Cklek!
Naya terkejut saat mendengar suara pintu terbuka, sontak dia keluar dari kamar mandi dan berjalan mendekati sosok pria yang baru saja memasuki kamar. "Mau mandi dulu, Mas?" ucapnya pada sosok pria yang bernama Lingga, yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Dia dan Lingga baru saja selesai melangsungkan pernikahan setengah jam lalu. Mereka sudah menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Cinta yang teramat, membuat Naya yakin bisa hidup bahagia berdua selamanya dengan Lingga. "Aku siapkan baju untukmu, ya?" Namun setelah berlalu berapa detik, tak ada sautan apapun dari Lingga yang hanya berdiri di hadapan Naya dengan seringaian yang mulai terbit! Jujur, Naya terkejut dan tidak tau arti dari ekspresi seram suaminya itu, "Apa ada masalah, Mas? Mas marah dengan seseorang?" tanya Naya. Bukannya menjawab, Lingga mulai mengikis jarak membuat Naya terbelalak, karena tiba-tiba bibir Lingga sudah ada tepat satu senti di depan bibirnya. Hembusan nafasnya mengenai wajah Naya membuat debaran jantung yang luar biasa, karena sebelumnya tak pernah sedekat ini dengan laki-laki manapun, dan Naya mulai memejamkan matanya. Melihat itu, Lingga semakin menyeringai, "Murahan!" desisnya kemudian berlalu memasuki kamar mandi dan membanting pintu. Jantung Naya mencelos mendengar ucapan suaminya hingga terbelalak dan sontak membuka mulutnya lebar. Shock? Tentu saja! Sakit? Sudah pasti! Tidak percaya? Iya, karena Lingga yang Naya kenal adalah laki-laki lemah lembut, baik dan bertutur kata sopan. "Murahan?" lirihnya mengulangi ucapan suaminya dengan hati yang sesak, namun Naya juga bingung, apa yang terjadi? Apa suaminya ada masalah? Bahkan, Naya masih di posisinya dan tak menggeserkan tubuhnya sama sekali karena masih terkejut. Hingga, Lingga kembali keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang lebih casual, celana pendek dan kaos warna putih. Melewati Naya yang masih membeku di tempatnya. "Mas! Apa maksudnya? Kenapa kamu bicara seperti itu?" tanya Naya. Membuat Lingga menoleh dan kembali mendekat dengan seringaian yang sama, "Apa kurang jelas ucapanku? Kau ingin dengar lagi!" pekiknnya. "Aku bukan wanita murahan, Mas!" jawabnya, "Kamu ada masalah? Cerita padaku, Mas! Jangan seperti ini!" ucapnya. Naya dengan semua pikiran positifnya, masih berharap suaminya menarik kembali ucapan jahat itu dan ucapannya itu hanya kekhilafan ucapan suaminya saja. "Bukan, wanita murahan? Lihatlah penampilanmu? Kau ingin menggodaku, Naya?" kekehnya merendahkan sambil memutari Naya, "Kau pikir, kau cukup menarik? Kau pikir aku sudi menyentuhmu? Cih!" "Mas!" lirihnya, Naya memang hanya memakai baju dinas warna merah menyala, karena dia bertekad akan menyenangkan dan memberikan mahkotanya pada sang suami. Namun, kenapa justru ucapan pedas ini yang dia dapatkan! "Cuih! Aku tidak sudi!" sinisnya sambil berjalan meninggalkan Naya yang masih mematung. "Mas, tunggu!" Naya mencekal tangan sang suami ketika dia tangan kanannya akan meraih handle pintu. "Katakan padaku, apa salahku? Kenapa kamu mengataiku seperti itu? Ada apa sebenarnya?" cecar Naya. Bukannya menjawab, Lingga justru menyentak tangan Naya dengan kasar diiringi dengam tatapan jijik. "Jangan pernah menyentuhku lagi! Wanita kotor sepertimu, tidak pantas bersentuhan denganku." Usai mengatakan itu, Lingga kembali berbalik dan meraih handle pintu. Masih dengan kebingungan, Naya justru dikejutkan oleh sosok wanita di depan kamarnya saat sang suami membuka pintu. "Hay, Sayang! Apakah kita akan menikmati malam pertama di kamar ini?" sapanya manja sambil mengalungkan tangan di leher Lingga. "Tentu saja kita habiskan malam pertamaku, tapi tidak disini! Karena di sini ada pengganggu! Kita cari kamar lain!" ucap Lingga sambil merangkul wanita itu dan menutup pintu dengan kencang. Blam! Bersamaan dengan itu, tubuh Naya luruh seperti kehilangan semua tulangnya. Air matanya mulai menyeruak keluar dengan dada yang naik turun. Apa ini? Keadaan seperti apa ini? Apa yang terjadi? Apa ada yang salah dengan pakaianku? Apa suamiku tidak menyukai nya? Dimana kehangatan suamiku? Dimana sikap lembutnya, yang