Padang sabana di 240 km sebelah tenggara Nairobi, ibukota Kenya.
Alam di salah satu wilayah di Afrika itu berupa gabungan antara daerah tropis dan subtropis yang menjadi pemicu terbentuknya sistem biotik yang dipenuhi oleh semak perdu dan diselingi beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Menyuguhkan pemandangan luar biasa indah.
Penampakan kawanan gajah, banteng, impala dan zebra dengan latar belakang gunung Kilimanjaro yang puncaknya tertutup salju, tak akan cukup memuaskan mata untuk menikmatinya meski berjam-jam lamanya.
Terdengar derap kuda memecah ketenangan dengan laju cepatnya yang membelah angin.
Di atas punggung kuda, seorang pria mengendalikannya dengan tangkas. Sementara tangan kiri pria itu tampak menggenggam gagang sebuah busur sederhana.
“Hiiaahh!” seru pria itu menghela kudanya. Tangan kanannya mengayun lalu beberapa batu terangkat ke udara begitu saja.
Masih di atas kuda hitam sejenis ras Boerperd itu, pria tersebut kemudian melepas tangannya pada tali kekang dan dengan cepat menarik panah dari belakang punggungnya lalu memasangkan anak panah itu pada busur secara tangkas.
Kepalanya ia miringkan dengan mata memicing dan terarah tajam pada satu sasaran.
WUUSSSHH!
Anak panah itu melesat kilat dan menembus batu yang terlempar di udara.
ZAPP!
WUUUSSHHH!
Kembali ia melesatkan anak panah berikutnya.
ZAPP!
Seperti sebelumnya, anak panah itu menembus tepat di tengah batu berdiameter tiga puluh sentimeter.
Beberapa kali ia lakukan itu dengan tetap menunggangi kuda yang secara cepat berlari melalui bebatuan yang terangkat di udara.
Setelah anak panah di punggungnya habis, pria itu kembali memegang tali kekang sang kuda hitam dan mengalungkan busur di lengan kirinya.
“Brother!!”
Sebuah seruan terdengar dari jauh, membuat pria di atas kuda itu menolehkan kepala ke asal suara.
Pria itu menarik tali kekang kuda hitamnya hingga kedua kaki depan kuda itu terangkat.
“Brother!” panggil suara itu lagi yang kemudian disambut senyuman ramah pria di atas kuda hitam.
Terlihat pria itu menepuk punggung sang kuda hitam, memberi isyarat bahwa ia akan segera turun dari punggungnya.
Ketika semuanya dalam ritme normal, siapapun dapat menyaksikan pria itu secara jelas.
Tubuh jangkung dan atletisnya begitu proporsional dan sempurna.
Lengan kemeja flanel yang ia gulung hingga sebatas siku, memperlihatkan garis urat yang begitu jantan pada kedua lengannya saat ia bertumpu untuk melompat turun dari kuda hitam setinggi lebih dari satu setengah meter itu.
Rambut hitamnya tertiup angin yang berembus cukup kencang, namun itu tidak mengganggu pria tersebut.
Helaian rambut depan yang cukup panjang setengah menutupi alisnya yang melekuk bak pedang disertai hidung mancung terpahat tegas dan artistik di atas bibir indahnya yang kini tersenyum lagi pada seorang pria berkulit gelap yang setengah berlari menghampiri dirinya.
“Matteo.”
Ia melangkah dengan tenang, namun menampilkan pemandangan yang menakjubkan. Pemandangan yang hampir serupa adegan lambat seorang model yang tengah memerankan produk komersial nan eksklusif di televisi.
Bedanya, pria ini nyata.
Aura maskulin yang terasa begitu memikat namun ditutup sempurna oleh ketenangan dan sosok menyendiri pria itu, bukanlah hasil editan layar yang dilakukan secara profesional.
Ia benar-benar menebarkan aura intimidatif dan maskulinitas di atas normal.
“Kenapa tidak bilang kau ada di Kajiado?” protes pria berkulit gelap yang dipanggil Matteo itu. Ia meninju bahu sang pria penunggang kuda hitam.
Pria itu tertawa kecil lalu menyambut uluran tangan Matteo dan mereka saling berangkulan.
“Apa kabar, Bro?” tanya pria itu pada Matteo.
“Hidupku tidak mudah. Tapi ya, semua baik.”
“Apakah menjadi seorang manager membuatmu kesulitan?”
Matteo mendengkus. “Kau tahu? Sepertinya jauh lebih menyenangkan saat hanya mengandalkan otot-ototku saja. Aku tak perlu pusing memikirkan banyak hal.”
“Istrimu akan mengulitimu jika mendengar ini.” Pria kemeja flanel itu tersenyum lebar. “Apa kau ingin kembali ke posisimu semula?”
