Share

Posisi Kedua

“Kau sudah siap?”

Lucyana yang tadinya menatap pantulan wajah di kaca sedikit terkesiap. Tak ada senyum bahagia yang terpancar seperti yang dialami pengantin pada umumnya. Hanya dengan kode kecil, perias yang ia sewa undur diri setelah menerima satu amplop cokelat tebal uang.

Wajahnya semakin cantik bahkan terlihat berbeda, dengan balutan gaun putih, juga mahkota di atas kepala membuatnya bagai seorang putri yang akan bersanding dengan pangeran berkuda putih impiannya, sayang itu hanya dongeng, yang sering ibunya baca waktu kecil, menjadi cerita pengantar tidur yang masih kelas teringat hingga kini.

“Turunlah!”

Lucyana mengangguk. Bahkan Justino seperti tak peduli, tak ada sedikit saja sanjungan, nyatanya ia memang hanya dijadikan opsi kedua, tak ada yang istimewa di pernikahan ini. Buktinya hanya ada beberapa saksi yang hadir, juga pendeta yang ia sewa. Tentu saja Lucyana tak memiliki andil dalam persiapan pernikahannya sendiri.

Harusnya di hari pernikahan, ia juga dipertemukan dengan orang tua Justino, atau kerabat jauh lainnya, bahkan istri pertamanya juga tak hadir, ia hanya mendengar nama, tanpa tahu wujudnya seperti apa.

Pernikahan sederhana berjalan dengan lancar, sesuai kesepakatan tak ada surat-surat berarti, hanya pernikahan di atas tangan, dengan bukti cincin, juga surat perjanjian yang Justino buat, yang harus dibubuhi tanda tangan keduanya pasca menikah.

Tak ada yang istimewa, semua pulang dan kembali menjalani rutinitas seperti biasa. Lucyana tebak, mereka adalah orang sewaan Justino. Protes? Ia tak punya hak itu. Hari begitu cepat berlalu, sebelum malam menjelang, Lucyana duduk dengan perasaan dongkol pada kamar yang tak memiliki sedikit pun hiasan, tapi tak menutupi kemewahan yang dimiliki sama sekali.

“Pernikahan macam apa ini? Bagai sayur tanpa garam, rasanya sulit ditelan karena hambar.”

Lucyana bermonolog sendiri, menatap nanar kamar pengantin yang baru ia huni. Masih lengkap dengan pakaian pengantin, ia berjalan tertatih ke meja rias, menatap wajah cantik namun menyedihkan dalam pantulan kaca.

“Sandro, kau di mana?” lirihnya dengan suara bergetar menahan tangis. Perlahan ia melepas hiasan di kepala, tak ada potret pernikahan yang akan menjadi bukti konkret bahwa ia memang istri sah Justino, istri kedua, posisi kedua, posisi paling menyedihkan.

Susah payah ia menahan tangis, tapi mengenang dirinya yang menyedihkan malah membuat tangisnya pecah. Ia benar-benar sendiri, merasa asing bagai bayi yang butuh adaptasi lebih sering. Lucyana ambruk, berlutut di bawah ranjang dengan gaun yang belum ia lepas. Rambut panjangnya berantakan, riasan luntur seiring dengan sapuan air mata.

Hingga tak sadar, Lucyana mulai terlelap.  

Pukul 08:30, suara derap sepatu terdengar semakin mendekati kamar Lucyana, yang saat itu masih terlelap dengan posisi duduk di bawah ranjang. Suara pintu berderit pelan, menampilkan wajah juga tubuh tegap berisi milik Justino.

“Gadis aneh! Aku memberinya kasur mewah tapi dia malah memilih lantai,” lirihnya seraya mendekat.

Justino mendekat, kemudian mengangkat tubuh langsing Lucyana ke atas ranjang. Sedikit terkejut ketika mendapati wajahnya sembap. Ya, Lucyana pasti kesal karena menunggunya cukup lama. Ucapan Sarah Lee kembali terngiang, ketika ia langsung menuju ke rumahnya setelah janji suci diucapkan.

“Sentuh dia untuk beberapa malam ini! Hanya sampai dia hamil, setelahnya jangan ada kontak fisik lagi di antara kalian!”

Selepas membaringkan Lucy, ia mengacak wajahnya frustrasi. Mulai malam ini ia akan berbagi kehangatan dengan wanita, selain istrinya, berusaha menampik jika ia pengkhianat, memang pada dasarnya ia melakukan ini atas saran dari wanita yang teramat ia cintai, satu-satunya cara mempertahankan rumah tangganya, yang sudah berada di ujung tanduk.

