Share

Bab 8

 

 

"Anak-anak harus pada tahu nih kalau si  Maya hamil duluan," celetuk Clara, dia memang heboh kalau soal membicarakan kejelekan orang lain.

 

"Jangan umbar aib orang, kalau ga mau nanti aibmu diumbar juga sama Allah," jawabku sedikit tegas, dan ia terlihat menciut.

 

"Kamu tahu di mana alamat rumah Maya yang baru?" tanyaku, karena empat bulan yang lalu Maya bilang sudah pindah ke rumah yang lebih layak.

 

"Oh tahu kok, Bu, mau aku tulis alamatnya sekarang?" tawar gadis cerewet itu, aku mengangguk sambil menyerahkan satu buah kertas dan pulpen.

 

"Ini, Bu," ujarnya saat selesai menuliskan alamat rumah Maya.

 

Gadis itu berlalu dari ruanganku, dan setelahnya datang Om Juna, ia adalah kakak angkat ayahku, setelah ayah dan bunda tiada dialah sebagai gantinya, melindungiku layaknya Putri sendiri, tak hanya itu ia juga mengelola perusahaan ini saat aku masih kuliah.

 

"Assalamualaikum, Farah, kamu baik-baik aja?" tanya Om Juna lalu kami duduk berdampingan di sofa ruang kerja ini.

 

"Alhamdulillah baik, Om."

 

Ia nampak lebih segar mungkin penyakit komplikasi yang dideritanya selama ini sudah berangsur membaik.

 

"Oh ya gimana kabar perusahaan ini? kamu kesulitan ga?" tanya Om Juna

 

Sejujurnya aku baru satu tahun mengelola perusahaan warisan ini, karena sebelumnya perusahaan dikelola oleh ayah dan setelah ia wafat Om Juna yang memegang amanah besar ini, dan setelah aku lulus kuliah Om Juna memaksaku untuk menggantikan posisinya.

 

Padahal, waktu itu aku belum siap menanggung amanah dari ayah, masih suka hidup bebas dan menikmati harta ayah dengan cara foya-foya.

 

Beruntung Om Juna seseorang yang tidak tamak terhadap harta, sehingga ia mendidik dan membimbingku menjadi pribadi mandiri dan bertanggung jawab.

 

Kadang aku mengeluh tentang sulitnya mengatur perusahaan. Namun, ia selalu siaga memberiku kekuatan baik berupa nasihat ataupun solusi berupa dukungan.

 

Ia juga berpesan agar aku mengelola perusahaan ini walau dalam keadaan apapun dan jangan biarkan Mas Andra menguasainya, ternyata pesannya itu ada benarnya juga.

 

"Farah, kok bengong? ada masalah?" tanya Om Juna seolah tahu kegundahanku.

 

"Perusahaan baik, Om, Alhamdulillah berkembang pesat dan sekarang lagi buka cabang baru."

 

Ia mangut-mangut sambil mengucap Hamdallah.

 

"Lalu gimana dengan Andra?"

 

Aku terdiam ingin sekali mencurahkan semua masalah ini padanya. Namun, takut sekali jika masalah berat ini hanya akan menjadi beban dan memperparah penyakitnya.

 

"Kalau ada masalah bilang sama Om, jangan dipendem sendiri," ujar Om Juna lagi.

 

Aku menghirup napas sebelum memulai kata.

 

"Ternyata kecurigaan Om benar, Mas Andra ga tulus nikahi aku." 

 

Terpaksa kuceritakan, jika bukan padanya maka pada siapa lagi, hanya Om Juna keluargaku.

 

"Astaghfirullah, jadi dia nikahi kamu cuma karena ingin kaya gitu? apa dia selingkuh?" tanya Om Juna emosi.

 

Ya Tuhan jangan sampai ia terkena serangan jantung.

 

"Emmm ...." 

 

Bingung, haruskah kuceritakan semua?

 

"Ngomong aja, Farah, jangan dipendem sendiri Om ga apa-apa kok." Om Juna meyakinkan.

 

"Bukan hanya ingin kaya, tapi Mas Andra nikahi aku karena punya tujuan," ujarku sambil menatap matanya.

 

Ia terkejut lalu mengucapkan kalimat istighfar.

 

"Apa tujuannya?" tanya Om Juna sambil membetulkan posisi duduknya.

