Berjumpa itu mudah, tak seperti berpisah.
Mengenal itu indah, tak seperti melupakan.
****
“Gue rasa ini bukan saat yang tepat untuk bicara itu, Broto. Gue butuh Kala bukan hanya sebagai suami, tapi juga partner. Dia partner bisnis, juga partner of life gue. Dari dulu gue nggak peduli sama yang namanya cinta-cintaan. Non sense dengan itu semua.” Lady memandang tajam pada pria di hadapannya.
“Jadi itu alasan lo nolak cinta gue?” Dokter muda itu menundukkan kepala menghindari tatapan Lady yang seperti elang sedang mengincar buruan.
Tak sanggup ia melawan mata seorang wanita yang sudah menyerap habis semua cinta di hatinya hingga tak tersisa sedikitpun untuk yang lain, termasuk Ningrum istrinya.
“Gue pilih Kala as a husband karena kami bisa kelola dan kembangkan bisnis bersama. Dia sangat capable untuk itu, dan the most important thing is kami punya visi misi, pandangan dan konsep yang sama tentang menikah. Lebih sempurna lagi karena kami sama-sama anak tunggal. So, how perfect we are, right?” Wanita cantik itu berucap sambil memajukan tubuh, dan meletakkan satu tangannya di meja.
Benar-benar sosok yang tegas dan menantang. Lady masih menatap tajam ke arah Broto.
Broto mulai merasa terintimidasi dengan ketegasan Lady. Rupanya dia ini sangat mengedepankan logika, bukan perasaan seperti pada umumnya seorang wanita.
“So, it means kalian menikah hanya berdasarkan kepentingan bisnis?” Broto mencoba meyakinkan bahwa kesimpulan yang ia dapat tidaklah salah.
“Bagi semua orang menikah itu kesepakatan, Broto. Terlepas dari ada atau tidak adanya cinta di antara mereka. Walaupun cinta, kalau nggak sepakat ya nggak bisa menikah. Begitupun sebaliknya, walau nggak cinta tapi kalau sepakat, ya bisa menikah. Lo menikah juga kesepakatan kan?” Balas Lady dengan cepat dan tangkas seperti pemain bulutangkis di olimpiade.
Broto menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa pahit walau tak sepahit kenyataan bahwa ia menikahi istrinya tanpa cinta. Saat itu, dia sudah sangat putus asa mengejar Lady. Sampai kemudian dia menerima pernyataan cinta Ningrum, yang dirasa cukup layak menjadi pendamping hidup.
“Gue beda kasus, Lad. Gue nikah sama dia karena udah putus asa banget soal lo. Gue udah benar-benar di titik paling mentok saat itu. Pas banget Ningrum bilang suka sama gue, dan terjadilah.” Broto memandang wajah Lady.
“Apapun alasannya. Bahkan hubungan yang diawali dengan cinta, tetap mereka harus SE-PA-KAT untuk menikah. Banyak yang saling cinta tapi nggak sepakat sampai menikah, akhirnya bubar. Itu bukti bahwa cinta dan kesepakatan menikah adalah dua variabel yang berbeda. Nggak bisa disatukan.” Pandangan wanita itu tetap lekat pada mata Broto.
“Dan unsur kesepakatan merupakan faktor utama dalam menikah, bukan cinta,” lanjutnya.
Mau tidak mau, Broto mulai bisa menerima argumen Lady. Tidak salah memang apa yang dikatakannya.
“Bahkan banyak yang kemudian sepakat menikah, lalu bubar tengah jalan karena tak mampu lagi menjaga atau memenuhi kesepakatan itu. Bisa dari salah satu pihak atau bahkan keduanya. Terlepas dari dasar cinta ataupun tidak,” ucap Broto menyadari sebuah fakta yang selama ini tak terpikirkan olehnya.
“You’ve got the point. Itu yang gue maksud, Broto.” Lady menjentikkan jarinya di depan wajah Broto.
Mereka kemudian berdiskusi beberapa hal seputar pernikahan dan kehidupan rumah tangga. Broto menemukan banyak sekali hal-hal di luar pemikirannya dari Lady.
“Hei, gue ke sini bukan untuk jadi konselor perkawinan ya. Gimana, lo bisa bantu gue soal surrogate mother?” Lady mencoba kembali ke topik utama kedatangannya hari ini.
“Gue nggak bisa, Lad. Sorry.” Broto menjawab sembari merapatkan kedua telapak tangan dan meletakkan di depan dadanya.
“Gila lo, kaya lebaran aja gaya lo. Please, imbalan apa yang bisa gue kasih supaya lo mau?” Lady tidak mau menyerah, masih mencoba membujuk dokter itu.
