Masuk“Tabib Lin, Yang Mulia Ibu Suri memintamu datang ke Istana Dalam. Sekarang juga.”
Suara kasim itu terdengar pelan namun tegas di ambang Paviliun Qinghe. Lin Qian yang tengah menata ramuan berhenti seketika. Uap hangat dari panci rebusan obat membentuk kabut tipis di udara, seolah ikut menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba muncul di wajahnya.Ia menatap kasim itu, mencoba membaca ekspresi di balik tatapan menunduknya. “Apakah Ibu Suri mengatakan alasannya?”Kasim itu menunduk lebih dalam. Menjawab secara tidak langsung, bahwa dirinya hanya menjalankan tugas.Lin Qian mengangguk, meski jantungnya berdetak tak beraturan. Ia tahu, panggilan dari Istana Dalam bukan hal sepele. Dalam istana Wangjing, setiap langkah di bawah atap Ibu Suri bisa menjadi ujian hidup atau mati.Jalan menuju Istana Dalam sunyi dan panjang. Langit Wangjing sore itu berwarna tembaga, sinar matahari terakhir menembus kisi jendela dan menimpa jalan batu giok, menciptAngin malam berhembus lembut di taman timur, membawa aroma dedaunan lembap dan suara serangga yang bersembunyi di balik batu. Lentera batu di sudut taman memancarkan cahaya kekuningan yang temaram, menyoroti kabut tipis yang menggantung di udara.Orang itu memperkenalkan dirinya di bawah sinar bulan. Seorang pria tua berpakaian kelabu, rambutnya memutih seluruhnya, namun matanya masih tajam seperti baja yang diasah waktu.“Aku adalah penjaga arsip lama di Shenlan.” katanya dengan suara rendah namun mantap, memberi hormat dengan sikap hormat yang sederhana namun penuh wibawa. “Dan dulu, aku pelayan keluarga Lin.”Lin Qian menatapnya dengan campuran curiga dan kagum. “Keluarga Lin sudah lama lenyap dari catatan resmi.”“Lenyap, tapi tidak hilang. Mereka memilih menanggalkan nama mereka agar tak diburu.” jawabnya tenang.“Diburu?” Lin Qian menatapnya tak percaya. “Oleh siapa?”Pria tua itu mengangkat pandangannya ke arah langit yang dipenuhi bulan pucat. “Oleh kekaisaran sendiri.” Kelua
Suasana sore di Balai Medis terasa sunyi. Lentera di dinding bergoyang lembut, menebarkan bayangan hangat di antara tumpukan kitab pengobatan yang terbuka di meja. Aroma obat kering dan tinta tua memenuhi udara, menyatu dengan kesunyian yang begitu rapat hingga derit halus pena pun terdengar jelas.Lin Qian menatap satu halaman yang sudah menguning oleh waktu, tulisan tangan kuno dengan tinta merah pudar. Di pojok bawah, samar-samar tertulis nama yang hampir tak terbaca. Ran Dari Shenlan.Alisnya berkerut. “Ran... nama itu muncul di catatan penyakit Putri Lihua juga.”Ia menelusuri lembar demi lembar, jarinya menyapu permukaan kertas yang rapuh. Di sela barisan huruf tua itu, muncul simbol berbentuk kelopak bunga mekar dengan lingkaran di tengah. Lambang kuno Klan Lin, keluarga tabib dari pegunungan Shenlan yang telah lama dianggap punah.Saat itu, langkah Kaisar terdengar mendekat dari arah pintu. Suara itu khas, tenang namun tegas, seperti seseorang yang selalu membawa beban di seti
