Beranda / Zaman Kuno / Reinkarnasi Dewa Perang / Hadiah Buku Hijau Usang

Share

Hadiah Buku Hijau Usang

Penulis: Zen_
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-20 19:14:18

Angkara berdiri tegak dengan kuda-kuda mantap. Kedua tangannya terangkat, menunjukkan kesiapan untuk bertarung. Namun kali ini ia tidak menampilkan sikap agresif. Jika jurang kekuatan terlalu jauh, bertahanlah terlebih dahulu. Itulah kunci,’ pikirnya.

Sebagai mantan dewa perang, ia sudah kenyang dengan pengalaman menghadapi lawan yang jauh lebih tangguh.

Lawannya langsung melesat, seakan bayangan hitam mengikuti setiap gerakannya. Mata Angkara berusaha mengimbangi, tak membiarkan jarak sekecil apa pun lepas dari pengawasannya.

Belakang!’ benaknya berteriak.

Ia berputar cepat, mencoba menghadang serangan yang datang. Namun, gerakan Angkara terlambat sepersekian detik. Kedua lengannya merasakan perih, dua sayatan belati meninggalkan bekas darah.

Tak memberi kesempatan bernapas, pria berbelati itu terus meluncur. Tubuhnya seperti hantu, muncul di samping, bawah, lalu atas sekaligus. Serangan datang dari segala arah. Angkara babak belur, namun tekadnya tak padam. Mundur bukan pilihan.

“Apa kau sudah lelah?” suara rendah lawannya terdengar, nyaris mengejek.

Memang, tubuh Angkara mulai goyah. Nafasnya terengah, ritmenya kacau. Tubuh lemahnya terasa rapuh menghadapi seorang praktisi lapisan tulang. Tapi matanya tetap tajam.

“Lanjutkan,” jawabnya singkat, penuh keteguhan.

Senyum gila tersungging di bibir pria berbelati. “Jangan salahkan aku kalau kau menyesal…” ucapnya dengan nada seperti pemburu yang menikmati penderitaan mangsa.

Serangan berikutnya datang lebih aneh. Tidak ada bayangan yang mengikuti. Kedua belati diarahkan lurus, seolah ingin memutus lengan Angkara sekaligus.

Teknik bayangan… selalu saja merepotkan sejak dulu,’ batin Angkara. 

Ia mengenali jurus ini, karena pernah menghadapi puluhan praktisi yang menguasainya. Gerak ilusi dan kecepatan abnormal memang membuat banyak petarung kewalahan.

‘Cukup! Kali ini aku tidak hanya bertahan!

Tanpa ragu, Angkara menerjang. Perubahan gaya bertarungnya membuat lawan terkejut. Dari defensif, kini ia berubah agresif. Pria berbelati dengan mudah menghindar, menganggap serangan Angkara tak berarti.

Namun justru itu yang diinginkan Angkara.

Ia sudah menebak titik mendarat musuhnya.

“Kena kau, kelinci!” serunya sambil menyapu kaki pria itu dengan gerakan cepat. Tubuh sang lawan kehilangan keseimbangan, berputar di udara.

Mata pria itu melebar, tak percaya apa yang baru saja terjadi. Seorang pelayan? Menjatuhkannya? Belum sempat ia berpikir, Angkara mengumpulkan sisa tenaga dalam satu telapak tangan.

“Rasakan ini!”

Telapak tangannya menghantam perut lawan yang masih melayang. Tubuh pria berbelati terpental keras, menghantam dinding arena hingga meninggalkan dentuman keras.

“Huft… huft…” Angkara berlutut, tangannya menekan lutut, napasnya memburu hebat.

Wasit menatap sebentar, lalu mengangkat tangan. “Pemenangnya, Angkara!”

Sorak tak terdengar. Justru yang terlihat adalah tubuh Angkara yang akhirnya terhuyung. Kesadarannya meredup, dan dalam sekejap ia roboh, pingsan.

Tim medis segera naik ke arena, menggotong tubuhnya dengan tandu kain. Ia dibawa menuju tabib terkenal di kota untuk perawatan intensif.

Pertandingan berlanjut. Kini semifinal lain digelar. Jagad, murid dalam dari perguruan yang sama dengan Angkara, berdiri di tengah arena. Ia telah menyaksikan semua pertarungan Angkara dan merasa kagum. Siapa sangka seorang pelayan bisa menyimpan kekuatan sebesar itu?

