Beranda / Romansa / Rasaku Ditelanjangi / Bab 3: Menjadi Ibu

Share

Bab 3: Menjadi Ibu

Penulis: AYURI
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-21 13:26:16

Aku masih ingat malam sebelum itu. Malam di mana tubuhku tak bisa lagi menyangkal rasa sakit yang datang bergelombang, menusuk hingga ke dasar tulang. Kata orang, melahirkan adalah pengalaman spiritual. Katanya, seorang ibu bertaruh nyawa di ambang antara hidup dan mati. Tapi tak seorang pun mengingatkanku bahwa luka sesudahnya akan jauh lebih sunyi dan panjang.

Aku masuk ruang operasi dengan tangan gemetar. Sunyi di sekitarku, tapi pikiranku bising. Ini bukan proses yang kubayangkan ketika dulu dengan naifnya aku memimpikan bayi dalam gendongan. Tak ada lilin aromaterapi. Tak ada tangan suami menggenggam erat sambil membisikkan, “Kamu hebat.” Yang ada hanya cahaya putih rumah sakit, kulit dingin infus, dan sepotong keberanian yang kupaksa muncul dari tubuh yang nyaris tumbang.

Suara pertama itu... tangisan yang nyaring dari tubuh mungil yang selama sembilan bulan mengisi rahimku—mengisi ruang hidupku. Aku menangis bersamanya. Bukan karena bahagia saja. Tapi karena lega. Karena aku berhasil. Karena aku masih hidup.

Tapi itu baru awal.

Malam-malam panjang menyusuinya tak pernah benar-benar aku cerna saat itu. Tubuhku masih perih. Bekas luka di perut seperti terus ditarik tiap kali aku mencoba bangun. Tapi ketika dia menangis, aku berdiri. Atau lebih tepatnya, memaksa tubuhku untuk menyeret diri. Tak ada opsi lain. Ini anakku. Dan tak ada orang lain yang akan melakukannya untukku.

Kadang sambil menyusuinya, aku tertidur. Kadang aku menangis. Rasanya seperti kehilangan bagian dari diriku yang dulu. Aku, Ajeng, perempuan yang suka membaca buku sambil menyeruput kopi, sekarang tak sempat mandi dua hari. Aku, Ajeng, yang dulu menyukai eyeliner tipis dan parfum manis, sekarang bahkan lupa bentuk wajahku sendiri di cermin.

Tapi ada kalanya juga, saat dia menatapku dari pelukan… dengan mata bening dan senyum kecil yang belum bisa dimengerti siapa pun, aku merasa cukup. Seakan dunia berputar hanya untuk detik itu saja. Bahwa lelahku tak sia-sia. Bahwa air susu yang mengalir dari tubuhku adalah jembatan cinta yang tak pernah terputus.

MPASI menjadi fase berikutnya. Aku belajar dari nol. Membaca blog parenting, menonton video, bertanya ke sesama ibu di forum. Bubur tim, kaldu ayam, puree labu, dan drama sendok dilempar. Aku menjadi ahli memasak versi anak kecil. Semua kupelajari demi satu hal—agar dia tumbuh sehat.

Dan dia tumbuh. Hari demi hari. Kata demi kata. Langkah demi langkah. Satu tahun pertama kami adalah dunia yang sangat kecil, tapi penuh petualangan.

Kadang aku mengendap ke kamar mandi hanya untuk menangis. Kadang aku tertawa saat dia buang air besar di atas karpet. Kadang aku merasa gagal, tak cukup sabar, tak cukup kuat. Tapi aku bertahan.

Mungkin karena aku tahu, tak ada yang bisa mencintainya sekuat aku.

Dua tahun. Sekarang dia sudah dua tahun.

Gadis kecil itu kini punya dunia sendiri. Dia punya lagu kesukaan, boneka favorit, dan kalimat-kalimat lucu yang sering kali membuatku merasa dihargai sebagai manusia kembali.

"Mamaaaa, peluk dulu," katanya tadi pagi, sambil membuka kedua tangannya lebar.

Pelukannya kecil. Tapi hangatnya merambat ke seluruh jiwaku yang retak.

Aku kadang berpikir, bagaimana jika dia tahu… bahwa di balik senyumku, ada air mata yang tak sempat jatuh? Bahwa kadang aku merasa sendirian, sangat sendirian dalam dunia dewasa yang kejam?

Tapi dia tak perlu tahu. Aku ingin dia tumbuh dengan bahagia. Aku ingin dia melihat ibunya sebagai perempuan tangguh, meski sebenarnya seringkali aku cuma menebak-nebak langkah.