dulu? Kenapa dia tiba-tiba berubah. Pikiran Naya berkecamuk, mengingat perlakuan hangat Lingga selama ini, bahkan menurut Naya dia laki-laki yang sangat sholeh, karena tak pernah sedikitpun menyentuhnya di era modern ini. Sesak dadanya kian menghimpit, dan Naya menangis tersedu-sedu. Hatinya sangat sakit dengan perlakuan dan perkataan suaminya? "Kamu jahat, Mas! Kenapa kau lakukan ini? Kenapa? Apa salah ingin mempersembahkan malam terbaik untuk, suamiku sendiri?" pekiknya sambil memukuli dadanya yang sesak. Sesak sekali. Bahkan bernafas saja, Naya menggunakan mulutnya. Tak pernah dia bayangkan malam pertamanya akan setragis ini. Tidak ada penghinaan yang lebih kejam selain ditinggalkan begitu saja saat malam pertama dan justru menikmatinya dengan wanita lain. Iya. Naya benar-benar merasa dihinakan suaminya sendiri setelah apa yang dia lakukan untuk menyenangkan hatinya. Bukannya pujian, justru hinaan yang dia terima. Bukan madu yang dia rengkuh, tapi racun yang dia nikmati dalam kesendirian. Apa salahku? Kenapa suamiku memilih menghabiskan malam pertama kami dengan wanita lain? Siapa wanita itu? Kenapa mereka terlihat sangat mesra?Naya mencoba mengabaikan perasaan anehnya, dan mengangguk, "Baiklah, kita berikan kejutan untuk semuanya hari ini, mereka pasti seneng kamu sudah bisa jalan, Mas!" Lingga tersenyum, "Berkat obat paling mujarabmu, Sayang!" "Ishhh! Ke rumah Ibu sekarang!" potong Naya saat mengetahui suaminya mulai menunjukkan tanda-tanda berbeda. Badannya saja masih seperti remuk redam akibat ulah suaminya itu, "Dasar banteng liar!" "War, banteng liar akan menyerudukmu, Sayang!" canda Lingga semakin menjadi-jadi membuat Naya akhirnya terkekeh. Dan setelah itu, Lingga melajukan mobilnya sendiri, pertama kalinya menyetir setelah selama ini Naya yang menyetir membuat Lingga merasa kembali menjadi laki-laki seutuhnya. Cukup lama, mobil Lingga akhirnya terparkir sempurna di depan rumah Bu Btari, di sambut oleh Bu Btari yang menggendong Naima, Nendra dan Bia yang tengah menggendong Kayla. "Itu, Mama dan Papa datang!" Terdengar suara lirih Bia sambil menggoyangkan tangan Nendra, membuat Lingga tersenyum
Naya terkekeh mendengar godaan Lingga, kemudian mendorong kursi roda suaminya menuju kamar, "Bukan kamu yang menyeret ku, Mas, tapi aku yang meyeretmu!" Lingga tertawa mendengarnya, "Baiklah, aku pasrah padamu, Sayang!"Tawa keduanya memenuhi rumah yang dulu dingin di awal pernikahan itu, menghangatkan dan mengukir kembali asa yang pernah lebur. Seolah ingin mengganti semua rasa sakit menjadi kebahagiaan saja. Naya membersihkan suaminya, menggantikan dengan pakaian tidur, kemudian berganti dirinya yang mandi cukup lama untuk sekedar me time. Setelah seharian lelah mengurus kedua anaknya dan suaminya, berendam air hangat cukup merilekskan tubuhnya, mumpung kedua anaknya diangkut oleh sang ibu. Sedangkan Lingga sudah duduk di balkon dengan dua gelas hot chocolate buatan mbok rum lengkap dengan cookies home made. Menunggu istrinya yang sudah ijin untuk berendam lebih lama, Lingga sendiri sengaja memberikan waktu karena istrinya pasti sangat lelah seharian. Cukup lama, sekitar satu
Lingga seakan memiliki harapannya lagi, merasa dirinya harus sembuh untuk kedua anaknya dan juga Naya. Naya benar-benar menyulut semangat Lingga, dan Naya kembali memeluk suaminya penuh dengan haru, melihat suaminya memiliki semangat hidup membuatnya sangat bahagia. 'Bahkan jika kamu tak bisa jalan sekalipun selamanya, aku akan tetap bangga memilikimu, Mas!' batinnya. Bersamaan dengan itu, Bu Btari masuk kembali ke dalam kamar menggendong bayi mungil itu sambil menggandeng tangan kecil cucu pertamanya yang baru tiba, "Peluklah Papamu, kau pasti rindu kan?" titahnya. Membuat Naya dan Lingga terpaku melihat putranya sudah berlinang air mata menatap sang ayah. Sontak Lingga merentangkan tangannya, dengan mata penuh kerinduan melihat putranya yang terlihat jauh lebih besar, dengan gaya pakaian yang berbeda dan juga rambut yang berwarna pirang. Sedikit banyak, Lingga tau yang putranya rasakan, membuat Lingga tak bisa menahan matanya yang sudah basah, "Kemarilah jagoan, Ayah rindu!"