“Oh please jangan, Mr. Dubois,” sela Matteo cepat. “Kau benar. Istriku akan benar-benar membunuhku jika aku memberinya uang nafkah nominal yang dulu.”
“Kalau begitu, bertahanlah dengan statusmu saat ini.”
“Aku tahan dengan statusnya. Tapi tak tahan dengan kerjaan dan tanggung jawabnya.”
“Well. Semua seimbang. Dengan posisi lebih tinggi, lahir pula tanggung jawab yang lebih tinggi.”
Matteo menggeleng lemah. “I know, Mr. Dubois. Aku sangat tahu. Lupakan! Itu hanya keluh kesah sesaat!”
Pria berkemeja flanel itu menaikkan sebelah alisnya. “Kalau kau ingin kenaikan gaji, bilang saja.”
“Hey!! Kau pikir aku ini apa? Aku sungguh menikmati pekerjaan ini, you know?” ketus Matteo. “Istri dan anak-anakku sekarang tidak pernah merasakan kelaparan. Dan si sulung akan segera masuk ke Sekolah Menengah Atas. Jika aku ini adalah aku yang dulu, jangankan itu, mungkin anak-anakku tidak akan pernah merasakan bangku sekolah!”
“Dan semua ini karenamu, Bro!” imbuh Matteo lagi.
“Hm.”
“Aku serius, Dean.”
Pria berkemeja flanel yang dipanggil Dean itu hanya menoleh sekilas lalu memalingkan muka ke kiri. Tangannya terangkat ke bibirnya dan mengeluarkan siulan nyaring.
Tak lama terdengar auman keras dan garang dari kejauhan.
Seekor hewan berkaki empat tampak melompat muncul dari balik tanaman perdu tinggi dan berlari cepat ke arah kedua pria itu berdiri.
“Oh tidak!” seru Matteo bergidik ngeri. “Simba! (Singa!)”
“Tenang saja. Itu Sam.”
Matteo yang semula bersembunyi di balik punggung Dean, kemudian beringsut keluar dan memerhatikan seksama hewan buas yang kian mendekat itu.
Surai hitam panjangnya tampak berkibar diterpa angin kala keempat kakinya tetap berlari kencang menuju Dean.
Geraman panjang terdengar ketika singa bersurai hitam itu menerjang tubuh sang pria berkemeja flanel.
“Ahh!!” Matteo berseru kaget.
Meskipun kemudian ia melihat pria berkemeja flanel itu tertawa setelah terjerembab bersama singa besar yang terlihat menimpa tubuhnya, tetap saja Matteo merasakan jantungnya hampir copot melihat terjangan sang raja hutan itu.
Ia tahu, Dean bersahabat dengan singa jantan bersurai hitam itu sejak dulu, tapi tetap saja ia tidak bisa mengontrol rasa takut dan kaget setiap kali melihat hewan pemakan daging itu ada di depan matanya.
“Dean…” keluhnya dengan suara sedikit bergetar.
Dean terlihat bercanda dengan hewan itu dan membuat Matteo mengatupkan giginya saat Dean justru mengusap-usap wajah singa itu dengan santai. Jemarinya yang begitu dekat di area moncong sang raja hutan tampak santai mengelus ataupun mengusapnya.
“Apa kau habis makan, Sam? Kemarilah duduk sini,” ujar Dean menepuk tanah berumput di sisinya.
Bagaikan paham apa yang dikatakan Dean, singa itu merebahkan tubuhnya dan berbaring santai dengan kepala masih tegak lalu menatap Matteo.
“Hush! Jangan lihat aku! Aku ini kurus! Dagingku tidak enak! Mereka itu jauh lebih enak!” ujar Matteo setengah panik menunjuk ke kawanan impala yang berada sekitar tiga ratus meter dari mereka.
“Duduklah, Matt.” Dean berkata sembari mengusap surai lebat milik sang raja hutan.
Sedikit ragu, Matteo pun akhirnya duduk agak jauh dari Dean. Matanya tak lepas dari menatap waspada singa yang kini terlihat memejamkan mata menikmati usapan tangan Dean.
“Kau mencariku?” Dean membuka suara setelah mereka berdua terdiam untuk sekian detik.
“Ya. Aku mencarimu. Aku mendengar kau berada di Kajiado sejak dua hari lalu dari beberapa orang suku Maasai yang pergi ke Nairobi.”
Dean mengangguk. “Aku memang disini sejak dua hari lalu, Matt.”
“Aku pikir kau masih di Botswana atau di Marseille, Perancis. Mengapa kau di sini?” Matteo mengerutkan kening. “Apa kau tak kembali ke Indonesia?”
Kali ini Dean menggeleng. “Baiklah. Ada apa? Apakah masalah kerjaan?”
Matteo mengusap tengkuknya. “Soal dana transfer yang kau perintahkan untuk kau kirimkan.”
