"Ismi ada di sebuah kontrakan yang ada di pinggiran Kota!" jawab Mbak Sherli."Mbak Sherli dapat informasi darimana? Bagaimana kalau informasinya salah?" tanyaku berusaha meyakinkan kebenaran kabar yang dibawa Mbak Sherli."Dari orang-orang yang jadi korban penipuannya, Mbak Din. Mereka mencari tahu keberadaan Ismi dan memberikan informasinya kepada saya, karena termasuk korbannya Ismi!" sahut Mbak Sherli."Mbak Sherli jadi korban Ismi juga?" tanyaku dengan wajah terkejut."Iya. Ismi adalah ketua arisan online yang cukup dikenal dikalangan pengguna media sosial. Saya juga mengenalnya lewat sosial media berlogo biru. Biaya arisan yang saya ikuti adalah satu juta perbulan. Akan tetapi ketika seharusnya saya mendapat giliran menarik arisan, dia menghilang tanpa kabar." Beber Mbak Sherli menceritakan kejadian yang juga menimpanya.Aku cukup terkejut mendengar pengakuannya. Pantas saja tempo hari Mbak Sherli pernah mengingatkanku agar berhati-hati kepada Ismi. Hanya mengingatkan, tetapi t
Tubuhku terasa lemas setelah melihat jasad Ismi yang tewas tergantung di kontrakannya. Aku mencari tempat untuk duduk dan menenangkan diri. Rasanya tak percaya dengan apa yang baru saja Aku lihat. Mbak Sherli datang mendekatiku. Wajahnya pun terlihat sedikit pucat karena masih shock melihat pemandangan mengerikan tadi."Ismi lebih memilih bunuh diri daripada bertanggung jawab dengan semua hutang-hutangnya, Mbak Din!" ucap Mbak Sherli lirih.Matanya menatap kosong ke arah rumah kontrakan Ismi yang semakin ramai di kerubungi orang."Iya, Mbak. Lalu bagaimana dengan hutangnya, Mbak? Aku harus bayar pakai apa?" tanyaku seraya terisak di hadapan Mbak Sherli.Aku sudah tidak mempedulikan lagi rasa malu karena menangis di hadapan Mbak Sherli. Aku sudah tidak tahan lagi menanggung beban masalah sendirian. Padahal besar harapan datang menemui Ismi untuk memintanya bertanggung jawab pada hutangnya yang mengatas namakan namaku."Mbak Dinar yang sabar, ya. Sebaiknya Mbak berterus terang kepada sua
Namaku Ismi Farah Diba, aku seorang gadis yatim piatu yang sedari kecil dirawat dan dibesarkan oleh Tante Mayang dan Oom Dodi yang merupakan adik kandung ibuku. Kedua orang tua meninggal karena tragedi kecelakaan lalu lintas pada saat usiaku baru menginjak enam tahun. Mobil yang dikendarai mereka tertabrak mobil dump truck yang melaju kencang di sebuah turunan curam disaat hujan turun dengan derasnya.Ayahku seorang pengusaha sukses di bidang tekstil. Beliau mempunyai beberapa pabrik yang mempekerjakan ratusan karyawan. Sejak aku lahir hidup serba berkecukupan, disamping itu aku merupakan anak tunggal dikeluarga. Kedua orangtua begitu menyayangiku, terlebih ayah. Dia begitu memanjakanku. Oleh sebab itu saat ayah meninggal dunia, aku seperti kehilangan separuh jiwaku. Di usia enam tahun, aku sudah mengerti arti sebuah kehilangan. Sepeninggal ayahku, semua pabriknya di jual untuk menutupi hutang yang baru diketahui setelah selesai pemakamannya. Ayah tidak meninggalkan warisan sama seka
Mas Dito berjalan ke arah kami. Degup jantungku bertalu-talu mengiriringi langkah Mas Dito. Aku menundukkan wajah, tidak berani menatap Mas Dito."Maaf, kalian ini siapa?" tanya Mas Dito begitu sampai di tempat kami berada."Kami debt colector dari aplikasi pinjaman online, Pak!" jawab salah seorang dari mereka."Apa, pinjaman online? Siapa yang meminjam?" tanya Mas Dito seraya duduk diantara kami."Mbak Dinar Nurhasanah mengajukan pinjaman online dua bulan yang lalu kepada aplikasi kami!" jelas salah seorang lagi.Aku mendengar dengan jelas hembusan nafas kasar Mas Dito. Aku semakin menenggelamkan wajah, bertambah takut untuk menatap Mas Dito."Dinar, apa benar kamu berhutang pada mereka?" tanya Mas Dito tegas.Lututku terasa lemas dan mulut seakan terkunci. Akhirnya tiba juga waktu hal yang paling aku takutkan, Mas Dito tahu masalahku."Dinar, ayo jawab!" bentak Mas Dito kepadaku.Bentakan Mas Dito berhasil membuat tubuhku gemetaran menahan takut. Dengan sekuat tenaga mengumpulkan s
