Share

Raibnya Kembang Desa Kami
Raibnya Kembang Desa Kami
Penulis: Maysha

Tragedi

"Diam kamu!" Lelaki kurus berkulit hitam namun tampak sangar dengan tubuh penuh tato itu tanpa belas kasihan terus menendang bocah yang tak berdaya. Tangisan dan teriakan sang bocah sama sekali tak menimbulkan rasa kasihan pada diri si lelaki. Rasa takut dan sakit bercampur dirasakan bocah itu. Kaki dan tangannya terikat tali tambang dengan kuat. Ia tergolek lemah di lantai kayu yang basah dan berbau amis.

Tiba-tiba badan si lelaki terhuyung, seorang bocah kecil lainnya menendang-nendang dari belakang. "Jangan sentuh adikku !" Tentu saja tak ada pengaruh berarti. Lelaki itu berbalik dengan marah lalu dengan beringas mengangkat badan si bocah kedua.

Entah bagaimana caranya tali yang mengikat kaki si bocah kedua telah terlepas. Namun itu tak memberikan keuntungan apapun. Tubuh si bocah dengan entengnya diangkat oleh si lelaki bengis lalu dilempar ke lautan. Sekejap saja badan si bocah menghilang ditelan ombak.

"Abaang ... Abang!" Si bocah pertama terus berteriak histeris hingga suaranya parau lalu menghilang, kemudian ia hanya dapat meronta lemah dan membuka mulut tanpa suara. Air mata mengalir deras di mata beningnya yang berangsur kemerahan. Lalu ia diam, tak sadarkan diri.

Di ruangan lain seorang wanita terikat pada sebuah kursi yang diikatkan lagi pada sebuah tiang kayu. Wanita itu menatap sekeliling, puluhan tong berwarna biru kehijauan karena lumut tertata rapi menutupi pandangannya. Ia menatap langit-langit, ruangan ini cukup besar. Goyangan dan getaran yang dirasakan langsung membuatnya menyadari tengah berada dalam sebuah kapal laut.

Wanita itu mencoba menggerakkan tangan, namun hanya perih yang dirasakan. Ia ingat sudah terlalu banyak meronta hingga luka menghiasi lengan dan kakinya. "Mas ... Kakak...apakah kalian baik-baik saja?" Suara lirih dan lemah keluar dari mulutnya. Ia tak tahu dimana suami dan anak sulungnya. Beberapa jam lalu dua buah hatinya yang terkecil juga telah direnggut paksa dari pelukannya.

Bau amis ikan berbaur dengan bau zat kimia yang cukup membuatnya sesak. Di sudut ruangan tampak teronggok puluhan kaleng cairan Aseton. Disebelahnya tumpukan kardus tersusun rapi, pada kardus itu tertera merek salah satu minuman penambah energi yang sangat terkenal di negeri ini.

Di sudut lainnya berserakan kardus-kardus bertuliskan nama sebuah merek obat batuk. Lalu beberapa botol tanpa nama berserakan di depannya. Terdengar suara orang-orang yang tertawa-tawa dibalik barisan tong. Suara denting botol dan omongan-omongan yang meracau menunjukkan sedang ada pesta hilangnya kesadaran disana.

Srek!

Srek!

Tiga buah tong tergeser, empat laki-laki muncul dari balik barisan tong. Si wanita menatap ketakutan. Para laki-laki itu berjalan melewatinya. Mereka ke sudut ruangan mengambil tumpukan kaleng Aseton dan kardus-kardus minuman energi, bolak balik memindahkan barang-barang tersebut ke ruang yang lebih luas dibalik jejeran tong tanpa memerdulikan keberadaan si wanita.

Pandangan wanita itu kini bisa melihat lebih jelas ke depan. Ia menyaksikan para lelaki itu mencampurkan berbagai cairan, termasuk Aseton, obat-obatan dan minuman energi. Tak ada takaran, mereka mencampurkan sesuka hati lalu mengemasnya pada botol-botol air mineral.

Tiba-tiba seorang laki-laki menatap wanita itu, ia meraih botol yang telah dikemas lalu mendekati si wanita yang gemetar ketakutan.

"Kamu haus?"

"Ya ... beri saya air minum." Suara yang serak menegaskan keinginannya akan seteguk air.

"Minumlah ini." Si lelaki menyodorkan botol yang dibawanya.

"Ti .. tidak ... tidak. Beri saya air mineral saja."

"Hahaha ... tidak ada air seperti itu disini. Hanya ada air laut yang sangat asin diluar sana atau minuman oplosan yang menyegarkan ini."

