Home / Rumah Tangga / Ranjang Panas Suamiku / Bab 8. Memergoki Daffa di Hotel

Share

Bab 8. Memergoki Daffa di Hotel

Author: Kak Gojo
last update Last Updated: 2025-08-15 10:35:48

Nindi menghiraukan Miranda. Ia menerobos masuk ke dalam kamar.

Miranda sontak membulatkan mata. Ia langsung menegur Nindi. “Apa-apaan ini, Bu? Mana sopan santun Ibu? Jangan asal masuk ke kamar orang!”

Miranda mencegat Nindi yang ingin melangkah lebih jauh. “Ibu gak boleh nyelonong aja! Keluar, Bu!”

Nindi mendorong tubuh Miranda. “Minggir kamu! Jangan halangi jalan saya!”

Miranda masih tak terima. Ia bahkan menarik lengan Nindi kuat. “Ibu bisa saya laporkan ke polisi! Ibu mau dikenakan pasal karena sudah melanggar privasi saya?!”

“Jangan berani menyentuh saya!” balas Nindi. Ia berusaha terlihat kuat. Air matanya sudah mengering, namun emosionalnya masih terasa.

“Ibu Nindi!” teriak Miranda.

Nindi berjalan dengan degup jantung tak karuan. Ia tergesa memasuki kamar orang. Pandangannya beredar ke penjuru ruangan. Tangannya bahkan mengobrak-abrik selimut di ranjang, berharap menemukan Daffa bersembunyi di bawah sana.

“Di mana? Di mana kamu sembunyikan suami saya?!”

“Ibu ini apa-apaan?! Ibu kira saya wanita macam apa?”

Nindi terus mencari. Hingga langkahnya berhenti di kamar mandi. Ia langsung membuka pintu dan mendapati pria asing di sana. Yang jelas, bukan suaminya.

Miranda menghela napas kasar. Ia terlihat frustasi. Pria yang bersamanya itu memang bukan Daffa, tapi tetap saja pria itu adalah pria beristri.

Rasanya sungguh memalukan! Dan menjengkelkan!

Mendapati pria lain di sana, Nindi langsung membuang napas panjang. Air matanya kembali terjatuh.

“M-maaf. Saya kira kamu suami saya,” kata Nindi, meringis malu.

Miranda berang. Nindi sungguh memancing emosinya. Tanpa kata, Miranda langsung menampar pipi Nindi.

Nindi sendiri tidak melawan. Ia berhak mendapatkan tamparan itu.

“Walaupun kamu adalah istri bos saya sendiri, tapi saya gak gentar! Kamu sudah keterlaluan, Bu! Ini privasi saya! Gak seharusnya kamu merusak semuanya! Arghh!!”

Kali ini Nindi yang takut. Rasa bersalah membuat nyalinya menciut.

“Aku benar-benar minta maaf, Miranda. Aku salah. Nanti aku bilangin ke Mas Daffa untuk menaikkan gaji kamu dan memberimu bonus.” Nindi sudah kehabisan akal. Ia tidak tau harus menebus kesalahannya dengan cara apa.

“Kamu kira semuanya bisa dibayar pake uang?!” Miranda jengkel. Tapi ia tidak mau membuang waktu lebih lama meladeni Nindi.

Nindi akhirnya keluar dari kamar setelah diusir oleh Miranda.

*

Di teras hotel yang dingin, Nindi menumpahkan tangisannya. Ia bahkan tak sadar sudah berdiri selama dua jam di sana. Tubuhnya yang lemas bersandar di pondasi kokoh. Nindi tak peduli dengan orang-orang yang melewatinya, melemparkan tatapan aneh padanya.

Tadi, Nindi sempat mencurahkan kesedihannya dengan Kiara melalui telpon. Kiara menyuruh Nindi untuk berhenti mencurigai Daffa.

Dan saat ini Nindi benar-benar dilanda kebingungan.