Justino melepas jasnya, kemudian beranjak ke kamar mandi. Membersihkan peluh yang tadinya bersentuhan dengan peluh Sarah Lee, membuatnya sama sekali tak berhasrat ketika melihat Lucy. Mungkin setelah mandi, semangatnya pasti kembali.

Suara air mulai terdengar, berhasil membuat mata Lucyana yang tadinya terpejam kini terjaga.

“Aku tertidur cukup lama ternyata,” batinnya.

“Justino? Sejak kapan ia kembali?” lirihnya lagi. Ia memilih bangkit, dan mulai melepas gaunnya sendiri.

Sekujur tubuh terasa tak nyaman, membuatnya berinisiatif membersihkan diri menunggu giliran. Lucyana membuka lemari menjulang di hadapan, sederet pakaian wanita berjejer rapi di sana. Ingin gembira, tapi ia sadar semua pasti sudah disiapkan Sarah Lee. Ia meraih piama mandi, dan memakainya dengan segera, sebelum Justino bangun.

“Kau sudah bangun?”

“Menurutmu?”

Lucyana membalas tak acuh, tiba-tiba ada perasaan jengkel menggerogoti. Kaki jenjangnya masuk ke kamar mandi, dan menguncinya dengan rapat. Cukup lama ia di sana, membiarkan tubuh mulusnya basah di bawah guyuran shower.  

“Mama ngga setuju! Sandro bukan pria yang baik. Lihat ayahnya saja mantan narapidana karena tindak kekerasan pada istrinya. Lucy, sifat ayahnya akan menurun pada Sandro, dan orang tua mana yang tak terluka ketika putrinya tak bahagia?”

Kalimat yang terlontar dari bibir Anna, sang ibu masih terngiang setelah kejadian waktu itu, di mana lamaran Sandro ditolak secara tak hormat, pun dengan Mario yang bersikeras membawanya keluar kota.

“Papa, awas!!!”

Suara mobil yang terseret, serta menabrak pembatas jalan tiba-tiba memekakkan telinga Lucy, ia menjerit di dalam kamar mandi, sembari menutup kedua telinganya.

“Lucyana, are you okay?”

Ketukan tergesa di pintu kamar mandi membuatnya tersadar. Ia membuang napas berat, kemudian menyelesaikan mandinya. Rambut panjang dibiarkan tergerai, wangi sampo menguar ketika ia keluar dan melewati Justino begitu saja. Tak munafik, kini hasrat kelakuan Justino bangkit, melihat Lucyana yang berjalan hanya dengan piama mandi.

“Kau sudah siap, Lucyana Callandra?”

Kedua tangan melingkar di pinggang Lucy, membuat gadis itu mematung sebentar. Melawan? Itu hanya akan melanggar perjanjian yang telah mereka sepakati, jadi yang ia lakukan hanya diam, dan pasrah ketika tangan Justino bergerak liar, mengambil alih tubuhnya. Bahkan ketika tubuhnya terhempas ke kasur, ia diam saja ketika kimono mandinya dilepas secara paksa

Justino melakukan semuanya dengan cepat, tak ada kelembutan, tak ada bisikan mesra. Untuk pertama kalinya ia terjamah, rasa sakit di bawah sana terasa bagai disayat, seiring dengan sentakan demi sentakan ketika penyatuan yang dilakukan Justino berjalan.

Tak butuh waktu lama, lenguhan panjang terdengar dari bibir Justino. Lucyana tak menampik jika kenikmatan yang diberikan Justino juga turut ia nikmati, hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi tanpa cinta? Semua memang hambar. Tak ada kata mesra dari bibir Justino setelah penyatuan mereka, nyatanya pria itu lebih memilih memejamkan mata di sampingnya, seiring dengan dengkuran halus yang terdengar semakin menyiksa.

Ponsel Justino berdering, memecah keheningan. Rasa penasaran muncul, tapi ia takut kepergok mengganggu privasi Justino, hanya saja ponsel itu terus menerus berdering, tapi Justino masih larut dalam dunia mimpi. Pelan, tangan lentiknya meraih benda pipih tersebut, dan mengangkat panggilan yang ternyata dari Sarah Lee.

[Sayang, kau sudah melakukannya? Jangan terlalu lama! Kau hanya milikku.]

Rasa nyeri menjalar hebat, bibir Lucy kelu, tapi tetap memberanikan diri untuk menjawab.

“Tuan Justino sedang tidur.”

Tiba-tiba ponsel dimatikan secara sepihak, membuat Lucyana sedikit terkejut.

“Mungkin jaringannya terganggu di sana,” gumamnya pelan.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status