Aku masih ingat malam sebelum itu. Malam di mana tubuhku tak bisa lagi menyangkal rasa sakit yang datang bergelombang, menusuk hingga ke dasar tulang. Kata orang, melahirkan adalah pengalaman spiritual. Katanya, seorang ibu bertaruh nyawa di ambang antara hidup dan mati. Tapi tak seorang pun mengingatkanku bahwa luka sesudahnya akan jauh lebih sunyi dan panjang.
Aku masuk ruang operasi dengan tangan gemetar. Sunyi di sekitarku, tapi pikiranku bising. Ini bukan proses yang kubayangkan ketika dulu dengan naifnya aku memimpikan bayi dalam gendongan. Tak ada lilin aromaterapi. Tak ada tangan suami menggenggam erat sambil membisikkan, “Kamu hebat.” Yang ada hanya cahaya putih rumah sakit, kulit dingin infus, dan sepotong keberanian yang kupaksa muncul dari tubuh yang nyaris tumbang.
Suara pertama itu... tangisan yang nyaring dari tubuh mungil yang selama sembilan bulan mengisi rahimku—mengisi ruang hidupku. Aku menangis bersamanya. Bukan karena bahagia saja. Tapi karena lega. Karena aku berhasil. Karena aku masih hidup.
Tapi itu baru awal.
Malam-malam panjang menyusuinya tak pernah benar-benar aku cerna saat itu. Tubuhku masih perih. Bekas luka di perut seperti terus ditarik tiap kali aku mencoba bangun. Tapi ketika dia menangis, aku berdiri. Atau lebih tepatnya, memaksa tubuhku untuk menyeret diri. Tak ada opsi lain. Ini anakku. Dan tak ada orang lain yang akan melakukannya untukku.
Kadang sambil menyusuinya, aku tertidur. Kadang aku menangis. Rasanya seperti kehilangan bagian dari diriku yang dulu. Aku, Ajeng, perempuan yang suka membaca buku sambil menyeruput kopi, sekarang tak sempat mandi dua hari. Aku, Ajeng, yang dulu menyukai eyeliner tipis dan parfum manis, sekarang bahkan lupa bentuk wajahku sendiri di cermin.
Tapi ada kalanya juga, saat dia menatapku dari pelukan… dengan mata bening dan senyum kecil yang belum bisa dimengerti siapa pun, aku merasa cukup. Seakan dunia berputar hanya untuk detik itu saja. Bahwa lelahku tak sia-sia. Bahwa air susu yang mengalir dari tubuhku adalah jembatan cinta yang tak pernah terputus.
MPASI menjadi fase berikutnya. Aku belajar dari nol. Membaca blog parenting, menonton video, bertanya ke sesama ibu di forum. Bubur tim, kaldu ayam, puree labu, dan drama sendok dilempar. Aku menjadi ahli memasak versi anak kecil. Semua kupelajari demi satu hal—agar dia tumbuh sehat.
Dan dia tumbuh. Hari demi hari. Kata demi kata. Langkah demi langkah. Satu tahun pertama kami adalah dunia yang sangat kecil, tapi penuh petualangan.
Kadang aku mengendap ke kamar mandi hanya untuk menangis. Kadang aku tertawa saat dia buang air besar di atas karpet. Kadang aku merasa gagal, tak cukup sabar, tak cukup kuat. Tapi aku bertahan.
Mungkin karena aku tahu, tak ada yang bisa mencintainya sekuat aku.
Dua tahun. Sekarang dia sudah dua tahun.
Gadis kecil itu kini punya dunia sendiri. Dia punya lagu kesukaan, boneka favorit, dan kalimat-kalimat lucu yang sering kali membuatku merasa dihargai sebagai manusia kembali.
"Mamaaaa, peluk dulu," katanya tadi pagi, sambil membuka kedua tangannya lebar.
Pelukannya kecil. Tapi hangatnya merambat ke seluruh jiwaku yang retak.
Aku kadang berpikir, bagaimana jika dia tahu… bahwa di balik senyumku, ada air mata yang tak sempat jatuh? Bahwa kadang aku merasa sendirian, sangat sendirian dalam dunia dewasa yang kejam?
Tapi dia tak perlu tahu. Aku ingin dia tumbuh dengan bahagia. Aku ingin dia melihat ibunya sebagai perempuan tangguh, meski sebenarnya seringkali aku cuma menebak-nebak langkah.
