Share

Rembulan di Langit Kinanah
Rembulan di Langit Kinanah
Penulis: El-Nazeeya

Bagian 1

Gadis itu menatap layar ponselnya yang mulai redup. Dia masih termenung mengingat apa yang disampaikan Sarah—sang ibu yang dia panggil Umma—beberapa menit yang lalu melalui telpon. Seharusnya dia sudah bersiap pergi ke rumah pamannya sekitar satu jam yang lalu, tepatnya selepas waktu Zuhur. Namun, karena adanya panggilan dari sang Umma, membuat gadis 22 tahun itu harus menunda rencananya untuk beberapa saat.

"Maaf, Umma. Untuk saat ini, aku belum bisa memberikan jawaban," lirih gadis berkerudung hitam panjang itu dengan suara yang nyaris tak terdengar oleh siapa pun.

Seketika dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Dilihatnya seorang gadis berkerudung biru yang merupakan kawan satu flatnya tengah sibuk membuat adonan kue untuk dihidangkan bersama di malam nanti.

Zea tinggal di kawasan El-Gamaleya. Kawasan ini sengaja menjadi pilihannya, karena menurutnya sangat strategis dan dekat dengan kampus Al-Azhar. Berbeda dengan Nasr City, di sana merupakan salah satu tempat yang dihuni oleh mayoritas mahasiswa dan para pelajar asing yang datang merantau di Negeri Kinanah ini. Terutama pelajar yang berasal dari negara-negara Asia, tak terkecuali Indonesia.

Salah satu faktor lain yang membuatnya memilih El-Gamaleya sebagai tempat tinggalnya adalah karena sikap penduduk Mesir di kawasan ini cukup ramah dan senang terhadap mahasiswa yang berasal dari Indonesia.

Di flat ini, dia tinggal bersama dua kawannya. Keduanya adalah mahasiswi asal Indonesia; Noura dan Wafa. Yang satu berasal dari Medan, dan yang satu lagi berasal dari Minangkabau. Meskipun usia mereka tak sama namun mereka mampu menciptakan suasana rukun dalam 'keluarga kecil' mereka.

Noura menoleh. Tampaknya sedikit kaget dengan kehadirannya. "Mbak Zea, dari mana saja?"

Gadis yang memiliki nama lengkap Zea Mahia Farhana ini lebih akrab disapa Mbak Zea oleh kawan satu flatnya. Di antara mereka, Zea-lah yang lebih tua. Usianya dua tahun di atas Wafa dan satu tahun di atas Noura. Sekitar tiga bulan yang lalu, dia telah merampungkan program sarjananya di Universitas Al-Azhar. Sebenarnya, tak sedikit kampus-kampus swasta di Kairo memberikan peluang beasiswa kepadanya untuk melanjutkan program dirasat 'ulya (pascasarjana), namun hatinya belum tergerak untuk menerima tawaran tersebut. Dia memilih untuk melanjutkan risetnya guna merampungkan tulisan ilmiahnya.

"Habis ditelepon Umma." Dia mengambil kacamata hitamnya. "Ada yang bisa kubantu, Nour?" tanyanya dengan suara yang sedikit serak.

Mesir kala itu cuacanya begitu panas. Angin yang berembus dari jendela flat bukannya menyejukkan justru mengandung debu dan pasir yang menghasilkan hawa panas dan membuat dahaga muncul, bahkan terkadang membuat suara terdengar serak.

"Sedikit lagi kok, Mbak," sahutnya. "Mbak Zea jadi ke rumah Syeikh Omar?" Tangannya masih sibuk membuat adonan kue yang sejak tadi dia lakoni.

Zea mengangguk.

"Tapi sepertinya Mbak lagi nggak sehat, tuh suara Mbak serak begitu."

"Ini cuma serak biasa kok, Nour."

"Tidak usah berangkat saja, Mbak. Bisa ditunda besok. Perjalanan dari sini ke Nasr City 'kan lumayan jauh." Noura mencuci tangannya setelah selesai membuat adonan kue.

Zea tersenyum. "Kesempatanku cuma hari ini. Besok Paman Omar akan pergi ke Aswan. Lagipula aku nggak apa-apa kok."

Noura tidak menimpali. Jika sudah seperti itu jawaban Zea, tidak akan ada yang bisa menghalangi.

"Kamu nggak kuliah, Nour?"

