Share

Tumpuan Keluarga

Penulis: Stary Dream
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-22 22:35:07

"Ibu??" Iman keheranan. "Irma? Lah kok malam-malam kemari? Terus kenapa ini pada menangis?"

Iman memundurkan sedikit tubuhnya hingga kedua wanita ini bisa masuk.

"Duduk dulu. Ada apa ini? Terus dimana Ifa?"

"Ifa tinggal di rumah." Jawab Irma.

"Ayo cerita. Kenapa ibu menangis begitu?"

Wati dan Irma saling melirik, seperti kebingungan siapa yang akan memulai terlebih dahulu. Bening juga keluar dari kamar anaknya. Untunglah Riki tertidur lagi setelah disusui.

"Ibu, Irma.." sapa Bening dan menyalimi mertua dan adik iparnya. "Apa kabar?"

"Begitulah, nak." Sahut Wati sedih.

"Aku buatkan minum dulu." Bening lalu ke dapur untuk membuat minuman, sementara Iman mendesak ibunya untuk bercerita.

"Ada masalah apa ini? Kenapa ibu sampai menangis begini?" Kalau tidak penting, tak mungkin Wati dan Irma ke rumah Iman malam-malam begini.

"Suami adikmu ketahuan mencuri."

"Hah?" Iman lalu menatap Irma. "Ini beneran? Mencuri dimana?"

"Mencuri di toko, mas. Kak Cecep ngambil minuman sampai 50 dus terus dijual pakai nama pribadi." Cecep sendiri suami Irma yang berkerja di toko minuman perisa.

"Ya ampun.. kenapa bisa begitu sih? Sekarang Cecep dimana?"

"Kabur nggak tahu kemana.." Irma menangis tersedu.

"Dan sekarang pihak toko meminta Irma untuk membayar kerugian." Sambung Wati.

"Memang berapa kerugiannya?" Tanya Iman lagi.

"Sekitar 5 juta."

"Tahan dulu jangan dibayar!" Ucap Iman bertepatan dengan istrinya yang menaruh minuman. "Tunggu Cecep aja!"

"Cecep aja nggak tahu dimana. Nomor ponselnya nggak aktif." Wati jadi susah hati.

"Ya suruh aja orang tua Cecep yang membayarnya! Kenapa harus dibebankan pada kita?"

"Orang tuanya lepas tangan, Man! Rupanya kejadian begini sering kali terjadi. Kata ibunya dulu, Cecep pernah melarikan uang dari pemilik toko buah."

"Astaga!" Iman tak habis pikir. Padahal Cecep itu bentukannya bak pria alim. "Kejebak berarti kita. Kalau begini mas nyesel nikahin kamu sama dia!"

Mendengar itu, Irma hanya tertunduk sambil menangis.

"Sebenarnya ada alasan apa Cecep kok bisa kepikiran begitu? Apa dia ada terjerat hutang?" Kini Bening ikut bertanya pada adik iparnya.

"Kak Cecep itu sebenarnya suka main judi online."

"Apa?" Kedua pasutri ini kompak terkejut.

"Sudah pernah kusehati, mas. Katanya mau berhenti. Tapi rupanya malah makin menjadi-jadi."

Iman sampai memijit kepalanya yang pusing.

"Nah! Ini orang toko menelpon lagi!" Seru Irma ketika ponselnya berbunyi.

Sambungan di angkat, ternyata orang toko yang meminta uang tersebut dibayar malam ini. Atau mereka akan melaporkan Cecep ke polisi.

"Nah, gimana ini, mas?" Irma jadi panik.

"Biarin aja mereka lapor polisi!"

"Mas!" Irma mencebik. "Cecep itu suamiku!"

"Terus? Mau kamu bayar begitu? Dimana otakmu itu, Irma? Cinta boleh tapi jangan bodoh."

"Jangan begitu, Man. Kalau misalkan Cecep di penjara lalu bagaimana dia bisa menghidupi istri dan anaknya. Kamu tahu sendiri anak mereka masih kecil." Ucap Wati.

"Terus kalau kita yang bayar itu artinya keenakan di Cecepnya! Ibu saja bilang tadi Cecep menghilang, gimana sih?" Iman jadi kesal.

"Tolonglah, mas.." pinta Irma memelas. "Bantu pinjamkan kami uang.. aku berjanji akan membayarnya."

"Kamu aja nggak bekerja! Mau darimana kamu membayar hutangmu!"

