Tak bicara bukan berarti tak ada
Tidak berkata bukan berarti hampa
Seperti jiwa sembunyi dalam raga
Begitulah angan beringsut di pelukan rasa
***
“Tapi aku ingin segera punya anak, Lady!” Lelaki itu setengah berteriak pada wanita di hadapannya. “Mau sampai kapan seperti ini?”
“Santai aja, dong. Nggak usah ngegas gitu. Ya, udah. Kalo emang lo pengen segera punya anak, buruan cari wanita untuk kita sewa rahimnya,” jawab Lady dengan tenang, sementara mata tetap terpaku pada majalah yang sedang dia baca.
“Aku serius! Bisa nggak sih perhatian sedikit?” Kala menarik majalah dari tangan Lady, lalu melempar sembarangan ke sudut ruangan. Napasnya menderu, tanda dia benar-benar marah.
“Oke, jadi mau lo apa?” Lady sudah terbiasa dengan sikap meledak-ledak suaminya ini. Dia mendongak, menatap santai ke arah Kala yang berdiri dengan gesture tidak tenang.
“Aku mau punya A-NAK! Kenapa harus sewa rahim segala? Kita ini suami istri yang sah. Sudah tiga tahun kita menikah!” Pria itu tampak sangat frustasi. Dia duduk di sofa dan mulai menjambak rambut sendiri.
“Gue nggak mau badan gue rusak. Lo suruh gue jadi gendut? Terus kaki bengkak, stretch mark, susah gerak, pipi kayak balon, dan muntah-muntah? Big no!” jawab Lady sambil mengangkat kedua tangannya.
“Aneh kamu ini. Orang lain begitu bangga bisa jadi seorang ibu. Kamu malah nggak mau,” dengkus Kala.
“Loh, gue mau kok jadi ibu. Siapa bilang gue nggak mau punya anak? Gue mau, tapi gue nggak mau hamil dan melahirkan. Di situ doang bedanya.” Lady tidak mau kalah.
“Wanita lain bangga bisa hamil, merasakan bayi dalam perut, merawat mereka sejak awal. Bahkan jadi momen tak terlupakan ketika mereka melahirkan anak. Kok kamu malah nggak mau. Isssh ....” Kala mendesis melampiaskan kesal.
“Itu kan orang lain. Lo nikahin gue, ya lo terima dong pemikiran gue. Kalo lo keberatan, nikahin aja orang lain. Life is simple, Bee,” ujar Lady tenang. Dia tahu, laki-laki ini tidak akan ada keberanian untuk berpisah dengannya.
“Jadi, keputusanmu sudah bulat bahwa kamu nggak mau hamil dan melahirkan anak kita?” Kala bertanya sekali lagi.
“Sampai kapan pun, never,” jawab Lady penuh keyakinan. “Jaman sudah modern, and we have a lot of money. Uang kita melimpah ruah. Kenapa harus menyulitkan diri dengan hamil dan melahirkan, sih? Belum lagi kalo harus operasi caesar yang pemulihannya butuh waktu lama. Resiko kematian ketika melahirkan juga ada. Kita tinggal bayar orang untuk tugas itu. Easy, kan?”
Lady menjabarkan pemikirannya. Hamil sangat membuang waktu dan energi. Bayangkan saja, selama sembilan bulan lebih harus membawa beban yang tidak ringan dalam perut. Belum lagi gangguan hormonal, psikis, emosi, bahkan kadang tidak terkontrol. Rasa mual, tidak nyaman, lelah yang sangat, kerusakan tubuh, semua itu merugikan terutama bagi kaum wanita. Selagi bisa mewakilkan tugas itu pada orang lain, kenapa tidak?
Resiko kematian juga mengintip, baik itu selama kehamilan maupun proses kelahiran. Resiko pendarahan, keguguran, dan berbagai ancaman lain di depan mata. Kalau menyewa rahim, misal dihadapkan pada situasi yang harus memilih antara keselamatan si ibu atau sang bayi, jelas akan jauh lebih mudah untuk mengambil keputusan. Tentu saja, hidup bayi harus diutamakan. Persetan dengan ibunya. Dia sudah menerima uang sewa, lengkap dengan segala resiko yang mengiringi.