Ia tahu Broto tidak butuh apa-apa. Secara finansial, pria ini sudah cukup mapan. Istrinya juga seprofesi, anak baru satu, dan masih bayi. Belum membutuhkan banyak biaya.
Broto termenung. Karena memang sudah tak ada lagi yang ia inginkan atau butuhkan dalam hidup ini kecuali, Lady.
Lady merupakan seorang wanita dengan feeling yang sangat kuat. Dia bisa melihat ekspresi Broto, bahwa pria ini punya sebuah keinginan, tapi tak berani mengungkapkan.
“Apapun, Broto. Selagi itu bisa bikin lo bantu selametin pernikahan gue.” Lady mencoba meyakinkan pria itu untuk berani mengatakan keinginannya.
“Masalahnya, nggak ada lagi yang gue inginkan di dunia ini selain lo, Lad.” Broto memberanikan diri.
Jantungnya seperti mau melompat bersama ucapan yang keluar dari mulut. Tapi memang itu adalah jawaban jujur dia.
“Jadi yang lo mau adalah gue, sebagai syarat lo bantu masalah kami? Seperti apa mau lo? Tidur ma gue?” Lady tersinggung dengan kalimat Broto.
Broto menunduk dengan muka merah padam. Wanita di hadapannya ini benar-benar mampu mengucapkan apapun tanpa merasa risih.
“Bbb...bukan gitu, Lad. Gue juga nggak tahu kaya gimana. Tapi cuma lo yang gue inginkan.” Broto dengan gagap menjawab sambil kembali menunduk.
Mendengar itu, emosi Lady surut. Ia tahu Broto bukan pria mesum. Track recordnya sudah jelas.
Bertahun-tahun dia menolak cintanya, tapi belum pernah sekalipun lelaki itu marah, berbuat kasar, apalagi melecehkan.
“Jadi, intinya, cuma gue yang lo mau?” Lady mengamati lebih dalam pria di hadapannya.
Broto terlihat sangat cemas. Ia menggosok-gosok jam tangan yang dikenakannya sambil mengangguk.
“Gue butuh waktu untuk berpikir, nanti gue kabarin lagi.” Lady beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan Broto.
Broto hanya diam melihat kepergian Lady. Jangankan untuk berdiri atau mengucapkan sesuatu, bernafas saja sudah sulit baginya.
“Gila, apa yang gue lakukan tadi?” Broto berkata dalam hati.
Lady sedang berjalan menuju mobil ketika telepon genggam miliknya bergetar.
My Bee, nama yang muncul di layar telepon.
“Yes, Bee. Ada apa?”
“Jadi ketemu dokter?” Sebuah suara berat di seberang sana bertanya.
“Udah, ini baru aja keluar ruangan. Lo udah suruh Pandu lakukan semuanya?” Lady balik bertanya tentang part of job suaminya.
“Udah, dong. Dia akan kerjakan hari ini, lagi ke tim legal. Dokternya mau bantu kita?” Kala tahu bahwa Lady dulu dekat dengan Broto. Ia juga tahu bahwa pria itu pernah jatuh hati pada istrinya.
“Pasti mau. Kan emang sudah kerjaan dia.” Lady mencoba menutupi yang terjadi. Bagaimanapun Broto pasti dan harus membantu, apapun caranya.
“Syukurlah. Ya udah, aku kerja dulu, kamu balik ke rumah?” Tanya Kala.
“Gue mau nonton bioskop dulu. Gue tutup ya, mo nyetir.” Lady sudah sampai di samping mobilnya.
“Ok, Honey. Enjoy your time.” Kala menutup panggilan teleponnya.
Kala lega mendengar semua beres. Tinggal kandidat sewa rahim harus segera dituntaskannya.
Sepanjang perjalanan menuju sebuah mall, yang ada di kepala Lady hanya bagaimana cara memenuhi keinginan Broto. Tak mungkin menemukan dokter lain yang bisa membantunya selain pria tersebut.
“Gimanapun caranya, Broto harus bantu gue,” tekadnya dalam hati.
Setiap kali menghadapi sebuah masalah penting, Lady memang memiliki ritual khusus. Ia akan mengawali dengan menonton bioskop, bahkan bisa dua sampai tiga film berurutan. Setelah itu berbelanja beberapa pakaian, sepatu, tas atau yang lain, baru mulai berpikir.
Otak yang segar tentu akan mampu menghasilkan pemikiran lebih cemerlang. Hal itu yang selalu diyakini Lady sedari dulu.
