Part 6 Entahlah
Dua hari telah berlalu, bertepatan dengan hari minggu ini, Lina datang ke rumah menantunya pagi-pagi sekali. Seperti biasa Angga menghabiskan waktunya di kolam renang, sedangkan Feesa berkutat dengan beberapa pekerjaan rumah."Mereka masih saja menjaga jarak. Baiklah, aku sudah lelah menasehati Angga. Kini giliran kiat jitu pesona wanita yang bermain cantik dan manis-manis manja. Aku akan pensiun menjadi wanita cantik jika tidak bisa menularkan ilmu pengait suami kepada menantu kesayanganku." Lina tersenyum tipis, sejuta rencana licik yang dia susun sempurna telah dia mulai. Dia harus bisa memberi pelajaran kepada anak semata wayangnya yang sok jual mahal itu.
"Feesa, kamu ingat rencana kita kemarin, bukan?" ucap Lina saat menemui menantunya menjemur pakaian. Lina sebenarnya kasihan melihat perlakuan Angga terhadap istrinya sendiri, sudah berulang kali menasehati bahkan sampai marah-marah, tak kunjung juga berubah. Saatnya bermain cantik.
"Tapi Ma! Mana bisa aku berbuat seperti itu, yang ada malah aku diusir langsung dari rumah." Feesa menunduk takut, malu dan juga pesimis. Terlebih Feesa sepertinya kurang setuju dengan rencana mertuanya yang menurutnya mustahil untuk dia lakukan.
"Ayo dong sayang, katanya cinta, harus berjuang dong." Lina tersenyum menyemangati menantunya. "Aduh! Cepetan dong bersiap sana. Lagian heran deh Mama, kamu itu punya suami mapan kaya raya, kenapa tidak minta seorang asisten untuk mengerjakan ini semua." Omel Lina mendorong Feesa agar cepat masuk."Gini, kamu bersiap dan bawa semua belanjaan kita, juga baju-baju dari temanmu itu, lalu Mama akan bicara sama Angga, dan setelah siap kita pergi. Mama akan buat rencana agar Angga menemui dirimu disana oke." Ucap Lina tanpa bisa dibantah. Feesa hanya menurut saja.
"Kita jadi ke apartemen Bunda ya?"
"Iya, atau kita bisa menyewa kamar hotel terdekat. Bagaimana?" Feesa berpikir sejenak, kemudian berkata "Kita ke apartemen saja Ma, Feesa juga rindu tempat itu." Akhirnya setelah sekian lama, dia akan mengunjungi rumah masa kecilnya dulu.
"Baiklah, kau bersiap, dan Mama akan menyuruh Angga untuk datang ke sana nanti. Ingat semua ilmu yang mama ajarkan. Jika sampai kau membuat kesalahan, maka mama tidak akan segan-segan memberikan hukuman kepadamu," nadanya marah, tapi bibirnya mencium dahi Feesa dengan begitu lembut.
Lina mendatangi kolam renang dimana Angga berada. "Anak mama lagi ngapain ya?"
"Ma!" Kesal Angga yang disapa layaknya anak kecil.
"Tapi mama pikir-pikir kamu inj memang masih kayak anak kecil deh, masak sampai sekarang istrinya masih saja dianggurin."
"Maaaa! Udah ah capek, Angga mau bersiap, ada janji sama teman di blok M." Mendengar hal itu mata Lina berbinar. Sepertinya Tuhan berpihak kepadanya kali ini.
"Boleh mama nitip sesuatu?"
"Paan?" Malas sebenarnya meladeni mamanya.
"Ah, kalau nggak mau ya sudah. Padahal mama kan hanya ingin minta bantuan kecil saja kepada anak Mama. Mungkin inilah nasib jika hanya punya satu anak," sepertinya drama ini akan berhasil. Angga memutar tubuhnya kembali.
"Mama mau nitip apa?" Lina segera mengambil sebuah benda kotak di dalam tas jinjing miliknya.
