Home / Romansa / Rahasia di Rahim Alana / Kecemburuan Asyila

Share

Kecemburuan Asyila

Author: ShaSheMie
last update Last Updated: 2025-07-05 09:15:05

“Nona, Nona Alana harus makan.” Kali ini Ema berusaha membujuk.

Alana sadar dirinya tak pantas merajuk, tapi rasa dalam dirinya masih begitu berantakan, dan kini hari sudah menjelang malam.

“Ema, aku nggak tau apa aku bisa menelannya.”

Ema tersenyum. “Ini adalah potato cheese bread hangat kesukaan nona. Aku tambahkan banyak keju di dalamnya.” Lantas menyodorkan sepiring tanggung kue yang dimaksud.

“Aromanya enak,” gumam Alana. Aroma butter, keju dan susu yang menggoda.

Sebenarnya dia lapar, entah apa yang membuat Alana malas makan. Tidak semua orang bisa cepat menerima perubahan bukan? Begitupun dengan Alana.

“Dan ini susu cokelat hangat.”

Akhirnya Alana beranjak, duduk perlahan di tepian ranjang. Bagian bawah tubuhnya masih terasa ngilu.

“Aku mau susu cokelatnya dulu aja, Ema. Terima kasih banyak.”

Ema mengangsur mug putih dari atas meja.

Alana menerima lalu meneguknya perlahan. Hangatnya pas, jadi bisa meluncur nyaman di tenggorokan.

“Tadi ada telepon dari Nyonya Ratri. Katanya dia akan mengirim pesan.”

Helaan napas dalam menjeda tegukannya.

“Aku lupa dimana ponselku, Ema.”

“Ada diatas meja rias, tadi Santi mengisi dayanya.”

Alana bergerak perlahan, meraih ponselnya yang memang dia setting bungkam.

Bilah notifikasi penuh entah dengan pemberitahuan apa. Mulai dari laporan proses pengobatan sang ayah, sampai ke pemberitahuan jika ada sejumlah saldo masuk ke rekening barunya. Antara bersyukur dan senang sang ayah bisa menjalani pengobatan dengan baik, tapi juga hancur dan sedih yang tidak bisa diungkapkan.

“Ayahku pasti akan marah jika tahu aku mengambil keputusan ini, Ema.”

Ema tidak menjawab karena di sendiri bingung mau mengatakan apa. 

[Langkah yang bagus, Alana. Aku sangat mengharapkan hasil yang baik juga untuk pengorbananmu semalam. Aku mengirim sejumlah uang ke rekeningmu.]

Entah bagaimana, Alana sama sekali tak tertarik dengan deretan angka yang selama ini mungkin hanya ada dalam angannya. 

“Ayo makan kuenya sebelum dingin, Nona.”

Tidak ada alasan lagi menolak, di harus tetap hidup. Maka Alana perlu makan untuk mendapatkan tenaga, apalagi jika nanti dia berhasil hamil.

***

Tara duduk dengan gusar di kursi kerjanya. Sedari tadi sama sekali tidak fokus dengan pekerjaan. Ingatannya kembali saat dirinya terbangun memeluk Alana pagi tadi dalam keadaan polos. Tara sadar bagaimana berantakannya mereka semalam.

“Gila! Aku bisa gila!” Tara meremas rambut dengan kasar. Pria itu belum pulang sama sekali. Mandi dan ganti baju di kantor. Tara memang selalu sedia setelan baju kerja di ruangannya.

“Gimana aku harus hadapi Asyila setelah ini?” 

Tara melirik pada ponsel yang sedari tadi hening. Asyila tak mencarinya sama sekali, bahkan tak membalas pesan pagi tadi.

“Hallo, Sayang,” sapa Tara saat panggilannya terhubung.

“Iya.” Hanya itu jawaban Asyila. Tara paham Asyila pasti sedang marah. 

“Kamu marah?” tanyanya basa-basi.

“Hmm, enggak. Aku hanya….” Asyila terdengar menghela napas panjang.

“Hanya perlu terbiasa,” katanya terdengar pasrah.

Bisa dibilang ini masalah rumit, memang tidak melibatkan hati, tapi tetap saja ada yang harus terbagi.

“Maafkan aku. Meski aku ucapkan kata maaf berkali-kali aku tahu nggak akan bisa mengobati sakit hatimu, Asyila.”

“Bukan salahmu, Tara. Aku hanya harus berusaha lebih keras untuk menerima keadaanku. Aku yang bermasalah dan keputusan ini adalah persetujuan kita bersama.”

Tara paham jika sebenarnya Asyila tak 100% menyetujui rencana sang mama, hanya saja tidak ada pilihan lain sebagai mendukung.

