Share

BAB 4

Padang sabana di 240 km sebelah tenggara Nairobi, ibukota Kenya.

Alam di salah satu wilayah di Afrika itu berupa gabungan antara daerah tropis dan subtropis yang menjadi pemicu terbentuknya sistem biotik yang dipenuhi oleh semak perdu dan diselingi beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Menyuguhkan pemandangan luar biasa indah.

Penampakan kawanan gajah, banteng, impala dan zebra dengan latar belakang gunung Kilimanjaro yang puncaknya tertutup salju, tak akan cukup memuaskan mata untuk menikmatinya meski berjam-jam lamanya.

Terdengar derap kuda memecah ketenangan dengan laju cepatnya yang membelah angin.

Di atas punggung kuda, seorang pria mengendalikannya dengan tangkas. Sementara tangan kiri pria itu tampak menggenggam gagang sebuah busur sederhana.

“Hiiaahh!” seru pria itu menghela kudanya. Tangan kanannya mengayun lalu beberapa batu terangkat ke udara begitu saja.

Masih di atas kuda hitam sejenis ras Boerperd itu, pria tersebut kemudian melepas tangannya pada tali kekang dan dengan cepat menarik panah dari belakang punggungnya lalu memasangkan anak panah itu pada busur secara tangkas.

Kepalanya ia miringkan dengan mata memicing dan terarah tajam pada satu sasaran.

WUUSSSHH!

Anak panah itu melesat kilat dan menembus batu yang terlempar di udara.

ZAPP!

WUUUSSHHH!

Kembali ia melesatkan anak panah berikutnya.

ZAPP!

Seperti sebelumnya, anak panah itu menembus tepat di tengah batu berdiameter tiga puluh sentimeter.

Beberapa kali ia lakukan itu dengan tetap menunggangi kuda yang secara cepat berlari melalui bebatuan yang terangkat di udara.

Setelah anak panah di punggungnya habis, pria itu kembali memegang tali kekang sang kuda hitam dan mengalungkan busur di lengan kirinya.

“Brother!!”

Sebuah seruan terdengar dari jauh, membuat pria di atas kuda itu menolehkan kepala ke asal suara.

Pria itu menarik tali kekang kuda hitamnya hingga kedua kaki depan kuda itu terangkat.

“Brother!” panggil suara itu lagi yang kemudian disambut senyuman ramah pria di atas kuda hitam.

Terlihat pria itu menepuk punggung sang kuda hitam, memberi isyarat bahwa ia akan segera turun dari punggungnya.

Ketika semuanya dalam ritme normal, siapapun dapat menyaksikan pria itu secara jelas.

Tubuh jangkung dan atletisnya begitu proporsional dan sempurna.

Lengan kemeja flanel yang ia gulung hingga sebatas siku, memperlihatkan garis urat yang begitu jantan pada kedua lengannya saat ia bertumpu untuk melompat turun dari kuda hitam setinggi lebih dari satu setengah meter itu.

Rambut hitamnya tertiup angin yang berembus cukup kencang, namun itu tidak mengganggu pria tersebut.

Helaian rambut depan yang cukup panjang setengah menutupi alisnya yang melekuk bak pedang disertai hidung mancung terpahat tegas dan artistik di atas bibir indahnya yang kini tersenyum lagi pada seorang pria berkulit gelap yang setengah berlari menghampiri dirinya.

“Matteo.”

Ia melangkah dengan tenang, namun menampilkan pemandangan yang menakjubkan. Pemandangan yang hampir serupa adegan lambat seorang model yang tengah memerankan produk komersial nan eksklusif di televisi.

Bedanya, pria ini nyata.

Aura maskulin yang terasa begitu memikat namun ditutup sempurna oleh ketenangan dan sosok menyendiri pria itu, bukanlah hasil editan layar yang dilakukan secara profesional.

Ia benar-benar menebarkan aura intimidatif dan maskulinitas di atas normal.   

“Kenapa tidak bilang kau ada di Kajiado?” protes pria berkulit gelap yang dipanggil Matteo itu. Ia meninju bahu sang pria penunggang kuda hitam.

Pria itu tertawa kecil lalu menyambut uluran tangan Matteo dan mereka saling berangkulan.

“Apa kabar, Bro?” tanya pria itu pada Matteo.

“Hidupku tidak mudah. Tapi ya, semua baik.”

“Apakah menjadi seorang manager membuatmu kesulitan?”

Matteo mendengkus. “Kau tahu? Sepertinya jauh lebih menyenangkan saat hanya mengandalkan otot-ototku saja. Aku tak perlu pusing memikirkan banyak hal.”

“Istrimu akan mengulitimu jika mendengar ini.” Pria kemeja flanel itu tersenyum lebar. “Apa kau ingin kembali ke posisimu semula?”

“Oh please jangan, Mr. Dubois,” sela Matteo cepat. “Kau benar. Istriku akan benar-benar membunuhku jika aku memberinya uang nafkah nominal yang dulu.”

“Kalau begitu, bertahanlah dengan statusmu saat ini.”

“Aku tahan dengan statusnya. Tapi tak tahan dengan kerjaan dan tanggung jawabnya.”

