LOGINNindi menghiraukan Miranda. Ia menerobos masuk ke dalam kamar.
Miranda sontak membulatkan mata. Ia langsung menegur Nindi. “Apa-apaan ini, Bu? Mana sopan santun Ibu? Jangan asal masuk ke kamar orang!” Miranda mencegat Nindi yang ingin melangkah lebih jauh. “Ibu gak boleh nyelonong aja! Keluar, Bu!” Nindi mendorong tubuh Miranda. “Minggir kamu! Jangan halangi jalan saya!” Miranda masih tak terima. Ia bahkan menarik lengan Nindi kuat. “Ibu bisa saya laporkan ke polisi! Ibu mau dikenakan pasal karena sudah melanggar privasi saya?!” “Jangan berani menyentuh saya!” balas Nindi. Ia berusaha terlihat kuat. Air matanya sudah mengering, namun emosionalnya masih terasa. “Ibu Nindi!” teriak Miranda. Nindi berjalan dengan degup jantung tak karuan. Ia tergesa memasuki kamar orang. Pandangannya beredar ke penjuru ruangan. Tangannya bahkan mengobrak-abrik selimut di ranjang, berharap menemukan Daffa bersembunyi di bawah sana. “Di mana? Di mana kamu sembunyikan suami saya?!” “Ibu ini apa-apaan?! Ibu kira saya wanita macam apa?” Nindi terus mencari. Hingga langkahnya berhenti di kamar mandi. Ia langsung membuka pintu dan mendapati pria asing di sana. Yang jelas, bukan suaminya. Miranda menghela napas kasar. Ia terlihat frustasi. Pria yang bersamanya itu memang bukan Daffa, tapi tetap saja pria itu adalah pria beristri. Rasanya sungguh memalukan! Dan menjengkelkan! Mendapati pria lain di sana, Nindi langsung membuang napas panjang. Air matanya kembali terjatuh. “M-maaf. Saya kira kamu suami saya,” kata Nindi, meringis malu. Miranda berang. Nindi sungguh memancing emosinya. Tanpa kata, Miranda langsung menampar pipi Nindi. Nindi sendiri tidak melawan. Ia berhak mendapatkan tamparan itu. “Walaupun kamu adalah istri bos saya sendiri, tapi saya gak gentar! Kamu sudah keterlaluan, Bu! Ini privasi saya! Gak seharusnya kamu merusak semuanya! Arghh!!” Kali ini Nindi yang takut. Rasa bersalah membuat nyalinya menciut. “Aku benar-benar minta maaf, Miranda. Aku salah. Nanti aku bilangin ke Mas Daffa untuk menaikkan gaji kamu dan memberimu bonus.” Nindi sudah kehabisan akal. Ia tidak tau harus menebus kesalahannya dengan cara apa. “Kamu kira semuanya bisa dibayar pake uang?!” Miranda jengkel. Tapi ia tidak mau membuang waktu lebih lama meladeni Nindi. Nindi akhirnya keluar dari kamar setelah diusir oleh Miranda. * Di teras hotel yang dingin, Nindi menumpahkan tangisannya. Ia bahkan tak sadar sudah berdiri selama dua jam di sana. Tubuhnya yang lemas bersandar di pondasi kokoh. Nindi tak peduli dengan orang-orang yang melewatinya, melemparkan tatapan aneh padanya. Tadi, Nindi sempat mencurahkan kesedihannya dengan Kiara melalui telpon. Kiara menyuruh Nindi untuk berhenti mencurigai Daffa. Dan saat ini Nindi benar-benar dilanda kebingungan. ‘Kamu sebenarnya ngapain, Mas Daffa?’ Nindi merenung. Gelagat suaminya memang tidak aneh, tetapi kenapa, kenapa kejanggalan terus Nindi temukan, belum lagi kebohongan yang terungkap. “Sedang apa kamu di sini?” Suara familiar itu membuyarkan lamunan Nindi. “Mas Daffa?” Wajah Nindi tampak kacau, belum lagi mata yang sembab, membuat Daffa semakin cemas. “Sayang, apa yang terjadi?” bisiknya. Nindi melihat ada tiga pria paruh baya berusia 50 tahunan berdiri di dekat Daffa. Daffa langsung memperkenalkan Nindi kepada kliennya. “Perkenalkan, istri saya, Nindia Rahayu.” Nindi terlihat linglung. Ia bahkan tak membalas pria tua yang hendak berjabat tangan dengannya. “Sayang, mereka itu klienku,” bisik Daffa lagi. Pandangannya lalu beralih pada ketiga kliennya. “Maaf, Pak. Istri saya sedang sakit.” Tak lama, ketiga orang itu berpamitan ketika sopir mereka sudah menjemput. “Hati-hati di jalan, Pak,” ucap Daffa lagi sebagai bentuk perpisahan. Atensi Daffa kembali pada sang istri. Ia langsung membawa Nindi masuk ke dalam mobilnya. “Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kenapa kamu bisa di sini? Terus apa yang kamu lakukan sendirian malam-malam begini?” Tangis Nindi langsung pecah. “Maaf, Mas.” Daffa memicingkan mata. “Jangan bilang kamu membuntutiku lagi, ya?” Nindi diam. Air matanya sudah berhenti mengalir. Daffa menghela napas. “Sayang… apa yang sebenarnya ingin kamu cari?” Nindi masih diam. Tatapannya kosong ke depan. “Tadi itu aku menyuruh sekretarisku memesan ruangan, eh dia malah memesan kamar. Padahal maksudku ruangan VIP untuk meeting.” Daffa lalu tertawa. “Sekretarisku sepertinya banyak pikiran. Biar tidak terlalu rugi, aku suruh saja dia menempati kamar itu dan aku kembali memesan ruangan baru.” Nindi langsung menoleh. Ia menatap Daffa lekat-lekat. ‘Aku sudah salah mengartikan pesan dari Miranda,’ batinnya. Daffa masih melanjutkan ceritanya. Ia sangat antusias membagikan keseruannya selama meeting bersama kliennya tadi. “Terus apa kamu tau, Sayang? Klienku yang suka ngajakin aku minum itu loh, tadi dia tidak mau menyentuh alkohol sama sekali. Katanya kapok diomelin istri seharian. Hahaha. Lucu sekali! Padahal aku lihat dia tipe suami tegas, tapi ternyata masih takut sama istrinya. Memang ya kekuatan istri itu, sungguh luar biasa!” Tanpa sadar Nindi menyunggingkan senyum tipis. Ia kembali teringat pada ucapan Kiara di telpon yang mengatakan; hubungan itu harus dilandasi dengan rasa percaya. Jangan terlalu mencurigai pasangan, hanya bikin overthinking. ‘Mungkin sudah saatnya aku berhenti mencurigai Mas Daffa. Selama dia nggak berbuat aneh-aneh di depanku, aku juga nggak boleh ngorek privasinya. Cari penyakit saja!’ Nindi akhirnya pulang bersama Daffa. Di rumah, Nindi tidur lebih dulu. Ia merasa sangat lelah. Sedangkan Daffa masih sibuk bermain dengan ponselnya. Ia terlihat serius mengetik pesan untuk seseorang. Nindi tiba-tiba meracau tidak jelas, membuat Daffa pun menyimpan ponselnya. Daffa memperhatikan wajah Nindi yang terlihat pucat. Ia arahkan tangannya untuk memegang kening Nindi. “Panas sekali!” Daffa pun mengambil kompres lalu meletakkannya di kening Nindi, berharap panasnya segera turun. Daffa ikut berbaring di sebelah Nindi. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam dekapan. Namun, ponsel yang bergetar membuatnya kembali bangun. Ada seseorang menghubunginya. Seorang wanita! Daffa mengangkat panggilan itu. “Jangan sekarang! Nanti aku hubungi!” ucapnya berbisik. Sesekali pandangannya melirik ke arah Nindi. “Istriku sedang tidur!” “Justru bagus, bukan? Ini waktu yang tepat untuk kita bercinta!”Setelah keluar dari Kejaksaan, Wilona segera meminta sopir untuk membawanya kembali ke rumah. Ia tahu ia harus bergerak cepat. Hari-hari terakhirnya dihabiskan dengan menjual semua koleksi tas dan baju branded-nya, menukar kemewahan itu dengan uang tunai.Di ruang tamu, Wilona mengumpulkan para pelayan dan sopir. Wajahnya lelah, tapi suaranya mantap. Ia menyerahkan tumpukan uang tunai kepada kepala pelayan dan sopirnya."Ini," kata Wilona, suaranya tercekat. "Ini gaji kalian yang belum dibayar bulan ini. Sekarang kalian pergilah dari sini, cari majikan baru yang lebih baik. Semoga kalian sukses di mana pun kalian berada."Para pelayan dan sopir menatap Wilona dengan iba. "Non... apa Non akan baik-baik saja?" tanya kepala pelayan, air matanya menetes."Jangan khawatir, Bi," sahut Wilona, memaksakan senyum yang terasa getir. "Aku bisa mengurus ini sendirian. Aku akan baik-baik saja," katanya mantap.Tak lama kemudian, rumah mewah itu pun kosong. Bunyi mobil para pelayan dan sopir yang me
Dua hari kemudian, Wilona harus meninggalkan Rumah Sakit Harapan Kasih. Bayinya, yang belum diberi nama, tidur pulas dalam pelukannya. Namun, Wilona tidak bisa tersenyum.Di tangannya, ia memegang tumpukan tagihan rumah sakit yang nominalnya fantastis, jauh melebihi uang tunai yang tersisa di dompetnya. Di saku bajunya, terselip surat panggilan dari Kejaksaan."Bu Wilona, kami harus menahan bayinya jika Anda tidak bisa melunasi sisa tagihan," kata Manajer Administrasi dengan nada menyesal namun tegas.Wilona merasakan amarah dan keputusasaan yang luar biasa. "Anda tidak bisa melakukan itu! Saya akan bayar! Tapi saya butuh waktu!""Berapa lama, Bu? Rekening Anda dibekukan. Perusahaan keluarga Anda tidak merespon panggilan kami."Wilona tahu, ia hanya punya satu jalan keluar. Ia pun meraih ponselnya dan menghubungi nomor yang sudah lama tidak ia tekan. Nomor pengacara keluarga, yang dulu selalu siap sedia melayaninya."Tolong, Pak. Saya butuh bantuan hukum dan sedikit dana darurat. Ayah
Beberapa hari setelah melahirkan, Wilona terbaring lemah, nyaris tak berdaya, di kamar VVIP rumah sakit. Perutnya masih terasa sakit, tetapi tatapannya tak lepas dari bayi laki-lakinya yang terlelap pulas di ranjang kecil di sampingnya. Ketenangan yang ia dapatkan dari melihat wajah putranya tidak bertahan lama.Pintu terbuka. Seorang petugas administrasi rumah sakit masuk dengan wajah pucat dan membawa setumpuk dokumen. Ekspresi petugas itu jelas menunjukkan kabar buruk."Bu Wilona, kami mohon maaf," kata petugas itu, suaranya dipaksakan pelan. Ia meletakkan dokumen-dokumen itu di meja. "Semua biaya perawatan dan persalinan Anda sudah jatuh tempo. Hadikusuma Company gagal mengirimkan pembayaran. Kami tidak punya pilihan selain meminta Anda segera menyelesaikannya."Wilona merasa seolah dadanya diremas. Rasa sakit itu, lebih parah dari sisa kontraksi, menjalar ke seluruh tubuhnya. "Tidak mungkin! Uang kami... seharusnya ada di bank! Kirimkan saja tagihannya ke bagian keuangan!" sahut
