
"Pak, ini Surya Land?" tanya Alana lirih.
"Betul, Nona. Surya Land Grand Residence."
Tak lama, mobil bercat hitam pekat mengkilat itu berbelok pada gerbang rumah paling ujung.
Disana Ratri sudah menunggu dengan wajah datarnya. Wanita itu tak sendiri, ada dua wanita lain yang juga bersamanya, sama-sama berdiri siaga.
"Bawakan ini ke kamar lantai dua."
Ratri memerintah salah satu pelayan untuk membawa tas milik Alana yang ringan. Gadis itu tak membawa apapun, hanya beberapa helai baju dan sebuah buku, juga beberapa benda kecil lainnya.
"Ayo masuk, Alana."
Alana mengangguk patuh. Langkahnya terasa berat, ditambah udara malam yang cukup menusuk, juga keheningan yang sedari tadi memeluk, seolah paket lengkap yang akan mengiringi kerumitan hidupnya setelah ini.
"Kamu akan tinggal disini selama masa kontrak berlaku. Setelahnya kamu akan kembali seperti semula."
Alana mengikuti langkah Ratri yang membawanya ke lantai dua seperti perintahnya pada pelayan tadi.
"Ini kamarmu, kamu akan tinggal disini bersama dua pelayan tadi. Santi dan Ema, juga Pak Sugito sebagai sopir."
Dengan ragu Alana masuk. Luas kamar ini mungkin sama dengan rumah sederhananya, bahkan mungkin lebih luas ruangan ini.
"Baik, Bu."
"Kamu bisa bersantai. Jangan terlalu tegang, itu bisa mempengaruhi pemeriksaan kesehatanmu besok. Aku ingin semua berjalan lancar, tepat waktu, dan baik-baik saja. Paham?"
Kalimat tanya itu bagai titah tak terbantah sekaligus beban yang lebih berat dari sebelumnya.
"Besok kamu juga akan menemui putraku. Meski mendapat penolakan darinya, kamu harus tetap teguh. Jangan goyah sedikitpun. Mengerti Alana?"
"Iya, Bu. Saya mengerti."
"Bagus, kamu bisa istirahat. Sebentar lagi, Santi akan antar makanan, dan bantu kamu perawatan. Kamu harus sempurna untuk melahirkan keturunan Raharja."
***
Pagi-pagi sekali, Alana sudah bersiap. Dia puasa sejak jam tiga pagi. Serangkaian pemeriksaan darah akan dilakukan hari ini. Memastikan jika tidak ada penyakit atau kelainan apapun dalam diri Alana sebelum benar-benar mengandung putra sang pewaris.
"Nona, mobil sudah siap." Santi memanggil Alana yang sibuk menatap langit lewat jendela kamarnya.
"Makasih, Mbak. Hmm… bisa minta tolong sesuatu?"
Santi mendekat lalu menunduk, seperti siap menerima perintah.
"Bisakan tidak memanggilku dengan panggilan nona? Panggil Alana saja."
Santi menggeleng. "Maaf, Nona. Saya tidak bisa. Ini sudah menjadi peraturan. Panggil saya Santi saja, bukan Mbak."
Alana menghembus napas dalam. "Sejujurnya panggilan itu membuatku merasa berada di dunia yang sangat asing. Tapi, baiklah. Aku nggak akan memaksa kalau itu akan membuatmu kesulitan. Terima kasih udah membantuku."
Alana beranjak setelah sebelumnya melempar senyum. Senyum yang susah payah dia kumpulkan semalaman.
"Alana, tunggu disini. Sebentar lagi Tara datang. Aku harus menemui seseorang."
Alana berada di sebuah ruang tunggu VVIP rumah sakit tengah kota sejak lima belas menit yang lalu. Ratri bersamanya sejak tadi.
Suara pintu terdorong memecah keheningan, mata bertemu mata antara Alana dan seorang pria yang gadis itu tebak sebagai Tara yang disebutkan Ratri sejak kemarin.
"Dimana mama?" tanya suara berat itu tanpa basa basi.
Alana segera menunduk, jantungnya berdegup entah berirama apa.
"Hei! Kamu tuli? Dimana mama?"
"Ah, itu… tadi Bu Ratri-"
"Tara. Kamu udah sampai, Nak?" Ratri memotong dari sisi pintu lainnya.
Alana kehilangan kekuatan pada sendi-sendinya. Lemas, tangannya meremas kecil sisi kiri kanan dressnya hingga kusut.
"Alana, kenalin ini Tara."
Alana tiba-tiba berdiri kaku dan menunduk hormat. Salah tingkah. "Saya Alana."
