"Tinggal selangkah lagi Si Dirga dan antek-anteknya akan masuk penjara, ga menutup kemungkinan Andra juga akan ikut terseret," ujar Om Juna sore ini.Kabar ini lumayan bisa sedikit mengurangi beban di otakku, karena langkah selanjutnya adalah mengamankan aset-aset yang sudah kubeli atas nama Mas Andra, seperti tanah beberapa hektar yang tadinya akan kami bangun kontrakan, juga mobil Mas Andra dan mobil Dinda.Sejak awal pernikahan lelaki itu memang banyak meminta. Namun, sama sekali tak menaruh curiga mungkin pandanganku tertutup oleh cinta, ya cinta buta."Kata dokter kamu besok boleh pulang 'kan? pulang ke rumah Om aja setelah sembuh baru ke rumahmu.""Engga, Om, aku akan pulang ke rumah ada beberapa aset yang harus kuurus.""Maksudmu?""Beberapa bulan ke belakang aku beli tanah buat bangun kontrakan tadinya, dan sertifikat tanah itu atas nama Mas Andra aku ingin sebelum bercerai sertifikat tanah itu balik nama jadi ga jatuh ke tangan lelaki itu."Om Juna geleng-geleng kepala mungk
Aku dan Om Juna cekikikan, membayangkan betapa stres-nya lelaki itu menghadapi kenyataan, ia kira masa depan ada di tangannya."Om dan Tante pulang dulu ya, jaga diri, kalau ada apa-apa telpon."Aku mengangguk. "Hati-hati, Om, Tante."Mereka pulang meninggalkan aku seorang diri menghadapi masalah ini, syukurlah ada Om Juna yang mengurus perusahaan, jadi beban yang bertumpu di kepalaku tak terlalu banyak.Tugasku tinggal memberi pelajaran pada para pengkhianat, sepertinya ini akan menyenangkan.Dengan langkah tegak aku memasuki kamar, tubuh Mas Andra terguncang saat melihat pintu terbuka, matanya melongo ketakutan menatapku, seperti melihat hantu."Farah, ngapain serahkan jabatanmu sama Om Juna?" tanya Mas Andra sedikit ngegas.Aku harus bersikap santai dan rilexs, jangan sampai terlihat seperti orang sakit di hadapannya."Emang kenapa? masalah? dia itu keluargaku!" Ia membuang pandangan ke kiri dan ke kanan, dadanya terlihat kempas-kempis menahan amarah, ia pasti kesel karena sumber
Sampai kiamat pun takkan pernah aku kasih kesempatan itu buj1ngan! Bisikku dalam hati.*Pagi ini aku bangun lebih segar, menyantap sarapan dengan lahap, beda sekali dengan wajah Mas Andra yang kusut, sejak tadi ia cemberut."Farah, izinkan aku jadi direktur perusahaanmu ya, aku ingin belajar." Rupanya ia masih belum menyerah."Engga!" jawabku tegas.Aku masih heran sampai sekarang kok dia belum dijemput polisi karena terlibat kasus penggelapan uang, apa belum saja? atau dia nyogok orang lagi biar ga tertangkap."Kamu tuh tega ya, Farah, biarkan suamimu jadi karyawan di kantormu sendiri."Bodo amat! Aku ga peduli!"Iya, Farah, Andra benar kamu kok tega biarkan dia jadi karyawan di kantor istrinya, kasihlah kesempatan buat Andra mimpin perusahaan," celetuk ibu mertua, tiba-tiba ia datang kemari ngerecokin semuanya.ia pasti mau minta jatah uang bulanan karena aku belum memberikan.Selera makanku jadi hilang melihat kedatangan wanita ini, ia duduk di kursi dan mengambil sepotong roti,
"Apa Bapak tahu sudah berapa lama mereka menikah?" tanyaku bergetar."Oh kalau itu saya ga tahu, Neng, yang saya tahu mereka pindah ke sini sudah tiga bulanan."Masih menjadi pertanyaan apakah pernikahan mereka sudah berlangsung lama atau baru menginjak tiga bulan, menyelidiki hal itu tak penting, yang terpenting sekarang aset-aset besar yang dibeli oleh uangku harus kembali, setelah itu akan kubuat mereka menyesal.Aku kembali dengan amarah yang membuncah, ingin sekali bersikap bar-bar seperti kemarin. Namun, itu hanya akan merendahkan harga diri saja, percuma melabrak pasangan yang sudah sah menjadi suami istri.Menguatkan diri sendiri jangan sampai menangis, air mata ini terlalu mahal jika hanya menangisi keluarga benalu itu, yang kompak dalam mengkhianatiku di belakang.Baiklah, diam-diam aku pun akan melakukan pembalasan mereka di belakang, silakan saja bersenang-senang dengan wanita itu, Mas, aku sudah tak peduli.Di luar dugaan ternyata malam ini ia kembali ke rumah, aku kira i