"Mas.." tegur Bening. Dia takut Iman kelewatan jika bicara. Walau sebenarnya dia sependapat.

"Jual saja mas kawinmu. Gampang, kan?" Iman memberi solusi.

"Sudah dijual untuk biaya lahiran kemarin." Sahut Wati.

Nah, kalau sudah begini mau bagaimana lagi?

"Iman.. kamu adalah anak ibu satu-satunya yang bisa ibu harapkan. Tolonglah satu kali ini saja.. ibu janji Irma akan membayarnya." Pinta Wati.

"Ibu.." Iman sudah bingung bagaimana cara menjelaskannya. "Aku kurang apa lagi dengan keluarga kita? Aku memberi ibu separuh gajiku, membiayai Ifa yang masih SMA, lalu aku juga ngasih ke keponakanku. Aku nggak sampe nabung loh untuk gajiku itu."

Wati juga paham akan itu. Dirinya janda beranak tiga. Sejak dulu, Iman adalah tumpuan keluarga. Dia sendiri masih punya anak yang masih SMA dan semuanya dibiayai oleh Iman.

"Bening.." Wati kini beralih pada Bening. "Tolong bantu adik iparmu, nak.."

"Sebenarnya aku ada uang, bu. Besok kan gajian. Tapi kalau dipakai untuk membayar hutang Cecep, itu sama aja nggak bisa bayar cicilan rumah." Ujar Bening.

Mendengar ucapan hampa dari anak dan menantunya, Wati menjadi sedih.

"Begini saja.. biarkanlah kalau mereka memang mau melaporkan Cecep ke polisi."

"Tapi, bu.." sanggah Irma.

"Kita nggak punya uang, nak. Nggak mungkin juga kita merepotkan mas mu yang sudah berkeluarga."

Wati lalu bangkit dari duduknya dan berpamitan. Kasihan juga Ifa jika ditinggal terlalu lama.

Sementara, Iman jadi pusing sendiri. Setelah menghabiskan dua batang rokoknya, ia memanggil Bening yang sudah beristirahat.

"Kamu bantu setengah gimana?"

"Jadi mas beneran mau bayarin hutang Cecep?" Tanya Bening heran. Padahal tadi suaminya seperti ngotot sekali.

"Yang dibilang Ibu bener juga. Kalau Cecep dipenjara, nanti bagaimana Irma dan anaknya bisa makan."

"Aku nggak punya uang, mas. Jujur aja.."

"Masa kamu nggak punya uang? Gajimu kan besar!"

"Besar dari mana?" Bening sampai melotot. "Aku ini pegawai negeri, mas. Tahu sendiri gaji guru S1 itu nggak sampe sekian. Belum lagi dipotong cicilan rumah, bayar Inah, beli diapers dan susu anak-anak, terus sama beli perlengkapan dapur. Semuanya pakai uangku!" Ucap Bening. "Ini aja aku mau minta ke kamu."

"Memang kurang?" Tanya Iman tak percaya.

"Kurang! Aku bahkan nggak bisa menikmati gajiku sendiri, mas. Aku kan juga mau ke salon." Bening jadi mengomel. Setelah punya dua anak, dia tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Apalagi dihina suaminya bau ikan asin, jadi sakit hati dia.

"Gajiku apalagi, Bening. Kamu tahu gajiku nggak besar, kan!"

"Memang berapa gajimu? Nominalnya aja kamu nggak pernah kasih tahu!"

Iman langsung melipat bibir. Dia sudah salah bicara. Jangan pernah membahas gaji ke hadapan Bening. Para istri itu pandai berhitung.

"Sekarang kamu jujur sama aku, mas. Kamu masih ngirimin orang tuaku uang, kan?" Selidik Bening.

"Ya, masihlah. Tega banget aku kalau begitu." Jawab Iman jadi gugup.

"Yakin?"

"Ya ampun, Bening!"

"Abisnya tadi kamu cerita seluruh pengeluaran ibu dan adik-adikmu kamu yang tanggung. Jangan lupa bayar listrik dan air, mas! Lalu kirim juga uang untuk orang tuaku. Ingat perjanjian kita."

"Iya.." jawab Iman tersendat. "Terus gimana?"

"Bantu setengah?" Bening menggeleng. "Aku nggak punya uang, mas."

Bening main masuk saja ke kamarnya meninggalkan Iman yang masih pusing tujuh keliling. Jika istrinya tidak mau membantu, terpaksa Iman merogoh tabungannya. Itupun tanpa sepengetahuan Bening jika Iman memiliki tabungan. Jika tidak, wanita itu akan merengek.