"Nggak penting!" Pria itu mendengus kesal. "Ma, aku bilang nggak perlu sejauh ini. Aku sama Asyila baik-baik aja."
"Tara, nggak hanya itu yang harus kamu pikirkan."
"Apa? Perusahaan? Warisan? Apa semua itu sangat penting sampai-sampai mama berbuat sejauh ini?"
Ratri melirik sekilas ke arah Alana.
"Kita sudah pernah membahas masalah ini berkali-kali. Jadi, kamu nggak perlu membuang waktu untuk merengek dan menolak rencana mama," kata Ratri sedikit berbisik pada Tara.
"Aku sayang sama Asyila, Ma. Aku nggak mungkin nyakitin dia."
Ratri memeluk sang putra. "Mama sudah bicara sama Asyila dan dia baik-baik aja. Dia mendukung."
Hening. Alana seperti sedang menonton pertunjukan teater drama tepat di depan matanya. Percakapan dengan tema yang sangat asing di telinga. Perusahaan? Jabatan? Ah, pusing! Yang dia tau hanya kepingan uang receh dibawah seratus ribuan.
"Kamu melakukannya karena uang 'kan?"
Dirgantara Raharja, pria berusia pertengahan tiga puluhan itu duduk tak jauh dari Alana. Sekitar enam puluh menit yang lalu keduanya melakukan serangkaian pemeriksaan yang cukup melelahkan.
"Aku akan berikan dua, ah! Tiga kali lipat dari besaran yang mama janjikan ke kamu asal kamu menolak rencana konyol ini dan pergi jauh."
Alana meremas tangannya sendiri. Iya, dia butuh uang tapi tidak seperti ini perjanjiannya.
"Selain tuli, apa kamu juga bisu? Kenapa diam sejak tadi? Apa jumlah itu kurang?"
"Tidak, bukan itu …." Alana memberanikan diri menoleh.
"Saya sudah menandatangani sebuah kontrak, jika melanggar maka-"
"Jangan pernah mencoba menggagalkan rencana mama, Tara!"
Ratri muncul tiba-tiba.
"Kalau kamu gagalkan kali ini, mama akan terus merencanakannya meski gadis itu bukan Alana!"
“Hari ini aku mau ke rumah sakit, Santi.” Alana mematut dirinya pada cermin. Dress putih panjang dibawah lutut bermotif bunga kecil warna-warni itu membuatnya tampak berbeda. Alana yang dulu hanya dress well saat ada acara saja, sedang belakangan baju hariannya sudah seperti akan menghadiri pesta sederhana.“Apa perlu aku temani?”Alana menggeleng. Dia ingin menikmati kesendiriannya. Satu bulan terus menerus berada dirumah membuatnya jengah.“Aku udah kabarin Bu Ratri. Dia izinkan aku, tapi syaratnya jangan pulang sampai sore.”Santi tersenyum. Alana begitu lemah lembut, meski full fasilitas gadis itu tak semena-mena. Meski istimewa, tapi tak pernah mau merepotkan.Santi menyerahkan sebuah tas bekal ukuran sedang warna silver. “Ema sudah siapkan makan siang, cemilan, dan vitamin. Nikmati saat bersama ayahmu.”“Ah, kalian berlebihan. Aku hanya pergi sebentar.”“Ini titah Nyonya Ratri. Bagaimanapun kesehatan Nona nomor satu.” Santi mengerling disambut senyum simpul Alana.Dengan perasaa
“Nona, Nona Alana harus makan.” Kali ini Ema berusaha membujuk.Alana sadar dirinya tak pantas merajuk, tapi rasa dalam dirinya masih begitu berantakan, dan kini hari sudah menjelang malam.“Ema, aku nggak tau apa aku bisa menelannya.”Ema tersenyum. “Ini adalah potato cheese bread hangat kesukaan nona. Aku tambahkan banyak keju di dalamnya.” Lantas menyodorkan sepiring tanggung kue yang dimaksud.“Aromanya enak,” gumam Alana. Aroma butter, keju dan susu yang menggoda.Sebenarnya dia lapar, entah apa yang membuat Alana malas makan. Tidak semua orang bisa cepat menerima perubahan bukan? Begitupun dengan Alana.“Dan ini susu cokelat hangat.”Akhirnya Alana beranjak, duduk perlahan di tepian ranjang. Bagian bawah tubuhnya masih terasa ngilu.“Aku mau susu cokelatnya dulu aja, Ema. Terima kasih banyak.”Ema mengangsur mug putih dari atas meja.Alana menerima lalu meneguknya perlahan. Hangatnya pas, jadi bisa meluncur nyaman di tenggorokan.“Tadi ada telepon dari Nyonya Ratri. Katanya dia
