Share

Penyamaran

Aвтор: Nafi Thook
last update Последнее обновление: 2021-09-29 19:19:50

Part 7 penyamaran

Feesa POV

Selama kurang lebih dua puluh menit dihabiskan oleh ibu mertuaku untuk merias penampilan diriku. Aku memuji kelincahan tangannya yang menari-nari lincah bagaikan perias handal. 

"Gini-gini mama juga pernah ikut lomba rias pengantin lho. Lumayan juara dua, saat itu dapat uang lima ratus ribu. Mama senengnya bukan main." ucap Mama sambil merapikan rambutku. "Nah selesai, perfect. Dia tidak akan mengenali siapa kamu sebenarnya," ucap Mama dengan antusias. Aku mematut diri di cermin, aku bahkan tidak bisa mengenali wajahku sendiri. Sungguh luar biasa mama mertuaku ini. "Sebenarnya, pada dasarnya kamu ini sudah cantik, tinggal poles dikit pada bibir dan mata saja sudah terlihat luar biasa." 

"Mama bisa saja deh!" Aku tersipu malu

"Ma, tapi kenapa bajunya gini amat?" Aku merasa risih, sebab hanya mengunakan celana pendek yang biasa disebut hotpants rawis dengan tank top bertali spaghetti, yang menutup aset milikku hanya separuh.

"Hai, jangan membantah! Tidak apa-apa, anggap saja sedang mencari pahala dengan menyenangkan hati suami sendiri, lihatlah, kamu sangat cantik. Angga pasti tidak akan berpaling dari kamu. Kita lihat saja nanti."

"Tapi Ma!" Aku sungguh bahagia saat mama mengatakan hal itu, tidak ada salahnya mencoba hal yang baru untuk suami sendiri. Masalahnya adalah, aku harus menyamar agar bisa lebih dekat dengan suamiku sendiri. Itu hal tersulit yang belum pernah aku lakukan. Kenapa aku harus menjadi orang lain agar dilihat oleh suamiku sendiri? Miris bukan?

"Jangan tegang, rileks saja, Oke! Tarik nafas, hembuskan, jangan lupa untuk memakai high heels kamu. Ini pelajaran untuk menjerat suami agar takluk di genggaman tangan kita. Kalau kamu belajar dari Umimu itu, pasti hanya nasehat saja. Jadi kali ini, kamu harus praktek langsung. Ingat, buat nama samaran yang bagus. Mama belum sempat siapkan untuk yang itu." Mama buru-buru keluar setelah memeriksa arloji di tangannya. 

Aku kembali menatap pantulan tubuhku di cermin, mirip seperti artis Korea, atau mungkin lebih seksi. Ah! Pedenya aku. Entah kenapa sampai sekarang Mas Angga tidak pernah tertarik kepadaku? Apakah karena dia tidak pernah melihat ini? Tentu sajalah. Mas Angga selalu saja marah saat aku mencoba mendekatinya, jadi bagaimana caraku memperlihatkan ini semua? Ah! Memikirkan hal itu saja membuatku sesak. Untung cinta. Tapi, bukankah di kantor Mas Angga sedang ... Kugetok kepalaku sendiri sambil menyebut nama Allah, berharap pikiran buruk itu segara hilang. Tapi, apakah  perkataan mama itu benar? Mas Angga alergi perempuan setelah pertengkaran hebat dengan temannya waktu itu?

Jika iya, kasihan sekali Mas Angga! Atau mungkin Mas Angga memang mencintai perempuan sepenuh hati, sehingga tidak ada lagi tempat untuk perempuan lain? Di saat seperti ini, pikiranku selalu berkecamuk. Ada banyak pertanyaan tentang kehidupan Mas Angga yang sulit sekali aku temukan jawabannya. 

"Angga adalah sosok yang ceria cerdas, juga pintar dan juga mudah untuk bergaul. Semua teman-temannya mendekati Angga karena dia anak orang kaya. Mereka selalu mengambil keuntungan dari kebaikan Angga. Hingga suatu saat, dia mendapatkan seorang teman saat kami baru pulang dari liburan keluarga. Seorang anak yang tengah dibully oleh beberapa anak lainnya. Angga datang membantu dan mengulurkan tangannya. Anak itupun menyambutnya. Ternyata dia anak dari tetangga kami," kata Mama sambil menyisir rambutku.

Seorang anak yang begitu tulus dan berjiwa besar. Tidak pernah sekalipun mengambil keuntungan dari Angga, keduanya sama-sama berbagi dalam suka maupun duka, mereka selalu bersama-sama, sejak SMP. Hingga mereka dewasa dan kuliah di tempat yang sama."

