MasukAngkara berdiri tegak dengan kuda-kuda mantap. Kedua tangannya terangkat, menunjukkan kesiapan untuk bertarung. Namun kali ini ia tidak menampilkan sikap agresif. ‘Jika jurang kekuatan terlalu jauh, bertahanlah terlebih dahulu. Itulah kunci,’ pikirnya.
Sebagai mantan dewa perang, ia sudah kenyang dengan pengalaman menghadapi lawan yang jauh lebih tangguh.
Lawannya langsung melesat, seakan bayangan hitam mengikuti setiap gerakannya. Mata Angkara berusaha mengimbangi, tak membiarkan jarak sekecil apa pun lepas dari pengawasannya.
‘Belakang!’ benaknya berteriak.Ia berputar cepat, mencoba menghadang serangan yang datang. Namun, gerakan Angkara terlambat sepersekian detik. Kedua lengannya merasakan perih, dua sayatan belati meninggalkan bekas darah.
Tak memberi kesempatan bernapas, pria berbelati itu terus meluncur. Tubuhnya seperti hantu, muncul di samping, bawah, lalu atas sekaligus. Serangan datang dari segala arah. Angkara babak belur, namun tekadnya tak padam. Mundur bukan pilihan.
“Apa kau sudah lelah?” suara rendah lawannya terdengar, nyaris mengejek.
Memang, tubuh Angkara mulai goyah. Nafasnya terengah, ritmenya kacau. Tubuh lemahnya terasa rapuh menghadapi seorang praktisi lapisan tulang. Tapi matanya tetap tajam.
“Lanjutkan,” jawabnya singkat, penuh keteguhan.
Senyum gila tersungging di bibir pria berbelati. “Jangan salahkan aku kalau kau menyesal…” ucapnya dengan nada seperti pemburu yang menikmati penderitaan mangsa.
Serangan berikutnya datang lebih aneh. Tidak ada bayangan yang mengikuti. Kedua belati diarahkan lurus, seolah ingin memutus lengan Angkara sekaligus.
‘Teknik bayangan… selalu saja merepotkan sejak dulu,’ batin Angkara.Ia mengenali jurus ini, karena pernah menghadapi puluhan praktisi yang menguasainya. Gerak ilusi dan kecepatan abnormal memang membuat banyak petarung kewalahan.
‘Cukup! Kali ini aku tidak hanya bertahan!’
Tanpa ragu, Angkara menerjang. Perubahan gaya bertarungnya membuat lawan terkejut. Dari defensif, kini ia berubah agresif. Pria berbelati dengan mudah menghindar, menganggap serangan Angkara tak berarti.
Namun justru itu yang diinginkan Angkara.
Ia sudah menebak titik mendarat musuhnya.
“Kena kau, kelinci!” serunya sambil menyapu kaki pria itu dengan gerakan cepat. Tubuh sang lawan kehilangan keseimbangan, berputar di udara.Mata pria itu melebar, tak percaya apa yang baru saja terjadi. Seorang pelayan? Menjatuhkannya? Belum sempat ia berpikir, Angkara mengumpulkan sisa tenaga dalam satu telapak tangan.
“Rasakan ini!”
Telapak tangannya menghantam perut lawan yang masih melayang. Tubuh pria berbelati terpental keras, menghantam dinding arena hingga meninggalkan dentuman keras.
“Huft… huft…” Angkara berlutut, tangannya menekan lutut, napasnya memburu hebat.
Wasit menatap sebentar, lalu mengangkat tangan. “Pemenangnya, Angkara!”
Sorak tak terdengar. Justru yang terlihat adalah tubuh Angkara yang akhirnya terhuyung. Kesadarannya meredup, dan dalam sekejap ia roboh, pingsan.
Tim medis segera naik ke arena, menggotong tubuhnya dengan tandu kain. Ia dibawa menuju tabib terkenal di kota untuk perawatan intensif.
Pertandingan berlanjut. Kini semifinal lain digelar. Jagad, murid dalam dari perguruan yang sama dengan Angkara, berdiri di tengah arena. Ia telah menyaksikan semua pertarungan Angkara dan merasa kagum. Siapa sangka seorang pelayan bisa menyimpan kekuatan sebesar itu?