“Siap?” tanya wasit, menatap kedua kontestan.

Jagad dan lawannya mengangguk. Musuh Jagad kali ini seorang pemuka agama botak, memegang tongkat sambil terus memejamkan mata.

“Mulai!”

Dalam sekejap, tubuh sang pemuka bergerak. Kecepatannya menimbulkan pusaran debu. Penonton hanya bisa menyipitkan mata, berusaha mengikuti.

Saat debu mereda, pemandangan mengejutkan tampak. Jagad sudah terkapar di lantai, tak berdaya.

“HAH?!” seruan kaget membahana.

“Yang benar saja?!” penonton riuh tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Mereka semua tertegun, saling bertanya-tanya mengenai apa yang baru saja terjadi. Kejadian itu berlangsung begitu cepat hingga tidak seorang pun sempat bereaksi. Jagad yang kalah pun segera diangkat oleh tim medis, dibawa menuju tabib paling terkenal di kota kecil itu.

Wasit yang berdiri di tengah arena berteriak lantang, meski nada suaranya terdengar bingung. “Dengan ini diputuskan, pemenang lomba bela diri adalah Kisana!”

Namun, pernyataan itu justru membuat suasana memanas. Penonton saling pandang, wajah mereka dipenuhi ketidakpuasan.

“HEY! Jangan asal membuat keputusan sepihak!”

“Betul! Masih ada satu orang lagi yang lolos ke final!”

Sorak protes terus bergema. Wasit menghela napas, lalu menggeleng sambil menatap ke arah kerumunan. “Sungguh disayangkan, tapi kontestan Angkara tidak bisa melanjutkan pertandingan karena kondisi tubuhnya sangat parah.”

Kekecewaan menyebar di antara penonton. Sebagian hanya bisa terdiam lesu, sementara yang lain masih berteriak-teriak penuh amarah. Perlombaan bela diri di kota itu akhirnya resmi berakhir dengan rasa tidak puas yang menggantung.

...

Di ruang perawatan tabib, Angkara perlahan membuka mata. Pandangan pertamanya tertuju pada seorang wanita berambut putih yang duduk di sampingnya, tengah mengaduk sesuatu di dalam mangkuk.

“Kau sudah sadar?” tanyanya lembut.

“Ini di mana?” suara Angkara serak.

Wanita itu menyodorkan mangkuk berisi cairan hijau pekat. “Ruang perawatan tabib kota. Minumlah, ini ramuan pemulih tenaga.”

Dengan tangan bergetar, Angkara menerima mangkuk itu. Sebagian isinya sempat tumpah karena lengannya lemah, tetapi akhirnya cairan pahit itu berhasil ia habiskan.

“Kondisimu tadi kritis. Hampir semua tenaga dalammu terkuras habis! Orang bodoh macam apa yang mau melakukan hal semacam itu?” wanita berambut putih itu menegurnya.

Angkara tersenyum tipis, lalu berdeham. “Ehem… mau bagaimana lagi? Lawanku memang sangat kuat.”

Wanita itu menajamkan pandangan. “Sebenarnya, kau berada di tingkatan mana?”

“Lapisan pernapasan tingkat pertama,” jawab Angkara santai.

Mangkuk yang dipegang wanita itu terlepas, jatuh menimbulkan bunyi nyaring. Ia menatap Angkara tak percaya. “Apa?! Tingkat pertama?”

Angkara mengangguk tanpa ragu. “Benar.”

Wanita itu masih terkejut. “Sulit dipercaya… kau tahu siapa lawanmu? Dia adalah penjaga terkuat kamar dagang kota ini. Banyak orang menghormatinya, tapi ternyata dia bisa dikalahkan oleh seorang pelayan perguruan yang bahkan baru berada di tingkat pertama.”

Angkara terkekeh ringan. “Itu hanya keberuntungan kecil.”

Pandangan matanya lalu terarah ke sekeliling ruangan. Banyak ranjang terisi pasien lain, beberapa tampak kesakitan, sebagian bahkan sekarat, sedangkan ada pula yang kondisinya lebih baik darinya.

Tepat di ranjang sebelah kanan, ia melihat wajah yang familiar. Jagad terbaring tak sadarkan diri. Angkara tersenyum miring.