Noura menggeleng. "Hari ini tidak ada jam perkuliahan, Mbak."

Zea mengangguk lalu berkata, "Oh ya, kalau Wafa sudah pulang, jangan lupa sampaikan salamku untuk membeli bahan-bahan sembako, ya. Persediaan di dapur sudah menipis, dan kebetulan hari ini dia yang piket."

"Baik, Mbak. Akan kusampaikan pada Wafa," sahut Noura seraya tersenyum.

Sejak tamat Aliyah, Zea memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Kairo dengan beasiswa yang dia dapatkan dari pesantren tempat di mana dia menimba ilmu selama di Indonesia. Empat tahun kurang tiga bulan sudah dia menimba ilmu di Mesir, melalangbuana memfilsafati Negeri Kinanah ini.

Dia tidak seorang diri di negeri ini, ada seorang pamannya yang merupakan sepupu dari Dzulfikar—sang ayah yang dia panggil Abi—yang memang menetap di Mesir. Nama lengkapnya adalah Mohammad Omar Saad, dia biasa menyapanya dengan panggilan Paman Omar. Pamannya adalah seorang masyaikh di Nasr City. Paman Omar dikenal tidak pernah menyembunyikan senyumnya ketika bertemu dengan siapa pun. Kini usianya sudah masuk kepala lima. Tiga puluh dua tahun yang lalu, Paman Omar pun merupakan seorang pendatang di Negeri Kinanah ini, dan menimba ilmu di dalamnya. Hingga akhirnya, takdir mempertemukan dirinya dengan seorang gadis Jerman yang merupakan Mahasiswi Universitas Al-Azhar dan keduanya memilih untuk menetap di Mesir. Dari pernikahannya dengan gadis Jerman tersebut, dia dikaruniai seorang putra yang kini berusia 26 tahun.

Zea melangkah menuju pintu keluar.

"Nour, jangan lupa pesanku tadi." Dia kembali mengingatkan Noura sebelum keluar dari flat.

"Insyaa Allah, Mbak."

Wusss!

Angin berembus berseok-seok meniup ujung kerudung panjangnya ketika dia membuka pintu flat. Awal-awal Agustus memang puncak musim panas. Di Kairo, musim panas biasanya panjang, panas, lembab, kering, dan cerah. Sedangkan, musim dingin biasanya dingin, kering, dan umumnya cerah.

Sepanjang tahun, suhu biasanya bervariasi dari 10°C hingga 40°C.

Zea sengaja memilih metro sebagai sarana transportasi menuju rumah Paman Omar di Nasr City. Karena jika dia menumpangi microbus di Mahattah Salam Alexandria, dia akan transit di Jalan Yousef Abbas dan turun di Jalan Al-Tayaran. Sedangkan dengan metro, dia cukup berjalan kaki dari flat menuju Mahattah Bab El-Sharia dan turun di Jalan Al-Tayaran.

Sangat disayangkan, ketika dia masuk ke dalamnya, kondisi metro sudah begitu ramai. Terlihat jumlah penumpang dengan wajah khas Arab yang jumlahnya tidak sedikit, beberapa di antaranya juga ada wajah-wajah Asia. Sebagian dari mereka mendapatkan kursi, namun sebagian lagi berdiri karena tidak mendapatkan kursi. Sama sepertinya yang kini tengah berdiri dalam metro.

Sepanjang perjalanan, Zea banyak mendengar percakapan antar sesama orang Mesir. Cara mereka bercakap memang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Secara umum, watak orang Mesir adalah keras. Mungkin hal ini dipicu juga dengan lingkungannya yang memang beriklim keras. Bentak-membentak sudah menjadi kebiasaan masyarakatnya, bahkan dalam bicara sehari-hari pun tak jarang nada yang digunakan sangatlah tinggi. Maka bukan lagi hal yang aneh baginya jika teriakan keras sering terdengar di bumi Mesir ini. Terlebih ketika sedang marah. Tetapi jangan salah, jika sudah dekat, orang-orang Mesir ini perlakuannya sangatlah lembut bagaikan malaikat.

"Law samahti, enti min Shin? (Permisi, kamu orang China?)"

Beberapa saat berlalu, terdengar seorang wanita yang usianya kisaran 50 tahun menyapanya. Zea menengok dan kemudian menggeleng.