"Wah yang bener? bisalah tunggu aja jam sembilan aku akan berangkat.""Ok, aku tunggu udah dulu ya.Setelah beberapa menit kemudian Mas Andra turun dan menghampiriku di meja makan, kesempatan lagi."Sudah bangun?" tanyaku sambil menyeruput secangkir teh."Hmmm, kepalaku pusing banget, hari ini ga ke kantor ah," jawabnya sambil memijat kening, kebiasaan sakit dikit aja langsung malas."Ya sudah tidur aja di rumah kalau mau Om Juna pecat kamu."Ia melirik tajam."Emang dia siapa berani mecat aku?" tanyanya dengan menantang."Dia itu direktur dan kamu kaki tangannya, ya jelas saja seorang direktur berhak memecat karyawannya," jawabku sedikit tegas, dan ia menghela napas kasar.Aku tahu ia kesal dan ingin marah, tapi amarahnya terhalang karena ia masih membutuhkan uangku untuk membangun usahanya."Lagian ngapain sih dia balik ke kantor lagi, bukannya udah pensiun, aturan mah Om Juna di rumah aja nikmati masa tua biar aku yang masih muda yang bekerja," cerocosnya sambil meraih teh buatank
Dengan sigap tanganku meraih kembali surat yang terbungkus map berwarna biru itu, dan menyerahkan kembali ke tangan Mas Andra untuk segera ditanda tangani."Ini surat persetujuan untuk menggadaikan rumah, ayo Mas tanda tangan aku akan cepat antarkan surat ini supaya duitnya ceper cair."Mendengar kata 'duit' Ibu dan Alia berubah semringah, namanya juga mata duitan, mereka berdua memperbaiki duduknya lalu memasang tampang paling manis, apalagi maksudnya kalau bukan minta jatah.Aku mengerling malas."Kenapa harus gadaikan rumah? duitmu 'kan banyak, kamu juga punya perusahaan warisan," celetuk ibu"Iya, bener, rumah ini 'kan dibeli pake uang Kak Andra, berarti rumah ini memang miliknya," sahut Dinda so tahu.Padahal uangku pun ikut andil dalam pembelian rumah ini, karena sudah bisa membaca kelicikan mereka maka aku menggadaikan rumah ini, tentu saja jika kami bercerai mereka takkan biarkan aku menempati rumah ini."Ayo Mas tanda tangan surat yang satunya lagi!"Aku mulai geram mendengar
"Lumayan, kalau ditaksir sekitar lima tahunan mendekam di sana, hihi," ujarku lagi sambil terkekeh"Ibu kenapa kok kaya cemas gitu?" tanyaku memancing."Oh e-engga kok, engga apa-apa." Ibu gelagapan.Ya pasti panik mengingat hukuman anaknya yang tak main-main."Ok kalau gitu aku pergi dulu."Aku melenggang sempat ibu berteriak memohon."Kalau uangnya belum ada, ga apa-apa setengah dulu, Rah, Ibu sudah ga punya uang," teriaknya tapi tak kuhiraukan, enak saja kok memberinya jatah bulanan seakan-akan kewajibanku.Dunia memang sudah terbalik.Berkas-berkas untuk menggadaikan rumah sudah selesai kuantarkan ke bank, tinggal menunggu tahap berikutnya, kini aku meluncur menuju rumah Hengky.Tiba di sana aku segera turun dari mobil dan melepas kaca mata hitam, lelaki pendek berisi itu menebarkan senyum persahabatan dari kejauhan."Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam, apa kabar nih? katanya kemarin sakit ya?" tanya Hengky sambil cengengesan."Udah sembuh kok, mana yang mau beli mobilnya?" Ak
Mas Andra memberontak tapi polisi memegang pergelangan tangan lalu memborgolnya, napasnya terengah-engah, apalagi saat melihat mata para tetangga, ia pasti malu disaksikan banyak mata.Rasain! Ini baru pembalasan di dunia belum di akhirat."Farah, aku ga bersalah ini pasti fitnah Si Juna," teriaknya membuatku geram."Diam! Kamu tuh ya sudah salah malah nyalahin orang! Emang kamu pikir selama ini aku ga tahu kelakuanmu di belakang kaya apa?! Mau aku beberkan sekarang juga di hadapan orang banyak?!" teriakku nyalang.Para tetangga saling berbisik ria membicarakan kami, ada yang menghina Mas Andra terang-terangan, ada juga yang termakan omong kosongnya hingga menyalahkanku."Pak, bawa benalu ini sekarang," titahku.Beberapa anggota berseragam itu langsung menyeret tubuh Mas Andra ke dalam mobil, lelaki itu tetap meronta minta dilepaskan, meraung dan juga memakiku habis-habisan.Kupandangi mobil polisi yang membawa Mas Andra mulai menjauh, tak dapat dipungkiri hati ini sakit, mengira jika