‘Kamu sebenarnya ngapain, Mas Daffa?’

Nindi merenung. Gelagat suaminya memang tidak aneh, tetapi kenapa, kenapa kejanggalan terus Nindi temukan, belum lagi kebohongan yang terungkap.

“Sedang apa kamu di sini?”

Suara familiar itu membuyarkan lamunan Nindi.

“Mas Daffa?”

Wajah Nindi tampak kacau, belum lagi mata yang sembab, membuat Daffa semakin cemas.

“Sayang, apa yang terjadi?” bisiknya.

Nindi melihat ada tiga pria paruh baya berusia 50 tahunan berdiri di dekat Daffa.

Daffa langsung memperkenalkan Nindi kepada kliennya. “Perkenalkan, istri saya, Nindia Rahayu.”

Nindi terlihat linglung. Ia bahkan tak membalas pria tua yang hendak berjabat tangan dengannya.

“Sayang, mereka itu klienku,” bisik Daffa lagi. Pandangannya lalu beralih pada ketiga kliennya. “Maaf, Pak. Istri saya sedang sakit.”

Tak lama, ketiga orang itu berpamitan ketika sopir mereka sudah menjemput.

“Hati-hati di jalan, Pak,” ucap Daffa lagi sebagai bentuk perpisahan.

Atensi Daffa kembali pada sang istri. Ia langsung membawa Nindi masuk ke dalam mobilnya.

“Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kenapa kamu bisa di sini? Terus apa yang kamu lakukan sendirian malam-malam begini?”

Tangis Nindi langsung pecah. “Maaf, Mas.”

Daffa memicingkan mata. “Jangan bilang kamu membuntutiku lagi, ya?”

Nindi diam. Air matanya sudah berhenti mengalir.

Daffa menghela napas. “Sayang… apa yang sebenarnya ingin kamu cari?”

Nindi masih diam. Tatapannya kosong ke depan.

“Tadi itu aku menyuruh sekretarisku memesan ruangan, eh dia malah memesan kamar. Padahal maksudku ruangan VIP untuk meeting.” Daffa lalu tertawa. “Sekretarisku sepertinya banyak pikiran. Biar tidak terlalu rugi, aku suruh saja dia menempati kamar itu dan aku kembali memesan ruangan baru.”

Nindi langsung menoleh. Ia menatap Daffa lekat-lekat.

‘Aku sudah salah mengartikan pesan dari Miranda,’ batinnya.

Daffa masih melanjutkan ceritanya. Ia sangat antusias membagikan keseruannya selama meeting bersama kliennya tadi.

“Terus apa kamu tau, Sayang? Klienku yang suka ngajakin aku minum itu loh, tadi dia tidak mau menyentuh alkohol sama sekali. Katanya kapok diomelin istri seharian. Hahaha. Lucu sekali! Padahal aku lihat dia tipe suami tegas, tapi ternyata masih takut sama istrinya. Memang ya kekuatan istri itu, sungguh luar biasa!”

Tanpa sadar Nindi menyunggingkan senyum tipis. Ia kembali teringat pada ucapan Kiara di telpon yang mengatakan; hubungan itu harus dilandasi dengan rasa percaya. Jangan terlalu mencurigai pasangan, hanya bikin overthinking.

‘Mungkin sudah saatnya aku berhenti mencurigai Mas Daffa. Selama dia nggak berbuat aneh-aneh di depanku, aku juga nggak boleh ngorek privasinya. Cari penyakit saja!’

Nindi akhirnya pulang bersama Daffa.

Di rumah, Nindi tidur lebih dulu. Ia merasa sangat lelah. Sedangkan Daffa masih sibuk bermain dengan ponselnya. Ia terlihat serius mengetik pesan untuk seseorang.

Nindi tiba-tiba meracau tidak jelas, membuat Daffa pun menyimpan ponselnya.