“Bentar lagi aku pulang, kita bicara di rumah, ya.”

Banyak hal yang harus dipertimbangkan jika Tara menolak keras permintaan sang mama.

Dirinya dulu masih terlalu kecil untuk mengerti mengapa Ratri setiap malam selalu menangis. Tak lama, Raharja, suami sekaligus ayah Tara memperkenalkan pria kecil bernama Ringgo bersama seorang wanita muda bernama Mirna yang juga harus dia panggil ibu. 

Setelah hari itu semua berubah. Raharja seorang didominasi oleh Mirna. Tara kecil kehilangan sosok ayah yang sebenarnya. Pria itu ada tapi hanya bagai bayangan saja, mulai dari sosoknya yang jarang pulang, pertengkaran demi pertengkaran, kekerasan yang harus dialami Ratri, sampai pada sebuah keputusan menyakitkan saat Tara dan Ringgo mulai dewasa.

“Hanya yang lebih dulu memberiku cucu saja yang akan mewarisi seluruh kerajaan Raharja.”

Setelah mendengar itu, Ratri mulai menggila. Tara dipaksa menikah segera dengan Asyila meski hubungan mereka masih sangat baru.

Tak semulus rencana, Asyila justru tak kunjung hamil. Bahkan sempat mengalami keguguran. Ratri memaksa melakukan program bayi tabung. Sayangnya, tubuh Asyila dinyatakan tak cukup kuat.

Satu tahun terakhir Ratri semakin gusar, pasalnya Ringgo sudah merencanakan pernikahan. Wanita paruh baya yang sudah lama terenggut kebahagiaannya itu mulai memikirkan berbagai cara. Dia tidak ingin jika apa yang telah lama dijaga hilang begitu saja. Lebih-lebih dikuasai Mirna si perebut suami orang.

Bukan hanya kali ini Ratri membawa gadis muda belia sebagai calon ibu dari cucu kandungnya dari Tara, tapi semua tak berakhir baik seperti yang diinginkan.

Alana membawa harapan baru bagi Ratri, sekaligus luka bagi pernikahan Tara dan Asyila. 

Sebenarnya, semua tak ada yang baik-baik saja. Masing-masing memeluk luka dan berlomba saling menyelamatkan.

***

“Bagaimana keadaanmu, Alana?” 

Tiga hari setelah malam kelam itu Ratri datang. Alana sudah jauh lebih baik, tidak ada alasan untuk merajuk.

“Cukup baik, Bu.”

Ratri menghela napas dalam lalu mengangguk beberapa kali.

“Aku meminta maaf jika kamu harus terluka.”

Alana menunduk dalam. Kalimat Ratri terdengar tulus.

“Ini sudah konsekuensi yang harus saya terima, Bu. Yang penting ayah saya baik-baik saja, maka apapun itu akan saya jalani.”

Ratri tersenyum tipis. Alana tak ubahnya seperti Tara. Anak yang saling berjuang demi orang tuanya.

“Kamu anak yang baik,” puji Ratri diam-diam.

Tak lama dari obrolan itu Ratri menerima panggilan dari Asyila pada ponselnya. Wanita itu menjauh. Alana sadar dia tak perlu tahu tentang apapun.

Alana berjalan menuju dapur untuk mencari Ema. Dia pikir Ratri sudah pulang sejak tadi. Ternyata, Ratri dan lainnya sedang menyiapkan banyak bahan makanan segar.

“Saya pikir ibu sudah pulang.”

Ratri menggeleng. “Aku masih ada urusan dengan Ema dan Santi.”

Alana sungkan sendiri, selama berada di rumah ini, dia tidak diperbolehkan menyentuh pekerjaan rumah sama sekali.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Santi menggeleng. “Tidak perlu, Nona. Kami bisa mengatasinya.”

“Ini semua untukmu, Alana. Kamu harus banyak makan makanan bergizi, segar, dan pilihan. Cucuku harus tumbuh dari diri seorang ibu yang sehat.”

Hati Alana menghangat. Meski tak seratus persen perhatian itu tertuju padanya, tapi gadis itu cukup terharu. Selama ini dia hanya tahu kenyang tanpa memikirkan isi piringnya. Entah sehat atau hanya karbohidrat bertemu karbohidrat.

“Terima kasih,” lirihnya dengan senyum yang terasa berat.

***

“Aku harap kamu hanya melakukannya sekali ini saja, Tara.” Asyila menangis dalam pelukan. Merajuk karena tahu sang suami telah berbagi tubuh dengan wanita lain yang menjadi madu sirinya.

“Doakan saja itu berhasil. Kamu kira aku suka?” Tara mengecup kening sang istri, berharap bisa menenangkan.

