MasukKeesokan harinya, Alexa duduk di ruang tamu sambil menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. Ia masih tidak percaya dengan kebetulan konyol yang menimpanya, pria yang semalam menyelamatkannya dari dua penjahat ternyata adalah guru privat yang ibunya pilihkan. Sungguh, keberuntungan macam apa ini?
Rose, sang ibu, berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas masih menyimpan amarah karena ulah Alexa yang mencoba kabur semalam. "Theo, ini putriku, Alexa Moore," ucap Rose tajam. "Aku sudah lelah menasehatinya setiap hari. Jadi aku minta bantuanmu untuk mendidiknya. Aku ingin nilai Alexa jauh lebih baik tahun ini." Theo, pria matang yang semalam tampak gagah saat menolongnya, kini menatap Alexa dengan tatapan tenang namun menusuk. Namun Alexa pura-pura tidak peduli. Ia sengaja mendongak ke langit-langit, menolak balas menatap, seakan-akan keberadaan pria itu tak lebih penting dari debu di karpet. "Putrimu ini punya banyak kelebihan, Nyonya," ucap Theo akhirnya. Rose langsung menyambar. "Sangat. Dan kelebihan yang paling menonjol adalah kenakalannya yang tidak pernah surut. Berapa kali aku dipanggil ke sekolah karena sikapnya yang tidak tahu aturan!" Theo hanya menghela nafas panjang, seolah sudah bisa membayangkan betapa berat tugas yang menantinya. "Baiklah. Saya akan mulai mengajar besok." Rose mengibaskan tangan. "Tidak, lebih baik kau bawa saja dia bersamamu. Di rumah ini, Alexa hanya tahu bermain game dan melupakan pelajaran." Alexa mendengus. "Bu! Apa ibu sebegitu tidak sukanya aku tinggal di sini sampai tega menyuruhku tinggal bersama pria asing yang bahkan baru kukenal?!" Meski mulutnya protes, dalam hati Alexa tak bisa menutupi rasa tertarik. Guru privat yang satu ini jauh dari bayangannya. Bukan wanita kaku berkacamata, tapi pria dewasa, matang, berkarisma… dan jelas-jelas menggoda. Lebih dari itu, belum menikah. Tiba-tiba seorang pelayan masuk, menyeret koper besar berisi pakaian Alexa yang sudah terkemas rapi. Alexa membelalak. "BU?! Apa-apaan ini?!" Rose menatapnya dingin. "Tidak perlu kabur lagi. Theo akan jadi guru privatmu mulai hari ini. Dan sampai kau membuktikan nilai ujianmu membaik, kau tidak boleh menginjakkan kaki di rumah ini." Alexa tercekat. Benarkah ia baru saja diusir dari rumahnya sendiri? Dengan mata membelalak, ia menoleh ke Theo. "Paman! Anda tidak mau bilang sesuatu? Bagaimana bisa Anda begitu saja menyetujui semua omongan ibuku?!" Rose menatap putrinya datar. "Theo tidak akan membantah. Keluarga kita sudah lama berhubungan dengan keluarganya. Mulai sekarang, ibu mempercayakanmu padanya." Theo melangkah mendekat, menjaga jarak dua meter dari Rose, lalu mengangguk sopan. "Jadi… saya akan membawa putri Anda hari ini?" "Ya," jawab Rose tanpa ragu. "Didik dia. Aku percaya padamu, Theo." Alexa ternganga. Rahangnya nyaris jatuh mendengar ibunya dengan santai menyerahkan hidupnya pada orang lain. Theo hanya menatap sekilas, wajahnya tetap datar. "Baiklah. Kalau begitu, mulai hari ini, saya akan membawanya." Alexa melonjak dari sofa. "What the hell is that?! Tidak mungkin aku—!" Namun teriakan protesnya tak mengubah apa pun. Hari itu, mau tak mau, Alexa tetap dibawa oleh Theo di kediaman pribadi pria itu. ** Kediaman Theo tidaklah mewah seperti rumah keluarganya. Hanya sebuah bangunan dua lantai sederhana dengan tiga kamar tidur