Share

Dibalik Layar

“Tik ... tik ....”

Perlahan ritme suara itu semakin cepat dan deras. Suara itu berasal dari arah jendela, sedangkan aku yang masih tertidur, dengan perlahan membuka mata, sambil menatap langit-langit kamarku.

“Hujan. Hem ...! di saat begini, kenapa sesuatu yang tidak kusukai ini selalu mengingatkanku tentang dia.”

Gadis cantik itu perlahan berjalan menuju jendela, masih dengan piyama kimono pink yang ia kenakan. Sambil membuka jendela, pandangannya tertuju langsung pada hujan yang turun itu. Sambil berpikir?

“Bahkan langit saja sama seperti dia? Yang cerah berwarna hijau, lalu hitam mendung begini. Karena dibalik kebahagiaan? Juga harus siap menghadapi kesengsaraan.”

“Ka …! sudah waktunya. Ayo? Cepat bersiap, supaya tamu kita tidak lama menunggu.”

suara yang terdengar ragu itu, perlahan mendekat. Benar saja? Itu adalah ibu yang sedang datang. Menghampiriku dengan perlahan, sembari memegang pipi kananku.

“Sa-sabar ya dek? Maafkan ibu yang tidak bisa berbuat apa-apa untukmu,” ucap ibu dengan menatap mataku.

Ibu yang berdiri tepat di depanku itu, sedang berusaha untuk menguatkan gadis yang rapuh ini. Suaranya yang serak basah itu sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Sementara aku, hanya bisa diam tersenyum sambil memalingkan kepala, bukan bermaksud mengacuhkan tangan ibu, namun aku yang tidak sanggup menatap wajahnya itu.

“Terima kasih, ma? Mama tidak usah minta maaf untuk Ayu. Mungkin inilah takdir untuk Ayu,” jawabku pelan menahan tangis, yang tiba-tiba datang sendirinya, dengan alasan yang tidak kutahu.

Perasaan bersalah yang masih dirasakan oleh ibu, perlahan dia berjalan pergi. Namun? Langkah ibu berhenti tepat di pintu sambil berbalik.

“Ka ...?” panggil ibu. 

Aku membalikkan wajah, menunggu ibu yang ingin menyampaikan sesuatu.

“Bu-bukan apa-apa? Ce-cepat ganti baju dan bersiap-siap,” lanjutnya.

Masih terdengar keraguan di suara ibu. Aku tahu ibu ingin menyampaikan sesuatu yang penting.

Aku yang sudah paham, apa yang akan ibu mau katakan itu? Namun, entah kenapa ibu tidak jadi mengatakannya, dan langsung berjalan dengan tergesa-gesa sambil menutup mulutnya agar tidak terlihat sedih di hadapanku.

Sambil berjalan ke arah kamar mandi? Tiba-tiba langkah kakiku berhenti?  Mataku kembali memandang keluar jendela. 

Dengan perasaan yang tidak karuan ini, pernah melintas di pikiranku?

Dengan bodohnya, aku ingin menjadi bagian dari hujan itu? yang jatuh bebas dari langit, yang setiap butirannya hanya untuk mengisi kembali kehidupan di Bumi yang kering, memberi senyum pada tanah, serta jiwa yang mendambakannya.

Iya. itu mungkin lebih baik dari pada keadaanku saat ini? yang ingin menjadi bahagia di antara yang paling bahagia itu.

Pagi itu hujan masih turun deras. Sembari aku masih ingat rasa pelukan ibu yang hangat? aku dapat merasakannya di saat itu. Entah kenapa dia memandangi wajahku. Ternyata ia begitu karena tanpa sadar aku menjatuhkan air mata, dan mengerti akan penderitaanku.

Aku berpikir sejenak. Kenapa bisa-bisanya aku menjatuhkan air mata untuk sesuatu yang bahkan mungkin dia saja tidak peduli akan keadaanku? Bahkan hujan ini saja membuat badanku lemas seperti tidak ada tulang lagi di badanku? Hanya hatiku saja yang terasa dingin nan beku.

Sambil memegang dada, hati kecilku sempat berbicara.

