Merah menatap Dazzle yang sedang berkutat dengan laptopnya. Hatinya berdesir saat menatap laki-laki itu.
Apakah dia mulai terlibat perasaan dengannya? Merah menggelengkan kepalanya. Menyadarkan dirinya sendiri. Dia tak layak untuk mengharapkan Dazzle lebih dari ini.
Kesediaan Dazzle menemaninya untuk pulih saja, sudah lebih dari cukup.
“Kenapa, Me?” tanya Dazzle melihat Merah bertingkah aneh.
“Nggak,” jawab Merah singkat. Jengah karena merasa ketahuan.
Dazzle kemudian menutup laptopnya. Duduk di samping Merah. Kini mereka berdekatan di sofa besar di ruang tengah itu.
“Pekerjaanku sudah selesai. Lara sudah kubungkam dengan dokumen-dokumen yang harus dia periksa,” kata Dazzle membuat Merah tertawa.
Membayangkan Lara mengomel di kantornya.
Dazzle memejamkan matanya. Rasa kantuk yang menyerangnya, membuat dia terlelap dalam sekejap. Merah menatap wajah Dazzle yang mulai mendengkur halus.
T
Malam itu, Merah tertidur dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Mungkin, meski tanpa janji yang muluk-muluk tentang perasaan yang belum menetap, tapi Dazzle sudah membuka jalan untuknya.Dazzle, masih tersadar, tak bisa memejamkan mata, karena, hatinya menjadi sangat gelisah. Apakah tindakannya sudah benar? Mengutarakan semua hal semu yang dia rasakan kepada Merah? Tak menjanjikan apa pun, tapi merengkuh Merah dalam hatinya.Omong kosong apa yang sebenarnya sedang dia tawarkan untuk hatinya yang terluka, dan Merah? Apakah ini bukan pelarian? Apakah ini murni perasaannya yang mulai membuka diri untuk orang lain?Dazzle tak bisa memejamkan matanya, gelisah memikirkan reaksi Merah atas sikap agresifnya. Entah bagaimana, dia kemudian mengetuk pintu kamar Merah.Merah yang masih belum sepenuhnya lelap, terbangun karena ketukan pintu. Beranjak membukanya, dan mendapati Dazzle berdiri di sana, lagian, siapa lagi yang ada di rumah ini selain mereka berdua?
Danta menatap laut biru di hadapannya. Pasir hitam di kakinya. Panas matahari yang mulai tenggelam tak seberapa membakar kulitnya. Tapi hatinya terasa panas.Rama bahkan seperti tak peduli lagi padanya. Dia ingin setidaknya Rama bisa bersamanya. Menghadapi perasaan berdosa ini bersama.Kemudian saat dia melangkah untuk duduk di mejanya, dia melihat kelebatan bayangan Dazzle sedang mempersilakan duduk seorang wanita dengan sopan, seperti yang selalu Dazzle lakukan untuknya dulu.Hatinya mendadak meradang. Ada rasa tak terima Dazzle bersama wanita lain. Secepat ini. Setelah dia meninggalkannya. Inikah cemburu? Inikah perasaan sakit yang juga Dazzle rasakan saat mengetahui dia dan Rama menikah?Danta meremas jarinya sendiri. Kenapa harus sekarang? Kenapa dia melihat Dazzle tersenyum manis kepada wanita lain sekarang. Dia tak bisa marah kepada Dazzle sekarang. Karena tak ada lagi hubungan di antara mereka. Tapi egonya sedang menguasai kepalanya.&ldquo
“Besok, kita berangkat agak siang ya, biar aku selesaikan dulu kerjaan. Sebelum Lara meneror,” kata Dazzle membuat Merah tertawa.“Domi sama sekali tak menghubungimu?” lanjut Dazzle.“Dia tak akan menghubungiku bila tak penting. Kami terbiasa seperti itu,” kata Merah.“Owh, aku kira dia akan menerorku karena takut adiknya aku aniaya,” goda Dazzle.“Dia memang takut melepasku bersamamu, tapi aku tahu pasti dia juga merasakan ketulusanmu,” desis Merah.Dazzle merasakan beban berat. Benarkah dia setulus itu? Bukankah dia juga memanfaatkan Merah untuk menyembuhkan lukanya sendiri? Untuk melupakan Danta?“Kenapa diam?” tanya Merah membuat Dazzle tersadar.“Apakah menurutmu aku tulus? Padahal aku melakukan ini juga untuk melupakan masalahku sendiri,” desis Dazzle tak melanjutkan pekerjaannya.“Kita, sepakat menyembuhkan luka itu bersama bukan? A
Sepanjang jalan tak henti Merah menyunggingkan senyumnya. Dazzle mempercepat pekerjaannya setelah menelepon Lara yang mengomel karena dikirimi berkas pagi-pagi.“Kita seperti sedang akan pergi berbulan madu,” kata Merah yang kemudian menyesali ucapannya.“Apakah kamu mau?” tanya Dazzle terkekeh.“Aku dulu, menginginkan pernikahan yang sederhana, di tepi pantai, cuma aku, pengantin pria, Domi, Papa dan mertua,” kata Merah menerawang.“Tak aku pungkiri, dulu, Bara adalah laki-laki pilihanku, sebelum semuanya terjadi.” Dazzle merasakan getir yang terasa di nada Merah.Jadi laki-laki bajingan itu bernama Bara? Merah bahkan masih merasakan perih saat menyebut namanya.“Aku gak bisa menjanjikan apa pun untuk saat ini, Me,” kata Dazzle menyadari ketidakjelasan masa depan mereka.“Aku tak menuntut apa pun darimu. Aku menyadari siapa diriku,” sergah Merah tahu diri.