"La. Ana Andunesyiyah. (Bukan. Saya orang Indonesia)."

Dari paras wajahnya, sudah bisa ditebak bahwa wanita itu adalah orang Mesir. Sudah menjadi hal yang biasa memang, bahwasanya orang Mesir sepertinya sulit membedakan orang-orang Asia Tenggara dengan orang China.

Zea memperhatikannya sesaat. Wanita itu tampak sedang menahan beban tubuhnya. Kakinya seakan sudah tak sanggup lagi untuk berdiri lebih lama.

Tak lama wanita itu kembali berkata dengan bahasa Arab 'amiyah Mesir, "Tanyakan pada pemuda Jerman di sampingmu, bolehkah aku duduk di tempatnya? Kakiku sudah nggak kuat lagi untuk berdiri lebih lama."

Tentu saja Zea tak tega melihatnya. Beberapa pemuda Mesir yang duduk di dekat wanita itu terlihat acuh, padahal bisa saja mereka mempersilakan wanita itu untuk duduk.

Akhirnya, dia mencoba menyampaikan pesan itu kepada pria yang sepertinya adalah turis dari Jerman.

"Verzeihung (Permisi). Apakah boleh saya meminta tempat duduk Anda untuk ibu ini?"

Dengan kosakata bahasa Jerman yang terbatas, dia mencoba memulai percakapan dengan pria itu. Pria itu menengok dan menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Ja. Natürlich. (Ya. Tentu saja)," ucap pria itu seraya bangkit dari duduknya dan mempersilakan wanita Mesir paruh baya tadi untuk menempati tempat duduknya.

"Vielen Dank! (Terima kasih banyak!)" Zea mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada pria yang kini berdiri tepat di depannya, dan kemudian disusul dengan ucapan terima kasih dari wanita Mesir tadi.

"Bitte sehr. (Kembali kasih)." Pria itu mengarahkan pandangannya ke samping agar suaranya dapat terjangkau oleh Zea.

"Kamu mahasiswi Al-Azhar?"

Pria itu mengajukan sebuah pertanyaan kepada Zea dengan gaya bicara yang tidak lagi seformal sebelumnya.

Zea mengernyitkan dahi. "Kamu paham bahasa Indonesia?"

"Mengapa pertanyaanku dibalas dengan sebuah pertanyaan lagi?" Kedua alis hitam kecokelatan milik pria itu nampak mengkerut.

"Jawablah," sambungnya.

"Entschuldigung (Maaf). Betul, aku mahasiswi Al-Azhar. Tapi sekarang sudah menjadi alumni." Zea menahan tubuhnya karena goncangan kecil yang berasal dari metro.

"Alumni?" tanyanya penuh selidik.

Zea mengangguk.

Pria itu tersenyum. "Untuk pertanyaanmu tadi akan kujawab. Betul, aku paham bahasa Indonesia. Aku separuh Indonesia."

"Pantas kamu paham bahasa Indonesia."

"Memangnya dari parasku, terlihat seperti bukan orang Indonesia?"

Zea mengangguk pelan. "Kukira kamu orang Jerman tulen."

Ujung bibir pria itu nampak sedikit terangkat mendengar pernyataan Zea.

Metro sangat bising, terlebih suara yang dihasilkan oleh mesinnya. Kini Zea mengalihkan pandangan dengan lepas ke jendela metro, matanya menerobos memandang setiap inchi jalanan Kairo yang dipenuhi bangunan-bangunan rumah dan pepohonan. Tanpa dia sadari pria itu tersenyum kecil ke arahnya.

Metro berhenti di Jalan Al-Tayaran. Beberapa penumpang mulai turun dari dalamnya, termasuk Zea.

"Hey, was ist dein name? (Hei, siapa namamu?)"

Ketika kaki Zea sudah sepenuhnya menuruni metro, pria yang sempat dia kira orang Jerman tadi memanggilnya dengan setengah berteriak. Dia menengok dan berusaha mencari wujud pria tersebut, namun banyaknya penumpang yang keluar masuk metro membuatnya kesulitan untuk menemukan wujud pria tadi.

"Mein name ist Zea! (Nama saya Zea!)" jawabnya yang juga setengah teriak, tanpa tahu apakah pria tadi mendengarnya atau tidak. Dia mengangkat bahunya seraya menghela nafas dan kemudian kembali meneruskan langkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status