"Mas!" lirih Naya masih terus mengusap wajah suaminya, "Aku menanti delapan bulan untuk bisa berbincang dengamu, aku habiskan hari-hari dengan rasa bersalah! Dengan penyesalan! Jika bisa aku ingin menukar dunia ini dengan bangunmu kembali bukan untuk perceraian!" lirih Naya dengan lelehan air mata. Hatinya tak sanggup mendengar ucapan rendah diri itu dari suaminya, segala penyesalan, semua sakit suaminya, Naya lebih dari sakit. "Naya yakin Mas akan cepat sembuh, bisa jalan lagi! Hanya butuh waktu, Mas ... Mas juga belum menepati janji akan ke Barcelona dengan Nendra! Seperti keinginan Nendra, mari bangun rumah tangga kita lagi, jangan menceraikan Naya, Mas!" pinta Naya. Persetan dengan harga diri, nyatanya kehilangan Lingga begitu menghantam hatinya, begitu memporak-porandakan hidupnya, memporak-porandakan hati putranya juga. Jika permohonan Lingga delapan tahun lalu Naya tolak, kini permohonannya, akan Naya pastikan tidak akan tertolak. Namun, bukannya menjawab, Lingga justru ke
Perkikan Bu Btari membuat Naya menoleh pada suaminya, "Mashhhh!" teriaknya terkejut saat matanya beradu dengan mata sang suami. Oek! Oek! Oek! Nafas Naya tersengal, bersamaan dengan air mata yang banjir melihat suaminya membuka mata, Bu Btari berlari menekan tombol emergency, bersama dengan dokter Merlin menggendong bayi kecil itu dan menutup tubuh bagian bawah Naya. "Mas!" lirih Naya meresapi mata itu, hingga dokter datang dan segera memeriksa Lingga, karena semua alat yang menempel di tubuhnya berbunyi. "Maaf, Bu! Ibu harus segera mendapat penanganan dan bayi ibu di ruang bersalain, biar saya periksa, Bapak!" ijin dokter itu. Dokter Merlin mengangguk, Naya pun mengangguk dan mendorong bangkar Naya menuju ruang bersalin, meninggalkan Lingga yang masih membisu. "Bu, temani Mas Lingga! Naya tidak apa-apa! Setelah dokter selesai memeriksa baru Ibu boleh datang pada Naya!" pinta Naya lemah. "Iya, Nak!" jawab Bu Btari mencium putrinya sekilas, "Kamu hebat!" "Pastikan suamiku tidak
"Naya tak punya uang, jadi hanya dibantu tetangga!" ucapnya. "Kenapa kamu harus pergi, atau kalau tak ingin ditemukan oleh Lingga, kamu masih punya ibu, Nak! Kamu masih bisa meminta uang pada Ibu!" Naya menggeleng, "Naya merasa bersalah meninggalkan ibu dan Mas By, tapi saat itu Naya terpukul dengan kehamilan Naya! Saat itu hujan sangat deras, Naya sudah kesakitan sejak pagi namun tak tahun harus kemana, Naya memilih terus menahannya di dalam kontrakan, hingga tetangga Naya datang, dan melihat Naya!" ceritanya, "Dia punya anak tiga, jadi berbekal pengalaman, Mbak Can membantu Naya melahirkan Nendra! Sakit sekali, Bu!" ceritanya sambil melirik tangan Lingga yang bergerak. "Nak, kali ini kamu tidak akan sendirian! Ibu akan menemani kamu, suaminya akan menemani kamu! Tidak apa jika ingin melahirkan di ruangan ini! Kalau sampai suamimu tak kunjung bangun, nanti ibu sendiri yang akan carikan suami baru, yang bisa menemanimu!" ucap Bu Btari. Membuat Lingga meneteskan air mata, "Tidak m