“Kenapa ...? kenapa ini semua hanya terjadi kepadaku. Apa salahku? Apakah ada hal yang salah telah kuperbuat dimasa lalu?”

Hujan seharusnya membuat hati orang bersorak gembira. Menghilangkan hari-hari panas yang membuat gerah. Itu semua tergantikan oleh rasa sejuk yang menyenangkan.

Sebenarnya aku menyukai hujan. Suka wangi bunga saat hujan menciumnya. Menyukai dingin udaranya. Dan yang paling utama, suka saat bergelung di balik selimut menyangkal dinginnya.

Aku yang tiba-tiba mengingat satu hal. Ternyata hari ini adalah yang ditunggu-tunggu saudariku. Sekarang adalah hari di mana, dia akan mendapatkan kebahagiaan yang telah ia rampas dari hidupku.

Ya ...? istimewa bagi dia. Tapi bagiku ..., adalah hal yang menyakitkan.

Dan apakah mereka tahu, mengapa aku tidak ingin hari ini ada sekarang! Dan jika bisa meminta? Maka aku akan memintanya.

Suara langkah kaki yang berhenti di pintu utama, aku tahu mereka telah sampai. Serta orang yang pernah memberi warna hidupku juga ada di antara mereka.

“Selamat datang di rumah kami yang sederhana ini,” sapa ayahku kepada tamu itu.

“Silakan duduk,” lanjutnya tersenyum gembira.

Semua orang di rumah itu sedang asyik membahas sesuatu? Mulai dari ayah, ibu, dan begitu juga tamu yang datang itu.

Sementara aku hanya bisa diam saja di sudut pintu kamar, mendengar perbincangan mereka.

Sekilas aku melihat wajah yang bahagia dari kakakku, dan juga pemuda itu. Mereka berdua hanya duduk diam saja sambil mendengar obrolan mereka yang hadir. 

Namun ...? aku merasa ada sesuatu dari lelaki itu. Matanya yang selalu fokus memperhatikan ke arah kamarku, dan sekitarnya. Seperti sedang menunggu sesuatu.

“Lho ...! nak, Arav. Kenapa seperti sedang gelisah begitu? Tidak usah tegang. Santai saja,” tutur ibu.

Ibu yang harus bersikap senang begitu terpaksa melakukannya? Ini semua karena keinginan ayah.

”Ma-maaf tante! Bukan begitu?” jawab Arav dengan sedikit tenang menutupi gelisahnya. 

“Biasa ...? anak  lajang kalau membicarakan hal yang serius begini kan pasti akan begitu.”

Sambil tertawa senyum, ayah pemuda itu menyahut untuk mencairkan suasana yang bisa dibilang sakral ini.

“Haha ...! sama seperti kita dulu pak? Pas di posisi begini juga, ibunya Claisya kan tidak mau keluar dari kamarnya? Sampai harus saya yang jemput dia, baru mau keluar,” sela ayah sambil bercanda.

“Bagaimana kalau kita ke intinya saja pak,” lanjutnya dengan sedikit tegas.

Rasa sakit ini semakin tajam menusuk dadaku? Air mataku menetes tak terbendung lagi. Sakit ...? namun tidak berdarah. 

“Sungguh tega kamu mas.”

Dengan perasaan campur aduk dalam hatiku berbicara.

“Bagaimana kalau masalah ini, kita serahkan saja pada mereka berdua?” sahut ibu Arav dengan tenang.

“Bagaimana Rav? Kapan dan di mana acaranya akan kita gelar? Lebih cepat pasti akan lebih baik. Semua itu kalian saja yang menentukannya. Selebihnya, biar kami yang mengurus semua,” lanjutnya sambil memegang tangan Arav di pangkuannya.

Suasana sempat hening seketika karena Arav hanya diam tidak berkata apa-apa?

Namun tidak begitu lama akhirnya Arav angkat bicara.

“Sa-saya tidak bisa memutuskan? Sebab saya tidak membicarakan ini sebelumnya dengan Claisya,” ucap Arav.

Di saat yang lain ingin membicarakan sesuatu? Claisya juga akhirnya angkat berbicara.

