Part 8 Terpikat
Angga POV
Dengan sedikit sebal aku menuruti keinginan Mama untuk menyerahkan sebuah benda dalam sebuah kotak berwarna gold. Mungkin isinya adalah emas atau perak tak tahulah. Yang pasti sebenarnya aku sangat enggan diperintah seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, mama yang memaksa. Setiap hari minggu, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama teman-teman. Lucu juga sih, aku punya istri, dan seharusnya sebagai penggantin baru, memilih menghabiskan waktu bersama istri yang tercinta, mengurung diri di kamar.Kini aku sudah sampai di tempat tujuan. Bermaksud mengantar barang pesenan mama sebelum bertemu teman-teman. Kalau tidak diantar terlebih dahulu, mungkin bisa ceramah tujuh tahun lamanya.
Beberapa menit aku mengetuk pintu, tidak kunjung ada respon. Aku mengetuk lagi, menengok jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Lama sekali! Pikirku.
Seorang bidadari berambut blonde, kulit kuning langsat yang menggoda, hidung mancung nan tegak dan bulu mata lentik yang menari lembut seiring gerakan mata pemiliknya. Bola mata coklat itu teduh dan menenangkan. Dan jangan lupakan bibir Cherry yang menggoda itu, seakan meminta untuk aku kecup. Owh ya Allah, baru saja aku berkhayal tentang hal yang tidak pantas.
"Kau pasti anaknya Nyonya Lina kan? Kau sangat tampan." Owh, shit! Baru saja aku mengubur nafsuku, dia malah membangkitkan nya dengan mengelus rahangku. Aku pria normal, tentu saja sentuhan itu menjalar ke seluruh tubuhku. Terlebih saat netraku tanpa sengaja melihat dua gundukan yang mengembang dibalik tanktop yang berwarna kuning jeruk menggoda. Pasti rasanya segar.
"Kau mau menggodaku?" Pipinya mendadak merah, dan menggemaskan.
"Tidak! Ah! Atau mungkin iya! Tapi, sebenarnya aku sangat tertarik kepadamu. Bisakah kita duduk dan bicara dari hati ke hati? Aku merasa sangat kesepian." Sungguh aku terkejut dengan jawaban gadis yang terlalu berani ini menurutku. Bahkan dengan manjanya dia menyandarkan kepala di pundakku. Ujian apakah ini? Entah bagaimana caranya, bahkan aku sudah sampai di dalam apartemen miliknya. Tidak ada foto keluarga atau foto dirinya. Apakah dia benar-benar kesepian?Aku jadi teringat akan Feesa, gadis yang menjabat sebagai istriku, tapi juga musuhku. Apakah aku kini telah berkhianat kepadanya? "Maaf! Tapi aku pria yang sudah beristri!" Dia tersentak dan kemudian menarik kepalanya dari pundakku. Ada rasa kecewa saat dia melakukan hal itu. Bahkan aku sungguh menyesal mengatakan kalimat itu, saat melihat air matanya. Apakah dia tertarik kepadaku?
Aku meminta maaf kepadanya dengan sepenuh hati. Lalu aku serahkan barang titipan mama untuknya.
"Maaf! Kau terlalu tampan, hingga membuatku tidak berdaya!" Kata-kata gombalnya membuat degup jantungku bertalu. Andai yang mengucapkannya adalah Viona, sudah kupastikan dia habis dimakan hiu. Tapi saat gadis ini yang mengatakannya, aku juga tidak berdaya. Bahkan tanpa sadar aku terkekeh bahagia.
"Selalu tersenyumlah seperti ini, kau semakin tampan karenanya." Tuhkan dia memang gadis yang luar biasa, tanpa bisa dicegah, tanganku mencubit lembut pipinya yang kenyal. Meski lembut, tapi tetap meninggalkan bekas.
"Ih, main cubit saja, sakit tahu!" Aku bisa lebih dari ini jika terus bersama ini gadis. Bahkan saat dia mengajakku duduk. Celanaku saja rasanya begitu sesak. Paha mulus itu, perut datar yang sesekali mengintip dan gundukan yang hampir saja meloncat dari sarangnya membuat kepalaku berdenyut. Berkali-kali aku menelan saliva dengan susah payah.