‘Jadi dia juga kalah. Wajar saja, si botak itu lawannya berada di Penyelarasan Alam tingkat sembilan. Di kota kecil ini, mana ada yang bisa melawannya?’ pikirnya.

Sebagai mantan dewa perang, Angkara paham betul tingkatan praktisi. Dunia fana mengenal sembilan tingkat besar, lapisan pernapasan, lapisan tulang, penebalan tulang, penempaan saluran jiwa, pembentukan inti, penyelarasan alam, penciptaan alam, penyatuan alam, dan puncaknya alam dewa, gerbang menuju alam surgawi.

‘Jagad… jika tak salah dia hanya di tingkatan penebalan tulang. Tak heran kalau dia tumbang dalam sekejap.’

Wanita berambut putih itu kembali menghampiri, kali ini membawa sebuah buku tua berwarna hijau. Sampulnya usang, terlihat berdebu.

“Ini hadiah dari perlombaan. Walaupun tak sempat bertanding di final, wasit memutuskan kau sebagai juara kedua.” Ia menyerahkannya dengan tenang.

Angkara menerima buku itu dengan senyum tulus. “Terima kasih.”

Beberapa detik kemudian, ia membuka lembaran pertama. Matanya membelalak, wajahnya dipenuhi keterkejutan.

“Ini…!!!!” serunya tak percaya. Angkara jelas mengenali isi buku itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Pasca Pertarungan

    “Hey, kau baik-baik saja, Angkara?” tanya Satria dengan suara lemah. Tubuhnya masih kaku, bahkan untuk sekadar menggerakkan jari pun terasa berat.Angkara mengangkat satu tangannya dengan santai. “Aku hanya belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan teknikku sendiri, sele—” Ucapannya terhenti mendadak. Dari mulutnya tiba-tiba memuncrat darah pekat, membuat tubuhnya sedikit terhuyung.“Uakh... uhuk... uhuk...” Ia tersedak, menahan rasa perih yang menyerang dari dalam tubuhnya. Gumpalan darah terus keluar dari bibirnya, tak jauh berbeda dengan kondisi ketua perguruan yang baru saja ia kalahkan.Satria menatapnya dengan wajah cemas sekaligus kesal. “Kau bilang baik-baik saja? Kau terlihat seperti orang sekarat! Tadi kau tampak begitu keren, berdiri gagah di atas naga hitam, tapi sekarang malah memuntahkan darah seperti ikan mati! Sungguh pemandangan yang menyedihkan...” ujarnya sambil berbaring lemas di permukaan kepala naga.Angkara tak menanggapi cemoohan itu. Tatapannya beralih tajam k

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Akhir

    Kedua naga itu saling beradu di tengah langit malam yang kelam. Dua makhluk hasil teknik bela diri yang berasal dari jalur berbeda kini bertarung untuk membuktikan supremasi kekuatan masing-masing. Tubuh mereka bergelora, memancarkan cahaya menyilaukan di antara awan yang terbelah, sementara suara benturan mereka menggema hingga ke pelosok negeri.Dalam satu momen, keduanya mengeluarkan raungan yang begitu menggelegar, menembus gendang telinga semua orang yang menyaksikan. Suara itu begitu nyaring hingga sebagian penduduk kekaisaran menjerit kesakitan, darah mengalir dari telinga mereka. Langit yang seharusnya damai kini menjadi medan konfrontasi dua kekuatan luar biasa.“Itu... itu naga sungguhan? Yang benar saja?!” teriak salah seorang penduduk dengan wajah pucat pasi. Ia jatuh tersungkur ke tanah, tubuhnya gemetar hebat. Orang-orang lain menatap ke langit dengan campuran rasa kagum dan ketakutan. Beberapa wanita menjerit histeris, berlari mencari perlindungan, sementara sebagian l