“Jika diizinkan saya berbicara? Ayah. Ibu. Claisya sudah memikirkannya dengan matang,” sela Claisya sambil mengangkat kepalanya.

Mendengar Claisya yang ingin berbicara? semua orang tampak senang melihatnya. Mereka berpikir bahwa Claisya sudah menentukan hari kebahagiaan itu.

Namun tidak dengan Arav. Ia masih bingung dengan maksud Claisya.

Semua mata dan telinga tertuju pada Claisya. Dengan tersenyum ingin mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Namun senyum itu seketika berubah setelah Claisya berbicara.

“LEBIH BAIK PERTUNANGAN INI ...,” ujar Claisya dengan tegas.

Dengan senyum manis sembari melihat ke arahku, dengan berlinang air di matanya? Lalu menurunkan pandangannya sambil menggenggam tangan dengan erat di atas pangkuannya. 

Seperti sedang bimbang? Namun harus mengambil keputusan yang berat. Walaupun itu sangat pahit.

“CLAISYA ...,” teriak ayah sambil berdiri.

Suasana yang awalnya bahagia itu kini harus berubah hening setelah Claisya mengatakan hal yang tidak mungkin pernah diduga oleh kedua keluarga besar itu.

Merasa tidak dihargai? Tanpa basa-basi, keluarga Arav langsung pergi.

“Berani sekali kamu mengatakan hal itu kepada keluarga kami? INGAT? Sampai kapan pun. Saya tidak akan sudi lagi untuk mengikat hubungan keluarga dengan kalian.”

Dengan nada marah Ibu Arav berteriak sambil menunjuk ke arah Claisya lalu pergi.

Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong? Sementara rasa malu yang harus ditanggung ayahku? Karena dia yang paling berkeras atas pertunangan ini. Semua terlihat dari wajahnya yang merah membara.

“Dasar anak tidak tahu diri. Sudah berani kamu menentang ya?”

Plak!

Suara tamparan itu mendarat di wajah Claisya.

“Kamu benar-benar sudah mengecewakan ayah. Ini akibatnya jika kamu dibiarkan sesuka hatimu. Mulai sekarang, semua fasilitas akan ayah cabut. Jangan pernah berharap lagi,” lanjut ayah.

Sambil menutupi wajahnya yang sakit, Claisya tidak menyesali keputusannya sedikit pun. Ia berpikir ada seseorang yang lebih berhak daripada dia.

Aku yang tadinya duduk langsung bangun mendengar keputusan kakak. Antara percaya atau tidak dengan semua itu.

“Ka-kakak? Ke-kenapa kamu mau mengatakan itu. Bahkan di depan ayah?”

Dengan penuh tanya di kepalaku. Seolah aku sedang mendengar sesuatu yang tidak mungkin. Apakah ini mimpi? 

Aku yang awalnya tidak tahu, sebenarnya kakak sedang bimbang? Hatinya yang berat kini harus memutuskan. Walau pahit harus dimakan? Walau sakit harus merelakan. 

Kini aku mulai paham. Ternyata selama ini kakak sangat peduli kepadaku? Dan bukan hanya aku saja yang merasa terpenjara? Namun kakakku juga sama halnya denganku. Tetapi dia selama ini berusaha keras untuk menyembunyikan semua dariku.

“Mulai sekarang? Bagaimana kita akan menghadapi ini semua kak?”

Aku yang bergumam memikirkan semua kebimbangan ini.

“Ayah pasti akan memisahkan kita berdua.”

Namun pada akhirnya kini aku menemukan harapan yang paling terang? Walau dalam putus asa  yang begitu dalam. Entah kenapa hati kecilku kembali berbicara? Seolah ingin menyemangati hidup yang kelam ini.

Aku yang seharusnya berada diposisi itu, saat ini hanya bisa diam saja menahan perih yang kurasakan. Perasaanku yang sedang campur aduk hanya bisa menyampaikan.

“Dan kini kita hanya bisa saling merelakan. Aku akan jadi hujan, tapi tidak akan lama. Aku akan jadi awan, untuk kembali lagi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status