Di kediaman Hadikusuma, suasana penuh kepanikan memecah keheningan malam.Wilona menjerit kesakitan di ranjangnya. Kontraksi yang ia rasakan sangat hebat dan tak tertahankan.“Bi, tolong… tolong… s-sepertinya aku mau melahirkan, Bi. Cepat bawa aku ke rumah sakit!” rintih Wilona.Para pelayan berlarian cemas, mencari sopir, dan yang lainnya membantu Wilona bangkit, memapahnya ke kursi roda. Sopir segera menyiapkan mobil secepatnya.Malam itu, di tengah kesendirian dan kesedihan yang mencekik, Wilona dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Kasih. Tidak ada Daffa yang mendampingi, tidak ada Baskara maupun Nanik yang bisa memberinya kekuatan. Hanya ada dua orang pelayan yang menemani dan mengurus segala administrasinya.Di ruang bersalin, Wilona berjuang melawan rasa sakit. Di sampingnya, berdiri seorang perawat, tak lain adalah Kiara.Setelah perjuangan yang panjang dan menyakitkan, tepat menjelang subuh, Wilona melahirkan seorang bayi laki-laki. Tangisan pertama sang bayi terdengar memecah kehe
Nindi mengendarai mobilnya kembali ke kantor Rexa. Ia tidak ingin kembali ke hotel, ia ingin berada di dekat Rexa, satu-satunya orang yang memberinya rasa aman dan nyaman.Nindi akhirnya tiba di kantor Rexa. Ia bergegas melangkah menuju ruang kerja pria itu.Rexa sendiri sedang menunggu Nindi di ruangannya, terlihat tenang namun dengan sedikit kekhawatiran."Aku sudah tau kamu pasti kemari, Sayang," kata Rexa, lalu bangkit dari kursinya saat Nindi masuk. Ia melihat ekspresi Nindi yang tidak secerah saat ia meninggalkan rumah Daffa kemarin."Aku baru saja dari rumah Wilona," ujar Nindi, suaranya lesu."Dan?" tanya Rexa, mendekat dan meraih tangan Nindi.Nindi menarik napas dalam-dalam. "Dan... aku baru sadar, Rexa. Daffa memang mencintaiku. Saking cintanya, dia selingkuh dengan Wilona hanya karena wanita itu mirip denganku versi muda. Aku lihat semua pakaiannya, bahkan koleksi barang-barangnya yang lain. Wilona meniruku. Semua barangnya mirip denganku."Air mata Nindi mulai menggenang.
Keesokan harinya, Nindi merasa ada satu hal lagi yang harus ia tuntaskan untuk menyempurnakan kemenangan balas dendamnya. Ia ingin melihat kehancuran Wilona secara langsung.Nindi pergi sendiri, mengendarai mobil barunya menuju kediaman mewah keluarga Hadikusuma. Dengan mengenakan pakaian mahal dan kalung berliannya, ia masuk tanpa mengetuk pintu.Seorang pelayan yang terkejut segera mencegatnya di foyer. "Maaf, Nyonya! Anda tidak bisa masuk! Keluarga sedang berduka!"Nindi menepis tangan pelayan itu dengan dingin. "Aku punya urusan mendesak dengan Wilona. Minggir!"Nindi melangkah pasti memasuki rumah mewah nan luas itu.Pelayan itu mengikutinya dengan cemas, memohon agar Nindi berhenti.Nindi mengabaikannya, ia membuka pintu ruangan satu per satu dengan brutal, mencari kamar Wilona.Setelah membuka tiga pintu kamar kosong, tibalah Nindi di kamar yang terakhir. Ia lalu membuka pintu itu tanpa izin.Di dalam kamar yang mewah itu, Wilona sedang duduk di tepi ranjang, menyandarkan pungg