"Tapi, sejak saat pertengkaran itu terjadi ... Angga berubah menjadi pria yang dingin dan tidak tersentuh. Terlebih lagi kepada seorang wanita." 

"Kenapa bisa seperti itu Ma?" tanyaku.

"Entahlah, tapi menurut rektor kampusnya, mereka bertengkar karena masalah perempuan." 

Aku menahan diri agar tidak bertanya lebih jauh lagi. Takut akan sebuah kenyataan yang mungkin saja bisa membuatku terluka lebih dalam. Aku takut jika Mas Angga bertengkar, sebab ingin mempertahankan perempuan itu, lalu masih menyimpan perasaan yang sama sampai saat ini. 

Tok tok 

Lamunanku buyar seketika. Itu pasti Mas Angga yang datang. Aku melihat kembali wajahku di cermin, menelisik penampilanku kembali. Aku merasa telah belajar menjadi tidak waras karena cinta. Mengapa aku merasa menjadi seorang pelakor sekarang? Ah, tau ah, menjadi pelakor di rumah tangga milik sendiri, lucu sekali.

Kulangkahkan kaki menuju pintu, mengembuskan nafas dalam-dalam kemudian membukakan pintu untuk suamiku tercinta. Harus bisa. Ucapku dalam hati. Pertama kali kami bertatapan dalam jarak yang begitu dekat. Lesung di pipi yang pertama kalinya suamiku berikan untukku. Jantungku terpompa begitu dahsyat, hingga membuat kesadaran ku hilang. Untung saja aku bisa segera menguasai diri. 

"Ah, ada perlu apa ya?" Dia terpesona kah? Matanya tajam menembus pertahanan ku. Bola mataku seketika mengawasi adakah yang melihat kami, bukan takut ketahuan, tapi lebih takut ketika orang lain melihat auratku. Aku tarik Mas Angga dengan lembut dan segara aku tutup pintunya. 

"Kau pasti anaknya Nyonya Lina kan? Kau sangat tampan." Aku mengusap rahangnya dengan jari telunjuk dan bicara dengan cara yang seksi. 

"Kau mau menggodaku?" Aura dingin begitu dahsyat hingga darahku rasanya membeku. Jangan lupakan matanya yang seakan menelanjangi diriku, aku akan melakukan apapun agar bisa menjerat suamiku dalam kata cinta. Aku tidak berdosa, walau dengan cara yang salah. Setidaknya usahaku untuk menghindarkan dirinya dari perbuatan Zina. Seperti yang dia lakukan di kantor waktu itu. Owh, Feesa fokuslah, rayu suamimu. 

"Tidak! Ah! Atau mungkin iya" aku membuat senyum semanis mungkin. Lalu,  kini melakukan apa yang biasa wanita nakal lakukan "Tapi, sebenarnya aku sangat tertarik kepadamu. Bisakah kita duduk dan bicara dari hati ke hati? Aku merasa sangat kesepian." Kurebahkan kepalaku di pundaknya, kemudian mengelus lembut dada bidangnya, sepertinya jantungnya bertalu-talu. Yes, aku berhasil. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit aku pahami. Ah, imutnya wajah tampan suamiku. Sadarlah Feesa, kau sedang menjalankan peran sekarang.

"Maaf! Tapi aku pria yang sudah beristri!" Mas Angga segera mencekal tanganku agar tidak berbuat lebih. 

Duarrrr

Aku terkejut dan juga bahagia, bukankah baru saja dia mengakui hubungan pernikahan kami? Ah! Aku ingin memeluknya jika begini. Tanpa terasa menetes air mataku. 

"Kau menangis?" Dia menyentuh pundakku, darahku berdesir saat sentuhan lembut itu mengelus kulitku. Bahkan tatapannya berbeda dari biasanya. Aku tersadar dan kemudian ingat akan tujuan utamaku. 

"Maaf! Aku terharu. Beruntungnya istrimu yang  memiliki suami seperti dirimu. Kau pasti  sangat menyayangi dia kan?" anehnya, Angga segera menarik tangannya dan menimbulkan kekecewaan di hatiku. Kamu harus bermain cantik Feesa. 

"Maaf!" dia tampak kikuk. "Ini! Mamaku menitipkan kotak ini agar diberikan kepadamu." Dengan tersenyum semanis mungkin, aku menerima kotak itu. 

