Setelah menuntaskan momen panasnya dengan Pramam semalaman. Anne cukup kelelahan dan membutuhkan banyak asupan, seperti jus di pagi hari. Kini tubuhnya hanya dibalut gaun tidur tipis dengan rambut yang dicepol.Cukup banyak jejak kemerahan yang menghias di leher. Namun, Anne tidak malu jika bawahannya melihat hasil karya Pramam yang luar biasa. Seolah hal itu kelewat biasa menjadi pandangan sedap Rina beserta asisten lain di rumah.Anne menjumpai Rina yang sedang sibuk mengambil makanan dari kulkas. Gadis itu sepertinya mulai sibuk mempersiapkan sarapan untuk tuannya. Lantas Anne mendekati Rina dengan wajah bingung karena tak mendapati sosok Mara di sana. Sebab biasanya, Mara sudah duduk manis di stool sembari membantu Rina sedikit-sedikit.“Lho Mara ke mana, Rin?” tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke sekitar.Rina mengangkat wajah, sedikit terkejut karena aroma wangi Anne menguar cukup menusuk hidung. “Ada di kamar, Nyonya, tadi muntah-muntah lagi,” jawabnya jujur dengan menunjuk
Pramam menaikkan alis. “Maksud kamu … kamu mau?”Ia dapat menyaksikan perubahan raut Mara kala menatapnya. Kedua pipi itu bersemu merah, ditambah bibir bawah yang digigitnya pelan. Menunjukkan gelagat malu yang disukainya juga dirindukannya akhir-akhir ini.Tangannya bergerak menyentuh pundak si gadis. Lalu tubuhnya mendekat dan mendaratkan beberapa kecupan di leher jenjang Mara. Tak ada penolakan yang ia terima seperti sebelumnya, justru gadis itu melenguh keenakan.Namun, hanya beberapa waktu berselang, Pramam menghentikan kegiatannya mendadak. Mara menahan dada, malah mendorongnya pelan kemudian. Ia merangkum paras cantik itu dengan tatapan bingung. “Aku nggak seburuk itu sampai pengen dimanja sama suami orang,” tolak keras Mara, “aku masih waras, Mas.”“Biarpun suami orang, tapi aku ayah dari anak ini. Aku nggak bisa lepas tanggungjawab, Ra. Lagian aku juga masih sayang sama kamu,” ungkap Pramam tampak tulus, sorotnya menggambarkan keseriusan. “Jujur aku khawatir pas dengar kamu
Anne meraup wajah ke sekian kali karena frustasi. Tak peduli betapa sempurna riasannya kini. Wanita itu meneliti Pramam yang baru memasuki mobil dan diantar sang sopir pribadi. Sampai detik ini, ia belum mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri. Pria itu sudah pergi ke kantor dan sekarang, pikirannya jadi penuh akibat ucapan Varen sewaktu di rumah sakit. Bagaimana jika memang benar kalau kondisi perusahaan Pramam sedang di ambang kehancuran? Bukankah ini akan jadi malapetaka kalau-kalau anak mereka lahir? Lalu bagaimana nasib si jabang bayi seandainya Pramam bangkrut? Anne tidak mungkin meminta bantuan pada orangtuanya tanpa usaha apa pun. “Rin?” panggilnya tiba-tiba ketika mendapati asistennya melintasi teras rumah. “Iya, Nyonya?” “Soal makan siang Mara, kamu yang urus, ya.” Anne menggerakkan pergelangan tangan, menatap arloji yang melingkar. “Saya ada perlu di luar, mungkin bisa pulang sore atau malam.” Anne melangkah ke dalam rumah tanpa mendengar tanggapan Rina. Kakinya m
“Mundur atau aku teriak?”Anne tak tahu sikap Varen bisa semendadak berubah begini. Harus melontarkan ancaman lebih dulu untuk membuat pria itu sadar atas perbuatannya yang jelas kurang disenangi lawan. Anne mampu meloloskan diri begitu menarik tubuh dari kaca jendela.Varen terkekeh. “Aku nggak akan melakukan sesuatu hal yang senonoh sama kamu, Ann,” katanya. “Nggak perlu sepanik itu kali.”“Aku minta bantuan kamu, Ren, tapi kenapa sikapmu malah begitu?” Mata Anne melirik sinis. “Kalau kamu nggak bisa bantu, tinggal bilang. Biar aku cari orang lain yang bersedia bantu.”Anne sudah mengayunkan langkah. Bahunya bergerak naik-turun, menandakan emosi mulai memenuhi benaknya. Namun, lengannya ditarik paksa oleh Varen. Mau tak mau, kakinya berhenti.Sebelum ia menoleh dan melempar protes, Varen lebih dulu bergerak hingga berdiri di hadapannya. Tampang pria itu kelihatan datar, tapi detik setelahnya justru menyunggingkan senyum tipis. Anne tak mengerti maksud dari itu semua, ia memilih mele
