Siska Anastasya Putri, gadis yang baru berusia 17 tahun itu sedang mencari jati diri di sebuah kota yang begitu padat penduduknya, juga pergaulan yang jika kita tidak pandai memilah dan memilih maka kita akan terjerumus dalam pergaulan bebas.
Terkahir dari keluarga yang cukup berada, namun lingkungan yang tak mendukung perkembangannya, membuat gadis itu justru terjelembab pada pergaulan bebas tanpa arah.
Masa sekolah yang seharusnya ia nikmati dengan banyak menyerap pelajaran bermakna, justru ia habiskan dengan bermain bersama teman-teman yang membawanya ke pergaulan bebas.
Terlahir sebagai anak bungsu dengan memiliki kedua saudara yang jauh usianya dengan dirinya, membuat sosok Siska tak mendapatkan perhatian dari kedua kakaknya, Sandy dan Syam. Dua laki-laki jantan yang seharusnya dapat melindungi dan membatasi pergaulan sang adik justru sibuk dengan urusannya sendiri di bidang elektronik yang mereka kelola.
Setiap pagi, Bu Sri. Pembantu sekaligus pengasuh Siska dari kecil, membangunkan Siksa yang harus masuk sekolah dijam tujuh pagi, Siska yang hobinya nongkrong dan bersantai dimalam hari bersama teman-temannya itu, terkadang sangat sulit sekali dibangunkan saat pagi hari.
Tok... Tok... Tok....
Suara ketukan pintu terdengar sangat nyaring dari dalam kamar Siska, namun ketukan itu justru sama sekali tak menggerakkan tubuh Siska yang masih bersembunyi dibalik selimut tebal miliknya.
Alih-alih, karena tak sabar menunggu sang majikan muda membukakan pintu, Bu Sri lebih memilih mencari kunci serep untuk membuka pintu kamar Siska yang terkunci.
Wanita yang berusia sekitar 40 tahun itu akhirnya masuk dan mendekati ranjang tempat tidur Siska, sambil beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya karena masih mendapati Siska sedang tidur.
"Subhanallah, ini anak kebo sekali! Apa tidak mendengar Ibu mengetuk pintu beberapa kali!"
Gerutu Bu Sri yang dengan berani menarik selimut Siska dan mematikan AC yang membuatnya betah berlama-lama di kamar. Siska yang merasa ruangannya sudah mulai panas dan pengap karena AC yang menyejukkan ruangannya, tiba-tiba dimatikan begitu saja oleh Bu Sri.
"Aduh! Kenapa AC nya dimatikan si, Bu!"
Siska bangkit dari tempat tidurnya dengan wajah yang kesal dan kedua mata yang masih terpejam.
"Non Siska, ini hari senin dan sudah pukul 6:30, apa Non lupa ini hari pertama Non masuk sekolah?!"
Bu Sri menegur Siska dengan penuh keberanian, karena ia yakin bahwa Nyonya Salwa Wijaya dan Tuan Hardi Kusuma itu tidak akan memprotes dirinya, karena selain Bu Sri sudah dianggap sebagai Ibu pengganti saat Nyonya Salwa tak di rumah, mereka juga sudah menganggap Bu Sri sebagai pecut untuk putri satu-satunya itu.
"Ya.. Ya... Siska akan bangun dan berangkat sekolah! Ibu ini bawel sekali!"
Siska yang tak ada sopan-sopannya kepada Bu Sri itu, berjalan menuju kamar mandi dan hanya mencuci wajahnya. Kemudian menempelkan make up sederhana untuk menyegarkan wajahnya yang masih layu.
Setelah memakai seragam abu-abu itu dengan sempurna, Siska menuruni anak tangga untuk menikmati sarapan pagi. Seperti biasa, di meja makan Siska akan bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah sangat rapi untuk pergi ke kantor dan kedua kakaknya yang juga sudah rapi untuk pergi ke toko besar elektronik yang sedang maju dengan pesat itu.
Wajah mereka sangat serius menikmati sarapan pagi, sampai mereka tak ada niat untuk menyapa Siska yang baru ikut bergabung dengan mereka.