"Tidak! Tidak! Jangan!" Tangan lelaki itu dengan paksa membuka mulut si wanita, mendongakan kepalanya dengan kasar lalu menggelontorkan minuman yang dibawanya ke mulutnya. Sia-sia saja pemberontakan wanita itu, tenggorokannya langsung terasa panas, ia tersedak dan terbatuk. Lelaki kejam itu terus memaksanya minum hingga pandangannya berputar dan hilang kesadaran.

***

Seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun berlari dalam kegelapan menuju rumahnya di pesisir pantai. Hanya mengenakan celana pendek yang basah dan bertelanjang dada, kakinya yang tanpa sandal dipenuhi pasir. Setibanya di depan sebuah rumah semi permanen ia mendorong pintu yang tak terkunci. Ia berjalan perlahan mencari lampu minyak dan korek api lalu menyalakannya. Tak ada ayah atau ibunya, semua anak di daerah itu terbiasa ditinggalkan orangtuanya pada malam hari. Sang ayah mengarungi lautan untuk mendapatkan sisa ikan tangkapan kapal yang besar. Dan sang ibu memilah-milah ikan hasil tangkapan untuk dijual di pelelangan.

Anak itu mengambil sebuah buku dan pensil, dalam keremangan cahaya ia menggambar dengan cepat. Hanya gambar sederhana tanpa warna. Puas dengan hasilnya, anak itu merobek dua lembar kertas. Ia menggulung kertas itu lalu membawanya kembali berlari keluar.

***

Deretan karangan bunga duka cita memenuhi jalan menuju rumah Surya Arga Kusuma. Seorang pengusaha sukses yang memiliki beberapa perusahaan besar. Ratusan pelayat silih berganti menyampaikan ucapan belasungkawa. Duka tak terelakkan. Istri dan salah satu dari ketiga anaknya ditemukan mengambang di tengah lautan. Ia berjuang berdiri dan menyalami para tamu. Dua anaknya yang lain tak kuasa menahan kesedihan dan memilih mengurung diri di kamar.

Perlahan ia menghampiri satu keluarga yang duduk di jejeran kursi pelayat paling belakang. Mereka adalah sepasang suami istri dan satu anaknya.

"Terima kasih, Nak. Berkat kamu saya bisa menemukan anak dan istri saya."

Sang anak menatap ayahnya, lalu sang ayah menggerakkan kedua tangannya beberapa kali. Menyampaikan bahasa isyarat dan lalu anak itu tersenyum mengangguk pada Surya. Ia lalu membalas menggerakkan kedua tangannya.

"Sama-sama, semoga istri dan anak bapak diterima di sisi Tuhan." Si ayah menerjemahkan.

Mata Surya berkaca-kaca, ia menarik anak itu ke pelukannya. Wendi--nama anak itu--adalah seorang anak nelayan yang malam itu menjadi saksi tragedi yang terjadi pada istri dan anak Surya.

Wendi sedang duduk di atas perahu tetangganya yang tertambat agak jauh dari perahu-perahu lainnya, menunggu ayahnya yang sedang melaut. Asyik bermain dengan teropong mainannya saat kemudian ia melihat sesosok tubuh dilemparkan dari sebuah kapal penangkap ikan yang melewatinya.

Setelah kapal itu lewat ia mencoba terjun dan berenang mencari tubuh yang dilemparkan. Namun kegelapan malam dan besarnya ombak membuat usahanya sia-sia. Ia lalu kembali ke pantai dan memberitahu orang-orang yang ada di pantai tentang apa yang dilihatnya. Sayang tak ada yang mengerti bahasa isyarat anak yang tuna wicara itu. Ia lalu berlari ke rumahnya, menggambar apa yang dilihatnya lalu berlari ke kantor polisi.

Gambar sebuah kapal penangkap ikan dan gambar anak yang dilemparkan ke laut menjadi petunjuk penting bagi polisi untuk mengungkap kasus penculikan dan penyanderaan itu. Wendi menggambar hanya berdasarkan daya ingatnya namun gambar itulah yang membantu menemukan jenazah istri dan anak Surya. Serta menyelamatkan satu anak lainnya yang disandera.

Surya mengundang keluarga Wendi ke kediamannya, menyampaikan rasa terima kasihnya dan menyampaikan niatnya untuk merenovasi rumah mereka dan berniat membeli perahu baru untuk ayah Wendi.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
lmirachma
waw baru baca beberapa detik udah merinding ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status