Senja sedang duduk di teras rumah. Ia tengah menemani kedua anaknya bermain boneka.
"Laki laki yang katanya mau melamar kamu itu, jadi ke sini apa nggak?" Ibu tiri Senja keluar dari rumah sembari bertanya dengan suara kencang.
"Jadi Bu, ini Mas Dafa masih di jalan. Katanya kena macet."
"Ibu kok kurang yakin ya dengan kata kata lelaki itu! Masa iya, dia mau menikahi kamu yang notabene cuma janda pengangguran? Bawa anak lagi!" Ibu tiri bicara dengan kalimat ejekan.
Senja hanya bisa diam. Ia tak berani menjawab. Setiap hinaan yang keluar dari bibir Ibu tirinya, ia biarkan begitu saja bak angin lalu.
"BRooM!" deru mesin mobil terdengar. Ada sebuah mobil hitam terparkir di depan pagar rumah mereka. Seorang lelaki mengenakan setelan jas warna abu abu, turun dari mobil. Dialah Dafa Suryaningrat, calon suami Senja Malini.
Senja berlari dan membuka pagar, ia menyambut kedatangan Dafa.
"Maaf ya, Mas agak telat datangnya." Lelaki berbadan tegap tersebut, meminta maaf kepada Senja dengan suara pelan.
Senja mengangguk, mereka berdua masuk ke dalam rumah. Ibu tiri dan Ayah kandung Senja, sudah duduk di sofa ruang tamu.
"Selamat siang Om, Tante!" Dafa mengucapkan salam.
"Ya siang!" Si Ibu tiri menjawab dengan ketus. Sementara Ayah kandung Senja, tampak menyambut dengan ramah calon suami anaknya tersebut.
"Mari silahkan duduk Nak, Dafa."
"Iya Om." Dafa merasa agak canggung.
"Kamu ke sini datang sama siapa? Katanya mau lamaran kalian hari ini? Tapi datangnya kok cuma sendirian aja?" Ivanka, Ibu tiri Senja menyindir.
"Kebetulan kedua orang tua saya sedang ada urusan ke luar negeri. Jadi masih belum bisa datang ke sini. Kalau diizinkan, apakah boleh saya sendiri secara pribadi yang melamar Senja?"
"Tentu saja! Lebih cepat kalian menikah, akan lebih baik. Senja itu kan janda, ada anaknya dua orang juga. Sedangkan Papanya Senja sekarang juga sudah tidak bekerja. Kami hanya mengandalkan uang pensiunan saja untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari." Ivanka meluapkan keluh kesahnya selama ini.
"Ibu ngomong apa sih? Mana bisa Senja dan Dafa bertunangan dengan cara seperti ini?" Tirta menyenggol bahu istrinya agar berhenti bicara.
"Ngomong apa? Ya ngomong jujurlah! Kalau bukan dilamar dengan cara begini, mau gimana lagi? Senja sudah janda lho! Dan Dafa masih lajang. Mana ada dua anak yang dibawa sama Senja. Sudah bagus Dafa mau nikahin dia! Harus tahu diri dan tahu posisi!"
Perkataan yang keluar dari bibir Ivanka membuat Tirta dan Senja terdiam. Senja dulunya menikah dengan Henry anak juragan tembakau. Namun setelah pernikahan mereka berjalan selama lima tahun, perselingkuhan suami pertama Senja terbongkar. Senja lantas memilih untuk bercerai dari suaminya. Ia juga membawa kedua anaknya, karena setelah resmi bercerai, sang mantan suami tak mau lagi mengurus anak anak mereka.
Meskipun seorang janda, Senja adalah wanita pekerja keras. Setiap harinya, ia berjualan kue yang ia titipkan ke warung warung. Hasil dari berjualan kue ini, ia gunakan untuk membiayai semua kebutuhan kedua anaknya.
"Ayo pasangkan cincin di jari manis Senja. Kenapa jadi diam begitu?" Ivanka mendesak agar Dafa dan Senja segera bertukar cincin.
Kali ini Tirta hanya diam saja. Senja lantas diminta duduk di samping Dafa dan menyodorkan jemarinya. Dafa dengan cepat menyematkan cincin di jari manis Senja.
"Sekarang giliran kamu! Ayo pasangkan cincin di jari Dafa!" Ivanka terus mendesak.
Senja menyematkan cincin pada jari manis lelaki yang baru lima bulan ia kenal melalui sebuah aplikasi dating online.
"Sekarang kalian sudah resmi bertunangan. Karena kamu tunangannya Senja, mulai sekarang kamu lah yang akan menanggung semua biaya dan kebutuhan Senja. Termasuk rumah." Ivanka mengisyaratkan agar Senja segera dibawa ke luar dari rumahnya, hari itu juga.