“Siap?” tanya wasit, menatap kedua kontestan.
Jagad dan lawannya mengangguk. Musuh Jagad kali ini seorang pemuka agama botak, memegang tongkat sambil terus memejamkan mata.
“Mulai!”
Dalam sekejap, tubuh sang pemuka bergerak. Kecepatannya menimbulkan pusaran debu. Penonton hanya bisa menyipitkan mata, berusaha mengikuti.
Saat debu mereda, pemandangan mengejutkan tampak. Jagad sudah terkapar di lantai, tak berdaya.
“HAH?!” seruan kaget membahana.
“Yang benar saja?!” penonton riuh tak percaya dengan apa yang mereka lihat.Mereka semua tertegun, saling bertanya-tanya mengenai apa yang baru saja terjadi. Kejadian itu berlangsung begitu cepat hingga tidak seorang pun sempat bereaksi. Jagad yang kalah pun segera diangkat oleh tim medis, dibawa menuju tabib paling terkenal di kota kecil itu.
Wasit yang berdiri di tengah arena berteriak lantang, meski nada suaranya terdengar bingung. “Dengan ini diputuskan, pemenang lomba bela diri adalah Kisana!”
Namun, pernyataan itu justru membuat suasana memanas. Penonton saling pandang, wajah mereka dipenuhi ketidakpuasan.
“HEY! Jangan asal membuat keputusan sepihak!”
“Betul! Masih ada satu orang lagi yang lolos ke final!”Sorak protes terus bergema. Wasit menghela napas, lalu menggeleng sambil menatap ke arah kerumunan. “Sungguh disayangkan, tapi kontestan Angkara tidak bisa melanjutkan pertandingan karena kondisi tubuhnya sangat parah.”
Kekecewaan menyebar di antara penonton. Sebagian hanya bisa terdiam lesu, sementara yang lain masih berteriak-teriak penuh amarah. Perlombaan bela diri di kota itu akhirnya resmi berakhir dengan rasa tidak puas yang menggantung.
...
Di ruang perawatan tabib, Angkara perlahan membuka mata. Pandangan pertamanya tertuju pada seorang wanita berambut putih yang duduk di sampingnya, tengah mengaduk sesuatu di dalam mangkuk.
“Kau sudah sadar?” tanyanya lembut.
“Ini di mana?” suara Angkara serak.
Wanita itu menyodorkan mangkuk berisi cairan hijau pekat. “Ruang perawatan tabib kota. Minumlah, ini ramuan pemulih tenaga.”
Dengan tangan bergetar, Angkara menerima mangkuk itu. Sebagian isinya sempat tumpah karena lengannya lemah, tetapi akhirnya cairan pahit itu berhasil ia habiskan.
“Kondisimu tadi kritis. Hampir semua tenaga dalammu terkuras habis! Orang bodoh macam apa yang mau melakukan hal semacam itu?” wanita berambut putih itu menegurnya.
Angkara tersenyum tipis, lalu berdeham. “Ehem… mau bagaimana lagi? Lawanku memang sangat kuat.”
Wanita itu menajamkan pandangan. “Sebenarnya, kau berada di tingkatan mana?”
“Lapisan pernapasan tingkat pertama,” jawab Angkara santai.
Mangkuk yang dipegang wanita itu terlepas, jatuh menimbulkan bunyi nyaring. Ia menatap Angkara tak percaya. “Apa?! Tingkat pertama?”
Angkara mengangguk tanpa ragu. “Benar.”
Wanita itu masih terkejut. “Sulit dipercaya… kau tahu siapa lawanmu? Dia adalah penjaga terkuat kamar dagang kota ini. Banyak orang menghormatinya, tapi ternyata dia bisa dikalahkan oleh seorang pelayan perguruan yang bahkan baru berada di tingkat pertama.”
Angkara terkekeh ringan. “Itu hanya keberuntungan kecil.”
