Eiwa mengabaikan Ivana, memilih melakukan panggilan telepon dengan bosnya, yang sudah tidak sabaran untuk menikah untuk kesekian kalinya.
[Saya membawanya ke sana!]
Sejenak Eiwa terdiam, mendengarkan lawan bicaranya di seberang telepon.
[Oke, saya ke sana!]
Ivana terkejut dengan ucapan orang yang ada di sampingnya, pikiran buruk pun mulai bergelayut. Karena lelaki itu menggunakan bahasa asing yang baru pertama kali didengarnya. Gadis itu berpikiran, jika Eiwa dan carlos adalah pedagang oran manusia
"Berhenti!" teriak Ivana yang mengejutkan sang sopir, terlebih Eiwa.
Mobil pun berhenti secara mendadak, dan membuat siapa saja yang di dalamnya mengaduh.
"Ada apa?" tanya Eiwa kesal, karena ponselnya terjatuh saat mobil ngerem mendadak.
"Kamu mau menjualku?" tanya Ivana, membuat Eiwa mengernyitkan dahinya. "Atau kalian mau menjual organ yang ada di dalam tubuhku?" imbuh Ivana dengan mata berkaca-kaca, dan kedua tangannya menyilang di depan dada.
Eiwa tertawa melihat dan mendengar ucapan Ivana, sedangkan wanita itu mulai gemetaran. Ivana memperhatikan Eiwa dengan seksama, melihat setiap inci tubuh lelaki yang ada di sampingnya. Pikiran Ivana mulai membayangkan yang tidak-tidak, takut jika ayahnya tidak ada yang mengurus dan menemaninya lagi, saat dirinya menjadi korban perdagangan manusia.
"Apakah aku tampan, nona cantik?" tanya Eiwa dengan memasang wajah mesumnya, dan menaik turunkan alis, tentu membuat bulu kuduk Ivana makin meremang.
"Tidak!" pekik Ivana. "Ka--kamu seperti mafia yang tidak punya hati dan memang tidak punya hati!" ketus Ivana, makin membuat Eiwa tertawa terbahak-bahak.
Sang supir pun tidak tahan untuk tidak tertawa mendengar ucapan Ivana, lalu terdiam karena teguran Eiwa. Lelaki itu memintanya sang supir untuk fokus melajukan kendaraannya, agar tidak terjadi hal-hal yang di luar keinginan.
"Mereka orang baik semua, kok, Non," ujar sang supir yang melihat wajah Ivana bertambah pucat pasi melalui spion rear view, karena Eiwa memintanya untuk mengunci semua pintu mobil.
Mendengar ucapan supir yang ada di depannya, membuat Ivana sedikit lega. Namun, rasa penasaran dan rasa curiga masih menguasai hatinya.
"Anda mau turun Nona Ivana?" tanya Eiwa, ketika mobil berhenti di depan sebuah resto yang terlihat sangat berkelas, dan pastinya harga-harganya menguras kantong, orang-orang seperti Ivana,
Ivana menggelengkan kepalanya, kemudian menekukkan kaki setelah Eiwa turun. Pak supir melihat Ivana yang menahan sakit, seperti membayangkan dirinya dulu saat berada di jalanan.
"Nona, apakah perutmu sakit?" tanya pak supir.
Ivana lagi-lagi menggelengkan kepalanya, tapi tangannya meremas perutnya sangat erat. Pak supir menghembuskan napasnya berat dan kembali bertanya.
"Apakah nona lapar?" Pak Supir tahu rasanya seperti apa, bergabung dalam dunia yang tidak dikenal sama sekali dan pak supir tahu tentang rencana Eiwa.
Ivana menurunkan kakinya, saat lelaki paruh baya di depannya menyodorkan sebotol minuman dan sepotong roti biasa. Tanpa ragu ivana mengambil minumannya dan menolak roti, lalu membuka segel botolnya dan meneguknya hingga tandas, kemudian menatap sayu ke arah pak Supir. Padahal dirinya tidak lapar, hanya nyeri karena tamu bulanannya akan datang.
"Bapak yakin mereka bukan mafia?" tanya Ivana memastikan, sambil mengatur napasnya.
Lelaki tua itu menggelengkan kepalanya dan mengatakan, jika orang-orang yang ada disekitarnya semuanya sangat baik dan tidak pernah berbuat jahat.