  • Reinkarnasi Dewa Perang   2 Naga

    Dari tubuh Angkara, energi dalam mengalir dengan teratur, berputar dari pusat dadanya lalu menjalar hingga ke ujung jemarinya. Aura pekat mulai menyelimuti seluruh tubuhnya, berpadu antara hitam kelam dan emas berkilau yang saling melingkar membentuk pusaran halus di sekelilingnya. Dua warna itu tampak bertolak belakang, namun justru menyatu dengan indah, seakan menciptakan harmoni yang tak seharusnya ada.'Luar biasa…' batin Angkara bergetar oleh kekaguman terhadap dirinya sendiri. 'Aku benar-benar telah melampaui batas praktisi biasa. Kini aku berada di tahap penciptaan alam… kekuatanku meningkat pesat setelah menyerap seluruh jiwa di perguruan ini.'Tatapan matanya tajam menembus jarak, menandakan kebanggaan yang nyaris berubah menjadi kesombongan. Saat ini, kekuatannya setara dengan sang pangeran terbuang, instruktur misterius dari Arus Hening, Anantaka, yang juga dikenal sebagai salah satu yang berada pada penciptaan alam.Dengan gerakan ringan, Angkara mengepalkan jemarinya da

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Kekalahan Satria

    Kabut hitam pekat yang membungkus langit malam perlahan menipis, terpecah seperti kabus pagi yang tersapu angin. Sosok tengkorak raksasa yang semula gagah dan menakutkan kini tampak melemah, sementara di tengah sisa-sisa kabut itu berdiri Ketua Perguruan Naga Emas, tanpa luka sedikit pun. Bahkan lipatan jubah emasnya masih tampak bersih, tak tersentuh debu atau bara pertempuran yang baru saja terjadi.Satria memandangi pemandangan itu dengan wajah tak percaya. “Oi… oi… tidak mungkin,” gumamnya, matanya membesar. “Dia tidak hanya kuat… tapi benar-benar berada di tingkat yang tak bisa dijangkau. Jangan-jangan… dia sudah menembus alam dewa?” ucapnya setengah berbisik, lalu menggeleng cepat, menolak pikirannya sendiri. “Tidak… mustahil. Jika dia benar sudah mencapai alam dewa, seharusnya dia telah meninggalkan dunia fana ini dan naik ke alam yang lebih tinggi.”Di langit yang masih diselimuti sisa awan hitam, sang ketua perguruan berdiri di antara pusaran cahaya keemasan. Tatapannya din

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Teknik Pamungkas Satria

    Angkara masih tenggelam jauh di dalam dimensi tenaga dalamnya, benar-benar tak menyadari pergolakan hebat yang terjadi di luar tubuhnya. Di ruang spiritual itu, rasa sakit yang ia rasakan semakin menggila, lengannya seperti disayat ribuan bilah pedang yang mencincang tanpa henti, menembus ke inti energi yang ia coba kendalikan. Tubuhnya gemetar hebat, namun tekadnya tidak goyah. 'Sedikit lagi… aku hanya perlu bertahan sedikit lagi…!!!' teriaknya di dalam hati, menahan rasa nyeri yang mengguncang seluruh raganya.Sementara itu, di dunia nyata, Satria yang baru saja melepaskan teknik pamungkasnya terlihat hampir kehabisan tenaga. Napasnya tersengal keras, seolah paru-parunya terbakar dari dalam. Setiap helaan napas terasa berat dan menusuk. “Huft… huft… Kau tahu?” katanya seraya tersenyum pahit. “Kau adalah orang pertama yang beruntung bisa menyaksikan teknik terbaikku.”Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah pada gravitasi. Kakinya tak sanggup lagi menopang beratnya sendiri, membuat ia

  • Reinkarnasi Dewa Perang   Ketua Perguruan Naga Emas

    Sebuah cahaya keemasan melesat di langit, disertai gelegar petir yang mengguncang bumi. Sosok itu muncul begitu cepat, seolah waktu sendiri bertekuk di hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berdiri tegak di hadapan Satria, pemuda yang tubuhnya penuh darah dan luka.Udara seketika terasa berat. Sosok berkilau emas itu menatap sekeliling dengan tajam, meneliti puing-puing kehancuran yang berserakan. Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di tanah, sebagian bahkan tak berbentuk, hanya gumpalan daging dan darah yang menghitam. Di antara kengerian itu, tampak seseorang tengah bermeditasi dengan tenang, seolah tak terpengaruh oleh tragedi yang baru saja terjadi.“Apakah kau pelakunya?” suara pria itu terdengar rendah, dalam, namun memiliki kekuatan yang menusuk jantung. Setiap katanya mengandung tekanan yang membuat udara bergetar.Satria terdiam. Dalam hidupnya yang keras dan penuh pertempuran, belum pernah ia merasa ditekan sedemikian rupa. Sosok di depannya bukan sekadar manusia; ada wibawa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status