"Ibu tadi minta Senja dan Dafa bertunangan, sekarang kenapa Senja harus keluar dari sini? Mereka itu belum resmi menikah!" Tirta merasa keberatan dengan ucapan istrinya.
"Senja sudah dewasa, Pak! Harusnya juga di awal dia bercerai dengan suami pertamanya itu, dia ngontrak sama anak anaknya! Bukan numpang di sini! Iya kalau, Tya. Tya anak kita, masih sekolah!" Ivanka mengomel.
"Pokoknya Bapak nggak setuju dengan ucapan Ibu! Kecuali Senja sudah resmi menikah dengan Dafa!"
"Bapak pilih Senja yang keluar dari rumah ini, atau Ibu yang keluar?"
"Ayah dan Ibu nggak usah bertengkar lagi. Yang dibilang Ibu bener kok! Senja ambil pakaian dulu!" Senja bangkit berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Ia mengemasi pakaian anak anaknya dan juga pakaiannya sendiri.
Senja keluar dari kamar setelah mengemasi semua pakaian, sembari menenteng dua koper yang berisi penuh pakaian serta beberapa boneka milik anak anaknya.
"Mari aku bantu!" ucap Dafa menawarkan bantuan ketika melihat Senja kerepotan membawa tas.
Dafa menaruh semua koper milik Senja ke dalam mobil pribadinya. Sementara Senja berpamitan kepada Ayah dan Ibu tirinya.
"Ayah, Senja pamit ya. Ayah jaga kesehatan baik baik. Jangan lupa minum obatnya tepat waktu."
"Senja, juga hati hati ya Nak. Maaf Ayah nggak bisa berbuat banyak untuk kamu dan anak anak kamu."
"Nggak apa apa Yah."
Senja menjawab dengan singkat. Karena ia tahu betul kalau Tirta, sangat mencintai Ivanka. Tirta bahkan menceraikan Safitri, Ibu kandung Senja, demi untuk menikah dengan Ivanka.
"Bu, Senja pamit." Senja hendak mencium punggung tangan Ivanka.
"Hmm!" Ivanka hanya menjawab dengan deheman singkat dan menatap Senja dengan tajam.
Senja keluar dari rumah Ayahnya, membawa serta kedua anaknya bersama dengannya. Tirta dan Ivanka tetap berada di dalam rumah, mereka tidak mengantarkan Senja sampai ke pintu pagar.
****
Senja duduk dekat dengan jendela mobil. Lamunannya melayang entah kemana.
"Aku akan carikan rumah sewaan buat kamu agak di pinggiran kota ya? Anak anak bisa mulai sekolah di daerah sana nantinya. Kebetulan ada rumah kenalan aku yang disewakan!" seru Dafa.
Senja menoleh ke arah Dafa dan bicara perlahan, "terserah Mas saja."
"Andai aku punya uang tabungan lebih untuk menyewa rumah sendiri, aku tak perlu menyusahkan Mas Dafa," batin Senja.
Mobil Dafa melaju kencang ke daerah pinggiran kota. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu setengah jam, mereka akhirnya sampai di depan rumah tanpa pagar dan terkesan ala kadarnya.
Dafa turun lebih dulu dari mobil. Lalu Senja dan juga anak anaknya juga ikut turun dari mobil.
Pria berbadan tegap itu mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya. Dan ternyata kunci itu, adalah kunci rumah baru yang akan ditempati oleh Senja dan juga anak anaknya.
"Ayo masuk!" seru Dafa.
"Aku pikir, Mas akan menelepon teman Mas lebih dulu untuk membicarakan soal rumah ini. Ternyata Mas sudah pegang kuncinya?" Senja merasa heran.
"Rumah ini sudah beberapa bulan aku sewa!" jawaban Dafa yang berikutnya kembali membuat Senja terkejut.
"Tin! Tin!" suara klakson mobil membuat seorang wanita paruh baya berteriak histeris.
"Awas!"
Teriakan si wanita membuat Dafa dan Senja menoleh ke belakang, keduanya terkejut karena melihat Shanum ada di tengah jalan.
"Shanum! Awas!" Senja berteriak sambil memeluk Salsa.
"BRuGh!" Suara benturan terdengar cukup kencang.
