Karin mendesah, ingin rasanya ia pergi jauh dari tempat ini, pergi ke tempat di mana tak seorang pun mengenalnya dan memulai hidup baru di sana. "Semoga saja keluargamu bisa menerima kehamilanku, mas. Sungguh aku tidak kuat jika harus menanggung semua ini sendiri," bisik Karin begitu lirih.***Taksi yang membawa Karin dan keluarganya akhirnya berhenti di sebuah rumah bertingkat dua dengan cat berwarna kuning pucat itu. Tubuh Karin seketika gugup kala membayangkan terakhir kali ia mendatangi rumah ini.Ya, satu bulan yang lalu ia datang kesini bersama Hans, kekasih nya. Wajahnya kala itu tersenyum bahagia sambil menggandeng tangan Hans masuk ke rumah ini, kini kebahagiaan itu tak akan di rasakannya lagi karena lelaki yang menggandeng tangannya sudah tidak ada lagi di dunia ini.Haruskah ia menyalahkan takdir?Ingin sekali Karin menjerit, namun ia masih sadar jika dirinya tak seharusnya melakukan hal itu sekarang. Beberapa kali ia mengigit bibirnya demi menahan air mata yang hendak ke
Tubuh Karin seketika lemah, apa yang diharapkan tidak akan terkabul. Bahunya berguncang keras karena reaksi penolakan keluarga Hans.Haruskah ia mendengarkan ucapan mereka, menggugurkan kandungannya dan menata kembali hidupnya? ***"Aku mau langsung tidur saja, mas," ucap Karin begitu taksi yang mereka tumpangi tiba kembali ke hotel."Baiklah, tapi jika lapar beri tahu aku atau mama, ya," pinta Khrisna sambil mengelus rambut adik kesayangannya itu."Iya," jawab Karin lemah."Dan maaf jika mas tidak bisa berbuat apapun untukmu,""Sudahlah, tak perlu minta maaf. Semua ini adalah kesalahanku. Oh ya, besok Mas langsung naik pesawat ke Palembang?"Iya, karena itu mas minta kau jaga dirimu baik-baik, dan juga titip mama," lirih suara Khrisna terdengar parau.Mereka lalu berjalan beriringan masuk ke dalam hotel menuju kamar masing-masing dengan rasa kecewa yang tergurat di wajah mereka. Sungguh mereka tak pernah menyangka jika nantinya akan di perlakukan buruk seperti itu oleh keluarga Hans
Di tengah kemelut pikirannya, Karin tak memperhatikan langkahnya, hingga akhirnya terpeleset, tubuhnya terguling menuruni tangga hingga akhirnya membentur lantai, Karin pingsan dengan rembesan darah membasahi rok yang dipakainya.***Sentuhan lembut yang terasa membuat Karin perlahan membuka matanya. Tampak di sebelahnya ada ibunya tengah menatapnya cemas. Karin memandang sekelilingnya, ruangan bercat putih dengan selang infus tampak menjuntai di lengannya. Sejenak ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang telah menimpanya.Tangan Yuna mengelus lembut kepala Karin, membuat Karin akhirnya membuka matanya kembali, kepalanya sedikit berdenyut, memaksa salah satu tangannya untuk memijat demi meredakannya."Apa yang terjadi, ma?" Tanya Karin dengan suara parau."Kau terpeleset di tangga. Bibik menemukanmu sudah terbaring di lantai, untung saat itu mama sudah dalam perjalanan pulang ke rumah," jelas Yuna dengan pandangan teduh memandang putrinya."Lalu apa yang terjadi selanjutnya, ma
Flashback Karin 7Sejak kapan kau mengkonsumsinya, Karin?" Selidik Yuna saat melihat Karin keluar dari kamar mandi."Aku butuh minuman itu untuk menghilangkan beban dan rasa bersalahku Ma, apa salah?" Jawab Karin sambil tersenyum membuat Yuna akhirnya menampar pipi putrinya.***Dari hari ke hari sikap Karin semakin tertutup, matanya terlihat cekung begitu pula dengan berat badannya yang turun membuat Yuna semakin mencemaskannya.Bukan sekali dua kali Yuna memergokinya mengkonsumsi alkohol, sudah sangat sering mereka bertengkar, karena Karin begitu keras kepala untuk di minta meninggalkan minuman keras tersebut, membuat Yuna akhirnya mengambil tindakan tegas. Mengurung putri bungsunya itu di rumah dan menutup semua rekening ataupun dompet digital Karin.Pernah beberapa kali Yuna menyarankannya agar pergi berlibur atau tinggal di tempat Sang kakak untuk sementara waktu, namun saran itu ditolak Karin, gadis itu seakan sudah tidak peduli pada dirinya sendiri. Membuat Yuna begitu kasihan m