"Ini, tolong, kamu kasihkan sama seseorang yang tinggal di apartemen Berlian. Dan jangan lupa untuk meminta barang titipan mama juga ya!" Angga mengernyit heran.
"Maksudnya tukeran barang gitu?" Lina mengangguk antusias.
"Tolong ya Nak! Please. Anak ganteng, sekalian mama minta izin sama kamu untuk membawa Feesa jalan-jalan ya. Kamu kan tidak pernah ajak dia jalan berdua. Beruntung sekali, dia istri yang shalihah, penurut dan baik hati. Kalau kayak yang diluaran sana ih, sudah pasti mereka akan memaki suaminya dan paling banter minta di ceraikan," ucap Lina.
"Mulai lagi deh Mama! Malah bagus tuh kalau minta cerai!" Angga sangat enggan jika harus membahas wanita yang dia anggap pembawa sial.
"Bagus ya! Emmh bagus memang. Itu berarti ...!" Melirik reaksi Angga sebelum meneruskan ceritanya. "Feesa jadi janda kaya dan masih muda, belum punya anak lagi, siapa seh yang nggak bakalan tertarik. Sedangkan kamu ... Iuuu duda muda seh, tapi kere," memperagakan gaya merendahkan menggunakan jarinya. Angga mengeraskan rahangnya, Lina tersenyum puas.
"Oke deh, aku pergi, semoga saja ada yang suka sama Feesa, jadi jika suatu hari nanti kamu kekeh tidak mau membuka hati untuknya, dia sudah ada yang mau. Mama doain kamu bakal nangis tujuh hari tujuh malam."
"Ma!" Lina tidak lagi menggubris panggilan anaknya sendiri. Pergi sambil terkikik gemas. Siapa yang lebih tahu sifat anaknya selain daripada ibunya. Angga adalah sosok yang tidak akan membiarkan siapapun mengambil sesuatu yang dia klaim sebagai miliknya.
"Tidak akan aku biarkan satu orangpun bisa merebut milikku." Geram Angga dengan tangan terkepal.
"Sudah siap semuanya?" Saat Lina sudah berada di samping mobil bersama Feesa.
"Sudah Ma!"
"Kita segera pergi, sebab mungkin Angga akan pergi ke sana setelah mandi terlebih dahulu. Jadi kita masih ada waktu untuk mempersiapkan semuanya," Lina segera masuk mobil di samping kemudi. Dengan langkah gontai Feesa pun akhirnya duduk di bangku kemudi.
"Jangan dipikirkan, ingat saja tujuan utamamu apa. Itu semua demi masa depan kalian. Mama mau lihat, bagaimana reaksi suami sok jual mahalmu itu." geram Lina.
"Mama ini ya, kenapa seperti dendam sekali sama Mas Angga! Dia itu anak kandung Mama lho." Feesa menjalankan mobilnya perlahan.
"Bawa mobilnya lebih kenceng. Kita akan buat sesuatu yang spektakuler. Harus segara sampai. Feesa, nanti kamu harus peragakan semua hal yang Mama ajarkan kemarin. Ingat! Buatlah suamimu bertekuk lutut di hadapanmu. Mama merasa gagal mendidik dirinya dalam menghargai seorang wanita."
"Yang sabar ya Ma!" Feesa menoleh ke arah Lina.
"Itu yang Mama pelajari darimu sayang, mama begitu terkesan dengan kesabaran dan keuletan dirimu dalam mengahadapi Angga."
"Tapi Ma! Apakah Mas Angga memang tidak pernah sekalipun memiliki seorang kekasih?" Pertanyaan yang membuat Lina cukup bingung untuk mengungkapkannya.
"Itulah yang mama sendiri tidak pernah habis fikir."
"Maksud mama apa?"
"Mama takut jika Angga tidak akan pernah lagi berhubungan dengan perempuan akibat kejadian masa lalu," ucap Lina yang membuat Feesa penasaran akan kehidupan Angga.
"Memangnya, apa yang terjadi pada masa lalu Mas Angga, Ma?" Sesekali wajah Feesa menoleh ke arah mama mertuanya.