“Ada apa dengan itu?”
“Dana itu dikembalikan. Dan ketika aku ingin melakukan overbooking kembali, rekening tujuan sudah tidak aktif,” ujar Matteo. “Ponselmu telah lama tidak aktif, jadi aku tak bisa menghubungimu.”
Dean menoleh dengan raut heran. “Apa maksudmu rekening untuk dana khusus itu?”
“Ya. Rekening yang aku transfer selama setahun ini atas perintahmu. Rekening atas nama Einhard Sovann Gauthier.”
Dean terlihat menghela napas.“Tidak apa. Tidak perlu dilakukan lagi,” ujarnya kemudian.“Apakah dana itu keperluan untuk sistem perlindungan Light-mu?” tanya Matteo. “Karena nominal per transfer-nya sama sekali tidak kecil. Aku hanya terpikirkan ke arah itu. Benar kan?”“Bukan apa-apa. Aku hanya membantu teman, tak perlu dipikirkan,” jawab Dean lalu mengalihkan fokusnya pada singa yang terlihat bermanja-manja padanya.“Bagaimana Botswana? Apa semuanya baik?” Matteo lalu mengalihkan topik saat mendapati Dean yang enggan melanjutkan pembahasan sebelumnya.Sebagai salah satu sahabat Dean sejak belasan tahun lalu, ia sangat memahami gestur Dean dan hampir jarang salah dalam mengartikan mood atau pikiran karibnya itu.Dengan sangat pengertian, ia memberi jalan pada mereka berdua untuk membahas hal lainnya.“Baik. Sangat baik,” jawab Dean tanpa mengalihkan fokus dari singa kesayangannya itu. “Kami bahkan menemukan sumber baru untuk segera digarap.”Matteo melebarkan matanya. “Wah, selamat
13.07, rumah Aliya. Aliya mengetuk-ketukkan empat jarinya di atas sebuah meja di ruang tamu. Entah sudah berapa kali ia menghela napas. Matanya melirik lagi ke jam tangan dengan logo huruf ‘G’ yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jam tangan yang sporty dan berdiamater cukup besar itu tampak mencolok di tangan Aliya yang ramping dan putih. Aliya sedikit teringat, pernah di komplen oleh Agni karena memakai jam tangan yang di desain khusus cowok tersebut. Namun Aliya yang memang bersifat cukup tomboy di antara saudara-saudara kandungnya, sejak dulu menyukai jam tangan dari brand Jepang yang terkenal itu. Namun baru sekarang-sekarang ini Aliya memutuskan memilikinya, setelah merasa cukup bosan dengan jam-jam elegan koleksinya dari Elang. Ia bahkan menolak ketika Agni hendak membelikannya jam tangan dari brand internasional yang terkenal. Bicara soal Agni, Aliya jadi teringat ia ada janji dengan Agni dan kawan-kawan
“Eh iya, Fayza ga ikut nih, Moony?” Agni bertanya sambil melongokkan kepalanya ke arah ruang dalam. “Ngga. Tadi aku dah niat mau bawa Fayza. Tapi dia ga mau. Mau main sama Tara aja katanya,” jawab Aliya. “Lagian kang Awi juga nungguin Fayza di sini. Jadi Fayza tambah malas keluar.” Tara adalah keponakan dari pengurus rumah tangga yang bekerja di kediaman Aliya dan Elang ini. Usia Tara hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari Fayza. Namun sudah bisa membuat Fayza nyaman bersamanya. Sementara ‘kang Awi’ yang dimaksud Aliya adalah Nawidi. Seorang elemen yang diutus dari Realm Air untuk ikut melindungi Aliya. Ia seorang pria berdarah dingin yang dipercaya Elang untuk melatih elemen-elemen di bawah mereka dan seorang pria yang tidak banyak bicara serta minim ekspresi. Namun demikian, Fayza terlihat tenang berada di dekat Nawidi. Saat ini, Nawidi bertanggung jawab menjaga Aliya dan Fayza karena Elang tengah melakukan perjalanan bisnis ke luar kota sekia
Guntur yang merasa iba pada Agni, merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu buah masker yang biasa ia pakai saat mengendarai motor. “Agni, kalau kamu mau, kamu bisa pakai punya saya ini…” Guntur menyodorkan tangannya yang memegang masker itu ke arah Agni. Agni yang melihat masker di tangan Guntur, tanpa banyak berpikir, langsung menyambar dan memakainya cepat. “Duh kenapa ke mall…” akhirnya terdengar suara Agni mengeluh, setelah masker itu terpasang dan menutupi setengah wajahnya. “Biasanya kita makan di resto Sunda di atas itu pan….” sambung Agni lagi. “Lha, namanya juga hukuman, Ni. Kalau di tempat biasa, mungkin jadi ndak seru untuk mbak Aliya…” perkataan Guntur yang lempeng itu membuat Agni mendelik kesal pada Guntur. Mereka berempat lalu bergegas menyusul Aliya yang kembali membalikkan badannya dan menatap mereka dengan sorot mata tidak sabar. Begitu langkah mereka selesai menapaki tangga, mereka mendapati situasi yang