Angin malam berembus lembut di taman istana, menggoyangkan cabang pohon plum yang sudah bermekaran. Bunga-bunganya berguguran perlahan, jatuh di atas permukaan kolam seperti salju musim semi. Di tepi paviliun batu, lentera gantung bergoyang pelan, cahayanya menerangi dua sosok yang duduk berhadapan.Lin Qian menatap Kaisar dalam diam. Cerita yang baru saja keluar dari bibir Wang Rui terasa seperti jendela yang baru terbuka ke masa lalu. Masa lalu yang suram dan indah dalam waktu yang sama.“Jadi…” Lin Qian akhirnya berbisik. “Ayahmu mencintai wanita yang bukan permaisuri.”Wang Rui tidak menjawab seketika. Ia menatap air di depannya yang berkilau memantulkan cahaya lentera. “Bukan hanya mencintai,” katanya pelan, “beliau hidup dan mati karena cinta itu.”“Dan Ibu Suri-” Lin Qian berhenti, takut melangkah terlalu jauh.“Adalah bagian dari takdir yang tak bisa ditolak.” potong Wang Rui dengan suara rendah. “Ayahku mencin
Kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Musim dingin dua tahun berikutnya datang dengan kejam. Selir Shen Zhi jatuh sakit, penyakit aneh yang membuat tubuhnya melemah hari demi hari. Para tabib istana sudah berusaha, tapi hasilnya nihil. Suatu malam, saat bulan tampak pucat di langit, Shen Zhi memanggil Mei Lian ke kamarnya. Wajahnya tampak pucat, senyumnya masih hangat. Di samping ranjang, Wang Rui yang masih berusia empat tahun tertidur dengan tenang. “Mei Lian...” bisiknya lirih, “jika suatu hari aku tiada… aku menitipkan anakku padamu.” Mei Lian menahan air mata. “Jangan bicara begitu. Aku akan mencari obatnya. Aku janji.” Shen Zhi menggeleng lemah. “Bukan semua penyakit bisa disembuhkan dengan ramuan, Mei Lian. Kadang dunia ini… hanya menuntut kita menerima.” Ia menatap wajah Wang Rui kecil. “Ajari dia mencintai tanpa menuntut, seperti kau mencintai tanpa meminta kembali.” Tidak lama sejak h
Waktu berjalan seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Lima tahun telah berlalu sejak malam ketika Mei Lian resmi menjadi Selir Agung. Istana kini penuh dengan kemegahan, namun juga kesepian yang halus, seperti bunga plum yang mekar sendirian di musim dingin.Di luar, lonceng-lonceng istana berdentang lembut menandakan datangnya musim semi. Tapi bagi Mei Lian, tak ada yang berubah. Ia masih tinggal di Paviliun Yaohe, tempat yang dulu dijanjikan Kaisar sebagai perlindungan. Sekarang, paviliun itu menjadi ruang sunyi tempat waktu membusuk.Pagi itu, kabar baru datang dari Dewan Agung, Kaisar Wang Jian akan menikah lagi. Berita itu membawa desas-desus ke seluruh istana. Namun tak seperti pernikahan sebelumnya, kali ini nama calon pengantin disebut dengan hormat dan penuh simpati.Putri Shen Zhi, dari Klan Liang. Seorang wanita yang dikenal berhati lembut dan berpendidikan tinggi. Ia bukan berasal dari keluarga ambisius, tapi dari garis keturunan tab
Kabar pernikahan Kaisar Wang Jian menyebar lebih cepat daripada angin musim semi. Dari ibu kota hingga lembah Shenlan, semua orang bersorak menyambut kabar gembira itu. Semua kecuali satu orang.Di sebuah pondok kecil di pinggir hutan, Mei Lian menggenggam surat kabar yang baru tiba pagi itu. Tinta merah di atas kertas putih begitu kontras, seolah ingin membakar matanya. “Kaisar Wang Jian akan menikah dengan Putri Yue dari klan penasihat istana.”Kalimat itu sederhana, tapi setiap hurufnya seperti menembus dadanya. Di luar, bunga liar bergoyang lembut, namun bagi Mei Lian, musim semi itu terasa beku.Ia menatap ke arah timur, tempat matahari terbit dari arah ibu kota, dan berbisik pelan, “Jadi inilah akhirnya.”Beberapa hari kemudian, rombongan istana datang. Di antara mereka, sosok berpakaian ungu tua berjalan di depan, pengawal pribadi Kaisar. Ia membawa perintah langsung dari takhta.“Selir Mei Lian.” suaranya datar, “Yang Mu