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Alana duduk tegang di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas keras, hati serta pikirannya gagal membuat santai.Bunyi detik waktu menambah serunya permainan semesta. Alana menunggu Tara dengan tidak sabar. Bukan karena Alana menginginkannya. Gadis itu hanya penasaran, apakah sang suami siri benar-benar akan mendatanginya malam ini atau tidak.Tak lama, suara deru mobil membuatnya memejam kaku. Satu … dua … tiga ….Derap langkah cepat dan suara pintu dibuka dengan kasar sontak membuat Alana menoleh.Tara datang dalam keadaan kacau. Aroma alkohol menguar tajam, kemejanya tak serapi biasanya. Alana bimbang, bergerak mendekat untuk menyambut atau justru menjauh karena jujur dia sangat takut.Sorot tajam Tara menusuk mata Alana. Pintu kamar ditutup dengan sangat keras, lalu Tara mengancing serta melempar kuncinya ke sembarang arah.“Kamu nggak akan bisa melarikan diri. Kamu bilang aku bisa melakukan hal terburuk sekalipun kan? Jangan menyesal
Ijab kabul dilaksanakan dengan sangat privat, hanya ada saudara sang ayah yang mewakili Alana sebagai wali, Ratri, Tara dan Penghulu.Pernikahan mereka sah secara agama. Tidak ada sesi foto bersama atau hal-hal yang membahagiakan di momen ini. Hening dan singkat. Bahkan, sang paman tidak diperbolehkan banyak berbincang dengan Alana.Gadis itu kembali ke kamarnya segera setelah ijab kabul selesai. Seperti sebuah permainan gelap yang hanya membutuhkan sedikit formalitas saja agar semua tetap berjalan dengan semestinya.Meski hanya sebuah pengukuhan ikatan semu, tapi hari ini Alana tetap dirias menawan meski sederhana. Alana mematut diri di cermin besar pojok kamar. Baju kurung putih dipadukan dengan bawahan songket warna abu-abu tua membuatnya berbeda. Anggun dan cantik. Sayangnya, sama sekali tidak ada yang peduli akan hal itu saat ini. Alana hanyalah alat untuk mewujudkan impian seorang kaya yang ingin tetap kaya.Tanpa sadar Alana tersenyum pada kaca. Senyum pahit yang entah bermak
Beberapa kantong belanja berjajar di lantai kamar Alana. Belum lagi di kasur dan meja rias. Alana bingung saat memasuki ruangan barunya ini."Ini semua dari Nyonya Ratri." Penjelasan singkat datang dari Ema sebelum Alana bertanya."Untuk apa semua ini, Ema?"Ema berjalan mengitari barang-barang itu. "Ada baju tidur, parfum, perawatan wajah dan tubuh, ada juga beberapa buku bacaan. Semuanya untuk Nona." Mata Ema berbinar. Pasalnya semua produk ini dari merk brand terkenal."Ah, bukankah ini terlalu berlebihan?""Tentu tidak, karena Nyonya Ratri menganggap Nona spesial."Alana tersenyum, bukan karena lucu tapi lebih ke menertawakan dirinya. Spesial dari mana? Saat ini Alana hanya sedang menjual diri."Apa ada yang Nona butuhkan lagi? Nona mau makan malam?"Alana menggeleng cepat. Seharian melakukan pemeriksaan medis ini dan itu membuatnya kehilangan selera makan. Sejujurnya, gadis itu berdebar menunggu hasilnya keluar. Dia takut jika tidak sesuai dengan apa yang Ratri inginkan."Terima
"Jangan berharap lebih! Pernikahan ini akan berakhir tepat di hari kamu melahirkan! Tidak lewat satu menit pun!"Alana bungkam, tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau dia harus setuju."Tandatangani ini dan segera pindah ke rumah yang sudah disiapkan."Sekali lagi, tidak ada penolakan dari gadis berambut ikal yang hidupnya serasa berada di ujung tanduk itu."Ingat Alana, bersikaplah profesional." Seorang wanita paruh baya yang Alana kenal bernama Ratri itu pergi begitu saja membawa berkas yang sekaligus harapan baginya.Mata kering nan panas itu memejam sesaat. Entah benar atau salah keputusan yang diambil, tapi demi operasi sang ayah, Alana harus melakukan perjuangan hingga titik darah penghabisan."Aku yakin ini yang terbaik. Tuhan beri cobaan sepaket dengan jalan keluar. Aku percaya ini salah satu petunjuk untuk bisa keluar dari masalah ini." Sekali lagi Alana meyakinkan dirinya.Tak lama, sebuah panggilan telepon memecah heningnya lorong rumah sakit. "Alana, kemasi barang penting
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen