Home / Romansa / Rahasia di Rahim Alana / Perebutan Kekuasaan

Share

Perebutan Kekuasaan

Author: ShaSheMie
last update Last Updated: 2025-08-16 06:47:05

“Hari ini aku mau ke rumah sakit, Santi.” Alana mematut dirinya pada cermin. Dress putih panjang dibawah lutut bermotif bunga kecil warna-warni itu membuatnya tampak berbeda. Alana yang dulu hanya dress well saat ada acara saja, sedang belakangan baju hariannya sudah seperti akan menghadiri pesta sederhana.

“Apa perlu aku temani?”

Alana menggeleng. Dia ingin menikmati kesendiriannya. Satu bulan terus menerus berada dirumah membuatnya jengah.

“Aku udah kabarin Bu Ratri. Dia izinkan aku, tapi syaratnya jangan pulang sampai sore.”

Santi tersenyum. Alana begitu lemah lembut, meski full fasilitas gadis itu tak semena-mena. Meski istimewa, tapi tak pernah mau merepotkan.

Santi menyerahkan sebuah tas bekal ukuran sedang warna silver. “Ema sudah siapkan makan siang, cemilan, dan vitamin. Nikmati saat bersama ayahmu.”

“Ah, kalian berlebihan. Aku hanya pergi sebentar.”

“Ini titah Nyonya Ratri. Bagaimanapun kesehatan Nona nomor satu.” Santi mengerling disambut senyum simpul Alana.

Dengan perasaan tidak karuan Alana masuk ke dalam ‘mobil pribadinya’. 

Perjalanan cukup tenang, bahkan tak berniat ngobrol panjang dengan pak sopir yang sebenarnya ramah. Alana tidak mau menikmati apapun dengan perasaan mendalam, karena baginya ini hanya mimpi yang sewaktu-waktu bisa membuatnya bangun bahkan terlempar jauh.

Baru beberapa langkah, Alana harus terhenti karena seseorang meneriakkan namanya. Dia baru saja sampai di lobi rumah sakit dan berniat menuju lift lalu naik ke lantai lima. Sang ayah kini mendapat fasilitas perawatan VIP berkat Tantri.

“Hei! Kamu Alana kan?”

Desi, mantan teman kerja Alana sekaligus seseorang yang sering berulah. Wanita itu kerap membuat Alana tampak salah dimata mantan atasan.

“Hai,” sapa balik Alana dengan kikuk.

Desi memperhatikan penampilan Alana dari ujung kaki sampai ujung rambut. Mulai dari baju, tas, bahkan sepatu yang memang terkesan bukan style Alana biasanya.

“Apa kabar? Banyak berubah ya, kamu?”

Alana yang canggung dan kurang nyaman hanya tersenyum simpul.

“Aku tetap Alana yang sama,” jawabnya tanpa bertanya balik. 

Tak lama ponsel Alana berdering. Tampak raut terkejut di wajah Desi. Wanita itu tahu betul bagaimana rupa ponsel terakhir milik Alana. Keluaran tahun lawas juga retak di beberapa bagian. Sedang sekarang, Alana menggenggam ponsel model terbaru yang harganya berkali lipat dari gaji bulanan mereka dulu.

“Iya, Bu. Ini baru sampai. Saya nggak lupa, kok. Tadi Ema sudah membawakan bekal. Terima kasih.”

Setelah beres menelepon, wanita bernama Desi itu langsung saja  mendekat lalu berbisik di telinga kiri Alana, “Kamu jadi simpanan siapa? Kenalin aku, dong. Aku juga mau tiba-tiba kaya sepertimu.”

Alana terkesiap. “Apa maksudmu?”

“Aku tahu persis bagaimana kehidupanmu, Alana. Mustahil rasanya dalam waktu satu bulan semua bisa berubah sedrastis ini.” Desi kembali memindai penampilan Alana lengkap dengan gerak tangannya yang naik turun.

“Apapun bisa terjadi dan itu bukan urusanmu. Maaf, aku harus pergi.”

“Hei! Jadi wanita simpanan aja sombongnya luar biasa!”

Alana memejam sesaat. Cukup sudah berurusan dengan Desi. Sedari dulu tidak ada untung dan manfaatnya. Selalu membuat sakit hati.

 “Jaga bicaramu, Desi! Kita sudah nggak ada urusan apapun lagi. Jika kembali bertemu, mari jangan saling menyapa.” Alana berlalu begitu saja. Ingin rasanya membalas dengan kalimat yang lebih menusuk, tapi dia harus bisa menahan diri. Banyak hal dipertaruhkan dalam dirinya. Alana sudah biasa disalah pahami, maka untuk saat ini juga akan membiarkannya.

***

“Aku dengar kamu menikahkan Tara dengan wanita murahan untuk mendapat keturunan.”

Mirna memprovokasi. Hari ini Raharja meminta keduanya untuk datang ke sebuah resto privat untuk makan siang bersama sekaligus membicarakan acara ulang tahun perusahaan yang akan dirayakan dua bulan lagi.

Tadinya, Ratri ingin segera beranjak pergi, tapi dia memilih ke toilet sebentar untuk merapikan kembali penampilannya sebelum menuju ke pertemuan lainnya. Siapa sangka, Mirna malah mengikutinya.

“Kamu kira Raharja akan menyukai cara licik itu? Aku yakin tidak.” Mirna memang selalu seperti itu, jika di hadapan Raharja bak malaikat lemah lembut dan bijaksana. Sedang dibelakang, Mirna menebar kebencian.

“Bagaimanapun, Ringgo jauh lebih memenuhi kualifikasi.”

Ratri yang sebenarnya enggan berdebat mulai terpancing. Apalagi jika sudah menyangkut tentang anak.

“Ya, memang seperti itu kebanyakan.” Ratri melirik ke arah Mirna lalu berlagak memainkan kuku. “Saat seorang penggoda mendapatkan sesuatu yang membuatnya terbang. Dia akan lupa dari mana asalnya.” Kemudian meniup ujung-ujung kukunya yang cantik.

“Seingatku banyak sekali cerita beredar, sesuatu hal yang dimulai dengan keburukan, tidak memiliki akhir yang baik. Jangan kira aku tidak tahu keburukanmu. Hmm, lalu tentang Ringgo … apa kamu yakin dia anak kandung Raharja?”

Mirna mendelik, balasan Ratri membuatnya bungkam.

“Pakai kaca besar di kamarmu itu dengan baik baru membenahi pakaian orang lain.” Ratri menuju tempat sampah kecil di ujung ruangan, berniat membuang sampah lalu beranjak. Berlama-lama dengan Mirna membuatnya mual. Berebut laki-laki di usia ini sungguh terlihat lucu. Andai saja semua bisa lebih mudah, Ratri sudah melepas Raharja sejak lama.

“Akan aku pastikan suamiku tidak pernah menerima cucu dari Tara,” bisik Mirna lirih tapi penuh penekanan.

Ratri tersenyum jahil. “Perlu kamu ingat, dia suamiku juga. Kamu nggak tahu kan apa yang kami bicarakan saat berdua saja? Kamu juga tahu persis, Raharja terlihat sangar saat di luar, tapi …. Ah, aku terlalu banyak bicara.”

Ibunda Tara itu berlalu dengan tawa riang penuh kemenangan. Sejujurnya dia amat sangat kesal, bahkan jika bisa ingin sekali menampar bahkan menjambak rambut Mirna dengan membabi buta. Akan tetapi, bukan seperti itu pembalasan yang dia inginkan. Meskipun terasa begitu menusuk, elegan tetap nomor satu.

Ratri yakin, buah dari kesabarannya selama ini akan terbayar lunas dan tuntas dengan kebahagiaan di hari tuanya kelak.

Tiba-tiba, sebuah panggilan telepon masuk membuatnya marah, senang, sekaligus khawatir.

“Tahan dia, aku kesana sekarang.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia di Rahim Alana   Perebutan Kekuasaan

    “Hari ini aku mau ke rumah sakit, Santi.” Alana mematut dirinya pada cermin. Dress putih panjang dibawah lutut bermotif bunga kecil warna-warni itu membuatnya tampak berbeda. Alana yang dulu hanya dress well saat ada acara saja, sedang belakangan baju hariannya sudah seperti akan menghadiri pesta sederhana.“Apa perlu aku temani?”Alana menggeleng. Dia ingin menikmati kesendiriannya. Satu bulan terus menerus berada dirumah membuatnya jengah.“Aku udah kabarin Bu Ratri. Dia izinkan aku, tapi syaratnya jangan pulang sampai sore.”Santi tersenyum. Alana begitu lemah lembut, meski full fasilitas gadis itu tak semena-mena. Meski istimewa, tapi tak pernah mau merepotkan.Santi menyerahkan sebuah tas bekal ukuran sedang warna silver. “Ema sudah siapkan makan siang, cemilan, dan vitamin. Nikmati saat bersama ayahmu.”“Ah, kalian berlebihan. Aku hanya pergi sebentar.”“Ini titah Nyonya Ratri. Bagaimanapun kesehatan Nona nomor satu.” Santi mengerling disambut senyum simpul Alana.Dengan perasaa

  • Rahasia di Rahim Alana   Kecemburuan Asyila

    “Nona, Nona Alana harus makan.” Kali ini Ema berusaha membujuk.Alana sadar dirinya tak pantas merajuk, tapi rasa dalam dirinya masih begitu berantakan, dan kini hari sudah menjelang malam.“Ema, aku nggak tau apa aku bisa menelannya.”Ema tersenyum. “Ini adalah potato cheese bread hangat kesukaan nona. Aku tambahkan banyak keju di dalamnya.” Lantas menyodorkan sepiring tanggung kue yang dimaksud.“Aromanya enak,” gumam Alana. Aroma butter, keju dan susu yang menggoda.Sebenarnya dia lapar, entah apa yang membuat Alana malas makan. Tidak semua orang bisa cepat menerima perubahan bukan? Begitupun dengan Alana.“Dan ini susu cokelat hangat.”Akhirnya Alana beranjak, duduk perlahan di tepian ranjang. Bagian bawah tubuhnya masih terasa ngilu.“Aku mau susu cokelatnya dulu aja, Ema. Terima kasih banyak.”Ema mengangsur mug putih dari atas meja.Alana menerima lalu meneguknya perlahan. Hangatnya pas, jadi bisa meluncur nyaman di tenggorokan.“Tadi ada telepon dari Nyonya Ratri. Katanya dia

  • Rahasia di Rahim Alana   Hari Subur

    Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Alana duduk tegang di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas keras, hati serta pikirannya gagal membuat santai.Bunyi detik waktu menambah serunya permainan semesta. Alana menunggu Tara dengan tidak sabar. Bukan karena Alana menginginkannya. Gadis itu hanya penasaran, apakah sang suami siri benar-benar akan mendatanginya malam ini atau tidak.Tak lama, suara deru mobil membuatnya memejam kaku. Satu … dua … tiga ….Derap langkah cepat dan suara pintu dibuka dengan kasar sontak membuat Alana menoleh.Tara datang dalam keadaan kacau. Aroma alkohol menguar tajam, kemejanya tak serapi biasanya. Alana bimbang, bergerak mendekat untuk menyambut atau justru menjauh karena jujur dia sangat takut.Sorot tajam Tara menusuk mata Alana. Pintu kamar ditutup dengan sangat keras, lalu Tara mengancing serta melempar kuncinya ke sembarang arah.“Kamu nggak akan bisa melarikan diri. Kamu bilang aku bisa melakukan hal terburuk sekalipun kan? Jangan menyesal