Ada rindu yang aku hirupdalam petang teramat redupbercampur rasa takutberaduk sejuta kalut*****“Ya udah, ngapain lo di sini? Pulang aja. Kan gue yang pengen makan mie. Udah deh, jangan ribet. Besok kita kontakan lagi ya. Bye. My second love.” Lady membisikkan kalimat terakhir dengan lembut di telinga Broto. Ia berlalu sembari melambaikan tangan.Broto melihat kepergian wanita itu dengan sedikit heran. Lady seolah tak memiliki beban sedikitpun tentang semua ini. Dia menjalani seolah normal-normal saja dan memang tidak ada apa-apa.Pria itu tidak tahu bahwa banyak hal berkecamuk dalam diri Lady. Hanya saja dia sangat pandai menutupi dan mengendalikan.Kalau dia bisa, gue juga pasti bisa, batin Broto.Broto berbalik arah menuju mobilnya, dan melaju dengan kecepatan tinggi, agar Ningrum tidak terlalu lama menunggu. Hampir s
Keduanya berbeda rasaSaling melengkapi dan memberi sensasiPerpaduan menjadikannya sempurnaMustahil memilih satu sisi******“Kita pulang sekarang? Atau mau makan malam dulu?” Broto membelai rambut Lady yang sedang rebahan di dadanya. Tiga kali mereguk cinta, cukup membuat perut berteriak meminta asupan.“Makan dulu, yuk. Baru kita pulang. Kala juga sepertinya makan di luar kok. Tadi siang dia sibuk banget,” jawab Lady bangkit dari tempat tidur menuju ruang santai sambil memutar-mutar leher menghilangkan penat. Dia memungut pakaian yang tadi dilempar begitu saja. Broto menyusul di belakangnya.Lady membantu Broto berpakaian, baru dirinya sendiri.“Gue pengen makan mie.” Tangan Lady bergayut manja di leher Broto.“Ya sudah. Ke Depot Gajah Mada aja. Searah lo pulang.” Broto mendaratkan ciuman di dahi, kedua
Aku hanyalah sesosok manusia yang menjadikan nafas sebagai sebuah keharusanbergerak tanpa keinginanbertindak tanpa perasaan******Setelah kenyang bersantap siang, Lady memutuskan untuk tidur sembari menunggu kedatangan Broto.[Pandu, pastikan Embun tertarik dengan tawaran kita.]Sebelum rehat, dikirimkannya pesan singkat pada Pandu. Ia sudah masuk sedalam ini, jangan sampai semua sia-sia.[Baik, Bu.]Pandu membalas singkat, karena memang ia segan berurusan dengan bos wanitanya ini. Kala lebih mampu memberikan ketenangan pada bawahan, dan masih bisa berbasa-basi.Lady merebahkan diri di kasur yang ternyata cukup nyaman. Apartemen kelas menengah dengan harga tidak terlalu mahal, masih mampu memanjakan penghuninya.Tadinya dia sedikit tidak yakin dengan pilihannya pada komplek apartemen seperti ini. Terbia
Tak bisakah aku layaknya senja?Memeluk siang dan malam bersamaTanpa harus kehilangan keduanyaTidak memilih satu di antaranya******“Nggak usah. Saya sendiri saja. Terima kasih.” Lady menerima kunci dan segera masuk ke apartemen. Sebelum menutup, dipandangnya sekilas wanita di balik pintu. “Silahkan pergi. Saya hubungi kalau ada perlu.”Erlin mematung memandang pintu di depan wajahnya yang ditutup dengan tegas. Tidak dibanting, tapi cukup keras.Wanita menyeramkan, batinnya.Erlin meninggalkan lokasi apartemen dan memilih kembali ke kantornya daripada harus panjang kali lebar berurusan dengan Lady, yang ia kenal dengan nama Amara.Sementara di dalam apartemen, Lady melihat sekeliling. Lumayan nyaman, untuk sekedar memadu kasih dan waktu yang singkat.Dia merebahkan tubuh di sofa ruang santai. Tangan
Apakah diriku kau anggap senja?Yang datang hanya sekejap tanpa boleh menetapMenjadi pemisah antara siang dan malamKau nikmati tanpa perlu kau miliki*****Setidaknya, masalah dokter sudah beres, batin Lady.Dia segera mengarahkan laju mobil ke arah bandara. Ada sebuah apartemen di daerah itu yang terbilang baru dan kelas menengah. Lady sengaja memilih tempat itu, karena akan aman dari relasi, juga kenalan mereka. Kebanyakan penghuninya adalah penyewa yang akan melanjutkan perjalanan dari pangkalan udara tersebut, bukan penghuni tetap.Bangunan tinggi menjulang nampak baru selesai dibangun. Tak ingin menarik perhatian, Lady sengaja memarkir mobil di area samping gedung.Wanita itu sudah lebih tenang. Ia telah mampu menguasai hatinya. Perselingkuhan yang baru saja terjadi, tak lebih dari sebuah hubungan kerja sama saling menguntungkan.“S
