Share

Rahim Pengganti
Rahim Pengganti
Penulis: Rein_Angg

Ch 01 Desah Asing di Tengah Malam

Langkah kaki tanpa suara diambil oleh Dyandra malam ini. Ia memutuskan untuk mencari kebenaran dari kecurigaannya selama satu minggu terakhir. Sudah terlalu sering suaminya menghilang dari ranjang mereka antara jam satu sampai dua malam ketika ia sedang tertidur lelap.

Kuatkan dirimu, Dyandra! Semua harus jelas malam ini!

Ia berusaha menguatkan batinnya. Apa pun yang terjadi akan dihadapi dengan sekuat tenaga. Namun, detak jantungnya saat ini semakin kencang seakan hendak melompat jauh pergi dari badannya.

Langkah demi langkah dijalani oleh Dyandra menuruni tangga beroles pualam, di rumah megah nan mewah milik keluarga besar Arka Hasbyan, sang suami. Kemudian ia berlanjut, berjingkat menuju kamar tamu di sisi selatan bangunan yang saking besarnya, bisa disamakan dengan sebuah istana ini.

Lampu hias teramat besar tergantung di langit-langit rumah dengan cantik meski dalam keadaan padam. Lukisan di atap yang mirip dengan museum-museum seni di Eropa terlihat sangat indah apabila lampu tersebut menyala.

Dengan berjalan sepelan mungkin tanpa suara, ia semakin mendekati kamar tamu. Napas Dyandra terhenti sekian detik saat telinganya mendengar apa yang ia sebut kebenaran.

“Aaaah, Mas Arka, enak sekali, Mas! I Love You!” desah seorang perempuan. Meracau, memanggil nama suami tercintanya.

“Almost there, Cersey! Almost there!” Suara Arka terdengar sangat menikmati kegiatan yang sedang ia lakukan.

Erangan silih berganti terdengar dari balik pintu kamar perempuan bernama Cersey Avriana. Dia adalah seseorang yang kini telah hadir dalam rumah tangga Dyandra.

“Yeeesssss, Cersey!” pekik Arka dilanjutkan dengan erangan panjang.

Dyandra hafal kebiasan suaminya, yang juga sering mengucapkan hal sama persis kepada dirinya, saat mereka sedang bercinta.

Nafas Dyandra tersengal-sengal. Ia dalam kondisi shock. Matanya terbelalak. Kedua tangan menutup mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara-suara yang bisa terdengar oleh dua love bird di dalam kamar.

Kini kakinya mulai terasa lemas dan berat untuk melangkah. Bahkan, tulang-tulang seolah tidak mampu lagi menopang berat badannya. Sementara itu, ia harus segera kembali ke kamar tidur lalu berpura-pura seakan ini semua tidak terjadi. Terlalu lama berada di luar kamar akan semakin meningkatkan resiko Arka mengetahui keberadaannya malam ini.

Dengan segenap tenaga dan kekuatan yang masih tersisa, Dyandra berusaha menyeret badan, dan juga hatinya untuk segera beranjak dari situ. Satu langkah demi satu langkah sampai ia bertemu dengan tangga megah itu lagi.

***

Begitu tangannya membuka pintu kamar tidur ia langsung menuju pemberhentian utama yaitu kamar mandi. Ia merasa air mata akan segera tumpah saat itu juga. Dyandra mengunci diri dan duduk di dalam bak mandi yang biasa ia gunakan sebagai jacuzzi.

Bak mandi itu kering tidak ada airnya sama sekali. Ia hanya duduk di situ, tanpa bisa berpikir apa-apa. Hatinya hancur lebur dimana serpihan asa  itu telah menjadi sangat kecil sehingga bisa terbawa oleh angin yang bertiup sendu. Namun, hal aneh terjadim Air mata sama sekali tidak ada yang menetes dari pelupuk matanya.

Hanya saja, tangan Dyandra terus bergetar dengan hebat. Paha mulus miliknya kemudian ia rapatkan di dada. Kepalanya lalu ditundukkan perlahan sampai menyentuh lutut. Tangan yang bergetar tadi, dilingkarkan di depan kakinya. Dyandra terus berada dalam posisi ini sampai hampir tiga puluh menit ke depan. Setiap tangannya akan bergetar lebih hebat dari sebelumnya, ia segera menekankan lingkar tangan di lutut kemudian memaju mundurkan tubuhnya agar bisa mendapat ketenangan kembali.

“Dyandra? Kamu di dalam?” Suara Arka tiba-tiba memanggil. Dia sudah kembali memasuki kamar tidur.