Kala adalah pria dengan intensitas bercinta yang sangat tinggi. Sudah tiga tahun mereka bersama, hampir setiap hari mereka melakukan hubungan suami istri. Apalagi setelah masa datang bulan selesai, mereka bisa melakukan beberapa kali dalam semalam. Gairah yang terpaksa ditahan karena kedatangan tamu tak diundang.
“Yakin, kuat menahan gairah selama sembilan bulan?” Lady memancing.
Kala tercenung sesaat. Benar juga yang dikatakan Lady, pikirnya. Menunggu beberapa hari sampai perginya tamu bulanan saja sudah terasa sangat menyiksa. Lantas, kuatkah dia menahan hingga berbulan-bulan? Selama ini, susah payah dia menahan untuk tidak berselingkuh atau sekadar pelampiasan dengan wanita sewaan. Jelas dia mampu untuk membayar. Namun, dia masih mencoba untuk setia, hanya pada satu wanita. Walaupun atas nama nafsu atau one night stand only, dia tetap tidak mau.
“Aku nggak bisa lagi maksa. Biar Pandu kusuruh cari orang yang mau disewa rahimnya. Kamu ada syarat khusus atau kriteria tertentu?” Kala akhirnya mengalah dan sikapnya kembali lembut. Dia hanya ingin segera punya anak. Tak mau terus terlarut dalam pertengkaran tanpa ujung seperti ini. Lebih baik dia turuti keinginan Lady.
Lady beranjak dari sofa, mendekati Kala, lalu duduk di pangkuannya. Lady mengalungkan kedua lengan di leher pria itu, beradu pandang tepat di manik mata. Dia lega, akhirnya sang suami mau juga menuruti keinginannya.
“Yang penting sehat, bersih, cantik, dan kalo bisa hidup sendiri, sebatang kara, supaya rahasia kita tetap aman. Coba lo bikin draft perjanjian dengan tim legal. Kita discuss lagi nanti,” ucapnya sembari mendekatkan bibir dan mencium pipi kiri Kala.
“Kenapa harus cantik? Bukankah cuma numpang rahim? Sel telur dan sperma kan dari kita, Honey.” Kala memeluk pinggang ramping Lady. Tangan kanannya merayap ke atas, mengusap pelan punggung istri tercinta.
“Lo mau, anak kita sembilan bulan di perut orang jelek?” Lady mengecup bibir Kala perlahan. “Gue sih nggak mau. Kasihan anak kita.”
Kala tersenyum dan membalas ciuman sang istri. Selama beberapa menit, mereka malah asyik sendiri, saling memagut bibir. Keduanya terus berciuman. Kala tak berhenti sedetik pun menikmati bibir ranum menggairahkan itu, terus mencumbu.
“Ke kamar, yuk. Bee sudah ingin menyantap Honey.”
Mereka memang memiliki panggilan sayang. Bee untuk Kala, yang sebetulnya diambil dari suku kata terakhir ‘baby’ dan memiliki arti lain yaitu lebah. Sangat sesuai untuk dipasangkan dengan honey atau sayang, yang juga berarti madu.
“Kenapa harus di kamar? Sekali-sekali ganti suasana.” Lady merebahkan tubuh Kala.
“Honey, nggak bisa lama-lama. Nanti Bik Maneh lihat.” Kala khawatir pembantunya itu tiba-tiba muncul. Bisa-bisa hasrat tidak tersalur, malu yang mereka dapat.
“Kita main kilat, Bee.”
Mereka berdua menahan diri untuk tidak mendesah dengan keras. Wajah Kala sudah terlihat merah padam. Ketika pria itu sedang di puncak gairah, wajahnya memang selalu memerah.
Keduanya mencapai puncak dalam keadaan penuh peluh dan napas yang menderu. Lady mengusap keringat yang membanjiri wajah suaminya dengan penuh kasih sayang.
“Thank you, Honey,” ucap Kala sambil mencium bibir Lady sekilas.
“Buruan pake baju. Bik Maneh masih di dapur.” Lady mengingatkan tentang situasi. Mereka segera mengenakan pakaian sembari tersenyum mengingat kekonyolan yang baru saja dilakukan. Sesekali berganti suasana seperti ini ternyata mengasyikkan, pikir Lady.