Dengan hati kesal dan tidak puas, Siska memilih untuk tidak melanjutkan sarapan paginya.
"Siska berangkat dulu," ucapnya dengan cetus.
"Loh, kok nggak dihabiskan dulu sarapannya?" Tanya Mami Salwa.
"Nggak nafsu?!"
Jawab Siska yang langsung pergi meninggalkan mereka. Begitulah setiap hari yang Siska rasakan, ia seperti berhadapan dengan lingkungan yang mewarisi sikap beruang kutup utara, dingin dan menakutkan.
Tak ada sikap lembut dan ramah, sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Terkesan keluarga itu saling tak perduli dengan perasaan satu sama lain, hal itulah yang membuat Siska tak betah di rumah, ia lebih memilih untuk nongkrong bersama teman-teman yang senasib dengan dirinya.
Pak Hadi, supir yang juga sudah berkeja lama itu bertugas mengantarkan Siska sekolah, Pak Hadi sangat tahu bahwa anak majikannya itu sangat nakal. Siska sering menyuap Pak Hadi dengan beberapa lembar uang untuk merahasiakan tingkahnya yang sering bolos sekolah itu.
Sekolah juga tak berani menegur Siska dengan tindakan yang lebih serius lagi, karena selain kedua orang tua yang berpengaruh penting di sekolah itu, Siska juga masuk dalam kategori anak yang pintar dan cerdas, meskipun kepintarannya justru tertutupi dengan sikap nakalnya.
"Pak, ayo kita jalan!" Perintah Siska.
"Baik Non."
Dengan cepat Pak Hadi yang sudah berumur hampir 45 tahun itu membukakan pintu mobil untuk Siska, namun tiba-tiba Mami Salwa datang menghampiri Siska yang sudah siap duduk di kursi tengahnya.
"Sayang, apa uang jajanmu sudah habis?" tanya Mami Salwa.
Siska mengangguk pelan tanpa menjawab pertanyaan Mami Salwa. Dengan melempar senyum Mami Salwa memberikan 10 lembar uang seratus ribuan untuk Siska.
"Cukup kan untuk kamu jajan hari ini?" tanya Mami Salwa lagi.
"Ya."
Siska menjawab dengan datar. Setelah itu meminta Pak Hadi untuk segera mengantarkannya ke sekolah. Sepanjang perjalanan Siska menangis kesal, ia ingin sekali menolak uang pemberian kedua orang tuanya dan ingin sekali menukar uang itu dengan kasih sayang yang sudah hampir empat tahun belakangan ini tidak ia rasakan.
Pak Hadi yang melihat majikan kecilnya itu sedang bersedih mencoba untuk menghibur Siska.
"Kenapa Non bersedih seperti ini?" tanya Pak Hadi membuka suara.
"Yang Siska butuhkan bukan lembaran-lembaran uang ini, Pak. Tapi perhatian Mami dan kasih sayang Papi!" Siska menjawab dengan air mata yang membasahi pipinya.
"Mungkin karena mereka sangat sibuk, Non. Dan semua pengorbanan mereka juga untuk masa depan Non Siska," tambah Pak Hadi.
"Tapi setidaknya, mereka harus tahu waktu, Pak. Dan memberikan sedikit saja perhatian mereka untuk Siska!"
Dengan kesal dan marah, Siska mengeluarkan kesedihannya di hadapan Pak Hadi. Hanya Pak Hadi dan Bu Sri lah tempat Siska mengeluh. Karena hanya mereka yang selalu ada disetiap Siska membutuhkan. Tak terasa mobil yang di kendarai oleh Pak Hadi sudah memasuki area sekolah. Pak Hadi pun meminta Siska untuk menghentikan kesedihannya.
"Non, ini hari pertama Non masuk sekolah, memakai seragam yang berbeda dengan seragam sebelumnya, itu artinya Non sudah mulai tumbuh besar dan akan menginjak masa dewasa, semoga Non bisa menyerap ilmu dengan baik di sekolah baru ini, ya."
Suara nasehat lembut itu selalu menyadarkan Siska dan mendamaikan hatinya, walau sebenarnya yang ia inginkan adalah Papi nya. Namun karena kesibukan membuat sang Papi tak pernah memberikan semangat-semangat kecil untuk seorang Siska.