Suamiku tak banyak terlibat. Ia jarang di rumah. Dan jika pun di rumah, tubuhnya ada, tapi jiwanya entah di mana.

Aku pernah mencoba bicara. Aku pernah minta dipeluk. Aku pernah menangis di depannya. Tapi dia hanya diam, atau menjawab sekenanya. Kadang malah merasa terganggu.

Sejak dulu aku tahu, aku akan menjadi ibu yang hampir sendirian. Tapi tahu saja tak membuatnya lebih mudah. Hanya membuatnya terasa lebih pedih.

Dan meski aku tak pernah benar-benar mengatakan ini dengan suara, aku sering menatap anakku saat malam tiba dan berbisik dalam hati.

“Aku minta maaf. Jika kamu lahir dari rahim perempuan yang tidak cukup kuat. Tapi aku berjanji… kamu akan tumbuh dengan cinta yang tidak pernah habis.”

Aku, Ajeng. Kini seorang ibu. Bukan sempurna. Bukan tanpa gores. Tapi aku terus berjalan. Karena cinta—cinta yang tumbuh dari rasa sakit—ternyata bisa menjadi bahan bakar yang paling ampuh untuk hidup.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 12: Aku Membukakan Diri

    Arga memegang kunci kayu kecil bertuliskan angka 03 dan membukakan pintu kamar. Cahaya kuning temaram langsung menyambut mereka—hangat, redup, menenangkan. Aroma kayu basah dan teh melati samar-samar menguar dari sudut meja kecil. Sebuah ranjang besar tertata rapi dengan selimut tebal berwarna krem, mengundang siapa pun yang lelah untuk rebah tanpa pikir panjang.Aku melangkah masuk, mengedarkan pandang. Ruangan ini tak mewah, tapi hangat dan menenangkan. Seperti pelukan setelah hujan."Aku cuci tangan dan kaki dulu, ya," ucap Arga sambil melepas jaket dan berjalan ke arah kamar mandi.Giliranku masuk kamar mandi. Ketika ia kembali, Arga sudah duduk di tepi ranjang, menyalakan televisi hanya untuk mengisi keheningan.Arga menepuk kasur di sebelahnya, pelan, tanda menyuruhnya duduk. Aku menurut, berjalan perlahan lalu duduk di sampingnya.Kaki mereka bersentuhan tanpa sengaja. Lalu sama-sama diam untuk beberapa saat."Danau ini… udah banyak berubah, ya," gumamku membuka percakapan."Ka

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 11: Danau, Sate, dan Sebuket Bunga

    Setelah beberapa menit, akhirnya sampai di pinggir danau. Ada banyak jejeran warung di tepi danau, mengeluarkan aroma sate ayam yang mengundang. Kita memutuskan berhenti di salah satunya. "Sate dua porsi, teh panas dua ya, Bu," ujar Arga ramah pada penjual. Aku tersenyum bahagia, menggenggam cangkir teh panas dan meniup uapnya. "Ini sih lebih enak dari restoran bintang lima." "Enak karena ada kamu," balas Arga tanpa ragu, membuat pipiku memanas. Aku menunduk, pura-pura sibuk meneruskan menyeruput teh agar dia tak melihat rona merah di wajahku. Tapi sialnya, senyumku malah melebar tanpa bisa dikendalikan. “Jangan gitu ah,” bisikku pelan, nyaris seperti gumaman. Tapi Arga mendengarnya. Selalu saja mendengarnya. “Apa? Jujur dikit aja nggak boleh?” ujarnya sambil tertawa pelan. Arga menyelesaikan tusukan terakhirnya lebih dulu. Ia mengelap tangannya dengan tisu, lalu bersandar di bangku kayu yang mulai dingin, mengeluarkan rokok dari saku jaketnya. Jari-jarinya tampak ceka

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 10: Jalan Panjang Menuju Gairah

