“Mau kemana, Wir?” Aisya berusaha menghalangi kekasihnya yang segera bangkit setelah meraih kunci sepeda motor. Wira begitu geram karena ibunya diganggu dan kemungkinan besar dikasari.
“Tentu aja jemput Mamak, Sya!” sahut Wira tegas. Sebuah kalimat dengan intonasi yang belum pernah Aisya dengar sebelumnya.
“Kamu nggak mau ditemenin atau lapor polisi?”
“Sya, Mamak itu diculik. Penculiknya minta aku dateng sendiri. Aku, Mamak, kita ini sedang diawasi sekarang. Aku nggak mau ambil risiko tentang keselamatan Mamak!” tandas Wira. Ia tak ingin membuang waktu untuk berdebat sedang Mamak menunggu kedatangannya.
“Keselamatanmu yang terancam, Wir? Kamu yakin pergi sendiri?” seru Aisya sambil melongok ke bawah karena Wira sudah menuruni tangga dengan setengah berlari. Wira berhenti sejenak dan mendongak ke atas.
“Kamu tunggu aja di sini. Nanti Mamak aku bawa ke sini. Jangan khawatir, aku pasti
Perlahan Wira membuka matanya. Kepalanya terasa pusing namun ia pernah merasakan sakit kepala yang lebih berat dari ini. Suara isak perempuan terdengar tak jauh dari tempatnya berada. Mungkin itu tangisan Mamak. Wira merasakan tangan dan kakinya terikat di sebuah kursi kayu.“Sudah bangun, Jagoan?” suara serak pria membuat Wira segera teringat dimana ia berada.Suryo menghampiri Wira yang masih menyipitkan mata sambil menanti pandangannya kembali jernih. Pria 51 tahun itu menundukkan wajahnya hingga Wira bisa dengan jelas melihat setiap ekspresinya. Kacamata hitam mahal Suryo ia turunkan hingga ke pangkal hidung.“Sudah ku duga, kau memliki kemampuan serupa Barata. Kau tak akan mudah mati. Lukamu cepat sembuh. Benar, kan?”Tak ada satu pun kata-kata Suryo yang Wira pahami. Ia hanya diam dan memandang mata orang yang selalu ingin ia temui demi menuntut balas atas kematian bapaknya. Kini orang itu sudah ada di depan mata. Otoma
“Ye ... Ni bocah malah bengong!” Sebuah pukulan tongkat mendarat telak di wajah kiri Wira. Kepala pemuda itu seperti terlempar ke kanan namun segera kembali dengan darah yang mulai menetes dari telinga dan bibirnya. Mamak menjerit dan menangis. Entah sudah berapa kali ia memohon pada Suryo untuk melepaskan putranya. “Pecundang....” lirih Wira. Ia tersenyum meski tampak tak bisa. Tulang pipinya seperti tak berada pada tempat yang semestinya. “Apa kau bilang, Bocah!” hardik Suryo. Pria itu mencabut senjata api yang terselip di balik jas hitamnya. Ujung pistol itu kini menempel pada dahi Wira. “Suryo! Apa yang kau lakukan? Nggak puas kau membunuh suamiku? Hah?” hardik Mamak. Wanita itu terus meronta-ronta. Pergelangan tangan dan kakinya kini sudah terluka karena tali yang ditarik paksa. Mamak tak peduli. Jika salah satu dari dia atau Wira harus mati, maka Mamak akan lebih memilih dirinya saja. “Diam kau!” bentak Suryo dan kini ia mengarahkan pistol ke arah Mamak. Ia mendengus kesal.
Melati berjalan menjauh pada sebuah ruang hampa berwarna putih itu. Tak ada yg bisa Wira lakukan, karena panggilan dan seruannya diacuhkan sama sekali. Perempuan itu menghilang setelah semakin lama makin menjauh.Mamak terus saja menangis memandangi tubuh putranya yang tak bergerak. Air matanya telah kering. Meski isak terus mendera, namun tak ada lagi yang dikeluarkan dari kedua netranya."Wira! Bangun, Nak!" lirih Mamak.Pria-pria bertubuh besar sudah sejak tadi meninggalkan ruangan besar pengab itu. Kini yang tercium hanya aroma debu dan anyir darah milik Wira yang berceceran di lantai."Kamu terlalu ceroboh dengan kemampuan itu, Wir! Harusnya nggak boleh ada yang tahu!" sesal Mamak. Wanita itu kembali meronta, menggerakkan kakinya yang terikat di kaki kursi demi semakin dekat pada putranya. Usahanya sia-sia. Kursi yang membelenggunya itu sama sekali tak bergerak."Errgh!" lenguh Wira. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan mulai menggerakkan tangan."Wira! Kamu nggak apa, Nak?" Wajah
Pria berjaket hitam itu terhuyung ke belakang. Tubuhnya menimpa tumpukan atap spandek tan terpakai. Tentu saja suara gaduhnya terdengar sampai ke depan. Wira tak menunggu lama. Ia segera melompat ke atas tubuh pria itu dan menghantam kepalanya beberapa kali.Mamak menutup mulut dengan kedua tangan dalam persembunyiannya. Ia tak menyangka putranya memiliki keberanian dan kemampuan untuk melakukan hal yang biasa ia saksikan di film saja. Putranya itu kini sudah berada di sampingnya menggenggam tangannya untuk bersiap melarikan diri."Mamak ikutin aku aja, jangan banyak tanya ya?" pinta Wira.l pria yang berjaga di pintu utama segera muncul. Seorang memeriksa keadaan rekannya, seorang lagi tampak memperhatikan sekitar mencari keberadaan ibu dan anak yang mereka jaga. Mereka berdua panik, karena sadar baru saja dalam masalah."Dimana tu orang dua?""Nggak ada jalan keluar di sini, dia pasti ke depan sekarang!" seru seorang pria yang baru saja selesai memeriksa rekannya. Ia lalu meletakkan