Daffa memperhatikan wajah Nindi yang terlihat pucat. Ia arahkan tangannya untuk memegang kening Nindi.

“Panas sekali!”

Daffa pun mengambil kompres lalu meletakkannya di kening Nindi, berharap panasnya segera turun.

Daffa ikut berbaring di sebelah Nindi. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam dekapan. Namun, ponsel yang bergetar membuatnya kembali bangun.

Ada seseorang menghubunginya. Seorang wanita!

Daffa mengangkat panggilan itu. “Jangan sekarang! Nanti aku hubungi!” ucapnya berbisik. Sesekali pandangannya melirik ke arah Nindi. “Istriku sedang tidur!”

“Justru bagus, bukan? Ini waktu yang tepat untuk kita bercinta!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 78. Putus Saja Ya?

    Tak lama setelah Daffa pergi, Mila masuk ke kamar majikannya. Ia langsung mendapati Nindi sudah tersedu-sedu. Nindi terduduk lemah di lantai, bersandar pada dinding, dengan bahunya bergetar hebat.Mila menyadari bahwa Nindi pasti telah mendengar keributan di luar. Ia meletakkan semangkuk bubur di meja nakas, lalu bergegas menghampiri Nindi dan mengusap bahunya.Nindi mendongak, menatap Mila dengan tatapan sinis dan penuh luka. “Harusnya kamu bergabung saja dengan para pengkhianat itu. Jangan berpura-pura baik di depanku.”Mila menggigit bibirnya, air mata penyesalan menggenang. “Ibu… saya sungguh bisa jelaskan.…”“Jangan menjelaskan apapun!” potong Nindi tajam. “Kamu sama saja seperti mereka! Tega merusak kepercayaanku!"Mila makin merasa bersalah. Ia tahu Nindi benar. Seharusnya ia tidak pernah menutupi perselingkuhan Daffa, walau di bawah ancaman.“Sejak kapan? Sejak kapan kamu

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 77. Dikelilingi Pengkhianat

    Tak lama setelah kembali dari pemakaman, saat Nindi duduk merenung dalam keheningan ruang tamu yang berat, ponsel Daffa berdering. Ia melihat nama penelepon di layar—Wilona—dan seketika panik.Daffa langsung bergegas menuju dapur, meninggalkan Nindi sendirian.Daffa menjawab panggilan itu dengan suara berbisik dan tegang. “Maaf, Sayang. Aku gak sempat balas chat-mu. Istriku baru saja keguguran, dan ini baru selesai pemakaman.”Di seberang sana, suara Wilona terdengar cemas dan lembut. “Iya, aku mengerti, Daffa. Aku cuma mau mastiin, kamu nggak kenapa-napa, kan? Jangan sedih, ya. Ingat, kamu masih punya anak di kandungan aku,” katanya, mencoba menghibur sekaligus mengingatkan akan ikatan mereka.“Iya, Sayangku. Kamu jangan khawatir,” jawab Daffa, nadanya meredup karena ia masih berada di rumah.“Btw, Daffa, aku kangen. Kamu nggak ke sini nanti malam?” tanya Wilona, penuh harap.

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 76. Konflik Masa Lalu

    Daffa tiba di ruangan tujuan dengan napas tersengal. Ia mendorong pintu dan langsung melihat istrinya. Nindi sudah tak berdaya, seperti orang yang kehilangan seluruh semangat hidup. Istrinya hanya terduduk lemah di ranjang perawatan, bersandar pada bantal dengan pandangan kosong menatap dinding putih.Daffa menelan ludah, rasa takut dan bersalah mencengkeramnya. Ia pun melangkahkan kaki amat pelan, setiap langkah terasa berat, menuju ranjang perawatan.“Sayang….” Daffa memanggil lembut. “Kamu baik-baik saja?”Mila, yang tadinya duduk menangis di kursi sudut ruangan, langsung bangkit begitu melihat Daffa. Matanya merah dan bengkak.Daffa sekilas melirik Mila yang berdiri tegang, lalu kembali fokus pada Nindi.“Sayang, maaf aku baru sempat ke sini,” katanya, tangannya meraih tangan Nindi yang dingin. Nindi tidak merespon, tangannya lemas di genggaman Daffa. “Aku… aku kira kamu baik-baik saja, ma

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 75. Gila Kamu, Daf!