Suamiku tak banyak terlibat. Ia jarang di rumah. Dan jika pun di rumah, tubuhnya ada, tapi jiwanya entah di mana.
Aku pernah mencoba bicara. Aku pernah minta dipeluk. Aku pernah menangis di depannya. Tapi dia hanya diam, atau menjawab sekenanya. Kadang malah merasa terganggu.
Sejak dulu aku tahu, aku akan menjadi ibu yang hampir sendirian. Tapi tahu saja tak membuatnya lebih mudah. Hanya membuatnya terasa lebih pedih.
Dan meski aku tak pernah benar-benar mengatakan ini dengan suara, aku sering menatap anakku saat malam tiba dan berbisik dalam hati.
“Aku minta maaf. Jika kamu lahir dari rahim perempuan yang tidak cukup kuat. Tapi aku berjanji… kamu akan tumbuh dengan cinta yang tidak pernah habis.”
Aku, Ajeng. Kini seorang ibu. Bukan sempurna. Bukan tanpa gores. Tapi aku terus berjalan. Karena cinta—cinta yang tumbuh dari rasa sakit—ternyata bisa menjadi bahan bakar yang paling ampuh untuk hidup.
Tubuhnya masih memelukku dari belakang. Kulit kami bersentuhan tanpa jeda, dan napasnya yang hangat masih menyentuh tengkukku. Tak ada kata, hanya detak jantung yang mulai melambat, mengiringi keheningan yang nyaman.Kepalaku bersandar di lengannya. Mataku baru setengah terpejam saat kulirik jam digital di nakas—12.19. Tuhan. Kami sudah lebih dari dua jam terbenam dalam satu sama lain.Aku menarik napas pelan. Masih ada sisa gemetar di otot pahaku. Bukan hanya karena lelah, tapi karena terlalu lama ditahan oleh rasa yang tak biasa. Arga belum juga melepaskan. Ia hanya memelukku makin erat, seolah tak ingin malam ini berakhir.“Sayang,” bisiknya lembut di belakang telingaku. “Kita harus bersihin diri, ya?”Aku mengangguk kecil. Tubuhku masih berat, tapi aku tahu kami tak bisa berlama-lama. Esok hari masih ada acara pagi yang harus kami hadiri. Dunia luar menunggu. Tapi untuk saat ini, dunia kami hanya berisi pelukan dan kulit yang saling mengenal tanpa kata.Dengan lembut, Arga menarik
Tubuhku masih gemetar ringan, tersisa dari ledakan yang baru saja meluluhlantakkan seluruh keberadaanku. Tapi bukan hanya tubuhku yang masih bergetar. Hatiku. Nadiku. Napasku.Dan Arga masih di atas tubuhku, dalam keheningan yang syahdu, seolah turut merasakan semuanya dalam satu aliran napas yang sama. Dahi kami bersentuhan. Napas kami bertabrakan. Tidak ada jarak.Tangannya masih menggenggam jemariku yang lembab dan lemas. Lalu pelan-pelan, ia mencium pundakku—hangat, basah, penuh rasa. Seolah ingin mengucapkan terima kasih kepada tubuh yang baru saja memberinya tempat untuk tinggal.Kemudian, dengan satu tarikan napas panjang, ia menarik dirinya keluar dari dalamku. Perlahan. Tidak tergesa. Dan saat ia melepaskannya, aku bisa merasakan setiap milimeter dari kepergiannya—menghangatkan, menyisakan jejak di rongga tubuhku.Sebelum sempat kehilangan, ia langsung membungkuk mencium keningku, lalu pipiku, satu per satu. Keduanya masih basah oleh peluh dan sisa air mata kecil yang entah k
Tubuhku masih bergetar dalam pelukannya. Nafasku belum sepenuhnya kembali, tapi hatiku telah lebih dulu jatuh tenang di dadanya. Arga tidak terburu-buru. Ia mendekapku, membiarkan jantungku berdetak di antara jarak yang lenyap. Satu tangannya mengusap lenganku pelan, seolah ingin menyampaikan bahwa malam ini belum selesai—bahwa semuanya baru saja dimulai.Ia mencium tengkukku, lembut sekali. “Masih bisa?” bisiknya, napasnya hangat menyentuh kulitku.Aku tak menjawab dengan kata. Hanya menarik jemarinya yang tadi memeluk pinggangku, membawanya ke arah bibirku. Kucium punggung tangannya perlahan, lalu memutar tubuhku hingga aku bisa menatap matanya.Dan dalam diam, aku menyentuhnya, dibalik celana pendek.Tubuhnya masih hangat, tegang, seolah belum benar-benar selesai. Aku membiarkan jemariku menyapunya pelan, merespons kekerasan yang masih penuh rasa itu. Sorot matanya berubah—redup, dalam, tapi menyala.Kemudian ia bangkit dari kasur.Berdiri di ujung ranjang, membuka kaos dan celana