"Aku akan menceritakan kejadian itu setelah kita sampai, nah kan, sudah kelihatan tempatnya. Buruan kita masuk dan mempersiapkan segala sesuatunya." Feesa memutar stir ke kanan dan mencari tempat parkir yang sedikit jauh.
"Ayo, mama bantu bawa barang-barangnya."
"Biar Feesa saja Ma, lagian juga masih muat kok tangannya." tolak Feesa.
"Diam! Kita harus cepat sebelum anak bandel itu datang, kita buat dia bertekuk lutut dihadapanmu."
To be continued"Angga, dimana Feesa? Kenapa sejak tadi mama hubungi tidak juga dijawab? Apakah dia sama kamu?" Selalu saja yang ditanyakan adalah menantu kesayangan itu. Posisiku tergeser sejak kedatangan perempuan bernama Feesa. Aku hanya menjawab"Ya" "Ajak dia makan malam di rumah ya. Besok kita berangkat sama-sama ke pesantren." "Ya!" jawabku lagi. Sambil terus mengawasi Feesa tengah asyik bersama seorang pria. Tunggu, aku seperti mengenal postur tubuh itu, siapa ya. Lihatlah bagaimana cara mereka berbincang gestur tubuh mereka bergetar pasti obrolan yang menyenangkan. Aku ngedumel sendiri. Sambil mendengarkan celotehan mama yang semakin membuatku panas dalam. Beruntung mama menyudahi panggilan. Tunggu! Feesa juga sudah menghilang dari sana. Kemana dia?"Lagi cari siapa, Mas?"Nyawaku hampir saja hilang dari raga. Dia tiba-tiba muncul di belakangku seperti hantu. Aku pun bertanya sejak kapan dia di sana. Lihatlah wajah polos tak bersalah itu. Dia masih saja bawa kresek. Apa itu makanan untu
"Kemana perginya mereka?" gumam Angga menelusuri lorong rumah sakit hingga sampai bagian depan. Melewati resepsionis begitu saja setelah mengedarkan pandangan. Tidak ada tanda apapun yang menunjukkan bahwa orang dicarinya berada di sana. Angga membawa langkah kakinya menuju parkiran. Sebuah kendaraan berwarna merah menyakinkan hatinya bahwa yang dicari masih berada di area rumah sakit.Rumah sakit ini terdiri dari tiga bagian. Pertama paling selatan adalah ruang IGD, ruang pendaftaran juga beberapa ruang pemeriksaan yang tiap ruangnya di tempati oleh dokter spesialis di bidangnya. Bagian tengah adalah apotik dan laboratorium. Sedangkan bagian Utara sedikit menjorok lebih jauh. Sekitar seratus meter dari jalan raya adalah kamar-kamar pasien rawat jalan. Kini Angga mencari ke arah berlawanan. Menuju masjid. Bangunannya berada tepat di samping rumah sakit. Melewati halaman yang lebih luas daripada halaman sebelumnya. Entah kenapa hatinya tiba-tiba menghangat kala melihat senyum menawan
Author POV "Tolong teman saya, Sus! Dia mengalami kecelakaan!" Seorang pria berseragam putih begitu sigap mengambil bangsal darurat. Bersama Angga dia memindahkan Raga. Setelahnya hanya kesibukan para perawat yang saling berkejaran dengan waktu."Kau harus kuat, Ga!" kata Angga berulang kali dalam kecemasan. Tidak peduli apakah didengar Raga ataupun tidak. Biar bagaimanapun mereka pernah melewati hari yang menggembirakan bersama. Angga mengingat momen yang pernah mereka lewati dengan suka dan duka. Mereka pernah sangat akur hingga mengerti kepribadian satu sama lain."Bagaimana kau akan bersaing denganku jika belum bertarung saja kau sudah kalah?" Tertawa sumbang. Segera dia hapus air mata yang hampir saja jatuh. Gengsi jika Raga melihatnya. Ruang UGD telah dibuka seluruhnya. Anggga menghentikan seseorang berpakaian biru petang lengkap dengan penutup kepala. Kebiasaan di rumah sakit sana jika beberapa dokter ahli bedah mengenakan pakaian itu."Dokter! Selamatkan teman saya. Lakuka
