LOGIN"Aku sudah menunggu," suara Huang Ziyan menyambut Lin Qian begitu ia menjejakkan kaki di Pavilium kecil di tepi kolam teratai. "Kau membawa pesan dari Yang Mulia?"
Lin Qian meletakkan kantung obatnya di atas meja batu, menatap pemuda yang dulu hanya dianggap saingan ujian. "Bukan pesan, tapi bukti.""Aku kira kau hanya akan jadi tabib pribadi kaisar. Ternyata kau berani melangkah lebih jauh ya." Bibir Huang Ziyan tersenyum tipis, tapi matanya tajam seperti bilah pisau."Buka keberanian," jawab Lin Qian pelan. "Lebih tepatnya aku harus melakukannya. Jika kita diam, racun itu akan kembali menelan nyawa."Lampion kertas berwarna pucat tergantung rendah di sekeliling paviliun, warnanya seperti bulan musim gugur. Angin dari arah danau membawa aroma teratai bercampur bau obat dari kantung obat milik Lin Qian. Bayangan keduanya terpantul di permukaan air yang bergetar setiap kali angin berhembus, seolah menggambarkan rapuhnya kerja sama mereka.Aula utama istana dipenuhi cahaya pagi yang pucat. Pilar-pilar tinggi berlapis ukiran naga memantulkan bayangan para pejabat yang berdiri rapi, wajah-wajah mereka tertata sopan, namun mata mereka tak berhenti saling mengamati. Udara terasa berat, seolah setiap napas membawa beban yang tak kasatmata. Di singgasana, Kaisar Wang Rui duduk tegak, jubah kebesarannya jatuh sempurna, namun sorot matanya tajam dan waspada.Ibu Suri duduk di sisi kanan aula, sikapnya anggun namun penuh wibawa. Di sebrangnya, Putri Bai Hua hadir dengan busana sederhana berwarna pucat, seolah ingin menampilkan diri sebagai sosok lembut yang tak mengancam. Namun justru ketenangan itulah yang membuat beberapa pejabat merasa tidak nyaman. Pertemuan hari itu, yang seharusnya membahas urusan perbatasan dan pajak, perlahan berubah arah.Beberapa pejabat senior mulai mengangkat isu lama. Tentang stabilitas istana. Tentang perlunya permaisuri yang kuat untuk mendampingi Kaisar. Tentang harapan rakyat akan garis sukses
"Kudengar hubungan antara Tabib Lin dan Kaisar saat ini tidak baik ya?" Putri Bai Hua meletakan cangkir tehnya dengan anggun."Kalau dari sepenglihatan para dayang, benar Tuan Putri." Jawab salah satu dari tiga dayangnya yang sedang berdiri berderet.Angin musim dingin berhembus lebih tajam dari biasanya, membawa bisik-bisik istana yang tak pernah benar-benar tidur. Di lorong-lorong panjang berlapis batu giok pucat, Bai Hua menyeruput tehnya anggun, wajahnya menyimpan senyum lembut yang tak pernah gagal menipu mata orang lain. Namun di balik kelopak mata yang turun setengah itu, pikirannya bergerak cepat, menghitung, menimbang, dan menunggu celah. Ia sudah menyadari ada yang berubah beberapa hari belakangan ini.Hubungan antara Kaisar Wang Rui dan Tabib Lin Qian tidak lagi seperti sebelumnya. Tidak ada lagi tatapan hangat yang tertangkap secara tak sengaja. Tidak ada lagi kehadiran Lin Qian di sisi Kaisar pada jam-jam yang seharusnya paling sunyi. Semua tampak rapi di permukaan, te
Senja turun perlahan di atas Balai Medis Kekaisaran. Langit berwarna tembaga pucat, seolah disaput abu tipis, sementara angin dingin menyusup dari sela-sela pilar kayu. Lin Qian berdiri di Paviliun kecil sebrang kolam, kedua tangannya tersembunyi di balik lengan jubah. Tatapannya tertuju pada kolam teratai yang tenang, tetapi pikirannya jauh dari ketenangan itu.Kata-kata Wang Rui pagi tadi kembali terngiang di benaknya. Nada suaranya tidak memerintah. Tidak menghakimi. Tidak pula bersembunyi di balik gelar Kaisar. Ia meminta maaf sebagai seorang pria, sebagai seseorang yang takut kehilangan. Dan entah kapan, kemarahan Lin Qian yang selama ini mengeras seperti es mulai mencair tanpa suara.Ia memejamkan mata sebentar, mengatur napas. Dirinya sudah tidak semarah itu, ia mengakuinya dalam hati. Lin Qian bahkan sudah memaafkannya.Kesadaran itu justru membuatnya tersenyum pahit. Karena jika ia sudah memaafkan, lalu mengapa dadanya masih terasa sesak setiap kali mengingat wajah Wang
Pagi turun perlahan di istana, diselimuti kabut tipis yang menggantung di antara atap-atap bersusun dan pilar batu giok. Angin musim dingin membawa aroma dupa dari aula doa, bercampur dengan wangi dedaunan basah di taman dalam.Wang Rui berdiri di koridor panjang menuju Balai Medis Kekaisaran, langkahnya terhenti berkali-kali seolah kakinya enggan melangkah lebih jauh. Untuk pertama kalinya sejak naik takhta, ia merasa gentar bukan pada perang atau intrik, melainkan pada satu wanita.Lin Qian berada di dalam, memeriksa ramuan pagi. Punggungnya tegak, rambutnya ditutupin topi seperti biasa. Tidak ada tanda kemarahan, tidak ada kegelisahan yang meledak. Justru ketenangan itulah yang membuat dada Wang Rui terasa semakin sesak. Ia menyadari bahwa jarak di antara mereka bukanlah badai yang mengamuk, melainkan danau beku yang sunyi dan sulit ditembus.Ia melangkah masuk, tirai bambu berderik pelan saat tersibak. Cahaya pagi menyelinap melalui jendela, memantulkan bayangan mereka berdua di
Malam merayap pelan di balik jendela ruang kerja kekaisaran. Lampu-lampu minyak berjejer rapi di atas meja kayu hitam, menerangi tumpukan memorial dan gulungan dokumen yang belum tersentuh.Wang Rui duduk tegak di kursinya, namun pikirannya jauh dari urusan negara. Sejak sore, ia hampir tidak bergerak, hanya sesekali menghela napas panjang, seolah udara di ruangan itu semakin berat setiap jam berlalu.Di hadapannya berdiri Zhou Han, ajudan kepercayaannya yang masih tergolong muda. Pria itu telah melayani Wang Rui sejak sebelum naik takhta, terbiasa melihat berbagai wajah Kaisar. Murka, dingin, penuh perhitungan.Namun wajah Wang Rui malam ini membuatnya diam-diam mengernyit. Kaisar terus-menerus mengecapkan lidahnya, lalu memijit kening dengan dua jari, berhenti sebentar, lalu mengulanginya lagi. Gerakan itu berulang seperti kebiasaan buruk yang tak disadari.Zhou Han menunggu dengan sabar, namun keheningan semakin janggal. Bahkan suara gesekan kain jubah Kaisar terdengar terlalu jela
Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di antara atap-atap istana ketika Lin Qian melangkah keluar dari Balai Medis Kekaisaran. Langkahnya tenang, wajahnya datar, seolah tidak ada apa pun yang mengusik batinnya. Namun bagi mata yang terbiasa memperhatikannya, ada sesuatu yang berubah. Tatapan Lin Qian tidak lagi hangat seperti sebelumnya, senyumnya jarang muncul, dan gerak-geriknya terasa lebih berhati-hati, seakan ia selalu menjaga jarak tak kasatmata dari dunia di sekitarnya.Wang Rui memperhatikannya dari kejauhan. Sejak beberapa hari terakhir, Kaisar merasa seperti berdiri di hadapan pintu yang perlahan tertutup. Lin Qian tetap menjalankan tugasnya dengan sempurna, tetap memeriksa kesehatan, tetap berbicara sopan. Tapi semua itu terasa formal, kaku, seperti ada tembok pembatas yang sengaja dibangun. Wang Rui, yang terbiasa membaca medan perang dan wajah para menteri licik, justru kesulitan membaca hati perempuan yang berdiri di hadapannya."Ada apa sebenarnya dengan dirimu, Q