"Terima kasih!" Kuambil benda itu dari tangannya. Tangan kami saling bersentuhan, seiring netra kami yang saling bertemu, wajah tampan suamiku semakin mempesona. Mungkin dia termasuk keturunan Nabi Yusuf, ah otakku ini, sadarlah! Tapi bagaimana lagi, aku baper. "Maaf! Kau terlalu tampan, hingga membuatku tidak berdaya!" tanpa sadar aku melaknat mulutku sendiri. Owh tidak! Dia malah tertawa dengan gaya yang begitu keren.

"Selalu tersenyumlah seperti ini, kau semakin tampan karenanya." Lagi-lagi  aku tidak bisa menjaga mulutku sendiri. 

"Hahaha! Kamu sungguh lucu dan menggemaskan," dia malah mencubit hidungku hingga rasanya ngilu. 

"Ih, main cubit saja, sakit tahu!" Aku cemberut karenanya, dan dia malah semakin terkekeh. Andai kamu bisa seperti ini kepadaku di rumah kita Mas. Tanpa sadar aku mulai membedakan dua keadaan yang berbeda ini. Eh, tunggu, berarti sejauh ini, Mas Angga tidak mengenaliku dong! Syukurlah! Beginilah nasib jadi istri yang tidak dianggap, suami sendiri tidak sadar akan perubahan penampilan istrinya. Miris!

 "Ayo dong duduk. Dari tadi berdiri terus," sebisa mungkin aku berusaha agar bisa menguasai diriku sendiri. Dia penurut sekali, owh manisnya, andai setiap  hari dia begini. 

To be continued

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rembulan yang Terluka   Angga penasaran

    "Angga, dimana Feesa? Kenapa sejak tadi mama hubungi tidak juga dijawab? Apakah dia sama kamu?" Selalu saja yang ditanyakan adalah menantu kesayangan itu. Posisiku tergeser sejak kedatangan perempuan bernama Feesa. Aku hanya menjawab"Ya" "Ajak dia makan malam di rumah ya. Besok kita berangkat sama-sama ke pesantren." "Ya!" jawabku lagi. Sambil terus mengawasi Feesa tengah asyik bersama seorang pria. Tunggu, aku seperti mengenal postur tubuh itu, siapa ya. Lihatlah bagaimana cara mereka berbincang gestur tubuh mereka bergetar pasti obrolan yang menyenangkan. Aku ngedumel sendiri. Sambil mendengarkan celotehan mama yang semakin membuatku panas dalam. Beruntung mama menyudahi panggilan. Tunggu! Feesa juga sudah menghilang dari sana. Kemana dia?"Lagi cari siapa, Mas?"Nyawaku hampir saja hilang dari raga. Dia tiba-tiba muncul di belakangku seperti hantu. Aku pun bertanya sejak kapan dia di sana. Lihatlah wajah polos tak bersalah itu. Dia masih saja bawa kresek. Apa itu makanan untu

  • Rembulan yang Terluka   Kemana dia

    "Kemana perginya mereka?" gumam Angga menelusuri lorong rumah sakit hingga sampai bagian depan. Melewati resepsionis begitu saja setelah mengedarkan pandangan. Tidak ada tanda apapun yang menunjukkan bahwa orang dicarinya berada di sana. Angga membawa langkah kakinya menuju parkiran. Sebuah kendaraan berwarna merah menyakinkan hatinya bahwa yang dicari masih berada di area rumah sakit.Rumah sakit ini terdiri dari tiga bagian. Pertama paling selatan adalah ruang IGD, ruang pendaftaran juga beberapa ruang pemeriksaan yang tiap ruangnya di tempati oleh dokter spesialis di bidangnya. Bagian tengah adalah apotik dan laboratorium. Sedangkan bagian Utara sedikit menjorok lebih jauh. Sekitar seratus meter dari jalan raya adalah kamar-kamar pasien rawat jalan. Kini Angga mencari ke arah berlawanan. Menuju masjid. Bangunannya berada tepat di samping rumah sakit. Melewati halaman yang lebih luas daripada halaman sebelumnya. Entah kenapa hatinya tiba-tiba menghangat kala melihat senyum menawan