Ivana menarik napas lega, setidaknya dia tidak akan di jual dan organ tubuhnya tetap utuh. Ivana sudah membayangkan kehidupan selanjutnya setelah perjanjiannya selesai, maka dia bisa bersama dengan ayahnya, merawat hingga maut memisahkan. Rasa sakit yang menyerang perutnya beberapa hari terus diabaikan, Ivana tidak ingin penyewa rahimnya ragu dan membatalkan kontrak yang sudah disepakati.
Dari dalam resto, seorang wanita berlari tergopoh-gopoh menghampiri mobil Eiwa. Tanpa tanya atau mengetuk terlebih dulu, dia membuka pintu belakang. Membuat Ivana terkejut dan hampir jatuh terjungkal karena dirinya sedang bersandar.
"MasaAllah cantik sekali!" ucapnya dengan mata berbinar.
Ivana memundurkan tubuhnya menjauh dari wanita tua yang langsung masuk dan duduk di sampingnya, padahal dirinya sedang tidak kuat menahan sakit di perutnya. Jika biasanya, Ivana memilih tidur agar perih yang yang terasa menyiksa di perutnya akan menghilang dengan sendirinya, tapi saat ini dia tidak bisa melakukan hal yang sama.
"Wajahmu terlihat sangat menawan, betapa indahnya matamu," puji Arleta. "Dasar, pria tua!" geramnya, dan ekspresi wajahnya berubah menjadi masam.
Kali ini, Ivana mengedipkan matanya berkali-kali, karena dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh wanita di depannya. Bahasa yang digunakan sama seperti Eiwa tadi, membuat Ivana kembali yakin, jika mereka adalah mafia.
"Nyonya bilang anda cantik, Nona," ujar Pak supir, yang dapat melihat ekspresi kebingungan dari Ivana.
Ivana hanya diam, dia tidak tersanjung dengan pujian yang dilontarkan oleh wanita paruh baya itu. Malah menatapnya penuh dengan kecurigaan.
"Ma-maaf, aku terlalu senang!" ujar Wanita itu dengan mengulurkan tangannya, lalu disambut oleh ivana. "Arleta! Panggil saja Bibik Arleta," imbuh wanita di depan Ivana dan kali ini menggunakan bahasa Indonesia.
Ivana pun memperkenalkan dirinya dengan sangat ramah dan santun, membuat kesan pertama yang memukau bagi seorang Arleta.
"Kita langsung ke apartmen!" pinta Eiwa pada supirnya saat masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan, dengan membawa beberapa bungkus makanan yang menggoda indra penciuman Ivana.
"Tidak! Harus ke rumah utama!" ujar Arleta dengan suara lembut, tapi tegas.
Eiwa pasrah, jika wanita di belakangnya yang meminta. Eiwa kembali memberi perintah pada supirnya untuk menuruti perkataan Arleta. Eiwa melihat ke arah Ivana yang sedang meringis, dan dia langsung memberikan wanita itu roti isi tuna yang dia ambil dari resto Arleta.
"Kau belum makan?" tanya Arleta dan Ivana menggelengkan kepalanya. "Keterlaluan kamu Eiwa!" Arleta menarik telinga Eiwa, sehingga lelaki itu meringis.
"Aku terburu-buru, Bik!" serunya.
Arleta hanya menarik napas panjang, dan menyimpan kekesalan dalam hatinya. Arleta tidak ingin, Ivana merasa tidak diperhatikan di hari pertamanya bertemu dengan keluarga calon suaminya. Wanita tua itu merebut sandwich tuna yang ada di tangan Eiwa dan memastikan Ivana melahapnya hingga habis.
Mobil pun melaju, membelah kemacetan ibu kota yang tidak pernah usai. Ivana sedikit lelah, hingga membuatnya terlelap begitu saja. Arleta meminta semua untuk diam, membiarkan gadis cantik di sebelahnya untuk tidur sebentar.
"Bik, kita sudah sampai." Eiwa mengingatkan Bibik Arleta, tapi diabaikan. "Baiklah, aku akan turun duluan untuk menemui bos!" sambung Eiwa dengan helaan napas panjang.