Wanita paruh baya itu memang seharusnya sudah duduk nyaman menimang cucu. Bukan bertarung melawan bahaya malam-malam begini. Niat hati ingin menyembunyikan Mamak dan memancing para pengejar, justru Mamak memanggilnya. Dan sudah bisa ditebak, ketiga pria itu segera menghampiri Mamak. Bagi mereka mendapatkan Mamak berarti pula mendapatkan Wira.Wira buru-buru menghambur mendahului ketiga pria berbadan besar yang dua orang diantaranya luka ringan. Sebuah terjangan terpaksa Wira layangkan pada pria terdepan demi mencegahnya merengkuh Mamak. Pria itu terpental ke arah dua rekan yang menyusul di belakang.“Ayo, Mak!” seru Wira sembari menarik begitu saja lengan ibunya.Tak ada pilihan lain bagi Wira dan Mamak selain lari dan memasuki pemukiman padat penduduk. Di kawasan industri dekat pelabuhan amat jamak ditemukan pemukiman dengan gang sempit yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Itu pun tak jarang harus menemui jalan buntu. Namun itu lebih baik karena akan ada potensi bersembunyi yang bes
Wira dihempaskan ke atas sebuah kasur spring bed dengan sprei merah muda. Perempuan itu tersenyum dengan tatapan sayu penuh gairah. Ia kibaskan rambut keemasan ke arah berlawanan dengan lekuk tubuhnya. Jari jemarinya meraba seluruh tubuh berbalut kain ketat yang tak sepenuhnya menutup aurat.“Mau ngapain Lu?” Wira panik. Berada dalam situasi seperti ini tak pernah terpikir olehnya. Ia takut keteguhannya lambat laun akan roboh. Sedang Mamak tak juga kunjung muncul.“Oh, gitu ya? Kayanya harus aku yang mulai deh. Kamu suka cewek yang gimana? Aktif? Hmm?” cecar perempuan itu manja. Ia mulai menurunkan tali tanktop yang tak sepenuhnya mampu menutupi aset berharganya itu.“Eit, mau ngapain? Nggak, nggak, tutup lagi!” tolak Wira. Ia cemas mengapa Mamak belum juga muncul. Padahal perempuan itu sudah mulai menelanjangi dirinya sendiri.“Nggak usah malu, Ganteng. Mendingan diem, terus nikmatin aja deh!” protes perempuan itu setelah menurunkan pakaiannya.Wira cepat-cepat menutup kedua mata den
Sebuah sorot lampu mobil yang datang menyita perhatian Wira dan Mamak. Ibu dan anak itu segera bangkit dari teras kantor yang terasa begitu nyaman lima belas menit terakhir. Wira tersenyum setelah mengenali mobil itu.“Itu Aisya, Mak,” ucap Wira singkat. Dalam hati ia bersyukur akhirnya orang yang ditunggu-tunggu tiba juga.“Alhamdulillah,” sambung Mamak bersiap menyongsong calon menantunya.Wira segera menghambur mendekat, membantu Aisya untuk membuka pagar kantornya. Senyumnya terus mengembang demi menyembunyikan peristiwa yang mengancam keselamatannya di hadapan Aisya. Namun noda darah di kausnya tak bisa berbohong.“Kamu nggak apa, Wir?” tanya Aisya dengan wajah paniknya. “Aku nyariin kamu dan Mamak seharian.”“Aku nggak apa, Sya. Maaf apa boleh Mamak tinggal di sini untuk sementara?” tanya Wira mencoba mengalihkan kekhawatiran Aisya pada dirinya. Sedang menurutnya keselamatan dan kenyamanan Mamak jauh lebih penting.“Ya boleh lah, Wir. Kamu ngomong apa sih?” protes Aisya. Pandang
Beberapa orang segera mengangkat tubuh tak berdaya Wira untuk ditepikan. Luka yang diderita pemuda itu cukup parah. Banyak darah yang keluar dari kepalanya. Orang-orang yang mengangkatnya tadi tak berani berbuat banyak sebelum pihak berwenang datang.Beberapa orang lagi berkerumun mencoba untuk membuka mobil yang menabrak Wira tadi. Pengemudinya tak sadarkan diri, terluka di kepala dan terus menerus menekan klakson akibat kepalanya yang mengimpit kemudi. Sejauh ini tak ada yang berhasil.Para pengejar tak tahu harus berbuat apa. Tak ada yang sanggup melakukan berpura-pura menjadi keluarga Wira dan histeris meminta pertolongan. Lagi pula pemuda itu tengah dikelilingi banyak orang. Amat riskan berbuat suatu hal yang begitu mencolok.“Hah!” Seketika Wira tersentak, seolah napasnya baru bisa ia kendalikan. Ia bahkan segera bangkit dan duduk dengan tatapan mata aneh mengelilinginya.“Mas? Mas nggak papa?” tanya seorang pria sambil memegang tengkuk Wira.“Nggak papa, Pak,” jawab Wira sekena