Setidaknya, masalah punya anak sudah ada titik terang. Tidak merugikan Lady, juga mampu mewujudkan keinginan Kala. Win-win solution.
Perbedaan membuat kita saling jatuh cintaPersamaan membawa kita mengikat cintaJadi tak perlu lagi berdebat tentang sama dan bedaKeduanya ... menyatukan kita*****“Bik!” Lady berteriak.Wanita yang dipanggil Bik Maneh, datang dengan tergesa-gesa.“Aya naon, Non?” tanyanya.“Bikinin teh sama kopi,” jawab Lady singkat.“Iya, Non.” Bik Maneh segera kembali ke dapur. Dalam hati, dia bertanya-tanya melihat kedua majikannya mandi keringat, seperti habis berolahraga.Ah, itu mah urusan mereka, tegur Bik Maneh pada diri sendiri sembari cekikikan.“Honey, kamu ada referensi dokter yang bisa kita andalkan untuk rencana kita?” tanya Kala.“Ada. Urusan dokter, semua gue yang urus. Tugas lo, cari wanitanya. Gue juga bantu cari, kok. Mana yang duluan dapet aja, ya,&rdquo
Aku pernah sederas hujan,terguyur harapan pahit yang kurangkai sendiri.Aku pernah sekeras guntur,berteriak meminta akhir pada angan yang kubangun sendiri.Aku pernah sekering embun,yang sekejap menguap dalam kenangan yang kuukir sendiri.*****Ketika Kala masuk ke kamar, Lady sudah mengenakan baju tidurnya.“Gue ngantuk banget, Bee. Tidur duluan ya,” kata Lady sembari mengecup pipi kiri Kala.“Nite, Honey.” Kala menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi, lalu membuka semua pakaian yang dikenakan, menyisakan boxer hitamnya. Segera ia menyusul Lady. Kala memang terbiasa tidur bertelanjang dada, hanya mengenakan boxer atau terkadang celana kolor.Dilihatnya Lady sudah terlelap. Ia merebahkan tubuh di samping istri tercinta ini. Pikirannya menerawang, mengingat kejadian tiga
Caraku tertawa seolah tak pernah rapuh,caraku tersenyum seolah tak pernah takut,caraku berjalan seolah tak pernah jatuh,caraku memandang dunia yang seolah sempurna.*****“Astaga, Bik.” Kala tertawa terbahak-bahak sekaligus malu karena ternyata pembantunya mendengar adegan layak sensor yang dia lakukan dengan Lady.“Emang uang sewanya berapa, Den?” Bik Maneh memasang tampang serius.“Sewa kos?” Kala sengaja menggoda pembantunya yang rada usil ini.“Ih, Den Kala, mah. Seriusan ini.” Bik Maneh mencoba mencubit lengan majikannya karena gemas. Bukan hanya karena kalimat yang dilontarkan Kala, tapi memang bulu-bulu halus di lengan pria itu memang menggoda.“Eits, nggak kena. Kenapa? Bik Maneh punya kandidat yang mau disewa rahimnya?” Kala balik bertanya sambil menghindari cubitan.“Ya
Jika memang kau datang untukku,jangan hanya sekedar singgah,jadilah bagian dari diriku,yang takkan pernah terpisah.*****Lady menuju ruang praktek Broto yang terletak di salah satu sudut rumah sakit elit di kawasan Jakarta Selatan. Semalam ia sudah membuat jadwal konsultasi dengannya.“Permisi, saya sudah ada janji dengan Dokter Broto, atas nama Ladyane Wilson,” kata Lady pada asisten Broto.“Ditunggu sebentar ya, Bu,” jawab gadis berseragam perawat ini mempersilahkan Lady duduk. Terlihat gadis itu mengetuk pintu ruangan Broto tiga kali sebelum membukanya.“Atas nama ibu Ladyane sudah datang, Dok,” katanya.“Thanks ya.” Broto bergegas mendekati pintu. Gadis itu duduk kembali ke mejanya.“Hai, Lad. Masuk.” Broto menyapa sembari tersenyum.Lady membalas dengan senyum dan melangka