“Well. Semua seimbang. Dengan posisi lebih tinggi, lahir pula tanggung jawab yang lebih tinggi.”

Matteo menggeleng lemah. “I know, Mr. Dubois. Aku sangat tahu. Lupakan! Itu hanya keluh kesah sesaat!”

Pria berkemeja flanel itu menaikkan sebelah alisnya. “Kalau kau ingin kenaikan gaji, bilang saja.”

“Hey!! Kau pikir aku ini apa? Aku sungguh menikmati pekerjaan ini, you know?” ketus Matteo. “Istri dan anak-anakku sekarang tidak pernah merasakan kelaparan. Dan si sulung akan segera masuk ke Sekolah Menengah Atas. Jika aku ini adalah aku yang dulu, jangankan itu, mungkin anak-anakku tidak akan pernah merasakan bangku sekolah!”

“Dan semua ini karenamu, Bro!” imbuh Matteo lagi.

“Hm.”

“Aku serius, Dean.”

Pria berkemeja flanel yang dipanggil Dean itu hanya menoleh sekilas lalu memalingkan muka ke kiri. Tangannya terangkat ke bibirnya dan mengeluarkan siulan nyaring.

Tak lama terdengar auman keras dan garang dari kejauhan.

Seekor hewan berkaki empat tampak melompat muncul dari balik tanaman perdu tinggi dan berlari cepat ke arah kedua pria itu berdiri.

“Oh tidak!” seru Matteo bergidik ngeri. “Simba! (Singa!)”

“Tenang saja. Itu Sam.”

Matteo yang semula bersembunyi di balik punggung Dean, kemudian beringsut keluar dan memerhatikan seksama hewan buas yang kian mendekat itu.

Surai hitam panjangnya tampak berkibar diterpa angin kala keempat kakinya tetap berlari kencang menuju Dean.

Geraman panjang terdengar ketika singa bersurai hitam itu menerjang tubuh sang pria berkemeja flanel.

“Ahh!!” Matteo berseru kaget.

Meskipun kemudian ia melihat pria berkemeja flanel itu tertawa setelah terjerembab bersama singa besar yang terlihat menimpa tubuhnya, tetap saja Matteo merasakan jantungnya hampir copot melihat terjangan sang raja hutan itu.

Ia tahu, Dean bersahabat dengan singa jantan bersurai hitam itu sejak dulu, tapi tetap saja ia tidak bisa mengontrol rasa takut dan kaget setiap kali melihat hewan pemakan daging itu ada di depan matanya.

“Dean…” keluhnya dengan suara sedikit bergetar.

Dean terlihat bercanda dengan hewan itu dan membuat Matteo mengatupkan giginya saat Dean justru mengusap-usap wajah singa itu dengan santai. Jemarinya yang begitu dekat di area moncong sang raja hutan tampak santai mengelus ataupun mengusapnya.

“Apa kau habis makan, Sam? Kemarilah duduk sini,” ujar Dean menepuk tanah berumput di sisinya.

Bagaikan paham apa yang dikatakan Dean, singa itu merebahkan tubuhnya dan berbaring santai dengan kepala masih tegak lalu menatap Matteo.

“Hush! Jangan lihat aku! Aku ini kurus! Dagingku tidak enak! Mereka itu jauh lebih enak!” ujar Matteo setengah panik menunjuk ke kawanan impala yang berada sekitar tiga ratus meter dari mereka.

“Duduklah, Matt.” Dean berkata sembari mengusap surai lebat milik sang raja hutan.

Sedikit ragu, Matteo pun akhirnya duduk agak jauh dari Dean. Matanya tak lepas dari menatap waspada singa yang kini terlihat memejamkan mata menikmati usapan tangan Dean.

“Kau mencariku?” Dean membuka suara setelah mereka berdua terdiam untuk sekian detik.

“Ya. Aku mencarimu. Aku mendengar kau berada di Kajiado sejak dua hari lalu dari beberapa orang suku Maasai yang pergi ke Nairobi.”

Dean mengangguk. “Aku memang disini sejak dua hari lalu, Matt.”

“Aku pikir kau masih di Botswana atau di Marseille, Perancis. Mengapa kau di sini?” Matteo mengerutkan kening. “Apa kau tak kembali ke Indonesia?”

Kali ini Dean menggeleng. “Baiklah. Ada apa? Apakah masalah kerjaan?”

Matteo mengusap tengkuknya. “Soal dana transfer yang kau perintahkan untuk kau kirimkan.”

“Ada apa dengan itu?”

“Dana itu dikembalikan. Dan ketika aku ingin melakukan overbooking kembali, rekening tujuan sudah tidak aktif,” ujar Matteo. “Ponselmu telah lama tidak aktif, jadi aku tak bisa menghubungimu.”

Dean menoleh dengan raut heran. “Apa maksudmu rekening untuk dana khusus itu?”

“Ya. Rekening yang aku transfer selama setahun ini atas perintahmu. Rekening atas nama Einhard Sovann Gauthier.”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fifi123
pertanyaan sama,,,,,,,,
goodnovel comment avatar
Joy
??? dean ngirim uang buat elang??? kok bisa???
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status