“Tapi kamu menikmatinya.” Asyila memberi jarak pada pelukan.

Tidak munafik, Tara adalah pria normal. Tidak mungkin bercinta tanpa menikmatinya. Akan tetapi, tidak ada perasaan di dalamnya.

“Kamu tahu persis bagaimana aku, Asyila. Jika mau, sejak dulu sudah aku lakukan banyak hal curang seperti itu.”

Asyila menunduk, Tara mengangkat dagunya, lalu mengecup bibir bergincu merah itu perlahan.

“Sampai kapanpun hanya kamu yang berhak mengisi segala hal dalam hidup aku.”

“Janji?” Asyila mengangkat kelingking kanannya.

“Janji!” Lalu Tara mengaitkan dengan kelingking miliknya.

Seperti tidak ada apa-apa sebelumnya, keduanya kemudian memadu kasih yang masih selalu membara.

Hanya saja ada yang menusuk hati Asyila kali ini. Bekas cakaran di bahu Tara terlalu jelas, membuat angannya membayang saat suaminya bercinta seperti ini dengan selain dirinya.

Bisa saja Asyila menolak keras permohonan Ratri untuk berbagi suami, tapi Asyila punya pertimbangan sendiri. Meski sebenarnya dia takut jika cucu yang begitu diharapkan sang mertua itu suatu saat akan membuatnya jauh dari Tara.

"Tara, berjanjilah jangan pernah berubah apapun keadaannya," bisik Asyila ditelinga Tara yang mulai kesulitan bertahan. Pria itu hanya mengecup kening sang istri sembari memberi hentakan terakhir tanda permainan segera berakhir.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia di Rahim Alana   Perebutan Kekuasaan

    “Hari ini aku mau ke rumah sakit, Santi.” Alana mematut dirinya pada cermin. Dress putih panjang dibawah lutut bermotif bunga kecil warna-warni itu membuatnya tampak berbeda. Alana yang dulu hanya dress well saat ada acara saja, sedang belakangan baju hariannya sudah seperti akan menghadiri pesta sederhana.“Apa perlu aku temani?”Alana menggeleng. Dia ingin menikmati kesendiriannya. Satu bulan terus menerus berada dirumah membuatnya jengah.“Aku udah kabarin Bu Ratri. Dia izinkan aku, tapi syaratnya jangan pulang sampai sore.”Santi tersenyum. Alana begitu lemah lembut, meski full fasilitas gadis itu tak semena-mena. Meski istimewa, tapi tak pernah mau merepotkan.Santi menyerahkan sebuah tas bekal ukuran sedang warna silver. “Ema sudah siapkan makan siang, cemilan, dan vitamin. Nikmati saat bersama ayahmu.”“Ah, kalian berlebihan. Aku hanya pergi sebentar.”“Ini titah Nyonya Ratri. Bagaimanapun kesehatan Nona nomor satu.” Santi mengerling disambut senyum simpul Alana.Dengan perasaa

  • Rahasia di Rahim Alana   Kecemburuan Asyila

    “Nona, Nona Alana harus makan.” Kali ini Ema berusaha membujuk.Alana sadar dirinya tak pantas merajuk, tapi rasa dalam dirinya masih begitu berantakan, dan kini hari sudah menjelang malam.“Ema, aku nggak tau apa aku bisa menelannya.”Ema tersenyum. “Ini adalah potato cheese bread hangat kesukaan nona. Aku tambahkan banyak keju di dalamnya.” Lantas menyodorkan sepiring tanggung kue yang dimaksud.“Aromanya enak,” gumam Alana. Aroma butter, keju dan susu yang menggoda.Sebenarnya dia lapar, entah apa yang membuat Alana malas makan. Tidak semua orang bisa cepat menerima perubahan bukan? Begitupun dengan Alana.“Dan ini susu cokelat hangat.”Akhirnya Alana beranjak, duduk perlahan di tepian ranjang. Bagian bawah tubuhnya masih terasa ngilu.“Aku mau susu cokelatnya dulu aja, Ema. Terima kasih banyak.”Ema mengangsur mug putih dari atas meja.Alana menerima lalu meneguknya perlahan. Hangatnya pas, jadi bisa meluncur nyaman di tenggorokan.“Tadi ada telepon dari Nyonya Ratri. Katanya dia