Dazzle menatap Merah yang memakai dress selutut warna hitam. Dengan lengan pendek dan aksen pita di pinggang. Menawan.“Kamu cantik,” puji Dazzle membuat pipi Merah merona.“Jangan ngeledek,” sergah Merah malu.Dazzle menggenggam tangan Merah menuju spot yang dia inginkan.Sebuah kain dihamparkan di pasir, di pantai yang berair tenang. Di samping hutan mangrove yang melingkupinya.Merah merasa ini berlebihan untuknya. Bagaimana Dazzle bisa melakukan ini untuk wanita yang tak sempurna sepertinya?“Daz, ini berlebihan,” kata Merah.“Tak ada yang berlebihan,” sergah Dazzle.Mereka duduk memandang air tenang dan matahari yang beranjak pulang. Pelayan yang khusus melayani mereka menyiapkan hidangan pembuka.“Sangat beruntung orang yang akan menjadi wanitamu,” desis Merah.“You are,” jawab Dazzle mengedipkan matanya.“Are you sure?&rdqu
“Ma, Daz akan pulang besok. Membawakan menantu untuk Mama. Tapi Daz mau meminta satu hal,” kata Dazzle saat menghubungi mamanya.“Daz minta, Mama menerima semua keputusan Daz, dan tidak akan membuat pandangan negatif soal wanita yang Daz pilih,” kata Dazzle seraya menjauh dari kamar. Takut Merah terbangun dan mendengarnya.Setelah mondar-mandir dan bergumam, sedikit menjelaskan panjang lebar, Dazzle menghela napasnya lega. Baginya, ini adalah awal yang baik. Dia tahu, keluarganya tak pernah mempersulit hidupnya.Merah terbangun, mendapati dirinya sendirian, langit sudah sangat gelap. Dia langsung menegakkan tubuhnya, mengedarkan pandang dan mencari Dazzle.Air matanya sudah akan turun saat dia melihat Dazzle masuk dan menutup pintu. Dia menghela napasnya lega. Ketakutan akan kenyataan bahwa mungkin Dazzle meninggalkannya sendirian, membuatnya panik.“Hei, sudah bangun. Maaf, aku harus menelepon Domi dan kedua orang tua
Merah terpaku saat melihat Dazzle memeluk wanita yang masih terlihat sangat cantik di usianya yang beranjak senja. Seorang laki-laki gagah dan tampan, yang mirip Dazzle menepuk bahu Dazzle.“Itu kan, Janu Wijanarko, pengusaha yang memiliki jaringan hotel dan vila di sekitar Bali dan Lombok.” Merah membatin.“Jadi, Dazzle adalah anak keluarga yang diperhitungkan di Bali ini? Kenapa dia tak mengatakannya,” batin Merah bertanya-tanya.“Ma, ini Merah Angkasa,” kata Dazzle sambil menyentuh lengan Merah. Membuatnya tersadar dan kemudian tersenyum kikuk.“Cantik, secantik namanya,” desis Tanya membuat Merah tersipu.“Terima kasih, Tante,” kata Merah.“Kok tante, Mama,” ralat Tanya membuat Merah semakin salah tingkah.“Sebelum semuanya terlalu jauh, Merah ingin mengatakan sesuatu,” desis Merah setelah mereka duduk di kursi masing-masing.“Me,&rdqu
Dazzle sedang mengomel saat Merah membuka matanya, dia tak menemukan Dazzle di kamar, tapi mendengar suaranya di luar.Merah bangkit dan melihat keluar.Dazzle sedang berdebat dengan mamanya. Seketika Merah ingat, bahwa Mama Dazzle mengajaknya untuk pergi terlebih dahulu ke Mulia bersama. Bagaimana dia bisa bangun terlambat.“Mama sik, datang kepagian,” omel Dazzle.“Ini jam berapa, Daz? Kamu apain anak orang jam segini belum bangun?” cecar Tanya sambil berkacak pinggang.“Dazzle gak ngapa-ngapainlah. Anak Mama masih waras,” bantah Dazzle tak terima.“Yakin?” selidik Tanya tak percaya.“Plis, Ma,” rengek Dazzle.“Ya, ya, ya, Mama percaya. Sekarang, mana anak perempuan Mama?” tuntut Tanya membuat Dazzle masuk ke dalam kamar dan mendapati Merah sudah berdandan.“Wah, baru mau aku bangunkan,” kata Dazzle.“Kalian berisik,”