    Sabtu pagi, udara masih setia menggigit. Kami bertemu di titik yang disepakati, hanya berdua. Tak ada teman kantor, tak ada suara lembur, tak ada tanggung jawab menumpuk. Hanya aku, dia, dan sebuah keputusan diam-diam untuk kabur sejenak dari dunia.Aku mengenakan jaket biru tebal dan kacamata hitam. Sementara Arga datang dengan kaos hitam dan hoodie abu-abu. Sederhana, tapi dada kami berdetak tak sederhana. Ada sesuatu yang menanti. Sesuatu yang tak bisa disebut—hanya bisa dirasakan.Mobil Arga melaju pelan menyusuri jalanan yang berkabut. Hawa dingin masuk dari jendela yang sedikit terbuka, memaksa kami merapat, mencari hangat dari sisa-sisa energi dua hari terakhir yang penuh tawa, canggung, dan—aku tak bisa memungkiri—kerinduan yang tak seharusnya ada.Radio mengalun pelan. Lagu “Sahabat Kecil” dari Ipang mengisi ruang kabin dengan lembut, seperti suara hati yang bicara tanpa izin.“Eh, kamu hafal nggak liriknya?” tanyaku sambil mengusap embun dari kaca mobil.“Hafal lah,” jawabny

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 9: Jeda Yang Tak Pernah Jeda

    Suasana kantor kembali seperti biasa—atau setidaknya, seolah-olah begitu. Kertas masih berserakan di meja, suara keyboard beradu cepat dengan tenggat waktu, dan tatapan-tatapan profesional dipertahankan demi menjaga batas. Tapi aku tahu, sejak malam itu, ada yang berubah.Bukan hanya pada Arga. Tapi juga pada diriku.Aku melangkah masuk ke ruang kerja dengan langkah teratur, membawa aroma tubuh yang sama, mengenakan pakaian kerja yang sama. Namun saat mataku menangkap sosok Arga di seberang meja, detak jantungku seakan terlewat satu irama.Dan Arga—pria itu hanya melirik sekilas, lalu menunduk lagi ke layar monitor. Tapi aku tahu, ada senyum tipis yang tertahan di sudut bibirnya. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan hal-hal kecil yang tak bisa didefinisikan.Seperti saat kita berpapasan di lorong pantry, dan jemari Arga menyentuh punggung tanganku sekilas—tanpa alasan, tanpa permisi, tapi cukup untuk membuat kulit ini memanas.Atau saat Arga menyerahkan berkas, dan telapak tangannya

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 8: Dibalik Kaca Berembun

    Aku masih merasakan denyut di bibirnya ketika jemarinya mengusap tengkuk Arga. Nafasnya belum kembali tenang, tapi hatinya sudah lebih jujur dari sebelumnya. Aku beralih, perlahan menggeser duduk hingga kini berada di atas pangkuan Arga, menghadapnya langsung. Kakiku menekuk di samping tubuh pria itu, mendekap lembut. Arga memundurkan posisi duduknya, membuat sandaran kursi itu merebah lebih rendah. Tubuhku menyusul gerakannya, tetap melekat di pangkuannya, dadaku menempel di dadanya yang berdegup keras dan hangat. Tangannya menjelajah, mulai dari pinggang, lalu ke sisi dadaku. Ia berhenti. Menatapku dalam. “Boleh aku?” bisiknya serak, nyaris seperti rintihan. Aku tak menjawab dengan kata. Bibirku nyaris menyentuh telinganya saat kubisikkan, “Jangan tanya lagi. Rasakan aku… seperti aku ingin merasakan kamu.” Pandangan matanya berubah. Seperti api yang dipantik oleh bensin. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya kembali naik. Dan aku yang kini tak lagi malu, menggeser sedikit tubuhk

  • Rasaku Ditelanjangi   Bab 7: Kala Bibir Bicara Jujur

    Lembur hari itu selesai lebih cepat dari biasanya, tapi bukan berarti mereka buru-buru pulang. Aku masih duduk di kursinya, pura-pura merapikan berkas, padahal pikirannya sudah ke mana-mana sejak Arga menawarkan, “Mau cari angin bentar?”Mereka tak perlu alasan. Sama-sama tahu itu bukan cuma tentang angin.Mobil Arga melaju perlahan ke arah dataran tinggi.“Kenapa ngajak aku?” tanyaku.“Karena kamu kelihatan butuh istirahat.”“Terus kamu? Butuhnya apa?”Arga menoleh sebentar, “Butuh keberanian.”Aku menoleh juga, pelan. Tapi tak bertanya lebih lanjut. Ada yang lebih nyaring dari kata-kata: degup jantungnya sendiri.Udara malam mulai menggigit, tapi anehnya, aku merasa justru lebih hangat daripada siang tadi. Di warung kecil yang nyempil di pinggir tebing, mereka duduk berdampingan, memesan mie rebus dan teh manis panas. Tak ada yang bicara banyak, tapi setiap tatapan terasa lebih lama dari biasanya.“Kamu sering begini?” tanyaku, mencoba terdengar santai.Arga menoleh, senyumnya mirin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status