Aliya lalu memutuskan untuk mengakhiri keisengannya itu.Aliya memang memiliki jiwa iseng yang sering membuat Elang kewalahan sejak awal pertemuan mereka. Kejahilan Aliya juga kadang mampu membuat panik semua teman-teman elemennya.Namun demikian, itu sama sekali tidak membuat jengkel ataupun kesal semua teman-teman Aliya. Justru itu menjadi keunikan dan ciri khas Aliya yang sering dirindukan oleh teman-teman elemen Aliya. Gegas Aliya melangkah menuju kerumunan yang sedikitnya telah berhasil diurai oleh para satpam yang tampak begitu telah berusaha keras.Begitu Aliya mendekat, ia menarik tangan Agung yang berada lebih dekat darinya.“Gung, udah. Cover. Cover,” ujar Aliya dengan mimik sedikit serius dan prihatin. “Kasih tau yang lain.”Agung mengangguk. Lalu ia menutup dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum masuk kembali ke kerumunan dan memberi tahu ketiga temannya yang lain.Segera Iyad, Guntur dan A
Di satu apartemen di Marseille, Perancis. Terlihat pria berwajah keturunan kaukasia dan pribumi tengah duduk di tepian ranjang berukuran queen. Kepalanya sedikit menunduk dan tengah menatap lembaran berkas di tangannya. Laporan tertera di sana memuat angka-angka belasan digit, debit-kredit dari satu nomor rekening atas nama Matteo. Dean memang mempercayakan penuh pengelolaan satu rekening atas nama pribadi Matteo dengan jumlah luar biasa besar, untuk keperluan pribadi Dean. Dari rekening pribadi itulah, Dean mengatur transfer pada Elang selama setahun sebelumnya. Elang dalam kondisi terpuruk, karena kekayaan Gauthier saat itu dikuasai pihak lawan Diedrich yang mengambil alih hampir seluruhnya. Dan Elang sendiri menutup akses dengan keluarga Aziz --keluarga dari pihak ibunya-- untuk mengamankan Rosaline, ibu kandungnya. Alhasil, Dean turun tangan menyuntikkan dana untuk operasional perlindungan Aliya secara diam-diam. Dean pun hanya mengatakan pada Elang, bahwa ia memiliki seoran
Siang itu Aliya hendak ke sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli sebuah rak gantung. Hari ini sebenarnya jadwal bagi Iyad dan Agung untuk mengawal Aliya.Namun Agni, yang beralasan ‘tengah menganggur’, ikut serta dalam pengawalan hari itu.Agung dan Iyad yang sudah sangat paham tingkah Agni ini, hanya mengulum senyum dan memajang muka pasrah.Mereka berdua sangat tahu, mereka tidak bisa melarang Agni dalam hal ini. Kecuali jika otoritas yang lebih tinggi dari mereka bertiga yang berbicara, maka Agni akan tidak punya pilihan, selain mematuhi.Jadwal patroli sudah jelas. Setiap dari mereka memiliki jadwal masing-masing.Namun Agni memang selalu tidak mau ketinggalan jika hari itu adalah pengawalan keluar rumah.Dengan alasan bosan, atau tidak ada kegiatan lain, Agni selalu ikut bergabung meskipun itu bukan jadwal dirinya.Seperti hari ini. Agni tiba-tiba telah berada di luar pagar rumah Aliya, saat Iyad dan Ag
Aliya menunduk, melihat ke dirinya sendiri, ke arah pandangan mata wanita itu tertuju.Ia memang terbilang santai dalam hal berpakaian. Seperti saat ini, ia hanya mengenakan kaos polos berlengan panjang dan celana jeans baggyserta sandal gunung.Di punggungnya, tas ransel berukuran kecil yang hanya cukup menampung ponsel, dompet serta beberapa benda kecil lainnya.“Jangan-jangan kamu copet yang berkedok pengunjung, ya?!”Mata Aliya kini membulat.Aliya memang tidak suka mempermasalahkan hal kecil. Namun, bukan Aliya namanya, jika sudah direndahkan, ia hanya diam saja.“Maaf, anda bilang apa tadi?” Aliya bertanya dengan nada tenang.Namun kedua matanya menatap tajam pada wanita di hadapannya.“Saya? Saya bilang apa? Kamu tuli?” Jari wanita muda itu lalu terangkat dan menunjuk wajah Aliya.“Orang-orang kaya kamu ini nih, yang bikin malu negara! Udah miskin, belagak j