Pandangan matanya lalu terarah ke sekeliling ruangan. Banyak ranjang terisi pasien lain, beberapa tampak kesakitan, sebagian bahkan sekarat, sedangkan ada pula yang kondisinya lebih baik darinya.
Tepat di ranjang sebelah kanan, ia melihat wajah yang familiar. Jagad terbaring tak sadarkan diri. Angkara tersenyum miring.
‘Jadi dia juga kalah. Wajar saja, si botak itu lawannya berada di Penyelarasan Alam tingkat sembilan. Di kota kecil ini, mana ada yang bisa melawannya?’ pikirnya.Sebagai mantan dewa perang, Angkara paham betul tingkatan praktisi. Dunia fana mengenal sembilan tingkat besar, lapisan pernapasan, lapisan tulang, penebalan tulang, penempaan saluran jiwa, pembentukan inti, penyelarasan alam, penciptaan alam, penyatuan alam, dan puncaknya alam dewa, gerbang menuju alam surgawi.
‘Jagad… jika tak salah dia hanya di tingkatan penebalan tulang. Tak heran kalau dia tumbang dalam sekejap.’
Wanita berambut putih itu kembali menghampiri, kali ini membawa sebuah buku tua berwarna hijau. Sampulnya usang, terlihat berdebu.
“Ini hadiah dari perlombaan. Walaupun tak sempat bertanding di final, wasit memutuskan kau sebagai juara kedua.” Ia menyerahkannya dengan tenang.
Angkara menerima buku itu dengan senyum tulus. “Terima kasih.”
Beberapa detik kemudian, ia membuka lembaran pertama. Matanya membelalak, wajahnya dipenuhi keterkejutan.
“Ini…!!!!” serunya tak percaya. Angkara jelas mengenali isi buku itu.
Angkara melayang tinggi di udara, tubuhnya diselimuti pusaran aura berwarna hitam keemasan yang berkilau seperti cahaya senja di atas kegelapan. Dari ketinggian itu, ia menatap seluruh penjuru kota yang kini hanya menyisakan kehancuran dan hamparan debu. Ia memejamkan mata perlahan, mencoba merasakan setiap denyut kehidupan yang tersisa di bawah sana. Napasnya teratur, tenang, dan dalam keheningan itu ia mendengar bisikan alam, bahwa semua penduduk telah berhasil dievakuasi keluar dari kota. Tepat seperti yang ia rencanakan.Setengah hari telah ia habiskan untuk menahan serbuan pasukan tengkorak yang tak kunjung habis. Namun kini, beban itu sedikit terangkat dari bahunya. Matanya kembali terbuka, menatap lurus ke arah puncak menara tengkorak yang menjulang bagai tombak hitam menembus langit kelam. Di sana, berdiri sosok yang telah lama ia nantikan. Bibirnya melengkung, dan suara lirih keluar dari mulutnya, “Akhirnya, aku bisa bertarung tanpa beban.”Tanpa ragu, Angkara mulai mengal
Pasukan pemberontak segera berpencar ke segala penjuru kota, berlari menembus jalan-jalan sempit dan gang gelap untuk mengevakuasi para penduduk menuju tempat yang lebih aman. Teriakan dan suara langkah kaki bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang penuh kepanikan. Warga yang kebingungan berusaha memahami apa yang sedang terjadi, mengapa mereka harus meninggalkan rumah dengan tergesa, dan di mana para petugas kota yang biasanya menindas mereka kini tak tampak sama sekali.Franz, sang pemimpin pemberontak, berdiri di atap sebuah bangunan tiga lantai yang tak jauh dari pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat dengan jelas menara tengkorak yang menjulang tinggi, menjangkau langit dengan aura kelam yang mengerikan. Ia menggigit jarinya dengan gelisah, matanya menyipit, mencoba menilai seberapa besar ancaman yang mereka hadapi. “Jadi itu yang kau maksud, Mawar?” tanyanya tanpa menoleh.“Benar,” jawab Mawar pelan. Tatapannya menerawang, mengingat kembali sosok berjubah
Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras
Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari
Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern
Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma







