Share

9. Aku Mulai Menyukaimu

"Mas, sudahi! Aku tidak mau menyakiti Adisti! Aku bilang lepas!" bentak Anilla dengan tatapan tajam.

"Aku masih menikmatinya, Sayang!" rengek Bagas sembari menempelkan bibirnya pada bahu Anilla.

"Tolong, Mas! Mengerti keadaan kami berdua. Walaupun, pernikahan ini saran Adisti tapi dia juga perempuan yang mudah terluka!" tegas Anilla dengan nada tegas.

Dengan wajah kesal Bagas bangkit dari tubuh Anilla, kemudian bersandar di ranjang. "Aku ingin belajar mencintai kamu, Ann. Dan kamu sudah membuatku mabuk oleh wangi tubuhmu!" Suaranya semakin manja.

Sesaat Bagas menoleh pada Anilla, dia mengembangkan senyuman ketika melihat rambut Anilla yang berantakan karena ulahnya. Dengan lembut dia merapihkan rambut Anilla. "Kamu cantik, Ann!" kilah Bagas yang mampu membuat tubuh Anilla melayang tinggi, terasa ribuan kupu-kupu menari indah di dalam perutnya.

Wajah Anilla menoleh sesaat pada Bagas, "Sudah, Mas! Jangan gombal deh, kita temui Adisti! Di mana kamar mandinya?" tanya Anilla yang dijawab Bagas dengan memajukan dagunya ke arah depan.

Anilla berjalan menuju kamar mandi hanya menggunakan atasan yang masih menampakan kaki jenjangnya. Bagas tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Aku mulai menyukai kamu, Ann. Semoga aku bisa membagi cinta ini dengan adil. Tapi, aku tahu kondisi Adisti pada saat ini, dia akan histeris apabila aku mencintai Anilla. Aku akan menyimpan rasa ini, Ann. Dan suatu saat kita pasti akan bersama, aku janji!" Batin Bagas berkata.

***

Setelah selesai membersihkan diri. Bagas dan Anilla mencari keberadaan Adisti. Tak butuh waktu banyak, akhirnya mereka melihat Adisti yang tengah duduk di halaman belakang dengan mainkan ponselnya.

"Adisti!" ujar Bagas sembari memeluk Adisti dari belakang sembari mengecup pipinya.

Sedikit senyuman terbentuk dari bibir tipis Adisti, dia mencoba bersabar dan tegar. Menahan rasa cemburu dan amarah dalam pikirannya. Sebenarnya dia tidak ingin suaminya menduakan cintanya. Seharusnya dia berbahagia ketika suaminya menyentuh wanita pilihannya karena semakin mempercepat impiannya terwujud. Memiliki keturunan dari suaminya, walaupun bukan dari rahimnya.

"Kalian sudah menyelesaikan urusan kalian? Kalau sudah, aku akan membuatkan kalian makan siang!" kilah Adisti untuk menetralkan suasana hatinya yang masih panas terbakar api cemburu. Apalagi melihat rambut mereka masih basah. "Ahh! Kenapa harus begini? Aku sendiri yang meminta semua ini terjadi, tapi nyatanya aku hanyalah wanita yang belum sanggup berbagi cinta dengan wanita lain," lirih Adisti sembari melangkah menuju dapur.

Anilla melangkah mengikuti Adisti menuju dapur. Mata Adisti membulat ketika Anilla mengikutinya. "Kenapa ke sini, Ann? Sudah tak apa, kamu kembali saja ke halaman belakang!" titah Adisti. Tangannya mengambil pisau kemudian memotong-motong sayur dengan kasar.

Anilla merasa aneh dengan perlakuan Adisti, bukannya tadi dia sangat manis memperlakukannya. Anilla langsung berkata pada Adisti, "Apa yang sedang kamu pikirkan, Dis? Apa kamu cemburu?" tanya Anilla.

Hahahaha!

Adisti hanya tertawa kecil ketika mendengar kalimat Anilla. Dia menoleh pada Anilla.

"Aku?" Dia menunjuk dirinya sendiri dengan pisau yang dipegangnya.

"Aku menyuruh suamiku menikahi kamu, Ann. Dia sangat mencintaiku, mana mungkin aku cemburu! Karena cintanya pula, dia menuruti semua perkataan dan permintaanku. Walaupun, aku tahu dia tidak menginginkannya!" seru Adisti mencoba mengelak rasanya sendiri. Sebenarnya dia sudah merasakan cemburu yang sangat besar ketika suaminya bercumbu dengan wanita lain di atas ranjangnya.

"Jangan mengubur semua cemburu kamu, Dis! Aku tahu kamu cemburu! Jadi kalau kamu mau, lepaskan aku! Sebelum rasa cinta ini semakin erat diantara aku dan suamimu!" tegas Anilla mencoba bijak menghadapi ini semua. Lebih baik menjauh dari kehidupan mereka, walaupun nantinya dia akan menjadi bahan gunjingan warga sekampung.

"Aku tidak cemburu, Anilla!" teriak Adisti yang terdengar sampai halaman belakang. Bagas mendengar samar teriakan Adisti, dengan cepat dia melangkahkan kakinya menuju dapur. Dia berpikir pasti Anilla telah menyakiti Adisti. Setelah sampai di dapur dia melihat Anilla yang tengah memegang lengan Adisti.

Melihat Anilla seperti itu, Bagas menyangka kalau Anilla telah menyakiti istri pertamanya. "Ann, lepaskan! Kenapa kamu selalu kasar seperti ini! Aku tahu kami salah tapi gak seperti ini, Ann! Tolong jangan sakiti istriku!" bentak Bagas di depan Anilla sembari menarik Adisti dan memeluknya. Mata Adisti menoleh dan mengedipkan satu matanya pada Anilla yang masih syok dengan teriakan Bagas.

"Aku bisa jelaskan! Bukan begitu, kejadiannya! Dis, tolong jelaskan! Aku tidak menyakitinya!" jelas Anilla. Matanya membulat tidak percaya dengan sikap Adisti yang telah berubah hanya karena cemburu.

"Sayang, aku sangat lelah, aku hanya ingin tidur," kata Adisti dengan suara yang semakin lemah dan manja.

"Ann, kalau tidak keberatan, bisakan kamu melanjutkan pekerjaan dapur?" pinta Adisti. Tangannya masih bergelayut manja di lengan Bagas.

Anilla hanya bisa mengangguk dalam lirih. "Aku yang akan memasak, Dis. Beristirahatlah, kamu pasti lelah!" kata Anilla mencoba mengatur napasnya untuk melupakan rasa kecewa pada Bagas yang tidak mau mendengar penjelasannya.

Kemudian Bagas memapah Adisti menuju kamar tidur, matanya melirik tajam pada Anilla.

Anilla menatap mereka berdua dengan hati yang perih. "Apa drama derita akan dimulai dari sekarang? Aku tidak tahu harus berbuat apa? Semoga keluarga kita, selalu ada dalam limpahan berkahnya. Aamiin!" Kedua tangannya mengusap wajah.

Kemudian kembali berkutat pada sayuran untuk dia masak. Beruntung walaupun, Anilla sangat dimanja, tetapi ibunya selalu mengajarkan semua pekerjaan rumah tangga. Dia berprinsip wanita harus siap membuat senang suaminya. Mungkin ini salah satunya kedua orangtuanya selalu bersikap romantis dan hampir tak pernah ada perdebatan diantara mereka. Sangat berbeda dengan kehidupan Anilla, kini dia harus menghadapi kenyataan sebagai istri kedua dan mungkin perdebatan sengit akan selalu terjadi.

***

"Kamu kenapa menjerit, Sayang?" tanya Bagas pada Adisti yang masih kepo walaupun mereka telah berada di dalam kamar.

Adisti menghela napasnya dan berkata, "Sudah, Mas. Jangan dibahas lagi, ya. Aku cape menghadapi istri keduamu itu!" Dia menaiki kasur kemudian berbaring sembari memiringkan tubuhnya.

"Memangnya apa yang telah dilakukan Anilla? Aku melihat dia memegang lenganmu, Sayang! Kamu tidak apa-apa, kan?" Rasa cemas terlihat pada matanya.

Adisti menatap Bagas dengan mata berbinar dan berkaca-kaca. "Terima kasih, ya, Mas! Kamu masih mau memperhatikan aku," lirihnya seraya mengecup punggung tangan Bagas.

Seakan tersihir oleh perkataan istri pertamanya. Dalam hati dia berniat untuk memberikan pelajaran pada Anilla karena sikap kasarnya.

"Aku akan memberikan pelajaran pada gadis kecil itu! Kenapa dia tega berbuat kasar pada kamu?" tanyanya kembali dengan napas terenggah dan amarah yang semakin membuncah.

"Sudahlah, Mas! Jangan dipikirkan, dia masih kecil. Kita maklumi saja, jangan sampai termakan emosi!" pintanya dengan suara yang selalu membuat Bagas menuruti dan mempercayai semua perkataannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status