Besoknya, Iman menemui Irma dan bersama-sama ke toko untuk menyelesaikan masalah Cecep. Hutang sudah dibayar lunas.

"Makasih ya, mas. Aku janji akan membayarnya!" Irma sampai memeluk Iman.

"Itu bukan uangku tapi uang Bening. Jangan lupa dibayar sebelum ditagih!" Ucap Iman berbohong.

"Iya, akan aku bayar secepatnya.."

Oleh karena sudah izin mengajar 2 kelas, Iman memilih pulang saja ke rumah. Hari sudah siang, dia makan dan sekaligus istirahat saja di rumah.

"Eh.. mas Iman pulang cepet?" Tanya Inah keheranan.

"Iya. Mana anak-anak?" Sahut Iman.

"Lagi pada tidur siang. Tadi baru selesai aku kasih makan."

"Baguslah. Inah! Kamu layani aku makan dulu."

"Ngng maksudnya?" Tanya Inah tak mengerti.

"Siapkan makan siang untukku."

Oh, kalau ini Inah baru mengerti. Dia mengikuti Iman sampai ke meja makan. Mengambil piring, nasi dan juga lauk. Sementara Iman duduk cantik di kursi makan.

"Makasih."

Inah pergi ke kamar anak-anak setelah melayani suami Bening ini di meja makan. Iman sendiri setelah makan, pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan baru ke kamar untuk istirahat. Masih ada satu jam lagi jadwal kosong, setelah itu dia akan ke kampus.

Kamar Iman dan anak-anak yang bersebelahan membuat Iman jadi salah fokus. Baru saja memegang handle pintu kamarnya, dia melihat seseorang yang tengah berbaring di kamar sebelah. Dengan mengangkat satu kakinya hingga terlihatlah paha yang mulus itu.

"Astaga, Inah.." Iman sampai geleng-geleng kepala. Remaja itu tengah bermain ponsel sambil berbaring. Pahanya yang putih itu terlihat karena dirinya yang memakai celana pendek sebatas lutut.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ranjang Perkawinan   Ego Tinggi

    Seperti yang diduga, seseorang mengucap salam dari depan. Tanpa melihat Bening sudah tahu siapa yang datang. Bedanya hari ini dia datang sendiri. Tanpa ibu mertua juga mbaknya."Mana mas Iman?" Tanya Ifa, adik Iman yang baru kelas 1 SMA."Memang nggak ada di rumahmu?" Tanya Bening acuh. Dia sedang repot menyuapi Riki makan."Nggak ada. Mana mas Iman?" Tanyanya tak sabar."Nggak tahu. Tadi keluar."Rupanya Iman tak pergi ke rumah ibunya yang hanya berjarak 10 menit dari sini, lalu kemana perginya pria itu."Aduh kemana mas Iman ini!" Ifa jadi merengek."Memang kenapa?" Terpaksa Bening menoleh karena risih mendengar suara rengekan itu."Mau minta uang buat sekolah.""Bukannya ini hari minggu. Ngapain ke sekolah?""Mau ekskul.""Telpon aja mas mu, mungkin beli rokok diluar."Ifa lalu mengambil ponselnya dan menelpon Iman tapi sayang sambungannya tak terangkat."Duh, gimana ini! Mas Iman nggak ngangkat."Bening memilih tak menjawab karena sibuk dengan anak-anaknya. Sedangkan Ifa jadi mond

  • Ranjang Perkawinan   Gairah vs Lelah

    "Tahan.. Tahan.. Iman harus kuat!" Iman tidak boleh goyah hanya gara-gara melihat paha mulus milik pengasuhnya.Astaga! Sudah terlalu lama tidak mendapat jatah membuat benda tumpul ini menantang ketika melihat milik orang lain.Gara-gara inilah membuat Iman jadi sakit kepala. Bermaksud ingin tidur tapi gairahnya bangkit. Nah, lebih baik dia pergi saja ke kampus dan mengerjakan sesuatu.Nanti pulangnya agak sore saja menunggu Bening sampai ke rumah. Sampai senja menyapa, Iman baru pulang. Untunglah sudah tidak ada Inah si pengasuh seksi itu lagi. Tinggal istri dan dua anak super aktifnya saja.Malam ini, Iman bermaksud meminta jatah setelah beberapa hari gagal. Ada saja gangguan.Mumpung ini malam minggu, Iman ingin meminta haknya. Besok libur juga, kan? Kesempatan bangun siang.Berbeda dengan pikiran suaminya, bagi Bening setiap hari itu sama saja. Dia harus bergelut dengan pekerjaan rumah dan pengasuhan. Sudah banyak pekerjaan di sekolah, bukannya berkurang ketika sampai di rumah, be

