Aku menengok ke arah suara yang memanggil, ternyata Mbak Neni. Dia berjalan menghampiri dan menatapku dengan tatapan iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Bu Ida memang begitu orangnya. Makanya banyak yang tidak betah ngontrak disini, karena dia orangnya kejam, tidak punya rasa empati dan toleransi sama sekali. Maafin saya juga gak bisa bantu Mbak Dinar, karena kehidupan sendiri juga pas-pasan, Mbak!" ucap Mbak Neni mencoba membesarkan hatiku.Aku mengerti dengan keadaan Mbak Neni. Suaminya Bang Beni seprofesi dengan almarhum Mas Dito, jadi sedikit banyak tahu berapa pendapatan setiap harinya. Akan tetapi walaupun hidup pas-pasan, Mbak Neni salah satu tetangga yang perhatian dengan hampir setiap harinya mengirimkan keluargaku makanan."Iya gak apa-apa Mbak Nen. Selama ini Mbak sudah sangat baik pada keluarga saya. Terimakasih atas semuanya. Semoga Allah membalas semua kebaikan Mbak Neni dan keluarga!" sahutku dengan tatapan yang mengungkapkan rasa terima kasih kepadanya."Sama-sama Mbak, s
"Iya Bu, Pak Sujiwo sudah meninggal beberapa bulan yang lalu karena terkena serangan jantung," jawab security itu dengan wajah serius.Aku terdiam mendengar jawabannya. Jika ayah dan ibu mertua tidak ada, kami harus pergi kemana? ke rumah Kak Disti? Aku tidak yakin Kak Disti mau membantu. Namun disana ada ibu, aku akan coba meminta bantuannya."Bapak tahu tidak, kemana Bu Tantri pindah?" tanyaku penuh harap mendapatkan informasinya."Waah, kalau itu saya tidak tahu Bu" jawabnya datar."Ya sudah, terimakasih atas informasinya Pak, Saya permisi dulu!" Aku berpamitan pada security itu. Dia menjawab dengan anggukkan lalu kembali asyik menonton televisi.Aku kembali melangkahkan kaki, menuju rumah ayah dan ibu mertua yang sudah kosong, karena ada Dani yang sedang menunggu disana. Langkahku kembali terasa berat. Kemana kami harus pergi? Aku sudah tidak mempunyai rumah untuk berteduh. Tidak mungkin jika kami tidur di jalanan malam ini. Kalau aku sendiri, tidak masalah. Namun yang menjadi mas
"Enak sekali kamu mau minta warisan buat bayar hutang, sementara Ibu masih sehat wal a'fiat. Itu sama saja kamu mendoakan Ibu supaya cepet mati!" bentakku pada Dinar, adik yang menjadi benalu di keluarga. Ya benalu, karena kerjaannya mengemis meminta bantuan."Iya, aku tahu salah. Namun tidak tahu lagi harus mencari kemana untuk membayar hutangku. Mas Dito juga sedang berusaha, tetapi belum ada hasil," jawabnya.Aku kembali teringat dengan kedatangan Dinar yang berpura-pura menanyakan kabar ibu, tetapi ujungnya dia meminta bantuan kepadaku. Susah kalau berurusan dengan mental orang miskin, maunya minta bantuan terus. Tentu saja aku menolaknya, seperti yang sudah-sudah. Salahnya sendiri menikah dengan laki-laki kere 'madesu' alias masa depan suram. Tidak sepertiku, mempunyai suami berpendidikan dan berkarir cemerlang. Hidupku bergelimang harta dan kemewahan. Aku bisa mendapatkan semua yang diinginkan. Namun satu yang tidak bisa aku dapatkan, yaitu kebahagiaan. Ya, aku tidak bahagia de
"Iya, Kak. Mas Dito sudah meninggal dunia ...." jawabku lirih.Kak Disti terlihat sedikit terkejut, tetapi dia kembali terlihat biasa saja. Wajahnya tidak memperlihatkan rasa iba atau empati atas musibah yang menimpaku."Ya terus, kalau si Dito meninggal dunia kenapa? Memang udah takdirnya kali. Jangan bilang kamu kesini mau minta tolong padaku!" sinis Kak Disti."Iya, aku mau minta bantuan Kak Disti. Tolong izinkan aku dan anak-anak tinggal disini untuk sementara waktu, karena kami sudah tidak mempunyai tempat tinggal. Aku akan mencoba mencari pekerjaan di dekat sini, Mbak!" jawabku lirih.Hatiku berdebar menantikan jawaban dari kak Disti. Apakah dia akan terenyuh dengan nasibku atau kah malah sebaliknya?"Tidak bisa. Mas Rudi pasti tidak akan mengizinkan orang lain tinggal di rumahnya, karena ini rumah Mas Rudi bukan rumahku!" ucap Kak Disti tegas."Aku kan bukan orang lain. Aku adikmu satu-satunya, Kak. Aku yakin Mas Rudi pasti mengizinkan. Kalau perlu, aku yang akan meminta izin l
"Perkenalkan, saya Khodijah. Panggil saja Ibu Khodijah," ucap wanita berjilbab itu sembari mengulurkan tangan memperkenalkan dirinya.Aku membalas uluran tangannya dan juga memperkenalkan diri."Saya Dinar, Bu," ucapku singkat."Kalau boleh tahu, tujuan Mbak Dinar mau kemana? Kok bisa sampai hujan-hujanan begini?" Bu Khodijah bertanya seraya menatap wajahku dengan tatapan yang menyejukan.Entah kenapa, walaupun baru pertama kali bertemu dengannya, aku menemukan sosok ibu di dalam dirinya."Saya tidak punya tujuan Bu, karena sudah tidak mempunyai tempat tinggal, " jawabku seraya menundukkan wajah."Ya Allah ... pantas saja kalian sampai hujan-hujanan seperti ini. Kamu yang sabar ya Mbak, ini semua ujian dari Allah," ucap Bu Khodijah kembali memberikanku nasihatnya.Aku hanya menggangguk, seraya tidak hentinya memandangi pintu ruang IGD yang tidak kunjung terbuka. Hati rasanya tidak karuan. Aku benar-benar di landa kecemasan tingkat tinggi. Bagaimana kalau sampai Dita tidak bangun lagi?