“Just shut up!”Mendengar teriakan Pramam, Varen tak terkejut sama sekali. Ditambah si pemilik ruang itu menggebrak meja. Lalu mengambil paksa foto yang masih mengapit di jemari Varen.Varen menyeringai. “Takut banget lo, Pram?”Kesabaran Pramam mulai menipis. Ia bergerak mengitari meja dan berhadapan langsung tanpa banyak jarak dengan Varen. Jika tadi usahanya tak berhasil merampas foto USG Mara, kali ini ia tak akan gagal.“Balikin foto itu atau gue lapor polisi?” ancamnya telak.Pria itu tetap pada pendiriannya. Memasang wajah remeh dan menekan foto tersebut dala genggamannya. Sementara Pramam sudah menatap nyalang.“Yakin mau lapor polisi?” Kepala Varen meneleng. “Bukannya gue yang ditangkap, malah lo sendiri atas dugaan kasus korupsi perusahaan sendiri.”Sontak Pramam bergeming tanpa berkedip. Tubuhnya menegang seketika begitu mendengar penuturan Varen yang luar biasa mengejutkan. Bagaimana musuhnya itu tahu soal tindak korupsi yang sedang menjadi pembahasan panas akhir-akhir ini
“Bapak apa kabar?” Anne menyapa ayah mertuanya ramah.Seperti biasa, Anne dihujani kecupan setelah mendapat pelukan hangat dari Dharma Basuki. Ayah mertua yang sangat menyayanginya. Berbeda sekali dengan Ina yang kerap memberikan petuah berbentuk cibiran belaka. “Baik, Anne gimana sekarang?” balas Dharma. Kemudian menatap tubuh sang menantu yang kelihatan berbeda. “Kalau memang belum dapat rejeki, kamu bisa berusaha lagi sama Pramam.”Mendengar itu, Anne lumayan trenyuh. Perpisahan yang kembali dialaminya karena keguguran beberapa waktu lalu membuat batinnya pedih. Guna menyudahi perasaannya itu, ia menarik pundak Mara yang saat itu tak begitu jauh darinya.“Ini program yang lagi Anne jalani sama Mas Pram, Pak,” jelasnya sekilas melirik Mara dengan senyum.Dharma mengangguk paham. “Bapak tahu, dan … semua lancar?”“Janinnya sehat,” tukas Anne percaya diri. “Iya, kan Mara?”Mara pun mengiyakan melalui gerakan kepala yang naik-turun. Tak lupa gadis itu tersenyum ramah seolah sudah akra
“Kamu pikir saya nggak bisa melacak ke mana saja uang itu, hah?”Kini Pramam sudah berlutut di lantai dingin. Berhadapan dengan ayahnya yang menatapnya nyalang. Tampangnya beringas dan penuh amarah. Dan sudah beberapa barang pecah belah berhamburan di lantai.Sebagian pecahannya pula sudah mengenai kulit Pramam. Tetap tak membuat Dharma khawatir sama sekali sebagai ayah kandungnya. Dengan tangis yang lirih bersama tubuh bergerak naik-turun karena sesenggukkan pun tak membuat perubahan apa pun.“Sisanya ke mana?” sentak Dharma. “Di rumah ini?” tebaknya.“Ampun, Pak,” rengek Pramam. “Saya pasti kembalikan dana itu, saya sudah menemukan cukup investor untuk menutupnya.”“HALAH!” sambar Dharma. “Kamu itu nggak usah kebanyakan berbohong, perusahaan Herlambang bahkan nggak bisa kamu taklukkan, lalu sekarang? Mau apa kamu?”Pramam menegang di tempat. Sejauh ini, ia belum mendengar soal pengajuan bantuan ke perusahaan keluarga musuhnya. Meskipun Varen sudah memperingatkannya lebih dulu, ia ta
“See?” Anne mengulurkan ponsel dan menunjukkan layar benda pipih itu yang menyala pada Varen. “Ibu mertuaku udah mulai ngomel karena aku belum sampai di butik.”Varen menangkap nama yang tertera di sana. Juga ekspresi Anne yang bosan, lebih ke muntab karena ulah Ina Basuki. Padahal menantunya itu baru saja meluapkan perasaan sekaligus kegelisahaannya selama ini.Detik selanjutnya, Varen bangkit dari duduk. Ia mengangsurkan telapak tangan pada Anne. “Aku antar ke butik,” tawarnya.“Nggak usah,” tolak Anne. “Aku bawa mobil sendiri, Ren.”Varen membuang napas pendek, lalu memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. “Oke, aku antar pakai mobil kamu. Mana kuncinya?”“Terus gimana sama mobil yang kamu bawa ke sini?”“Gampang, biar sekretarisku yang urus.” Tangan pria itu masih mengulur seakan menunggu Anne memberikan kunci mobilnya.Tak lama kemudian, Anne merogoh tas dan memberikan kuncinya pada Varen. “Emang nggak ngerepotin?” Ia menatap ragu.“Justru aku senang kalau direpotin sam