Rendi duduk bertopang dagu dengan pandangan mata kosong, pikirannya tak menentu memikirkan Vania yang entah sedang berada di mana.Beberapa kali ia mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang menggelayut di benaknya. Sungguh ia sangat mengkhawatirkan Vania beserta janinnya.Sudah beberapa orang teman Vania yang ia temui, tak satupun di antara mereka yang mengetahui keberadaan istrinya tersebut. Entahlah, Rendi tak ingin berpikiran buruk, meskipun ia sangat yakin jika Vania pasti menghubungi salah seorang temannya.Rendi memijat kepalanya yang berdenyut. Sudah tiga hari Vania menghilang, selama itu pula ia nyaris tak bisa tidur, memikirkannya."Haruskah kau menghukumku seperti ini, Vania?" Gumam Rendi dengan mata berkaca-kaca.Yah, lelaki itu menangis dalam diamnya. Kali ini ia telah benar-benar menyadari perasaan cintanya untuk Vania, bukan rasa tanggung jawab karena harus memberikan seorang keturunan kepada kedua orangtuanya atau rasa bersalah karena telah melibatkan Vania dalam masalah
"Berikan alamatnya dan juga bagaimana aku harus membalas jasamu ini?" Tanya Rendi yang terlihat begitu bersemangat. ***Tangan Rendi tampak gemetar, diliriknya kembali layar ponselnya, berharap yang sedang terjadi bukanlah halusinasinya, tak lama suara seseorang kembali terdengar, membuat lelaki itu yakin jika ini nyata."Tak perlu, anggap saja karena aku kasihan pada Vania. Jika kau ingin membalasnya, tolong jangan sia siakan dirinya. Hanya itu saja.""Baiklah, katakan di mana alamatnya karena aku akan menjemputnya sekarang?""Akan kukatakan. Tapi berjanjilah jika kau tidak akan menyakitinya. Saat ini Vania sedang hamil dan emosinya gampang tersulut. Tolong jangan membuatnya kesal karena aku sangat mengkhawatirkan keadaannya."Panggilan telepon itu terputus tak lama sebuah pesan WA masuk, segera tangan Rendi menggeser layar hingga sebuah alamat pun kini terucap dari bibirnya."Aku tahu tempat ini, bukankah ini hanya berjarak beberapa gang saja dari kost-kostan Vania yang lama?" Bibi
"Kau membujukku pulang karena menginginkan bayi ini kan, mas?"Pertanyaan Vania membuat Rendi refleks menoleh. Di lihatnya wajah Vania yang mulai basah, sungguh pemandangan yang kembali mengoyak hatinya.***Untuk beberapa saat Rendi terdiam, seakan sedang merangkai kata-kata untuk menjawab pertanyaan Vania. Kembali dilihatnya wajah istri keduanya yang tampak sendu. Membuat lelaki itu harus berhati-hati untuk menjelaskannya, jika tidak ingin Vania salah paham dan mengacaukan semuanya."Kenapa bicara seperti itu, princess?" Tanya Rendi pelan."Aku mendengar semua percakapanmu dan Mbak Karin, mas.""Istrimu itu menginginkan bayi ini, bukan? Ha ... ha lucu sekali. Seharusnya aku sudah tahu hal ini sejak awal. Pantas saja selama ini dia tidak bersikap buruk padaku, ternyata ..." Vania menghentikan ucapannya, ada getir yang terasa dalam tiap-tiap ucapannya."Aku yang salah, seharusnya aku menjelaskan semuanya padamu, princess," ujar Rendi berusaha menjelaskan.Mata Vania kini memandang taj
"Jangan dekat denganku, mas. Aku tak suka dengan aroma parfummu," keluh Vania ketika Rendi hendak berbaring di sisinya."Baiklah, aku akan tidur di sofa sana," ujar Rendi menyerah.Vania tersenyum tipis melihat Rendi beranjak menuju sofa yang berada di samping ranjang ini. Aroma wewangian itu entah mengapa membuat hidungnya tak nyaman, padahal sebelumnya ia sangat begitu menyukai aroma parfum suaminya.Tangan ramping itu kemudian menarik selimut hingga sebatas dada. Sekilas ia melirik ke arah Rendi yang sudah berbaring di sofa dengan mata terpejam.Vania mengubah letak bantalnya, sejak kandungan membesar, ia sudah mulai sulit mencari posisi tidur yang nyaman. Beberapa kali ia mengubah posisi tubuhnya hanya agar tidurnya bisa terlelap.Ponselnya tiba tiba bergetar disusul dengan suara bunyi notifikasi membuat Vania akhirnya terpaksa menyibak kasar selimutnya untuk meraih benda pipih yang berada di atas nakas itu, di liriknya sebentar suaminya yang tampak sudah terlelap, lalu meraih p