"Dari tadi kita belum kenalan ya?" Tanyaku kikuk untuk mengalihkan pikiran kotorku. Kuulurkan tangan untuk memulai. Dia menyambutnya dengan sedikit ragu, atau mungkin malu-malu. "Namaku Angga!" Saat tangan kami saling berjabatan. Tangannya cukup dingin dan lembut. Apakah dia nervous?
"Namaku Na_ eh maksudku Nana!" Dia menggigit bagian bibirnya yang seksi.
"Jangan digigit seperti itu, nanti dia terluka." Bodohnya aku yang malah langsung mengusap lembut bibir itu.
"Kalau terluka, maukah kau mengobatinya?" Dia mengerling nakal. Membuatku semakin tidak tahan karenanya. Aku semakin mengikis jarak diantara kami, kumulai mencicipi Cherry ranum yang mampu membangkitkan hormon testosteron di tubuhku. Dia tidak membalasnya, tapi juga tidak menolak. Kaku sekali, aku yakin jika pasti ini yang pertama baginya. Aku menarik tengkuknya, lalu kuletakkan tangan yang satunya pada pinggangnya. Dia menegang rupanya. Aku menghentikan aksi gilaku saat dia kesusahan mengambil nafas. Aku terkekeh sambil mengusap bibir yang basah itu karena ulahku.
"Bernafaslah! Apa ini yang pertama bagimu?" Dia mengangguk dengan malu-malu. Owh, manisnya. "Kenapa tadi tidak menolaknya?" Tanyaku lagi. Aku menyangka jika dia bukanlah gadis polos jika dilihat dari caranya berpakaian, tapi saat melakukan ciuman tadi, menyangkal semua apa yang ada di otakku.
"Karena aku tertarik kepadamu, aku kagum padamu, dan mungkin malah jatuh cinta!" ucap gadis yang bernama Nana itu. Sepertinya kupu-kupu menari-nari pada hamparan bunga yang tengah bermekaran di sekeliling kami.
"Bagaimana bisa?" Aku mulai tertarik akan sifatnya yang polos dan jujur itu.
"Bisalah! Kita pernah bertemu dalam sebuah pesta! Aku mengagumi dirimu di saat pertama kali kita bertemu, di saat semua orang memuja dirimu. Semua tersenyum kepadamu dengan alasan yang berbeda. Tapi alasanku tersenyum kala itu, adalah karena cinta. Tapi, satu hal yang membuat diriku mengubur dalam-dalam perasaan itu, kau bagaikan matahari, sedangkan aku adalah rembulan yang menanti pancaran sinarmu. Rasa ini selalu ada, tapi takdir tidak pernah membuat perasaan ini terbalaskan. Kau adalah Matahari, sinarmu begitu kuat dan terpancar dari dirimu sendiri. Sedangkan aku hanyalah rembulan, yang bersinar saat terpantul cahayamu." Dia menunduk membuat aku tidak bisa menjawab apapun.
"Kau benar-benar mencintaiku?" Aku senang dan bahagia, ada seorang gadis yang kukagumi saat pandangan pertama berjumpa, dia mengatakan mencintaiku? Andai aku bukanlah pria yang beristri, sudah pasti akan aku nikahi gadis ini sekarang juga. Tapi sayangnya kisah ini mungkin akan berbeda. Atau mungkin aku harus melupakannya.
"Kau tidak percaya kepadaku?" Kupandang netra miliknya guna mencari secuil kebohongan yang mungkin saja tersembunyi dari bola mata indah itu. Sayangnya, aku tidak menemukan kebohongan yang aku curigai.
Aku merasa jatuh cinta untuk yang pertama kalinya, kepada wanita yang begitu sempurna. Tapi mengapa semua terasa rumit. Orang tuaku tentu tidak akan membiarkan aku bercerai dengan istriku, walau mama juga tahu, aku tidak pernah memberi kesempatan atau lebih tepatnya menolak pada hubungan suami-istri yang kujalani, meski terjalin dalam kurun waktu yang lama. Dan kini, dengan mudahnya hatiku menerima kehadiran gadis yang baru saja menyatakan cinta kepadaku.
"Sejak kapan hal itu terjadi? Ah! Maksudku, kita bertemu!"
Dia tersenyum begitu manis dengan gaya anggunnya, apakah aku jatuh cinta?"Apakah kau tidak pernah sedikitpun mengingat tentang diriku?" Wajah imutnya, benar-benar menguji imanku. Dia bangkit dari tempat duduknya, dengan lancang duduk di pangkuanku. Jangan ditanya bagaimana reaksi tubuhku. Semua urat sarafku tegang, sesuatu di bagian tubuhku memberontak dan semakin sesak, baru kali ini tubuhku beraksi begini saat bersama perempuan. Sial! Padahal selama ini, tidak ada satupun wanita yang mampu membangkitkannya. Apa sudah saatnya aku membebaskanmu boy. Batin dan bagian tubuhku tersiksa.
"Tapi bagaimana aku bisa percaya kepadamu? Apakah kau bisa membuktikannya?" Sepertinya mulutku sudah terkontaminasi oleh akalku yang mulai oleng. Aku menginginkan lebih, tapi menunggu dia yang mulai. Sejauh manakah dia akan membuktikan ungkapan perasaannya.
"Apa kau akan meninggalkan istrimu dan memilih diriku jika aku bisa membuktikannya?"
DegTo be continued"Angga, dimana Feesa? Kenapa sejak tadi mama hubungi tidak juga dijawab? Apakah dia sama kamu?" Selalu saja yang ditanyakan adalah menantu kesayangan itu. Posisiku tergeser sejak kedatangan perempuan bernama Feesa. Aku hanya menjawab"Ya" "Ajak dia makan malam di rumah ya. Besok kita berangkat sama-sama ke pesantren." "Ya!" jawabku lagi. Sambil terus mengawasi Feesa tengah asyik bersama seorang pria. Tunggu, aku seperti mengenal postur tubuh itu, siapa ya. Lihatlah bagaimana cara mereka berbincang gestur tubuh mereka bergetar pasti obrolan yang menyenangkan. Aku ngedumel sendiri. Sambil mendengarkan celotehan mama yang semakin membuatku panas dalam. Beruntung mama menyudahi panggilan. Tunggu! Feesa juga sudah menghilang dari sana. Kemana dia?"Lagi cari siapa, Mas?"Nyawaku hampir saja hilang dari raga. Dia tiba-tiba muncul di belakangku seperti hantu. Aku pun bertanya sejak kapan dia di sana. Lihatlah wajah polos tak bersalah itu. Dia masih saja bawa kresek. Apa itu makanan untu
"Kemana perginya mereka?" gumam Angga menelusuri lorong rumah sakit hingga sampai bagian depan. Melewati resepsionis begitu saja setelah mengedarkan pandangan. Tidak ada tanda apapun yang menunjukkan bahwa orang dicarinya berada di sana. Angga membawa langkah kakinya menuju parkiran. Sebuah kendaraan berwarna merah menyakinkan hatinya bahwa yang dicari masih berada di area rumah sakit.Rumah sakit ini terdiri dari tiga bagian. Pertama paling selatan adalah ruang IGD, ruang pendaftaran juga beberapa ruang pemeriksaan yang tiap ruangnya di tempati oleh dokter spesialis di bidangnya. Bagian tengah adalah apotik dan laboratorium. Sedangkan bagian Utara sedikit menjorok lebih jauh. Sekitar seratus meter dari jalan raya adalah kamar-kamar pasien rawat jalan. Kini Angga mencari ke arah berlawanan. Menuju masjid. Bangunannya berada tepat di samping rumah sakit. Melewati halaman yang lebih luas daripada halaman sebelumnya. Entah kenapa hatinya tiba-tiba menghangat kala melihat senyum menawan
Author POV "Tolong teman saya, Sus! Dia mengalami kecelakaan!" Seorang pria berseragam putih begitu sigap mengambil bangsal darurat. Bersama Angga dia memindahkan Raga. Setelahnya hanya kesibukan para perawat yang saling berkejaran dengan waktu."Kau harus kuat, Ga!" kata Angga berulang kali dalam kecemasan. Tidak peduli apakah didengar Raga ataupun tidak. Biar bagaimanapun mereka pernah melewati hari yang menggembirakan bersama. Angga mengingat momen yang pernah mereka lewati dengan suka dan duka. Mereka pernah sangat akur hingga mengerti kepribadian satu sama lain."Bagaimana kau akan bersaing denganku jika belum bertarung saja kau sudah kalah?" Tertawa sumbang. Segera dia hapus air mata yang hampir saja jatuh. Gengsi jika Raga melihatnya. Ruang UGD telah dibuka seluruhnya. Anggga menghentikan seseorang berpakaian biru petang lengkap dengan penutup kepala. Kebiasaan di rumah sakit sana jika beberapa dokter ahli bedah mengenakan pakaian itu."Dokter! Selamatkan teman saya. Lakuka
"Kamu baru datang dan ingin pergi lagi?" tanya Nana sambil bergelayut manja di lenganku. "Mau bagaimana lagi, Sayang. Pekerjaan ini juga sangat penting." Aku beberapa kali mendapat telepon dari ayah mertua. Meski aku tidak terlalu akur dengan anaknya, tapi aku juga masih punya akhlak untuk tetap hormat padanya. Lagipula, entah apa yang yang terjadi, kali ini aku tidak ada keinginan untuk berlama-lama bersama Nana. Di pikiranku selalu ada Feesa. Ada rasa bersalah dan juga rasa yang aku sendiri tidak mengerti. Selain hal itu, aku harus memastikan bahwa Feesa benar-benar ada di rumah atau tidak. Ku akui keduanya memiliki paras yang sama-sama cantik. Hanya saja, Nana suka dandan dengan make up tebal. Dan Feesa...ah, kenapa juga aku mengingat dirinya. Kecurigaan ini pun semakin membuatku dirundung rasa penasaran yang dalam. Aku bahagia bersama Nana. Tapi, untuk kali ini kenapa aku merasa bersama Feesa? Sungguh perasaan yang membuatku dilema. Apakah karena rasa bersalah membuatku terus
POV Angga. Sungguh lelah rasa batin ini menunggu pertemuan yang menurutku sangatlah lama. Membuang waktu saja. Tuan Gibran Candra bahkan sangat arogan hingga meninggalkan meeting di tengah jalan. Tuan Gibran lebih memilih break ketika suara adzan berkumandang. Mau tidak mau aku ikut juga dengannya ke musholla yang berada di lantai bawah. "Aku senang bisa bekerjasama dengan orang yang selalu mengingat Tuhannya." Ucap Tuan Gibran yang aku sangkakan bahwa perkataannya hanya untuk memuji tentang adanya musholla di antara gedung perkantoran ini. Dan mungkin saja dia berpikir jika atasan dari gedung ini, yaitu diriku, pastilah ahli ibadah.Padahal, musholla itu sudah ada sebelum aku yang menjabat sebagai Presdir. Tentu saja papa lah yang mengatur semuanya atau bisa jadi malahan kakek."Saya bukanlah ahli ibadah seperti yang Tuan kira!" jawabku sambil tersenyum. Aku melihat wajah teduh Tuan Gibran yang nampak bercahaya dalam basuhan air wudhu. Umur dan wajahnya sangatlah tidak sinkron. Bel
Ingat Istri Angga POV "Bos, pagi ini kita akan kedatangan klien penting dari PT Pesona Maya. Dan kabar baiknya adalah. Tuan Gibran Candra yang akan meeting dengan kita nanti siang" Viki dan Viona menjemput pagiku dengan wajah sangat sumringah. Berbeda denganku yang sebenarnya sangatlah tidak ada mood. Nana telah menghilang entah kemana. Sejak pertemuan kita di minggu terakhir yang lalu, dia sama sekali tidak ada kabar lagi. Dan istriku Feesa. Kenapa aku baru menyadari bahwa dia memiliki wajah yang mirip dengan Nana? Aku mencoba beberapa kali menghubungi Nana. Nihil. Bahkan pesanku pun tidak kunjung dia balas. "Bos, bagaimana? Apa tidak sebaiknya kita bersiap mulai sekarang? Aku banyak mendengar jika Tuan Gibran sangat sulit untuk didekati. Tapi kali ini, beliu sendiri yang berkenan hadir menemui kita. Ini adalah suatu keberuntungan." "Itu benar, Bos. Tuan Murad yang menelepon beberapa menit yang lalu. Beliau mengatakan jika Tuan Gibran akan datang secara langsung guna membica
"Aku ingin bertemu denganmu tapi tidak mungkin!" tangisku semakin pecah. Bahkan aku mulai sesenggukan. Entah kenapa rasanya begitu sulit berpura-pura."Apa hanya itu?" Sepertinya Saroh tidak percaya padaku.Kuusap sekali lagi pipiku yang basah. Mencoba mengatur nafas beberapa kali dan dengan susah payah akhirnya bisa menguasai diri kembali."Aku hanya merindukanmu. Kenapa kau tidak percaya padaku?" kataku di sertai senyuman."Masak!""Kau ini! Apa aku terlihat berbohong?" rajukku dengan menggerakkan mulut seperti bebek."Entahlah!Aku juga heran kenapa kali ini aku kurang percaya padamu.""Tentang?""Semuanya! Terlebih lagi tentang pernikahanmu. Aku tidak pernah melihat suamimu satu kali pun."Seketika tubuhku menegang. Kali ini aku benar-benar merasa telah melakukan kesalahan dengan menerima panggilan video dari Saroh di rumah. "Itu...a aku.""Mana suamimu?" Belum kelar aku menemukan sebuah alasan, Saroh kembali membuatku panik dengan pertanyaannya."Di- Di- dia sedang istirahat!""
Part 21 Feesa POV Mungkin angin telah berubah haluan musim hujan sudah mulai menyapa. Bergilir angin sepoi-sepoi berganti arah. Semilirnya menyejukkan hati yang semula terasa kering. Mungkin aku sudah bisa berharap pada pernikahan ini. Mas Angga sepertinya sudah mulai bicara kepadaku. Meski justru hal itu menimbulkan banyak pertanyaan di benakku. Ada apa gerangan? Mengapa tiba-tiba saja Mas Angga baik padaku? "Astaghfirullah! Seharusnya aku bersyukur dengan keadaan ini," gumamku sambil mengusap seluruh wajah. Kini aku duduk di sofa bawah jendela kamar. Dari lantai dua rumah ini, rembulan terlihat terang benderang hingga cahayanya masuk dan menembus kulit. Korden jendela sengaja tidak aku tutup. Sebuah note kecil berwarna hitam menarik perhatianku. Aku ingat benar semua rencana hidup telah kususun rapi selama satu tahun bersama Saroh. Dan bulan ini, ada satu hal yang harusnya aku lakukan bersama Satoh. Rencana untuk menyusul Saroh ke Jakarta. Sepertinya hal itu harus aku kuburkan
"Bolehkah saya ikut gabung dengan kalian?" Tanpa sungkan orang itupun duduk diantara mertua dan menantu."Apa kabar, Tante?" Senyum secerah matahari terbit tercetak jelas di bibir Zalina. Wanita yang penuh kepalsuan. "Lama kita tidak jumpa." Jika dilihat dari gerakan tubuhnya, Zalina terkesan ingin memeluk Lina, namun dengan gerakan tangan Lina menolak mentah-mentah."Cukup!" Feesa tidak mengenal siapa wanita yang baru saja bergabung, hanya diam mengamati interaksi keduanya. Dia hanya menilai jika wajah Lina berubah suram semenjak kedatangan wanita yang baru saja duduk diantara mereka. Seperti ada kebencian yang tersirat."Pelayan, saya pesan makanan dan minuman yang sama dengan mereka berdua ini!" "Tidakkah kau merasa canggung duduk bersama orang asing?" ketus Lina. "Ah! Iya, aku lupa jika kau bahkan tidak punya rasa malu. Nona Zalina Penggoda." Lina tersenyum mengejek ala kelas atas. Bahasa tubuhnya terkesan anggun nan elegan namun kata-katanya menyakitkan.Feesa berpikir jika wan