"Terima kasih, Pak." Jawab Siska yang langsung turun setelah Pak Hadi membukakan pintu mobilnya.
Sampainya di sekolah, Siska cukup percaya diri dengan dunia baru yang ia masuki, Siska memiliki beberapa sahabat yang juga masuk di sekolah yang cukup ternama itu saat mereka duduk di sekolah SMP. Tidak sembarangan siswa dan siswi bisa memasuki sekolah yang cukup terkenal itu, selain dari biaya yang dipungut. Sekolah itu menjadi salah satu tempat di mana para generasi melahirkan bakatnya dari tahun ke tahun. Mulai dari menari, seni melukis, bulu tangkis, renang, dan masih banyak olahraga lainnya yang membuat nama sekolah itu menjadi pilihan terbaik bagi orang tua menyekolahkan anak-anaknya. Saat Siska mulai memasuki pintu kelasnya, Siska langsung disambut oleh beberapa sahabatnya yang sudah datang lebih dulu. Mereka sangat antusias melihat gadis cantik dengan seragam seksi dan rambut yang terurai dengan rapi itu. Teman-teman Siska sebenarnya
Saat pelajaran kedua telah usai, Siska memilih untuk berpamitan kepada teman-temannya yang masih dengan santai menunggu jam pelajaran sekolah berikutnya. Kedatangan tamu yang tak diundang disetiap bulannya membuat Siska merasa sangat lelah dan lesu. Wajahnya terlihat pucat karena menahan rasa sakit. "Gays, Gue pulang dulu, ya. Perut Gue nyeri banget nih," rintih Siska meremas perutnya yang kempes. "Lo kenapa Kia? Lo sakit?" tanya Runi cemas. "Biasa, kedatangan tamu Gue, Gue pulang dulu ya." Siska memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, dan memilih untuk meninggalkan teman-temannya. "Hati-hati ya, Kia."Teriak Runi saat menyadari Siska sudah pergi dari pandangannya. Siska berjalan dengan sangat pelan, rasa sakit yang ia rasakan cukup membuatnya
Selesai mengerjakan tugas di sekolah, seperti biasa, Siska meminta Pak Hadi untuk mengantarkannya pulang. Akhir-akhir ini Siska merasa tubuhnya sangat lelah dan ingin istirahat di rumah. Tugas sekolah dan olahraga seni yang ia mainkan bersama teman-temannya, membuat semua waktunya terkuras habis. Meskipun begitu, Siska masih berusaha menikmati semua kesibukan yang ia rasakan setiap hari.Karena dengan begitu, setidaknya Siska bisa melupakan setiap tingkah dan sikap dingin dari keluarga yang memang sudah tak sepaham itu. Mereka hanya sibuk dengan bisnis, bisnis dan bisnis mereka, berangkat pagi pulang malam. Hanya itulah yang diketahui oleh Siska, karena keempat malaikat pelindungnya itu juga tidak pernah mengatakan keluh kesahnya dengan Siska. Sampainya di depan pintu mewah itu, Siska mendengar kedua orang tuanya dan juga kakak-kakaknya sedang
Saat kedua orang tuanya dan kedua kakaknya sibuk dengan harta yang selangkah lagi akan menjadi milik bank itu, Siska justru menerapkan gaya hidupnya yang lebih bar-bar dari sebelumnya bersama teman-temannya di luar rumah. Berawal dari luka hati yang terus digores oleh perlakuan sang keluarga, Siska lebih memilih untuk merusak hidupnya dan masa depannya sendiri. Siska justru membuat dirinya seakan-akan bodoh dan tak memiliki ilmu apa-apa di sekolah, nilai semua mata pelajaran turun dengan pesat, ia berpikir bahwa semua biaya yang dikeluarkan oleh kedua orang tuanya selama ini bukanlah dari pekerjaan yang tulus dan jujur. Melainkan dari sebuah permainan semu di meja judi, yang pastinya perbuatan itu dianggap salah besar di mata semua orang bahkan agama. Semua rasa sakit hatinya justru ia lampiaskan kepada pergaulan bebas dan semua hal yang buruk ia la