  • Rahasia di Rahim Alana   Tiba-Tiba Menikah

    Ijab kabul dilaksanakan dengan sangat privat, hanya ada saudara sang ayah yang mewakili Alana sebagai wali, Ratri, Tara dan Penghulu.Pernikahan mereka sah secara agama. Tidak ada sesi foto bersama atau hal-hal yang membahagiakan di momen ini. Hening dan singkat. Bahkan, sang paman tidak diperbolehkan banyak berbincang dengan Alana.Gadis itu kembali ke kamarnya segera setelah ijab kabul selesai. Seperti sebuah permainan gelap yang hanya membutuhkan sedikit formalitas saja agar semua tetap berjalan dengan semestinya.Meski hanya sebuah pengukuhan ikatan semu, tapi hari ini Alana tetap dirias menawan meski sederhana. Alana mematut diri di cermin besar pojok kamar. Baju kurung putih dipadukan dengan bawahan songket warna abu-abu tua membuatnya berbeda. Anggun dan cantik. Sayangnya, sama sekali tidak ada yang peduli akan hal itu saat ini. Alana hanyalah alat untuk mewujudkan impian seorang kaya yang ingin tetap kaya.Tanpa sadar Alana tersenyum pada kaca. Senyum pahit yang entah bermak

  • Rahasia di Rahim Alana   Perjanjian

    Beberapa kantong belanja berjajar di lantai kamar Alana. Belum lagi di kasur dan meja rias. Alana bingung saat memasuki ruangan barunya ini."Ini semua dari Nyonya Ratri." Penjelasan singkat datang dari Ema sebelum Alana bertanya."Untuk apa semua ini, Ema?"Ema berjalan mengitari barang-barang itu. "Ada baju tidur, parfum, perawatan wajah dan tubuh, ada juga beberapa buku bacaan. Semuanya untuk Nona." Mata Ema berbinar. Pasalnya semua produk ini dari merk brand terkenal."Ah, bukankah ini terlalu berlebihan?""Tentu tidak, karena Nyonya Ratri menganggap Nona spesial."Alana tersenyum, bukan karena lucu tapi lebih ke menertawakan dirinya. Spesial dari mana? Saat ini Alana hanya sedang menjual diri."Apa ada yang Nona butuhkan lagi? Nona mau makan malam?"Alana menggeleng cepat. Seharian melakukan pemeriksaan medis ini dan itu membuatnya kehilangan selera makan. Sejujurnya, gadis itu berdebar menunggu hasilnya keluar. Dia takut jika tidak sesuai dengan apa yang Ratri inginkan."Terima

  • Rahasia di Rahim Alana   Disewakan, Segera!

    "Jangan berharap lebih! Pernikahan ini akan berakhir tepat di hari kamu melahirkan! Tidak lewat satu menit pun!"Alana bungkam, tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau dia harus setuju."Tandatangani ini dan segera pindah ke rumah yang sudah disiapkan."Sekali lagi, tidak ada penolakan dari gadis berambut ikal yang hidupnya serasa berada di ujung tanduk itu."Ingat Alana, bersikaplah profesional." Seorang wanita paruh baya yang Alana kenal bernama Ratri itu pergi begitu saja membawa berkas yang sekaligus harapan baginya.Mata kering nan panas itu memejam sesaat. Entah benar atau salah keputusan yang diambil, tapi demi operasi sang ayah, Alana harus melakukan perjuangan hingga titik darah penghabisan."Aku yakin ini yang terbaik. Tuhan beri cobaan sepaket dengan jalan keluar. Aku percaya ini salah satu petunjuk untuk bisa keluar dari masalah ini." Sekali lagi Alana meyakinkan dirinya.Tak lama, sebuah panggilan telepon memecah heningnya lorong rumah sakit. "Alana, kemasi barang penting

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status