 

"Aku pernah dengar Mas Andra ngobrol dengan ibu dan adiknya, kalau tujuannya menikahiku karena ingin menguras hartaku sepuasnya."

 

"Astaghfirullah."

 

Om Juna beristighfar lagi, mungkin ia tak menyangka suamiku akan berlaku sekejam itu dalam menodai ikatan suci ini, jangankan Om Juna aku saja tak menyangka.

 

"Kenapa dia dan keluarganya berencana begitu? bukankah kamu selalu baik pada mereka?" 

 

Om Juna masih penasaran, beruntung tubuhnya tak apa-apa mendengar kabar tak enak ini.

 

"Katanya dulu keluarga Bahtiar merebut semuanya dari ayahnya, entah itu merebut harta atau apa karena aku ga nyimak lagi obrolannya."

 

"Apa?!"

 

Om Juna nampak terkejut, apakah ia tahu sesuatu?

 

"Apa Om tahu sesuatu?" tanyaku sambil menelisik wajahnya.

 

"Apa ayahnya Andra itu Muhtar Koswara nama panjangnya?" 

 

Aku tertegun mengapa Om Juna bisa tahu, bukankah waktu kami menikah ia tak hadir karena sedang dirawat di rumah sakit.

 

"Iya, Om, namanya Muhtar Koswara aku pernah lihat di kartu keluarga punya ibu mertua," jawabku, Om Juna terlihat memalingkan wajah dengan cemas.

 

"Emang kenapa, Om? Apa Mas Andra ingin balas dendam tentang kematian ayahnya? atau kakekku sudah mendzalimi mereka?" tanyaku penasaran.

 

Om Juna malah diam dan bungkam, pandangannya lurus ke depan disertai dengan raut wajah penuh kecemasan.

 

"Om, ada apa sih?" tanyaku lagi sambil mengguncang lengannya.

 

"Farah, kamu harus hati-hati sama Andra, kalau perlu pasang juga CCTV di seluruh ruangan rumahmu, atau nanti Om akan kirim orang untuk menjagamu di rumah," ujar Om Juna dengan cemas.

 

Aku mengerenyit merasa aneh dengan tingkahnya yang berlebihan, bukankah selama ini Mas Andra tak pernah meyakiti fisikku.

 

"Emang kenapa Om? Apa Mas Andra orang jahat?" tanyaku makin penasaran.

 

"Nanti akan Om ceritakan, tapi ga di sini nanti didengar oleh karyawan lain."

 

Huhh, Om Juna hampir membuatku mati penasaran, dia 'kan bisa menjelaskannya pelan-pelan.

 

"Besok atau nanti sore kamu mampir ke rumah Om saja, nanti tak ceritakan semuanya di sana."

 

Ya sudahlah jika itu yang terbaik menurutnya, setelah memantau data-data perusahaan, lelaki yang mengenakkan tongkat saat berjalan itu pamit untuk pulang.

 

Ia berpesan untuk tetap waspada dan hati-hati, dan juga harus ketat mengelola keuangan perusahaan ini, Om Juna curiga ada yang menggelapkan uang perusahaan.

 

Jika begini aku merasa bodoh dan tak becus, lama-lama bangkrut juga kalau aku yang kelola, semoga saja Om Juna cepat pulih sepenuhnya agar bisa membantuku di kantor.

 

*

 

Pulang dari kantor aku memutuskan mencari alamat rumah Maya, rasa penasaran ini yang membuatku tak bisa menahan diri untuk menemuinya, saking penasaran kenapa alat tes kehamilan ini ada di lacinya.

 

Ternyata rumahnya cukup jauh dari kantor, juga terletak di perumahan bagus, entah rumahnya itu masih nyicil atau sudah lunas.

 

Setelah yakin jika rumah yang berwarna krem bernomor 17 itu rumah Maya, aku memarkirkan mobil di hadapan pagar rumah minimalis tapi berlantai dua itu.

 

Hari sudah gelap karena adzan isya sudah berkumandang, tak lama ada yang menutup jendela rumah Maya, ia seorang lelaki dan setelah wajahnya sempura terlihat, betapa terkejutnya aku ternyata Mas Andra ada di dalam rumah itu, ia sedang celingukan ke kiri dan ke kanan lalu menutup rapat-rapat jendela itu.

 

Apa jangan-jangan? Lihat saja Mas aku akan melabrakmu sekarang juga!

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status