Merasa bahwa Siska sudah tidak bisa lagi diberi nasehat, Bu Tuti memutuskan untuk memanggil orang tua Siska via pesan yang dikirimkan kepada Mami Salwa. Sementara Siska yang memang tak ingin berangkat sekolah lagi, memutuskan untuk menghabiskan waktunya di dalam kamar, bermain musik, karaokean, bahkan makan dan minum pun ia lakukan di dalam kamar. Di meja makan, Mami Salwa mengatakan kepada Papi Hardi bahwa pagi ini ia harus menemui kepala sekolah terlebih dahulu, sebelum berangkat ke kantor untuk menyelesaikan sebagaian masalah yang tak kunjung selesai. "Pi, Mami mau ke sekolah Siska dulu, Mami diminta untuk menemui kepala sekolah," kata Mami Salwa sambil memasukkan makanan kedalam mulutnya."Tumben? Ada apa, Mi?" tanya Papi Hardi menatap istrinya dan mengambil air minum yang ada di sebelah kanannya. "Mami juga nggak faham si, tapi pagi ini Mami har
Karena merasa sangat tertekan di dalam rumah, yang sama sekali tak mendukung pertumbuhannya dan pola pikirnya, membuat Siska memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah tanpa diketahui oleh siapapun yang tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing itu. Siska pun memilih malam hari untuk bisa keluar dari rumah, menunggu sampai keadaan terasa hening dan sepi. Setelah merasa aman Siska pun mengendap-endap menuruni anak tangga dengan perlahan berharap tak akan ada orang yang mengetahuinya.Berbekalkan tas kecil yang ia bawa dan beberapa lembar uang, membuat Siska benar-benar nekat memutuskan untuk pergi dari rumah meninggalkan keluarga yang selama ini menjadi pelindung dan penaungnya di rumah. Namun, meskipun begitu Siska sama sekali tidak merasa bahwa mereka benar-benar melindungi dirinya, justru yang Siska rasakan hanyalah kesibukan dan waktu terbuang dengan sia-sia di luar rumah, ta
#Beberapa Minggu Kemudian#Kepergian Siska dari rumah membawanya kedunia baru yang lebih bebas dari sebelumnya, Runi yang memang sudah menjadi wanita malam tanpa sepengetahuan Siska itu pun memberikan makan dan tempat tinggal untuk Siksa dari hasilnya bekerja di salah satu bar yang tidak jauh dari kontrakan mereka. Sementara kebebasan Siska tidak sebanding dengan kebebasan Runi, Runi masih merahasiakan pekerjaannya sebagai wanita malam, Siska hanya bermain-main di malam hari bersama beberapa anak kontrakan yang bernasib sama seperti dirinya. Sementara saat itulah, Runi pergi meninggalkan Siska dan mulai bekerja sebagai wanita penghibur sampai pukul dua belas malam. Kegiatan Runi yang masih baru beberapa hari itu berjalan dengan lancar, Runi pun sudah mendapatkan uang muka dari atasannya karena sudah berhasil menggait beberapa laki-laki hidung belang dalam waktu semalam.
Setelah selesai mengerjakan tugasnya, Runi pun memutuskan untuk segera pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi dini hari, rasa kantuk dan lelahnya membuat Runi tak mampu menyeimbangi tubuhnya yang berjalan menyusuri jalan.Runi tak menyadari bahwa Dimas yang sejak tadi menunggunya di persimpangan jalan, saat melihat Runi melintas di hadapannya, Dimas pun berlari menghampiri dan menyapa Runi."Dimas, kok Lo masih di sini, si?" tanya Runi yang membuka kedua matanya lebih lebar. "Ya, Gue sengaja nungguin Lo di sini," sahut Dimas melempar senyum. "Untuk apa Lo nungguin Gue, eh ini tu udah malam kali, harusnya Lo itu bobok cantik di rumah!" sahut Runi yang melempar senyum kepada Dimas. "Hahaha, Lo lucu ya, Lo bilang jam segini waktunya bobok cantik di rumah, sementara Lo sendiri baru keluar tu dari tem