  • Rembulan yang Terluka   Benarkah ini

    Author POV "Tolong teman saya, Sus! Dia mengalami kecelakaan!" Seorang pria berseragam putih begitu sigap mengambil bangsal darurat. Bersama Angga dia memindahkan Raga. Setelahnya hanya kesibukan para perawat yang saling berkejaran dengan waktu."Kau harus kuat, Ga!" kata Angga berulang kali dalam kecemasan. Tidak peduli apakah didengar Raga ataupun tidak. Biar bagaimanapun mereka pernah melewati hari yang menggembirakan bersama. Angga mengingat momen yang pernah mereka lewati dengan suka dan duka. Mereka pernah sangat akur hingga mengerti kepribadian satu sama lain."Bagaimana kau akan bersaing denganku jika belum bertarung saja kau sudah kalah?" Tertawa sumbang. Segera dia hapus air mata yang hampir saja jatuh. Gengsi jika Raga melihatnya. Ruang UGD telah dibuka seluruhnya. Anggga menghentikan seseorang berpakaian biru petang lengkap dengan penutup kepala. Kebiasaan di rumah sakit sana jika beberapa dokter ahli bedah mengenakan pakaian itu."Dokter! Selamatkan teman saya. Lakuka

  • Rembulan yang Terluka   Kecelakaan

    "Kamu baru datang dan ingin pergi lagi?" tanya Nana sambil bergelayut manja di lenganku. "Mau bagaimana lagi, Sayang. Pekerjaan ini juga sangat penting." Aku beberapa kali mendapat telepon dari ayah mertua. Meski aku tidak terlalu akur dengan anaknya, tapi aku juga masih punya akhlak untuk tetap hormat padanya. Lagipula, entah apa yang yang terjadi, kali ini aku tidak ada keinginan untuk berlama-lama bersama Nana. Di pikiranku selalu ada Feesa. Ada rasa bersalah dan juga rasa yang aku sendiri tidak mengerti. Selain hal itu, aku harus memastikan bahwa Feesa benar-benar ada di rumah atau tidak. Ku akui keduanya memiliki paras yang sama-sama cantik. Hanya saja, Nana suka dandan dengan make up tebal. Dan Feesa...ah, kenapa juga aku mengingat dirinya. Kecurigaan ini pun semakin membuatku dirundung rasa penasaran yang dalam. Aku bahagia bersama Nana. Tapi, untuk kali ini kenapa aku merasa bersama Feesa? Sungguh perasaan yang membuatku dilema. Apakah karena rasa bersalah membuatku terus

  • Rembulan yang Terluka   Apa?

    POV Angga. Sungguh lelah rasa batin ini menunggu pertemuan yang menurutku sangatlah lama. Membuang waktu saja. Tuan Gibran Candra bahkan sangat arogan hingga meninggalkan meeting di tengah jalan. Tuan Gibran lebih memilih break ketika suara adzan berkumandang. Mau tidak mau aku ikut juga dengannya ke musholla yang berada di lantai bawah. "Aku senang bisa bekerjasama dengan orang yang selalu mengingat Tuhannya." Ucap Tuan Gibran yang aku sangkakan bahwa perkataannya hanya untuk memuji tentang adanya musholla di antara gedung perkantoran ini. Dan mungkin saja dia berpikir jika atasan dari gedung ini, yaitu diriku, pastilah ahli ibadah.Padahal, musholla itu sudah ada sebelum aku yang menjabat sebagai Presdir. Tentu saja papa lah yang mengatur semuanya atau bisa jadi malahan kakek."Saya bukanlah ahli ibadah seperti yang Tuan kira!" jawabku sambil tersenyum. Aku melihat wajah teduh Tuan Gibran yang nampak bercahaya dalam basuhan air wudhu. Umur dan wajahnya sangatlah tidak sinkron. Bel

  • Rembulan yang Terluka   Part 23 Ingat istri

    Ingat Istri Angga POV "Bos, pagi ini kita akan kedatangan klien penting dari PT Pesona Maya. Dan kabar baiknya adalah. Tuan Gibran Candra yang akan meeting dengan kita nanti siang" Viki dan Viona menjemput pagiku dengan wajah sangat sumringah. Berbeda denganku yang sebenarnya sangatlah tidak ada mood. Nana telah menghilang entah kemana. Sejak pertemuan kita di minggu terakhir yang lalu, dia sama sekali tidak ada kabar lagi. Dan istriku Feesa. Kenapa aku baru menyadari bahwa dia memiliki wajah yang mirip dengan Nana? Aku mencoba beberapa kali menghubungi Nana. Nihil. Bahkan pesanku pun tidak kunjung dia balas. "Bos, bagaimana? Apa tidak sebaiknya kita bersiap mulai sekarang? Aku banyak mendengar jika Tuan Gibran sangat sulit untuk didekati. Tapi kali ini, beliu sendiri yang berkenan hadir menemui kita. Ini adalah suatu keberuntungan." "Itu benar, Bos. Tuan Murad yang menelepon beberapa menit yang lalu. Beliau mengatakan jika Tuan Gibran akan datang secara langsung guna membica

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status