  • Rahasia di Rahim Alana   Hari Subur

    Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Alana duduk tegang di pinggiran ranjang dengan tangan saling meremas keras, hati serta pikirannya gagal membuat santai.Bunyi detik waktu menambah serunya permainan semesta. Alana menunggu Tara dengan tidak sabar. Bukan karena Alana menginginkannya. Gadis itu hanya penasaran, apakah sang suami siri benar-benar akan mendatanginya malam ini atau tidak.Tak lama, suara deru mobil membuatnya memejam kaku. Satu … dua … tiga ….Derap langkah cepat dan suara pintu dibuka dengan kasar sontak membuat Alana menoleh.Tara datang dalam keadaan kacau. Aroma alkohol menguar tajam, kemejanya tak serapi biasanya. Alana bimbang, bergerak mendekat untuk menyambut atau justru menjauh karena jujur dia sangat takut.Sorot tajam Tara menusuk mata Alana. Pintu kamar ditutup dengan sangat keras, lalu Tara mengancing serta melempar kuncinya ke sembarang arah.“Kamu nggak akan bisa melarikan diri. Kamu bilang aku bisa melakukan hal terburuk sekalipun kan? Jangan menyesal

  • Rahasia di Rahim Alana   Tiba-Tiba Menikah

    Ijab kabul dilaksanakan dengan sangat privat, hanya ada saudara sang ayah yang mewakili Alana sebagai wali, Ratri, Tara dan Penghulu.Pernikahan mereka sah secara agama. Tidak ada sesi foto bersama atau hal-hal yang membahagiakan di momen ini. Hening dan singkat. Bahkan, sang paman tidak diperbolehkan banyak berbincang dengan Alana.Gadis itu kembali ke kamarnya segera setelah ijab kabul selesai. Seperti sebuah permainan gelap yang hanya membutuhkan sedikit formalitas saja agar semua tetap berjalan dengan semestinya.Meski hanya sebuah pengukuhan ikatan semu, tapi hari ini Alana tetap dirias menawan meski sederhana. Alana mematut diri di cermin besar pojok kamar. Baju kurung putih dipadukan dengan bawahan songket warna abu-abu tua membuatnya berbeda. Anggun dan cantik. Sayangnya, sama sekali tidak ada yang peduli akan hal itu saat ini. Alana hanyalah alat untuk mewujudkan impian seorang kaya yang ingin tetap kaya.Tanpa sadar Alana tersenyum pada kaca. Senyum pahit yang entah bermak

  • Rahasia di Rahim Alana   Perjanjian

    Beberapa kantong belanja berjajar di lantai kamar Alana. Belum lagi di kasur dan meja rias. Alana bingung saat memasuki ruangan barunya ini."Ini semua dari Nyonya Ratri." Penjelasan singkat datang dari Ema sebelum Alana bertanya."Untuk apa semua ini, Ema?"Ema berjalan mengitari barang-barang itu. "Ada baju tidur, parfum, perawatan wajah dan tubuh, ada juga beberapa buku bacaan. Semuanya untuk Nona." Mata Ema berbinar. Pasalnya semua produk ini dari merk brand terkenal."Ah, bukankah ini terlalu berlebihan?""Tentu tidak, karena Nyonya Ratri menganggap Nona spesial."Alana tersenyum, bukan karena lucu tapi lebih ke menertawakan dirinya. Spesial dari mana? Saat ini Alana hanya sedang menjual diri."Apa ada yang Nona butuhkan lagi? Nona mau makan malam?"Alana menggeleng cepat. Seharian melakukan pemeriksaan medis ini dan itu membuatnya kehilangan selera makan. Sejujurnya, gadis itu berdebar menunggu hasilnya keluar. Dia takut jika tidak sesuai dengan apa yang Ratri inginkan."Terima

  • Rahasia di Rahim Alana   Disewakan, Segera!

    "Jangan berharap lebih! Pernikahan ini akan berakhir tepat di hari kamu melahirkan! Tidak lewat satu menit pun!"Alana bungkam, tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau dia harus setuju."Tandatangani ini dan segera pindah ke rumah yang sudah disiapkan."Sekali lagi, tidak ada penolakan dari gadis berambut ikal yang hidupnya serasa berada di ujung tanduk itu."Ingat Alana, bersikaplah profesional." Seorang wanita paruh baya yang Alana kenal bernama Ratri itu pergi begitu saja membawa berkas yang sekaligus harapan baginya.Mata kering nan panas itu memejam sesaat. Entah benar atau salah keputusan yang diambil, tapi demi operasi sang ayah, Alana harus melakukan perjuangan hingga titik darah penghabisan."Aku yakin ini yang terbaik. Tuhan beri cobaan sepaket dengan jalan keluar. Aku percaya ini salah satu petunjuk untuk bisa keluar dari masalah ini." Sekali lagi Alana meyakinkan dirinya.Tak lama, sebuah panggilan telepon memecah heningnya lorong rumah sakit. "Alana, kemasi barang penting

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status