Eiwa merasa dirinya saat ini berada di dua jurang dan sangat sulit untuk bisa terbebas. Bos yang terlalu urakan, sombong dan tidak peka. Juga orang tua bosnya yang selalu memintanya menjadi mata-mata untuk anak keduanya yang sudah seharusnya bisa menjaga diri sendiri.
"Jangan katakan pada bosmu, kalau gadis ini bersamaku!" ketus Bibik Arleta, dengan suara lirih. takut membangunkan Ivana.
Lagi-lagi, Eiwa hanya bisa menghembuskan napas panjang dan berat. Pasti bosnya akan mengeluarkan kata-kata kramatnya, jika tidak membawa gadis itu.
"Duh, gue bakalan di tendang nih!" oceh Eiwa sepanjang jalan menuju ruang kerja bosnya.
Baru saja Eiwa membuka pintu, hawa dingin mulai merasuki tubuhnya. Bulu kuduk mulai meremang, karena tatapan bengis dan juga tajam dari dua orang yang sangat dia hormati. Eiwa menarik napas panjang dan dalam, saat melihat bosnya duduk diam tanpa ada niat menyelamatkannya dari pandangan yang menyiksa.
"Apes gue!" runtuknya dalam hati, ketika orang tua angkatnya mendekat ke arahnya.
Eiwa meminta si kembar untuk membuka ikatan di tangan dan kakainya dan meyakinkan dua gadis itu, jika dirinya tidak akan pergi dan menepati janjinya.Setelah saling melirik, untuk meyakinkan diri. Davina membuka ikatan yang ada pada tubuh Eiwa. Namun, untuk berjaga-jaga, gadis manis itu, tetap mengikat tangan Eiwa dan membuat lelaki itu berdecak kesal."Sudah kubilang! Aku tidak akan pergi atau pun kabur, sebelum memberitau kalian!" Nada bicara Eiwa nampak sekali kekesalan, tapi tidak membuat dua gadis itu mengubah keputusannya."Lebih aman dan nyaman!" seru Davida.Kembali, Eiwa berdecak dan akhirnya menhela napas beratnya. Mungkin saja tindakkan dua gadis ini demi menyelamatkan harga diri seorang wanita yang mereka sukai sejak pertama melihatnya. Sama halnya dengan dirinya, yang sempat terpana pada keluguan dan juga kejutekan Ivana."Ya, sudah!" Eiwa mengalah dan memenarkan posisi duduknya agar lebi nyaman. "Carlos hanya akan bersama Ivana selama dua tahun saja, dan setelah proram b
Cukup lama Eiwa tertidur akibat obat yang diberikan oleh si kembar dalam minuman yang diberikan padanya, membuat si kembar merasa bosan. Beberapa kali mereka memainkan game, dan juga menonton banyak judul drama drakor, tapi tetap saja Eiwa masih pulas. "Apa harus kita siram saja?!" tanya Davida yang sudah sangat kesal dan juga bosan. "Jangan, kasurnya jadi basah dong!" larang Davina. "Dosis yang aku berikan sangat sedikit, loh! Kenapa bisa sampai berjam-jam efeknya?" keluh Davida, dengan menopang dagunya. Matanya menatap sayu ke arah Eiwa yang terbaring. "Lebih baik kita tinggal saja dulu, nanti kita kena omel kanjeng mami!" saran Davina. Davida menganggukkan kepalanya, mengiyakan ucapan kembarannya. Jika suda marah, mamanya itu sangat menakutkan. Seperti reog ponorogo, itulah yang didefinisikan oleh keduanya untuk sang mama. Namun, baru saja mereka akan meninggalkan kamar, suara bas Eiwa menahan langkah kaki mereka. Tentu saja, senyum manis tersunging lebar di wajah keduanya. Me
