Share

Bab 3 ~ Surat

Kia menatap amplop berwarna putih dengan tanda tanya memenuhi kepalanya.

Surat dari siapa?

Penasaran, dia membuka surat itu dan membacanya dalam hati. Tulisan tangan itu terlihat rapi. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Kia, melainkan ungkapan perasaan rindu yang tersirat dari surat itu. Dia membaca nama pengirimnya di sudut paling bawah.

Rain?

Tiba-tiba dia teringat dengan laki-laki yang ditemuinya di bandara beberapa hari yang lalu. Di dunia ini tidak mungkin ada kebetulan seperti itu. Ada banyak nama yang sama, Kia tidak boleh menyimpulkan Rain termasuk manusia pemuja cinta. Bahkan kata-kata yang ditulis seolah mewakili perasaan terpendam yang tidak mampu diungkapkan secara langsung. Meskipun begitu, Kia tidak langsung membuang surat itu. Jika suatu hari ada seseorang yang mencarinya, dia akan menyerahkan surat itu kepada pemiliknya. Semoga saja bukan Rain pengirim surat itu. Entah siapa orang yang dimaksud, tapi tulisan itu menunjukkan perasaan Rain yang tulus. 

Padahal, sejak pertama kali bertemu Rain di bandara, Kia percaya pada cinta pandangan pertama. Mungkin aneh, tapi Kia mengakuinya. Dia sungguh jatuh cinta pada Rain.

"Kia!"

Lamunannya buyar saat melihat makhluk paling menyebalkan berdiri di depannya. Kia lupa sejak tadi masih berdiri di ambang pintu sambil membaca surat itu. Sebelum Ben, sahabatnya mengetahui tentang surat misterius itu, Kia lebih dulu menyimpannya di saku celana. 

"Ngapain kesini?" tanya Kia kesal. "Ganggu tahu!" ucapnya ketus kemudian menutup pintu rumahnya dan mengikuti Ben menuju motor yang terparkir di halaman.

"Minggu depan Eren ulang tahun, aku mau ajak kamu cari kado buat dia. Aku nggak tahu selera cewek, kali aja kamu tahu seleranya." ucap Ben sambil memasang helm untuk Kia.

Kia mendengus. "Setelah aku beli rumahnya, kamu kencan sama dia."

"Aku nggak pacaran sama Eren." ucap Ben serius, dia membelai wajah Kia lembut. "Aku nggak suka sama Eren, paham?"

"Suka atau nggak, bukan urusanku." Kia menyingkirkan tangan Ben dari wajahnya. "Buruan jalan, malam ini aku ada jadwal les."

"Kamu serius kuliah di Jepang?" tanya Ben sesaat setelah motor itu melaju.

"Iya!" Kia mengangguk dengan suara keras akibat bisingnya suara kendaraan di jalan itu.

"Terus gimana sama aku?" 

"Apa?!" tanya Kia tidak mendengar ucapan Ben, dia mencondongkan wajahnya hingga menyentuh pundak laki-laki itu. "Aku nggak dengar, kamu ngomong apa?"

"Nggak ada kok Ki."

Memiliki sahabat yang suka menyimpan rahasia memang tidak mudah. Ben satu-satunya orang yang rela menemaninya ke mana pun dia pergi bahkan ketika Kia memutuskan pindah ke Surabaya. Ben tidak ragu meninggalkan Bandung. Pengorbanan Ben menyebabkan Kia menganggap laki-laki itu sangat penting dihidupnya. Dan Ben tidak mendukung keputusannya kuliah di Jepang meskipun sebenarnya laki-laki itu bisa mengikutinya ke mana pun. Seperti kebiasaan yang dilakukannya selama ini.

"Aku lapar." ucap Kia ketika melihat warung bakso pinggir jalan yang ramai. Dia menyentuh pundak Ben meminta laki-laki itu menghentikan motornya. "Aku mau makan di sana."

Ben tidak membantah dan mengikuti Kia menuju kursi kosong di warung bakso itu. Pertama kalinya Kia menyantap makanan pinggir jalan. Dia memesan dua mangkuk bakso kemudian menatap Ben. Laki-laki itu tampak serius memperhatikan ponsel melupakan satu hal bahwa warung sederhana itu merupakan tempat yang tidak mungkin Kia kunjungi. 