Bu Khodijah memeluk tubuh dari samping dan memapahku menuju kamar pemulasaran. Sementara Dani, menggenggam tangan kiriku dengan erat.Jantungku terasa turun naik seperti roler coaster. Kemarin saat kepergian Mas Dito, aku tidak sempat melihat untuk yang terakhir kalinya karena tidak kuat menerima kenyataan sehingga tidak sadarkan diri hingga kembali ke rumah.Namun untuk saat ini, aku tidak mau melewatkan saat terakhir untuk melihat putri kesayangan yang sudah tutup usia, tepat dihari ulang tahunnya yang kedua.Masih melekat dalam ingatan, ketika kami sekeluarga merayakan hari jadi Dita yang pertama. Bukan memotong cake lezat seperti pada umumnya, tetapi kami merayakannya dengan memotong singkong rebus yang dihiasi sebatang lilin yang aku beli di warung Bu Leli. Dita begitu bahagia merayakan hari jadinya walaupun dengan sangat sederhana.Tingkahnya begitu lucu, ketika dia berjalan dengan tertatih menuruti perintah Dani yang memintanya menyuapkan singkong rebus kepadaku dan juga Mas Di
Akhirnya aku tiba di ruang dapur Bu Ustadzah yang berukuran cukup luas. Mataku berpendar mencari akses untuk melancarkan aksi. Mataku tertuju pada kusen pintu penyekat antara ruang keluarga dan ruang dapur. Aku berusaha mencari tangga, kursi atau yang lainnya untuk mencapai ventilasi udara di atas kusen pintu yang nantinya akan diikatkan kain panjang untuk menjerat leher.Setelah mencari, akhirnya aku menemukan sebuah kursi plastik yang teronggok di ujung dapur. Tanpa membuang waktu, aku segera menaiki kursi plastik dan mengikatkan kain panjang di ventilasi udara. Walaupun sedikit kesusahan karena letak ventilasi tingginya melebihi tubuhku, tetapi akhirnya bisa mengikatkan kain panjang itu dengan kuat. Kini hanya tinggal selangkah lagi untukku mengakhiri semua penderitaan di dunia. Meninggalkan semua duka dan kesedihan yang menghujam seperti pisau belati yang menembus jantungku.Saat aku ingin mengikat leher dengan kain panjang yang sudah terikat di ventilasi, terdengar sebuah teriaka
Ternyata nominal yang aku terima sangat besar, yaitu sepuluh juta rupiah.Maasya Allah ... Aku berucap syukur kepada Allah yang telah memberikan rezeqi dengan jalan yang tidak disangka-sangka, karena tujuan awal menulis adalah untuk mengisi waktu luang dengan menyalurkan hoby menulis. Aku sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapatkan sambutan yang begitu hangat dari para pembaca dan hingga dari hoby ini bisa menghasilkan uang. Aku menjadi semakin bersemangat untuk terus menulis dan terus belajar di dunia literasi agar bisa menghasilkan karya yang bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi para pembaca.Sebagai wujud syukur atas rezeqi yang telah Allah berikan, aku menginfakkan sebagian gaji pertama kepada orang yang membutuhkan. Aku menitipkan infak gaji kepada Bu Ustadzah."Alhamdulillah, Mbak Dinar adalah calon penulis hebat. Baru belajar menulis saja pendapatannya sudah lumayan. Apalagi kalau Mbak Dinar fokus dan lebih banyak belajar lagi di dunia literasi, saya yakin kelak ak