Aku tidak tahu berapa lama ia bermain di dadaku. Tapi waktu terasa melambat.Mungkin karena ia begitu lembut. Mungkin karena aku terlalu menikmatinya.Tangannya kini berada di pahaku, di balik celana pendekku. Ia tidak melepasnya langsung, hanya membelai di balik jeans biru ini. Sentuhannya ringan, nyaris seperti angin—tapi justru itu yang membuatku menggigit bibir, menahan suara.“Relain semua ya,” katanya. “Nggak usah ditahan.”Tangannya mengusap lembut paha bagian dalamku, mendekat ke pusat rasa, tapi belum menyentuh langsung. Sementara bibirnya kembali menjelajahi dadaku, pelan—seolah tubuhku sebuah peta yang ingin ia hafalkan ulang. "Aku udah gak tahan sayang." pintaku manja.Ia mulai menurunkan celanaku perlahan.Aku mengangkat pinggul agar ia lebih mudah melepasnya.Ia mencium bagian bawah perutku, lalu turun ke paha, lutut, dan pergelangan kaki, sebelum kembali naik—membiarkan bibir dan jari-jarinya menandai setiap inci tubuhku dengan rasa.Ia memelukku dulu. Mengusap rambutk
Aku tak ingat kapan terakhir kali dunia terasa setenang ini. Hanya dengungan lembut AC, suara air kolam dari balik jendela, dan napas kami—bertemu di udara yang sama, di ruang yang tak seharusnya kami miliki.Tangannya masih di tengkukku, menahan kepalaku tetap dalam pelukannya. Bibirnya melekat pada milikku, mencium seperti mengingat, seperti menghafal ulang apa yang mungkin hilang esok pagi. Tak ada suara, hanya napas kami yang makin tak beraturan, dan detak jantungku yang bergetar di seluruh tubuh.Ia menarik tubuhku pelan, menyandarkanku pada dadanya. Keningku menyentuh lehernya. Aku bisa mencium aroma kulitnya—hangat, samar seperti kayu dan hujan. Tangannya membelai rambutku, jemarinya menyusup lembut ke pangkal leher. Lalu mengusap perlahan punggungku, turun, mengunci punggung bawahku dalam dekapan yang utuh.“Malam ini, giliranku,” bisiknya. Sederhana. Tapi suara itu membuat jantungku berdentum keras.Aku membuka mulut untuk bicara, tapi ia sudah menunduk, mencium bibirku lembu
Di kamar, Tyas langsung tertidur. Aku duduk dalam gelap, menatap layar ponsel yang kosong.Tak ada pesan.Tapi aku tahu, dia sedang menunggu. Sama sepertiku.Aku menarik napas dalam. Lalu mulai mengetik, pelan-pelan, dengan hati yang berdegup tak menentu.Aku (23.41): Kamu masih bangun?mylovember: Masih. Aku nunggu kamu ngetik duluan 😌Aku: Aku booking kamar lain.mylovember: Hah? Buat siapa?Aku: Kamar 106. Lantai bawah. Dekat kolam.Aku: Buat kita.Ada jeda cukup lama sebelum ia membalas lagi.mylovember: Kamu sendirian sekarang?Aku: Tyas udah tidur. Aku turun duluan ya. Pintu nggak dikunci.Aku menutup ponsel, berdiri pelan-pelan, memastikan suara langkahku tak membangunkan siapa pun. Lorong kamar sunyi. Lampu-lampu temaram menggantung di dinding, memantulkan bayangan samar ke ubin yang dingin.Di lantai bawah, kamar 106 tampak sunyi. Tirainya tertutup. Lampu taman memantul di permukaan kolam, menciptakan siluet bergelombang di dinding luar kamar. Aku membuka pintu dan masuk. Ka