"Kamu baru datang dan ingin pergi lagi?" tanya Nana sambil bergelayut manja di lenganku. "Mau bagaimana lagi, Sayang. Pekerjaan ini juga sangat penting." Aku beberapa kali mendapat telepon dari ayah mertua. Meski aku tidak terlalu akur dengan anaknya, tapi aku juga masih punya akhlak untuk tetap hormat padanya. Lagipula, entah apa yang yang terjadi, kali ini aku tidak ada keinginan untuk berlama-lama bersama Nana. Di pikiranku selalu ada Feesa. Ada rasa bersalah dan juga rasa yang aku sendiri tidak mengerti. Selain hal itu, aku harus memastikan bahwa Feesa benar-benar ada di rumah atau tidak. Ku akui keduanya memiliki paras yang sama-sama cantik. Hanya saja, Nana suka dandan dengan make up tebal. Dan Feesa...ah, kenapa juga aku mengingat dirinya. Kecurigaan ini pun semakin membuatku dirundung rasa penasaran yang dalam. Aku bahagia bersama Nana. Tapi, untuk kali ini kenapa aku merasa bersama Feesa? Sungguh perasaan yang membuatku dilema. Apakah karena rasa bersalah membuatku terus
POV Angga. Sungguh lelah rasa batin ini menunggu pertemuan yang menurutku sangatlah lama. Membuang waktu saja. Tuan Gibran Candra bahkan sangat arogan hingga meninggalkan meeting di tengah jalan. Tuan Gibran lebih memilih break ketika suara adzan berkumandang. Mau tidak mau aku ikut juga dengannya ke musholla yang berada di lantai bawah. "Aku senang bisa bekerjasama dengan orang yang selalu mengingat Tuhannya." Ucap Tuan Gibran yang aku sangkakan bahwa perkataannya hanya untuk memuji tentang adanya musholla di antara gedung perkantoran ini. Dan mungkin saja dia berpikir jika atasan dari gedung ini, yaitu diriku, pastilah ahli ibadah.Padahal, musholla itu sudah ada sebelum aku yang menjabat sebagai Presdir. Tentu saja papa lah yang mengatur semuanya atau bisa jadi malahan kakek."Saya bukanlah ahli ibadah seperti yang Tuan kira!" jawabku sambil tersenyum. Aku melihat wajah teduh Tuan Gibran yang nampak bercahaya dalam basuhan air wudhu. Umur dan wajahnya sangatlah tidak sinkron. Bel
Ingat Istri Angga POV "Bos, pagi ini kita akan kedatangan klien penting dari PT Pesona Maya. Dan kabar baiknya adalah. Tuan Gibran Candra yang akan meeting dengan kita nanti siang" Viki dan Viona menjemput pagiku dengan wajah sangat sumringah. Berbeda denganku yang sebenarnya sangatlah tidak ada mood. Nana telah menghilang entah kemana. Sejak pertemuan kita di minggu terakhir yang lalu, dia sama sekali tidak ada kabar lagi. Dan istriku Feesa. Kenapa aku baru menyadari bahwa dia memiliki wajah yang mirip dengan Nana? Aku mencoba beberapa kali menghubungi Nana. Nihil. Bahkan pesanku pun tidak kunjung dia balas. "Bos, bagaimana? Apa tidak sebaiknya kita bersiap mulai sekarang? Aku banyak mendengar jika Tuan Gibran sangat sulit untuk didekati. Tapi kali ini, beliu sendiri yang berkenan hadir menemui kita. Ini adalah suatu keberuntungan." "Itu benar, Bos. Tuan Murad yang menelepon beberapa menit yang lalu. Beliau mengatakan jika Tuan Gibran akan datang secara langsung guna membica