Senja membuka matanya. Ia melihat Dafa memeluk Shanum dengan posisi membungkuk. Sisi kiri tubuh Dafa berbenturan dengan bumper depan mobil.Semua orang mulai berdatangan untuk menolong Dafa dan juga Shanum. Beberapa warga tampak mengetuk kaca jendela mobil yang menyetir dengan ugal ugalan tersebut.Seorang pria dengan kondisi setengah sadar karena pengaruh alkoh0l turun dari mobil."Maafkan aku! Aku tidak sengaja.""Bawa dia ke kantor Polisi." Senja sangat marah."Ya ya benar! Bawa dia ke kantor Polisi." Semua orang yang ada di sana mendukung ucapan Senja. Tapi Dafa malah meminta hal yang sebaliknya. "Sudahlah, jangan memperpanjang masalah. Yang penting aku dan Shanum baik baik saja."Senja dan warga sekitar, tak bisa bertindak lebih jauh. Karena Dafa selaku korban tabrakan, meminta jalan damai."Terima kasih Pak." Si pria mengucapkan kalimat singkat tersebut, lalu pergi begitu saja. Kerumunan warga mulai membubarkan diri.Setelah itu Senja, Dafa dan si kembar, masuk ke dalam rumah k
"Vania, ngapain kamu di sini?" Dafa menjaga jaraknya dengan Vania agar tidak terlalu dekat."Lagi makan es krim lah. Oh ya Mas ke sini sama siapa?" "Mau tahu aja kamu!" Dafa menjawab dengan ketus lalu pergi menjauhi Vania. Vania sejak dulu menjadi penggemar Dafa, berulang kali Vania menyatakan cinta. Tapi Dafa menolaknya.Dafa melihat ke kanan dan kiri. Ia mencari dimana keberadaan Senja. Saat itu Senja tengah bermain ayunan bersama kedua anaknya. "Syukurlah! Senja tidak melihat Vania dan aku berduaan tadi. Kalau tidak, Senja pasti akan cemburu."Dafa kembali lagi ke meja kasir dan mulai memesan es krim lagi. Ia membeli dua es krim rasa coklat strawberry dan dua lagi rasa coklat dengan taburan kacang almond di atasnya."Es krim datang!" Dafa membawa nampan berisi empat mangkuk es krim."Hore!" Shanum dan Salsa kegirangan."Ayo kita duduk di sebelah sana!" Dafa menunjuk sebuah saung yang ada di bawah pohon Eboni.Anak anak dengan semangat berlarian ke arah saung. Sesampainya di sana
Dafa sampai di rumah. Sang Ibu membuka pintu rumah dan mempersilahkan anaknya untuk masuk."Wah ada apa nih? Kok wajah anak Mama hari ini kelihatan sumringah?" "Dafa mau nikah Ma."Hah? Sama siapa?""Namanya Senja Malini. Tapi, dia seorang janda.""Janda? Punya anak apa nggak?" "Ada dua orang anaknya, Ma. Gimana menurut Mama?" "Dua orang anak? Laki laki atau perempuan anaknya?" "Perempuan Ma. Dua anak perempuan. Dan mereka kembar."Wajah Ayu terlihat cemberut. Seakan Ayu merasa kecewa dengan pilihan Dafa."Mama nggak setuju ya? Tapi Dafa sayang banget sama Senja dan kedua anaknya. Mereka membuat kehidupan Dafa jadi lebih berarti.""Eh siapa yang bilang nggak setuju? Mama setuju banget! Kapan kamu mau mengenalkan Mama sama Senja?" Dafa yang berbahagia mendengar ucapan Ibunya, langsung memeluk Ibunya dengan erat."Sekarang Ma? Mama mau nggak?"Ayu melirik ke arah jam dinding rumahnya, yang saat ini sedang menunjukkan pukul delapan malam."Apa nggak terlalu malam kita ke sana?""Ngg
"Aku harus bagaimana sekarang?" Senja mulai menangis karena ia tak memiliki uang cash yang cukup."Apa ada mesin ATM di dekat sini?" "Ada Bu, di ujung jalan sana." Waitress menjawab dengan raut wajahnya yang ketus.Senja berpikir, ia akan pergi ke mesin ATM untuk mengambil sejumlah uang cash namun tepat saat ia bangkit berdiri dari kursi, Dafa sudah ada tepat di belakangnya."Tenanglah," ucap Dafa."Ini uangnya." Dafa memberikan sejumlah uang kepada Waitress. Senja menutup mata dan bernafas lega karena pertolongan datang tepat waktu."Mas yang tadi, aku minta maaf. Aku benar benar minta maaf! Tapi, Mas kok bisa ada di sini lagi? Bukannya tadi Mas nganterin Mama pulang ya?""Iya, nggak apa apa kok. Mama juga nggak marah. Mama pulang sama supirnya.""Lalu kenapa Mama kamu pergi gitu aja?""Mama itu mengidap OCD. Jadi kalau Mama kena percikan bumbu atau cairan apapun yang mengotori pakaiannya, ya kambuh deh. Mama harus pulang harus mandi. Aku nggak bisa jelasin secara detailnya."Senja