Tak ingin melukaimu dengan hadirkuTak ingin menyayatmu dengan dekatkuAku yang memilih tiadaAku yang memilih terlupa******Mereka berbincang banyak hal sepanjang perjalanan. Tak ada pembicaraan serius. Hanya obrolan ringan untuk saling mengenal.“Makasih ya, Mas Pandu. Tuh kosan saya.” Embun menggerakkan telunjuknya pada deretan bangunan yang berjarak sekitar 20 meter dari tempat mereka.Sengaja Embun minta berhenti di situ, agar tidak ada omongan tetangga melihatnya pulang bersama pria tak dikenal, bermobil pula.“Ini masih hujan. Apa nggak sebaiknya saya antar sampai depan kos, Mbun?” Pandu menoleh pada gadis itu.Nanti cantikmu luntur, kan sayang, batin Pandu.“Santai aja, Mas. Saya bukan mermaid, yang kalau kena air terus kaki saya berubah jadi sirip. Kehujanan sebentar, langsung dibilas. Aman.”
Hidup adalah mimpi untuk orang bijakPermainan bagi orang yang tololKomedi bagi yang kayaDan tragedi untuk si miskin******“Kenapa saya yang dipilih sama penyewa, dan mereka tahu soal saya dari mana?” Embun tentu saja penasaran.“Mbak pasti menebak, bahwa penyewa pasti bukan orang sembarangan. Jadi apa yang tidak bisa dilakukan dengan uang? Mengumpulkan informasi, sampai di titik terdalam sekalipun, hingga akhirnya memang Mbak Embun yang dirasa cocok sebagai kandidat. Kami sudah melakukan penyelidikan cukup mendalam tentang kehidupan Mbak Embun selama beberapa hari,” jawab Pandu yang segera menyeruput minuman untuk sedikit mengurangi debar di jantungnya.“Sejauh apa yang kalian tahu?” Embun sedikit berdebar mendengar area pribadinya dimasuki tanpa permisi oleh orang lain.“Cerita almarhum ayah, pekerjaan, kuliah. Seb
Kamu...Tak terlupakan bagikuKarna kamu...Punya hutang padakuKAPAN BAYAR?*****“Tentu tidak saya jawab.” Embun menatap Pandu tepat di lingkaran hitam bola matanya.Tatapan teduh yang bisa seketika berubah tajam dan menusuk. Rupanya seperti inilah cara gadis ini melindungi diri. Dia bisa sekejap berubah. Dari seekor angsa putih yang rupawan, menjadi seekor harimau yang siap untuk melawan.Suasana menjadi sedikit kikuk karena pertanyaan Pandu tadi. Untunglah pelayan segera datang membawa pesanan mereka.“Silahkan, Mbak. Kita sambil makan, sambil berdiskusi.” Pandu mencoba mencairkan suasana.Embun hanya membalas dengan anggukan dan mulai menyantap makanan, sembari menunggu Pandu melanjutkan pembicaraan. Ia memutuskan untuk berhenti berbicara.Biar pria ini yang menjelaskan semuanya, batin
Hanya ingin berjumpalalu duduk berduabertukar ceritadan pulang bersama*****“Hei, kok malah ngelamun?” Al membuyarkan lamunan Embun.Ini yang selalu terjadi setiap kali Embun dekat dengan seorang lelaki. Bayangan masa lalu, dua lelaki penting dalam hidup, yang sudah memberikan tato permanen di hatinya berbentuk luka.“Nggak papa. Al, sebetulnya ada hal yang kamu belum tahu juga tentang masa laluku. Someday pasti aku cerita, tapi tidak sekarang. Nggak masalah kan?” Embun menatap pria di sampingnya yang sedari tadi tidak melepaskan genggaman. Sesekali pria itu mengusapkan ibu jari di tangan Embun yang sedang digenggamnya.“Kapanpun kamu siap, Mbun. Lagian masa lalu ya masa lalu. Kalau kamu lebih nyaman untuk nggak dibahas, ya udah. Lupakan aja. Nikmati hidup, bahagia, dan lebih mikirin masa depan aja. Masa lalu kan udah terjadi.