Dua mangkuk bakso di letakkan di atas meja, aroma lezat itu menyebabkan Kia tidak bisa menahan diri untuk mencicipinya. Dia memasukkan suapan pertama ke mulutnya dan seketika matanya berbinar. Tidak salah pelanggan berdesakan mengantri demi semangkuk bakso. Kia terus menyantap hidangan itu mengabaikan Ben di sana. Hingga beberapa menit kemudian Kia telah menghabiskan bakso berserta kuahnya. Dia menyeka bibirnya lalu menatap Ben. Ada yang salah dari ekspresi laki-laki itu.

"Kenapa Ben?" tanya Kia penasaran.

"Seingatku kamu nggak suka makanan pinggir jalan, sejak kapan selera kamu berubah?" Ben balas bertanya.

Kia mengangkat bahu. "Mungkin seleraku udah berubah, aku menilai sesuatu dari sampulnya. Kebiasaan jelek itu karena ajaran keluargaku. Harusnya mereka paham, aku bukan Kia yang dulu." 

"Tapi aku suka lihat kamu yang dulu." ucap Ben serius. 

"Apaan sih!" 

"Dua bulan lagi kelulusan sekolah." Ben menelan makanannya susah payah. "Dan kamu pergi ke Jepang, tapi aku masih nggak setuju dengan keputusan kamu Ki. Padahal cita-cita kamu dari kecil lihat bunga sakura mekar di gunung Fuji. Sekarang aku malah berharap kamu nggak pergi, hapus impian kamu karena egoku. Harusnya nggak begini, tapi aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu. Dari kecil kita sama-sama dan dua bulan lagi seperti mimpi buruk. Ki, aku janji bakal lindungi kamu, tapi maaf aku nggak bisa nepati janji itu. Aku nggak bisa ke Jepang karena suatu alasan."

Kia tertawa kecil melihat Ben begitu serius. Dia tidak menyangka kepergian ke Jepang memberikan dampak besar bagi Ben. Lagipula jarak bukan penghalang menjalin persahabatan. LDR tidak hanya ditujukan pada sepasang kekasih, tapi sahabat seperti hubungannya dan Ben.

"Kamu nggak jadi cari kado buat Eren?" tanya Kia setelah melihat arlojinya, tidak terasa sudah satu jam berada di tempat itu. Jadwal lesnya dimulai setengah jam lagi, tidak sempat menemani Ben mencari kado.

"Nggak." Ben bangkit dari duduknya lalu menyerahkan uang kepada pemilik warung tanpa menunggu kembalian. Dia menarik Kia menuju motor. "Aku tunggu kamu sampai selesai les. Kado buat Eren bisa dicari kapan aja, tapi les kamu lebih penting."

Kia kembali tertawa lalu mengambil helm sebelum Ben memasang benda itu di kepalanya. 

"Jalan, keburu telat." ucap Kia.

"Pegangan biar aku bisa ngebut." Ben meletakkan tangan Kia di pinggangnya. "Aku nggak segan bawa kamu terbang." ucap Ben kemudian melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

***

Pukul delapan malam Kia selesai les. Dia merogoh saku celananya dan menyadari surat itu tidak berada di sana. Mungkin surat itu tercecer di jalan atau warung bakso tadi, mengingat dia tidak sempat memeriksanya sebelum meninggalkan tempat itu. Sudahlah, Kia pasrah saja lagipula surat itu entah ditujukan kepada siapa. 

Ternyata Ben memang menunggunya hingga selesai les. Begitu melihatnya laki-laki itu tersenyum lebar. 

"Aku pikir kamu udah pulang." ucap Kia.

"Baru jam delapan, masih sempat cari kado buat Eren."

"Lho, katanya kapan-kapan?" 

"Biar dia nggak sibuk nagih kado. Belum lama kenal, tapi aku udah jengah sama sikapnya. Beda banget sama kamu Ki. Padahal kita kenal dari kecil, tapi kamu nggak pernah minta apa-apa." ucap Ben setelah berada dalam perjalanan menuju mall.

"Mungkin dia suka sama kamu." sahut Kia asal.

