Share

4: Bukan malaikat penolong

بسم الله الرحمن الرحيم

“Rion, kemasi barang barangmu, kita pinda ke hotel.”

Rion memandang Alistar bingung.

“Bibi Margaret sepertinya sudah gila.”

“Kenapa bos?”

“Lupakan, yang jelas kemasi barang barangmu dan langsung pinda ke hotel.”

Ucap Alistar lalu pergi.

Rion melihat Luci.

“Luci ada apa?”  tanya Rion.

“Bibi Margaret kesurupan.”  Luci langsung pergi.

Rion berpikir sangat mustahil di zaman modern ini ada yang kesurupan. Tapi melihat Luci yang ketakutan membuatnya juga penasaran, diam-diam Rion mengintip dari samping, melihat bibi Margaret yang berlumuran darah yang sedang menangis.

‘Mereka benar sepertinya bibi Margaret kesurupan.

Rion langsung berlari pergi.

Sebuah pesan muncul.

Dua miss call dan satu pesan.

“Bibi Margaret kesurupan.”

“Sayang telephone dari siapa?” teriak seorang wanita.

“Cuma orang iseng sayang” teriaknya.  

Thomi mematikan telepon tidak mempedulikan pesan dari Rion lagi pula dia dokter bukan dukun.

Seina menatap sekeliling dengan rasa penasaran sampai pelayan datang menyajikan satu burger dengan dua susu.

Seina memakan dengan lahap, sementara Robin sibuk memperhatikan Seina sambil sesekali menyesap kopi hitam.

“Hallo.”

“Sayang kamu lagi ada di mana?

Robin akhirnya ingat pada kekasihnya yang dia tinggal karena melihat Seina.

“Aku ada di café.”

“Kenapa kamu pergi?

“Aku tadi ada urusan mendadak.”

“Urusa apa?

“Urusan mendadak.“

“Urusan mendadak itu urusan apa?.”

Seina memakan hamburger dengan lahap hingga pipinya mengebung seperti tupai.

“Urusan—”

“Kamu pasti menyembunyikan sesuatu kan, mengaku saja kamu.”

Seina yang melihat es krim langsung berlari.

“Tunggu Seina kamu mau ke mana?" serunya.

“Siapa Seina?”

“Sayang nanti aku telepon lagi ya.”

“ Halo—” Robin langsung berlari tapi Kembali meletakan uang seratus ribu di meja.

“Pelayan…,uangnya di meja ya.”

Robin langsung pergi mengejarnya.

Seina mengantre es krim.

“Apa yang kamu lakukan?”

“Es krim,” balasnya.

Setelah sampai pada gilirannya.

“Aku mau coklat,” ujarnya.

Penjual itu memberikannya es krim coklat,

Seina langsung pergi. “Bayar dulu Tuan.”

“Tapi bukan aku yang membelinya.”

“Tapi itu kekasihmu.” penjual es krim itu mengeluarkan pisau sehingga Robin langsung membayarnya.

Seina yang memakan es krim duduk di bangku kayu dekat jalan di bawah pohon.

Memakan es krimnya dengan lahap.

Robin langsung duduk. “Apa kamu sudah kenyang?”

Seina mengangguk.                                     

“Astaga… aku pasti sudah gila karena tidak melaporkanmu ke polisi.” Robin mengacak-acak rambutnya karena frustasi.

Seina memandang Robin dengan tatapan polosnya membuatnya tidak tega menyakitinya, karena melihat Seina membuatnya teringat dengan adiknya yang sudah meninggal.

“Di mana terakhir kamu meletakan map amplop?”

“Aku tidak tau.”

“Map amplop.” Robin membuat gerakan dengan jarinya menggambarkan map amplop yang berbentuk persegi panjang.

“Yang berwarna coklat.”

“Aku sama sekali tidak tau.”

“Bagaimana bisa.” Seina menggelengkan kepalanya

“Ini lap sendiri mulutmu,” ucapnya.

“Em…, aku meletakan map  itu di kursi taman.”

“Kursi yang mana?”

“Dekat tempat makan.”

“Oh… map amplop, map amplop. Saya duluan Seina.”

Robin berlari pergi, sementara Seina menyeka noda es krim yang berada di tangannya.

Alistar sedang memandang keluar, melihat bayangan Seina yang sedang makan es krim.

Merasa itu hanya orang yang mirip dia tidak mempermasalahkannya.

 ***

Seina melihat sebuah hotel besar di depannya.

“Maaf nona anda tidak boleh masuk.”

Mendengar itu Seina langsung pergi.

Dia hanya bisa duduk dibangku taman yang terletak di depan hotel.

Seina terlihat seperti patung saat duduk di sana, tanpa melakukan apapun menatap jalan depannya tanpa minat.

Bahkan saat langit sudah gelap Seina tetap masih setia menunggu di sana.

Seorang wanita cantik turun dari mobil, para pelayan menyambutnya dengan ramah.

Wanita itu membalasnya dengan tersenyum.

“El…” ucapnya.

Elina berbalik melihat seorang wanita yang seumuran dengannya, bajunya kotor terkena noda, rambutnya yang berantakan bahkan ada daun yang menempel pada wajahnya.

“Siapa kamu?” tanyanya.

Pengawal langsung menarik Seina pergi dengan paksa.

“Lepaskan,” serunya.

Seina menangis. “Ini aku,” ujarnya.

“Lepaskan!” Pengawal itu membawa Seina pergi dan mendorongnya keluar pintu gerbang.

Wanita itu Elina memandang kepergian Seina dengan tatapan kebingungan.

“Nona, maafkan kami dalam mengatur keamanan—” Jake memotong perkataan Manajer.

“Ayo nona.” ujarnya.

Mengajak Elina untuk masuk dan beristirahat.

Seina bersandar pada pagar hotel, memukul pagar besi itu dengan tangannya.

Kejadian yang dialami Seina terekam jelas di dalam ingatan Alistar membuatnya mengingatkannya pada masa kecilnya.

Alistar benci perasaan ini.

Seina mendongak menatap seorang pria yang sudah mengusirnya. Alistar menatap wajah tanpa ekspresi Seina.

Mengulurkan tangannya.

“Ikutlah denganku, akan aku balaskan dendammu.”

“Aku tidak membenci mereka,” tolaknya.

Mencengkeram dagu Seina dengan kuat.

“Ck, jangan menolak tawaran saya.”

Seina berusaha keras mengelengkan kepalanya merasa sangat ketakutan.

Menghempaskan wajah Seina dari cengkeramannya lalu berjalan menjauh. “Cepat atau lambat kamu akan mati, dan semua keinginanmu hanyalah sebatas mimpi yang tidak bisa kamu wujudkan,” jelasnya.

Seina menundukkan kepalanya, dia tidak ingin mati, dia masih harus bertemu dengan keluarganya. Melihat Alistar yang pergi Seina berlari.

Jantung Alistar berdetak saat Seina memeluknya dari belakang. “Tolong aku, kumohon…,” gummanya.

‘Menyedihkan.’                

Beberapa orang yang lewat mengerutkan kening, saat melihat Alistar yang berpakaian seperti Tuan muda yang kaya yang sedang dipeluk Seina yang mirip gelandangan.

الحمد لله

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status