    Nindi menarik napas berat. “Aku sudah tau selama ini kamu menutupi perselingkuhan Mas Daffa. Membelanya mati-matian, bahkan jadi mata-mata, melaporkan semua kegiatanku kepadanya agar dia aman selama bermain dengan selingkuhannya.”Napas Kiara seketika tercekat. Wajahnya langsung memucat, pengkhianatannya terbongkar di saat yang paling buruk.“Nindi, soal itu… a-aku bisa menjelaskannya. Ada alasan kenapa aku melakukan itu…”“Nggak ada yang perlu dijelasin lagi!” Nindi memotong, suaranya meninggi dengan getaran emosi yang tertahan. “Aku nggak mau mendengar penjelasan dari orang munafik sepertimu!”Mendengar kata 'munafik', mata Kiara mendadak memanas. Ia merasa marah dan kecewa dituduh seperti itu. “Munafik? Nindi, aku ini sahabatmu!”Nindi tak mau kalah. Dadanya makin bergemuruh, mengingat semua dukungan palsu Kiara. “Maka jadilah sahabat yang baik, Kiara! Stop

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 74. Sudah Gak Tahan!

    Sore itu, Daffa menyempatkan diri menemui Wilona.Kali ini mereka bertemu di sebuah kamar hotel mewah, jauh dari risiko ketahuan.Ibu Wilona, Nanik, sudah menjalani perawatan intensif di rumahnya dengan dokter pribadi, jadi Daffa tidak perlu lagi mengunjungi rumah sakit hanya demi bertemu Wilona.Wilona tersenyum lepas saat membuka pintu, senyum yang langsung menerangi wajahnya. Daffa berdiri di ambang pintu, membawa seikat bunga mawar merah favorit Wilona.Wilona mengambil bunga itu dengan gembira, mencium aromanya sekilas, lalu mempersilakan Daffa masuk.Begitu pintu tertutup, Daffa langsung menarik Wilona ke dalam pelukan dan melabuhkan ciuman yang mendesak di bibir wanita itu.Wilona spontan mengalungkan tangannya ke leher Daffa, membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama.Ciuman Daffa makin turun, bergerak dari bibir, beralih liar ke leher, lalu menuju lekukan dada Wilona. Saat Daffa hendak meremas buah dada Wilona di balik

  • Ranjang Panas Suamiku   Bab 73. Masih Pedulikah Kamu?

    Makin hari, Daffa makin jarang pulang. Ia selalu tiba larut malam, beralasan bahwa ia lembur di kantor. Nindi juga tidak begitu memedulikan suaminya, tidak lagi bertanya atau melarang. Hatinya sudah mati rasa terhadap keberadaan Daffa.Nindi hanya tersiksa karena ia harus terus menunda proses perceraian ini, entah sampai kapan, hingga Rexa menghubunginya lagi.Tanpa ia sadari, ia sudah larut dalam pusaran kesedihan yang mendalam. Nafsu makannya hilang, dan ia hanya menghabiskan waktu dengan menangis sepanjang hari. Di luar sana, ia tahu, Daffa sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya, menikmati kebebasan dari kewajiban pernikahan.Pukul satu malam, Daffa tiba. Ia membuka pintu kamar perlahan dan melihat Nindi meringkuk di sisi ranjang, tubuhnya gemetar tanpa selimut.Jujur, Daffa merasa iba melihat pemandangan itu. Ia mengambil selimut tebal dan dengan hati-hati menutupi tubuh sang istri yang kedinginan.“Sayang.…” Daffa mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status