Senja duduk di kursi tamu, pipinya terlihat basah karena air mata yang tak mau berhenti mengalir. "Kenapa Mas Dafa pergi?" Senja menggulir layar ponselnya ke atas dan ke bawah. Matanya memang tertuju pada layar ponsel, tapi pikirannya terbang tak tentu arah.Terdengar suara deru mesin mobil. Dan pintu yang terbuka. Tapi Senja yang terlanjur sedih, tak menghiraukan suara suara yang terdengar di telinganya."Sayang, kamu kenapa?" Dafa baru saja pulang, dengan membawa sebuah buket bunga mawar merah.Senja menatap Dafa, memindai wajah suaminya dengan hati hati. Ia merasa jika saat ini, ia sedang bermimpi dan apa yang ia lihat tidaklah nyata."Sayang! Kenapa hanya diam saja?" Dafa meraba pipi istrinya dengan lembut.Sedangkan Senja, langsung mencubit pipi Dafa dengan kasar. Membuat pria berbadan tegap ini mengerang kesakitan."Aw! Apa apaan ini? Kenapa mencubitku?"Mendengar Dafa berteriak, Senja pun meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat."Ma maaf! Aku kira Mas itu cuma bayangan s
Senja melepaskan tangan Dafa yang memegangi lengannya dengan cukup kuat. Ia berlari ke halaman tapi mobil yang dikendarai oleh mertuanya sudah sampai ke luar pagar.Senja berlari sampai ke arah pagar. Tapi security dengan segera menutup pintu pagar."Senja! Tenanglah. Mama nggak akan menyakiti mereka," tutur Dafa."Tapi Mas, Mama mau bawa mereka kemana? Baju Shanum basah, dia bahkan belum sempat ganti baju. Kalau dia masuk angin gimana?""Masalah baju, pasti Mama akan membelikan mereka baju baru. Tapi kemana mereka, aku juga tidak tahu!"Senja mulai menangis. Ia merasa sedih ketika mengingat anak anaknya yang merengek saat dipaksa masuk ke dalam mobil."Maafin Mama. Mama salah sama Shanum dan juga Salsa," ucap Senja bermonolog."Sayang, jangan khawatir. Mereka akan baik baik saja." Dafa mencoba untuk menenangkan istrinya.Senja tak menghiraukan ucapan Dafa. Ia berlari dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, sudah ada Bi Sari yang sedang menyapu teras."Bi Sari, tadi Bibi yang bicara
Senja sedang berjongkok di dekat freezer box sambil menutupi wajah menggunakan kedua tangannya. Kompor kaca yang digunakan oleh Senja untuk membuat kaldu udang, pecah dan serpihan kacanya berserakan kemana mana."Ya ampun Non! Kenapa bisa jadi seperti ini?" Bi Sari memegangi kepalanya dengan mulut menganga karena kaget."Maafkan saya Bi. Saya tidak sengaja melakukannya.""Waduh gawat! Sudah jam berapa sekarang? Dan kamu masih belum masak. Mama sebentar lagi akan pulang. Lalu kita akan bilang apa sama Mama kalau kamu belum masak?" Dafa lebih panik melihat reaksi Ibunya saat mendapati menantu perempuan keluarga Suryaningrat tidak menjalankan tugas wajib."Beli saja, Pak," tutur Bi Sari.Awalnya Dafa hendak menolak, namun karena tak ada waktu lagi, Dafa menerima usulan Bi Sari."Ya Bi. Kalau begitu, Bibi tolong bereskan kekacauan yang ada di dapur ini ya. Saya akan memesan makanan."Senja menatap kekacauan yang ada di dapur, dengan perasaan campur aduk."Sayang, kamu tadi mau masak apa?
Senja mengusap bulir bening yang menetes di pipinya lalu menuju ke dapur. Ia hendak membantu Bi Sari untuk mencuci piring ataupun mengerjakan pekerjaan rumah yang lainnya. Tapi Bi Sari meminta Senja untuk duduk duduk saja di ruang tamu."Aduh Non. Jangan bantuin Bibi. Non itu adalah menantu rumah ini. Menantu rumah dilarang melakukan pekerjaan kasar. Jadi urusan cuci piring dan yang lainnya biar saya yang kerjakan. Non, duduk duduk saja di ruang keluarga.""Tapi saya bosen Bi. Masa saya di sini nggak ngerjain apa apa," sahut Senja."Ya memang begitu adanya Non. Kecuali kebiasaan yang ada di rumah ini, soal menantu baru yang wajib memasak di hari pertama setelah pernikahan.""Begitu ya Bi. Oh iya, di rumah sebesar ini apa cuma Bibi yang bertugas membersihkan rumah?" Senja penasaran."Tidak Non. Ada banyak yang seperti Bibi. Tapi di rumah paviliun.""Rumah paviliun?" Senja heran."Iya rumah paviliun. Rumah ini kan rumah induk. Yang tinggal di sini, hanya Bu Ayu dan Pak Respati. Jadi pek