“Dyandra?” panggil Arka mengulangi, karena tidak ada jawaban dari istrinya.

Arka mengetuk pintu kamar mandi tetapi tetap Dyandra enggan menjawabnya. Akhirnya sang suami berusaha membuka paksa pintu kamar mandi. Suara gemeretak pegangan pintu berkali-kali dibuka terdengar berbarengan dengan tubuh Arka menghantam pintu kamar mandi.

“Dyandra? Kamu sedang apa di dalam?” teriaknya mulai panik.

Dyandra! Kuatkan dirimu! Ayo jawab suamimu itu!

“A-a-aku sa-sakit perut, Mas!” seru Dyandra berhasil bersuara.

“Kamu baik-baik saja? Mau ke dokter? Aku bangunkan Pak Gito, ya?” Suaminya masih sangat perhatian, meski ia baru saja meniduri wanita lain di bawah sana.

“Tidak, Mas! Aku baik kok!” tolak Dyandra.

Ia memejamkan mata dan berasa menelan pil pahit berkali-kali di tenggorokannya. Kalimat-kalimat kekuatan ia gaungkan di batinnya

Akhirnya Arka berhenti bertanya. Terdengar langkah kakinya menjauh dari pintu kamar mandi. Sesaat kemudian terdengar ia sedang menaiki ranjang.

Dyandra masih merasakan tangannya bergetar, namun sudah tidak sehebat sebelumnya. Perlahan tapi pasti, ia berhasil menguasai diri dan kembali tenang.

Sekitar sepuluh menit kemudian, wanita berusia tiga puluh tahun itu keluar kamar mandi. Dipandangnya Arka –sang suami– yang sangat ia cintai.

“Kamu dari mana barusan, Mas Arka?” tanya Dyandra berusaha menahan suaranya agar tetap tenang.

“Aku lapar, jadi aku makan di dapur,” sahut Arka memandangi wajah Dyandra tenang tanpa ada kegelisahan sedikit pun.

“Wajahmu pucat sekali. Benar kamu tidak apa-apa? Apa kita ke dokter saja malam ini?” Tangan hangat Arka menyentuh pipi istrinya yang sedingin embun malam.

Reflek karena merasa jijik dengan tangan itu membuat Dyandra melengos. Wajahnya spontan menghindari sentuhan jemari Arka. Batinnya menangis karena mengetahui tangan itu baru saja menyentuh bagian sensitif wanita lain secara sadar dan atas kemauannya sendiri.

“Ada apa?” tanya Arka heran mendapati perubahan pada Dyandra. Mata suaminya itu tajam menatap seakan menembus ke dalam sanubari terdalam.

“Eh, tidak ada apa-apa. Aku masih tidak enak badan. Aku mau tidur saja,” kelit Dyandra segera menaiki ranjang, lalu membelakangi lelaki yang telah menjadi imamnya selama sepuluh tahun terakhir. Ia lebih baik menghadap tembok daripada menatap wajah penuh dusta di sampingnya.

“Selamat tidur, Yank,” ucap Arka mencium pipi Dyandra. Rutinitas yang selalu mereka lakukan sebelum tidur.

Ingin Dyandra kembali ke kamar mandi lalu mencuci wajahnya sebanyak seratus kali. Bibir suaminya itu adalah hal yang paling memuakkan untuk dirinya saat ini.

Sebuah bibir yang mengucapkan banyak kebohongan. Sebuah bibir yang sudah melanglang buana, menikmati tiap inchi tubuh wanita lain.

***

“Maaf Bu Dyandra. Hasil pemeriksaan menunjukkan rahim anda memiliki kelainan pada bagian tuba falopi. Hal ini membuat anda kesulitan memiliki anak.”

Berita itu menghantam keras sekali bagai petir di siang bolong, membumi hanguskan semua impian Arka dan Dyandra. Suara dengungan tinggi melengking terdengar begitu menyakitkan di telinganya.

Delapan tahun berumah tangga, tanpa memiliki keturunan, membuat mereka memeriksakan kondisi kesuburan masing-masing. Mendapat hasil akhir berupa berita seperti itu, serasa hancur hidup Dyandra. Sebagai seorang wanita, ia tidaklah sempurna.

“Lalu garis keturunan kamu bagaimana? Siapa penerus kerajaan bisnis papamu?” sinis Moeryati, ibunda Arka, begitu mendengar kondisi menantunya yang dinyatakan … mandul.

Kejadian ini masih teringat jelas di ingatan Dyandra. Betapa mertuanya pada saat itu memandangnya dengan rendah seolah dirinya hanyalah seonggok sampah.

Kini memori itu kembali menyeruak perlahan pada malam pilu yang telah menjelang pagi ini. Malam dimana ia tidak bisa memejamkan mata, tanpa mendengar desahan Cersey memanggil-manggil nama suaminya penuh kenikmatan.

Sampai bunyi alarm kemudian menghentak pada pukul lima pagi, Dyandra tetap tidak dapat tertidur. Diliriknya Arka, yang masih mendengkur nyenyak di sampingnya. Wajah suaminya itu terlihat tampan saat tidur. Begitu tenang dan damai meski telah berkhianat dengan sengaja.

Tanpa suara, Dyandra menuruni ranjang. Ia melangkah menuju sebuah pintu di pojok ruang kamar. Deretan baju, tas, sepatu, dan berbagai aksesoris terlijat berjejer rapi saat pintu dibuka. Itu adalah ruang pakaian Dyandra yang terdiri dari ratusan barang bermerek terkenal dan mahal.

Ia mengganti gaun tidur dengan satu stel pakaian olah raga. Rambut lurus hitam indah sepunggung miliknya, dikuncir membentuk ekor kuda. Sebuah sepatu berlari ia keluarkan dari dalam lemari kaca yang berisi puluhan pasang sepatu aneka model dan merek.

Setelah membasuh wajah di kamar mandi, Dyandra bersiap untuk memulai rutinitas lari paginya. Tanpa memperhatikan ranjang ia langsung berjalan menuju pintu kamar.

“Sudah mau lari?” tanya Arka yang ternyata sudah bangun. Ia memandangi istrinya yang hendak pergi jogging.

Dyandra tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, tanpa melihat Arka. Jemari lentiknya mulai memutar daun pintu.

“Ciumanku mana? Lupa ya?” rajuk Arka segera turun dari ranjang sambil menyodorkan bibirnya untuk di kecup.

Mati aku!  Celaka tiga belas! Kenapa dia tidak tidur saja sih? Pakai acara minta cium seperti biasa, seperti tidak ada apa-apa? Minta cium sama gundikmu di bawah sana! Dyandra memaki suaminya dalam hati.

“Aku sudah kesiangan,” tolak Dyandra belum mampu menguasai perasaannya seratus persen.

Arka segera berlari kecil menuju pintu keluar lalu menghalangi Dyandra untuk keluar kamar.

“Ada apa denganmu, Yank?” Arka menatap antara heran dan curiga.

 Yank, panggilan kesayangan untuk Dyandra, kependekan dari sayang. Sebuah panggilan yang terasa hambar untuk saat ini.

Dyandra sadar, sikapnya menunjukkan ada sesuatu yang salah. Ia harus segera terlihat normal, agar tidak menimbulkan pertanyaan.

“Mwah!” Sebuah kecupan akhirnya ia daratkan di bibir Arka.

“Nah, gitu dong, he he he,” kekeh Arka melumat kembali bibir istrinya.

Darah Dyandra terasa mendidih. Bahkan perasaan mual menelisik di dalam lambungnya. Namun demikian, ia tetap berusaha bermain peran dengan baik.

“Aku suka melihatmu dengan celana ketat ini, Yank. Kamu seksi sekali,” desah Arka meraba bagian belakang tubuh molek wanita kecintaannya.

“Aku lari dulu, Mas! Nanti kita lanjut, ya!” Dyandra segera kabur keluar kamar. Ia harus melarikan diri dari berbagai sentuhan Arka sebelum pertahanan sandiwaranya runtuh.

Baru saja ia menuruni tangga, ketika sebuah suara memanggilnya. Suara yang terdengar merdu, ramah, dan bersahabat.

“Mbak Dyandra, sudah berangkat lari pagi?”

Dyandra menoleh malas kepada suara itu. Batinnya langsung bergemuruh ingin menerkam sang pemilik suara.

Wanita murahan! Aku menyewa kamu untuk melahirkan anakku! Bukan bercinta tiap malam dengan suamiku!  What the f**k is wrong with you?

Dyandra mengumpat dan memaki tidak karuan di dalam hati kepada wanita cantik dengan perut yang mulai membuncit dan sedang berdiri di hadapannya. Bibirnya tersenyum, wajahnya hangat, tetapi hatinya benar-benar murka dengan wanita ini.

Bolehkah jika Dyandra menjambak dan menarik rambutnya, detik ini juga?

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status