Berjumpa itu mudah, tak seperti berpisah. Mengenal itu indah, tak seperti melupakan. **** “Gue rasa ini bukan saat yang tepat untuk bicara itu, Broto. Gue butuh Kala bukan hanya sebagai suami, tapi juga partner. Dia partner bisnis, juga partner of life gue. Dari dulu gue nggak peduli sama yang namanya cinta-cintaan. Non sense dengan itu semua.” Lady memandang tajam pada pria di hadapannya. “Jadi itu alasan lo nolak cinta gue?” Dokter muda itu menundukkan kepala menghindari tatapan Lady yang seperti elang sedang mengincar buruan. Tak sanggup ia melawan mata seorang wanita yang sudah menyerap habis semua cinta di hatinya hingga tak tersisa sedikitpun untuk yang lain, termasuk Ningrum istrinya. “Gue pilih Kala as a husband karena kami bisa kelola dan kembangkan bisnis bersama. Dia sangat capable untuk itu, dan the most important thing is kami punya visi misi, pandangan
Aku tidak sedang menggenggam dan digenggam oleh siapapun Aku tidak sedang menjaga juga dijaga hati manapun ***** “Dasar gila kamu, Al. Cewek itu bukan jam tangan, yang puas kamu pelototin terus dibuang gitu aja.” Embun memukul kepala Alaska, teman kerjanya. Sudah ke sekian kalinya ia harus mendengar cerita putus nyambung Al dengan para gadis. “Idih, gue mah bukan melototin doang. Rugi amat.” Al tersenyum nakal. “Dasar mesum, buaya cabul.” Embun tertawa ngakak melihat kelakuan jejaka tampan yang usianya hanya selisih setahun dengan dia. “Rugi dong perut gue kotak-kotak kalo masih mainan sabun sendiri,” jawabnya sambil mengusap-usap perutnya. Pria ini memang tampan. Tubuh padat atletis, walau tidak kekar. Sudah hampir dua tahun mereka bersahabat sejak Embun bekerja di hotel ini. Embun mungkin satu-satunya wanita di tempatnya bekerj
Bertahan pada situasi yang sulit, atau pergi mencari kenyamanan? Berdiri tegar dengan rasa sakit, atau melangkah menuju bahagia? ***** “Lo serius mo PHK Claudia malam ini?” Embun memandang wajah pria itu dari samping ketika mereka berboncengan motor. Mereka menuju taman kota untuk bertemu Claudia yang sebentar lagi akan mengisi daftar barisan para mantan seorang Alaska. “Ciyus lah!” Alaska yang mengenakan jaket bomber army sedikit berteriak. Entah kenapa, dari semua gadis yang hinggap di pelukannya, tak satupun mampu membuat dia terikat dalam jangka waktu yang lama. Rekor pacaran terlama Alaska hanya tujuh bulan. Dan tentu saja ia sudah mencicipi tubuh mereka. “Pernah nggak sih mikir kasihan gitu sama mereka, Al?” Embun memeluk Alaska karena laju motor terasa lebih kencang dari sebelumnya. “Gue ngajarin mereka untuk jadi cewek setrong, l
Alam mengambil seseorang darimu, yang tak kau sangka akan kehilangannya. Semesta hadirkan dia untukmu, yang tak kau sangka akan memilikinya. ***** Alaska mencoba meyakinkan Embun untuk mau menerima bantuannya, walau mungkin tidak banyak. Tapi seperti biasa, gadis keras kepala ini selalu menolak. “Kepala batu,” rutuk Alaska. “Bukan gitu, aku cuma nggak mau ngerepotin siapapun.” “Gengsi tinggi,” kata pria itu lagi. “Nggak ada gengsi, hanya mau mandiri.” “Sok kuat.” Tak mau kalah lelaki itu berucap lagi. “Mau nggak mau harus kuat.” “Terserah lo deh.” Alaska menyerah untuk terus berdebat. “Sayur asem aja, jangan lodeh.” Embun mengulum senyum. “Gue ada tabungan dikit kok, Mbun. Udah lo pake aja kagak apa-apa. Suer. Gue juga belum butuh. Jadi sama aja, buat apa tu duit ngendon di tabungan kan. Lo pake kan jadi l