  • Ranjang Perkawinan   Tumpuan Keluarga

    "Ibu??" Iman keheranan. "Irma? Lah kok malam-malam kemari? Terus kenapa ini pada menangis?"Iman memundurkan sedikit tubuhnya hingga kedua wanita ini bisa masuk."Duduk dulu. Ada apa ini? Terus dimana Ifa?""Ifa tinggal di rumah." Jawab Irma."Ayo cerita. Kenapa ibu menangis begitu?"Wati dan Irma saling melirik, seperti kebingungan siapa yang akan memulai terlebih dahulu. Bening juga keluar dari kamar anaknya. Untunglah Riki tertidur lagi setelah disusui."Ibu, Irma.." sapa Bening dan menyalimi mertua dan adik iparnya. "Apa kabar?""Begitulah, nak." Sahut Wati sedih."Aku buatkan minum dulu." Bening lalu ke dapur untuk membuat minuman, sementara Iman mendesak ibunya untuk bercerita."Ada masalah apa ini? Kenapa ibu sampai menangis begini?" Kalau tidak penting, tak mungkin Wati dan Irma ke rumah Iman malam-malam begini."Suami adikmu ketahuan mencuri.""Hah?" Iman lalu menatap Irma. "Ini beneran? Mencuri dimana?""Mencuri di toko, mas. Kak Cecep ngambil minuman sampai 50 dus terus dij

  • Ranjang Perkawinan   Gagal Lagi

    Sudah satu jam Iman menunggu di kamar, tanda-tanda istrinya muncul belum ada. Ah, terpaksa Iman menyusul kalau begini. Jangan sampai dia kalah lagi dari anak-anaknya.Nasib memiliki dua anak laki-laki, Iman harus rela jika Bening di sabotase kedua anaknya. Sampai iman merasa perhatian Bening terfokus pada anak-anaknya saja. Apalagi Raka dan Riki ini posesif sekali kepada bundanya. Iman saja sering dipukul kalau terlalu dekat dengan bundanya.Iman mengintip dari sela pintu. Ya, Tuhan! Iman sampai mengelus dada. Ditunggu dari tadi di kamar tak kira Bening sudah selesai menyusuinya. Rupanya, Bening malah tidur.Dengan mengendap-endap, Iman masuk. Jangan sampai langkah kaki ini membangunkan dua jagoan, terutama Riki yang level rewelnya sempurna."Ning.. Bening.." panggil Iman menggoyangkan sedikit kaki istrinya.Bukannya bangun, suara dengkuran Bening makin terdengar. Terpaksa Iman memilih untuk memencet jempol kaki istrinya sampai Bening menjerit.Iman melotot! Riki sampai bangun dan men

  • Ranjang Perkawinan   Minta Jatah

    "Aku nggak mau melayanimu!" Ucap Bening sambil menepis tangan suaminya yang mulai membelainya.Bukannya merinding, Bening malah risih. Dia bahkan menggeser tubuhnya sedikit lebih jauh."Sudah dua minggu aku nggak dapat jatah, Bening!" Yang benar saja."Apa kamu nggak lihat aku lagi ngapain?" Bening sampai mendelik kesal. Anaknya yang berusia 7 bulan ini sedang menyusu, tapi suaminya malah datang ingin meminta jatah. Lelah ini belum mendapatkan pelampiasan untuk beristirahat. Suaminya malah main ingin kuda-kudaan saja."Ah, kamu ini! Terus saja kamu menolakku! Nanti aku cari perempuan lain baru tahu rasa kamu!" Iman jadi kesal."Ya.. cari aja sana wanita yang mau menuruti nafsu besarmu!"Iman langsung keluar dari kamar anaknya dan pergi ke kamarnya sendiri.Dua minggu! Ya Tuhan.. Iman ini pria produktif. Umurnya baru 30 tahun ini, gairahnya sedang menggelora. Tapi ia tak bisa menyalurkan hasratnya karena Bening yang selalu menolak.Ada saja alasannya. Lelah! Ngantuk! Lampu merah! Hijau

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status