Ivana melihat ke arah kembar dan memberikan senyuman manisnya pada dua gadis yang mulai mengisi hari-harinya, mungkin tanpa mereka berdua, Ivana akan benar-benar terpuruk. Meskipun dia berusaha untuk tegar, kenyataannya, dia tidak sekuat yang terliat oleh orang sekitar. "Aku pergi dulu," ujar Ivana dengan lirih. Kembar D membalas senyum Ivana, dan pandangan mereka terus tertuju pada wanita yang sudah resmi menjadi kakak ipar mereka. Raut wajah mereka berubah sendu, saat pintu kamar tertutup. Memikirkan cara, agar kakak mereka --Carlos bisa merubah sikapnya yang angkuh menjadi bucin pada Ivana dan mereka butuh tenaga dan kerjasama yang ekstra. "Aku tetap pada pendirianku, untuk menculik Kak Eiwa yang sama menyebalkannya dengan Kak Carlos!!" ujar Davina dengan nada kesal yang sangat kentara. "Biar Kak Eiwa tidak sembarangan mengikuti perintah Kak Carlos!" tambah Davida, yang juga merasakan kekesalan saudari kembarnya. Davina memberikan dua jempol di depan wajah Davida, kemudian mere
"Ayo!" ajak Davina, menarik tangan kembarannya. Mereka menuju ke kamar, untuk melanjutkan pembicaraan mereka yang tertunda, karena sedang menguping pembicaraan kakaknya dan sang asisten. Takut rencana mereka bocor, membuat mereka berhati-hati dalam bersikap dan berkata untuk menentukan rencana apa yang akan di jalankan selanjutnya. "Kita susun rencananya sekarang saja, ya. Kita buat beberapa option, agar ada rencana cadangan ke depannya, jika rencana sebelumnya gagal!" ujar Davida, dengan mengambil alat tulis. Dengan teliti, dua kembar itu beradu pikiran, membuat rencana yang terbaik menurut mereka. Tentu tidak ada yang membantu mereka, hanya cukup mendapatkan dukungan orang tuanya dan juga Tante Arleta yang akan dengan senang hati membantu apapun yang mereka butuhkan. Di ruangan lain, Carlos sedang memandangi wajah istri pertamanya yang terbingkai indah di dinding berwarna cream, wanita itu pergi meninggalkan Carlos di saat cinta dalam hatinya sedang bersemi sangat indah, bahkan
Carlos dan Eiwa masih asik membahas tentang proses bayi tabung, tanpa disadari oleh keduanya ada dua pasang telinga sedang mendengarkan rencana kepergian Carlos, berkedok bulan madu. "Brengsek," gumam salah satu orang yang sedang menguping. "Huust! Jangan bicara, atau mereka akan mendengar dan kita tidak bisa mengagalkan ide gila lelaki tidak punya otak itu!" geram yang lainnya. "Kakakmu itu!" sindir Davina. "Kamu!" sahut Davida sengit. Keduanya kemudian terkekeh geli, karena mereka berdua kembar dan Carlos adalah kakak mereka berdua. Meski geram, kembar D tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Agar bisa melawan kakaknya, mereka harus mempunyai strategi yang mumpuni. Memberitahu orang tua mereka memang cara terbaik, tapi lebih baik mereka maju terlebih dulu, jika mereka tidak sanggup, maka mereka akan melambaikan tangan dan meminta pertolongan pada orang tuanya. "Padahal meminta pertolongan mama dan papa, semua akan beres," ujar Davina lirih. "tapi enggak ada seninya!" seruny
"Apa yang kamu katakan?!" hardik Ranti kesal, dan tangannya makin kuat menarik telinga anaknya yang sudah sangat keterlaluan, menurutnya.Carlos hanya bisa mengaduh, dan memijat telinga yang tadi di tarik oleh Ranti--ibunya dan rasa kesal itu kembali hadir. Carlos berpikir, karena Ivana-lah dirinya ditindas oleh keluarga yang selama ini tidak ada yang berani masuk ke ranah pribadinya. Ingin rasanya dia menguliti Ivana dan menelannya hidup-hidup, tidak pernah menyangka akan menjadi seperti ini. Keputusannya bertolak belakang dengan semua rencana yang dia susun dengan baik."Rasakan! Semua ini karma untukmu, Kak!" bisik Davina.Carlos langsung mendelik, kesal dengan ucapan adiknya. Namun, dalam sudut hatinya terdalam memikirkan apa yang tadi dibisikkan ke telinganya. Apa benar ini karma, bukankah dia mengganti rugi sesuai dengan nominal yang diminta oleh mereka yang pernah dekat dengannya. Lalu, salahnya dimana?Selesai sarapan, Ivana kembali ke kamar dan membereskannya dengan perlahan