"Kamu tidak usah ikut. Biarkan Mas saja yang berangkat. Mas tidak mau seandainya ada kemungkinan terburuk mereka belum berubah, kamu dan anak-anak menjadi sasaran kemarahan mereka!" Mas Dito menolak permintaanku."Baik Mas, terimakasih sudah mau berusaha membantuku!" ucapku seraya memeluk Mas Dito dengan erat. Walaupun sebenarnya sedikit kecewa karena tidak diperbolehkan bertemu dengan kedua mertuaku, tetapi harus mengikuti saran Mas Dito. Jika hanya aku yang mereka usir tidak masalah, tetapi pasti tidak tega jika mereka juga mengusir anak-anak. Masih teringat jelas, terakhir mendatangi mereka dengan membawa serta Dani dengan harapan mereka mau menerimaku sebagai menantunya. Akan tetapi aku malah diusir padahal kala itu sedang turun hujan begitu derasnya. Mereka tidak menaruh belas kasihan sedikit pun kepadaku dan Dani kecil yang kebasahan diguyur air hujan. Sejak saat itu Mas Dani melarangku untuk mendatangi mereka dan bersumpah tidak akan pernah menemui kedua orangtuanya lagi. Ak
Di sepanjang perjalanan, aku menitikkan air mata. Aku tidak mempedulikan tatapan aneh para penumpang lainnya. Dita mengusap pipiku yang dialiri alir mata, seolah dia mengerti kesedihan yang sedang menimpa ibunya.Harus bagaimana lagi aku berusaha? "Kenapa Allah masih belum membukakan jalan untuk menyelesaikan masalahku? tanyaku dalam hati."Aku memberikan kode berhenti kepada sopir angkot yang diumpangi. Dengan sedikit membungkukan tubuh, aku turun dari angkot dan memberikan ongkos kepada sopir. Mobil Angkot kembali melaju ketika Aku sudah turun dari mobil.Sebelum melanjutkan langkah, aku berhenti sejenak untuk menghapus sisa air mata. Tidak ingin para tetangga melihat keadaanku yang sedang bersedih. Aku menyeka air mata menggunakan ujung gendongan batik panjang yang dikenakan untuk menggendong Dita. Setelah meyakini sudah tidak ada yang tersisa, ujung gendongan kembali digunakan untuk menutupi kepala Dita agar terhindar dari matahari yang bersinar terik. Setelah sampai di rumah, ak
"Mas tidak setuju jika kita melibatkan LSM dalam masalah kita. Mereka hanya pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan dalam masalah kita. Dalam masalah ini, hanya melibatkan kedua belah pihak saja. Pihak pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Hutang itu wajib dibayar walaupun bukan kita yang menggunakannya, karena pada saat pengajuan menggunakan data kamu dan semuanya dilakukan dengan penuh kesadaran. Seharusnya dari awal lamu tahu, kalau itu perbuatan yang salah. Sekarang, kamu harus menerima konsekuensinya!" ucap Mas Dito memberikan penjelasan panjang lebar. Intinya dia tidak menyetujui saranku.Aku kembali menundukkan wajah. Perasaan bersalah kepada Mas Dito kembali muncul. Aku yang telah menyeretnya masuk kedalam masalah saat ini. Seandainya dulu aku mendengarkan nasihat Mas Dito, mungkin masalah ini tidak akan pernah terjadi."Ya, lalu kita harus bagaimana, Mas? Sudah tidak ada harapan lagi kita keluar dari masalah ini. Aku tidak mau masuk penjara!" ucapku dengan terisa
"Mas, apa sudah dipikirkan dengan matang keputusan Mas? Kalau rumah ini dijual, kita mau tinggal dimana?" tanyaku masih tidak percaya dengan keputusan Mas Dito."Mas sudah memikirkannya dengan matang. Ini adalah satu-satunya cara agar kita keluar dari masalah, tanpa harus melibatkan orang lain!" jawab Mas Dito dengan penuh keyakinan.Aku tahu maksud dari Mas Dito. Dia bilang keputusannya adalah satu-satunya cara untuk keluar dari masalah tanpa melibatkan orang lain, yaitu orang tua Mas Dito, ibuku atau LSM. Ya, Mas Dito benar Kita tidak boleh melibatkan orang lain dalam masalah kita."Lalu kita mau tinggal dimana, Mas?" tanyaku lagi, sebenarnya masih kurang menyetujui keputusan Mas Dito."Kita tinggal di kontrakan, tetapi bukan disini. Kita akan cari kontrakan yang dekat dengan tempat Mas mengojek. Supaya Mas bisa pulang dan pergi dengan cepat!" ucap Mas Dito tanpa beban, dia melemparkan senyum padaku.Aku tahu, tugas sebagai imam sekaligus kepala rumah tangga itu berat. Pastinya Mas