"Orang bodoh mana yang bakal suka sama Eren?"

"Kamu nggak suka, terus kenapa kamu ngasih kado buat dia?" tanya Kia penasaran. 

"Ceritanya panjang Ki. Aku nggak mau ingat kejadian itu, tapi kamu harus percaya kalau aku benci banget sama perempuan itu."

"Iya, aku percaya." Kia menepuk pundak Ben. "Kamu kan nggak peka sama cewek-cewek yang naksir kamu. Salah satunya Eren ini."

"Bukan nggak peka, aku udah terlanjur suka sama seseorang."

"Siapa?!" tanya Kia saking terkejutnya. Dia mencondongkan wajahnya hingga bersandar di pundak Ben. "Aku sempat mikir kamu itu homo, tapi kamu bilang suka sama seseorang. Pastinya dia cewek, siapa sih Ben?"

"Yang jelas bukan Eren." ucap Ben tegas.

"Kamu suka main rahasia-rahasiaan. Padahal kita kan sahabat." dengus Kia kecewa.

"Biar jadi rahasiaku aja, kamu fokus ujian buat kuliah di Jepang. Aku berdoa supaya kamu nggak lulus dan tetap di Surabaya. Doaku jelek banget ya Ki." ucap Ben disertai tawa meskipun tidak ada yang lucu.

Kia tertawa singkat, dia tahu Ben serius dengan ucapannya. Namun, mengenai keputusan pergi ke Jepang bukan tanpa alasan. Selain melihat sakura di gunung Fuji, dia ingin mencari informasi tentang seseorang. Kia memilih menyimpan rahasia itu agar Ben tidak terbebani dengan janji melindunginya. Laki-laki itu sudah melakukan banyak hal agar Kia tidak terluka, tapi kenyataannya dia tidak bisa menerima keputusan ibunya untuk menikah lagi.

Kia mengikuti langkah Ben memasuki mall. Hawa dingin membuatnya menggigil, seolah memahami kesulitannya. Ben memasang jaket di tubuhnya lalu menggenggam tangannya memasuki salah satu toko. 

Sepertinya Ben ingin membeli pakaian untuk Eren. Namun, dia termangu ketika sebuah syal dipasang di lehernya. 

"Aku lupa kamu paling nggak tahan sama hawa dingin." ucap Ben.

Setelah itu, Ben menariknya menjauh dari toko itu. Lalu berhenti di sebuah toko perhiasan dan Ben serius memperhatikan deretan cincin di etalase. Kia melihat sebuah cincin dengan berlian kecil berwarna biru, benda itu membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Seperti Rain.

Kia tiba-tiba teringat dengan laki-laki itu. Menganggap Rain sedang memilih cincin untuk melamarnya.

"Ki, menurut kamu mana yang bagus?" 

Kia menatap kedua cincin di tangan Ben. Namun tatapannya justru mengarah pada cincin di etalase. 

"Aku suka cincin itu." Kia menunjuk cincin pilihannya.

Kia melongo ketika Ben meminta penjaga toko untuk mengambil cincin itu. Lalu memasang cincin itu di jari manisnya.

"Bagus, cocok di pakai sama kamu." ucap Ben.

"Seleraku sama Eren beda kali Ben. Kamu pilih aja yang menurutmu bagus." Kia melepas cincin itu kemudian mengembalikan pada penjaga toko. "Aku rasa cincin ini bagus." ucap Kia mengambil salah satu cincin pilihan Ben. Dia mengamati benda itu dengan teliti. "Apa pun pilihan kamu, Eren pasti suka. Kado dari orang yang dia cintai pasti berharga Ben."

"Aku nggak bilang cincin itu buat Eren." 

"Oh, jadi buat orang yang kamu suka." Kia mengangguk paham. "Kamu mau lamar dia?"

Ben menggeleng. "Nggak."

Kia melihat arlojinya, dia tidak ingin berlama-lama berada di tempat itu. 

"Ben, pulang yuk." ajak Kia tak sabar.

"Bentar Ki."

Sepertinya Ben ingin menguji kesabarannya. Kia duduk di kursi, menunggu Ben berbicara panjang lebar dengan penjaga toko itu. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status