di atas, sebuah ruang baca berbau buku tua di lantai bawah, serta dapur yang menyatu langsung dengan ruang tamu. Rumah itu terasa tenang, terlalu tenang untuk Alexa yang terbiasa dengan hiruk-pikuk fasilitas lengkap dan pelayan yang siap sedia. Ia berdiri di ambang pintu, kedua lengannya terlipat, menatap punggung bidang Theo yang dibalut kemeja hitam polos. Bahu pria itu tampak kokoh, nyaris mengintimidasi. "Kenapa kau tidak menolak ketika ibuku menyuruhmu membawaku tinggal di sini?" suara Alexa meluncur penuh protes, meski dalam hatinya ada getar halus yang tak ia akui. Theo berbalik perlahan, membuat Alexa refleks menelan ludah. Tubuh pria itu menjulang, sorot matanya dalam, suaranya ketika keluar terdengar berat sekaligus berwibawa. "Mulai hari ini, kau adalah tanggung jawabku sampai nilaimu membaik. Semua aturan di rumah ini harus kau patuhi. Jika melanggar, konsekuensinya akan kau terima." Tatapan itu menusuk seolah mampu menguliti lapisan terluar dirinya. Jantung Alexa berdegup cepat, bukan hanya karena takut, tapi juga karena tubuhnya bereaksi dengan cara yang tak ia pahami. Theo kembali bergerak, menunjuk ke arah tangga. "Kamarmu di sebelah kiri. Kau akan tinggal di sana mulai malam ini." Lalu, tanpa banyak bicara, ia berjalan menuju dapur, membuka lemari es, dan mengeluarkan satu kaleng minuman dingin. "Pelajaran pertama dimulai sore nanti," lanjutnya datar. "Tidak ada alasan menolak atau menghindar. Setiap kesalahan, lima poin akan dikurangi." Alexa mendengus, menurunkan tangannya ke pinggang, lalu melangkah mendekat penuh keberanian. Dengan gerakan cepat, ia merampas kaleng dari tangan Theo. "Oh ya? Bagaimana kalau aku tidak mau? Aku tidak peduli nilai, apalagi orang asing yang tiba-tiba jadi 'penjaga'ku." Alexa menantang, lalu meneguk minuman itu dengan sengaja di depan Theo. Dua alis pria itu terangkat. Bahunya condong ke depan, mendekat, hingga wajah Alexa merasakan hembusan nafas hangatnya. Refleks, ia memundurkan kepala dengan panik. "Kalau begitu…" Theo menundukkan suaranya, makin berat, makin menekan. "Aku harus lebih tegas pada anak nakal sepertimu." Atmosfer ruangan berubah tegang, membuat Alexa terdiam, sementara Theo menatapnya seperti seorang predator yang baru saja menemukan mangsanya. "Dan aku juga tidak pernah segan terhadap siapapun, Nona Alexa." lanjutnya dengan nada lebih tajam.Dengan hanya mengenakan celana renang pendek, tubuh Theo masih memancarkan kelembapan dari air kolam. Rambutnya yang basah menempel di dahi, meneteskan air yang mengalir di sepanjang lekuk tubuh atletisnya yang terpahat sempurna. Dari balik kacamata hitamnya, Alexa mengamati setiap gerakan pria itu, tubuh yang semalam mengguncang dunianya, membuatnya menjerit dalam kenikmatan yang memalukan. Meski tahu itu Theo yang sama, Alexa masih bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat pria yang selalu terkendali ini akhirnya melepas semua kendali? Apakah karena permintaannya yang blak-blakan? Ataukah Theo memang sudah mencapai batas kesabarannya? Bayangan pagi tadi di kamar mandi kembali menghantuinya. Wajah Alexa memerah. Dia tak pernah menyangka bisa begitu liar, Theo berhasil memicu adrenalinnya hingga seperti kucing yang sedang birahi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Theo tiba-tiba, duduk di kursi santai di sebelahnya sambil mengambil segelas jus jeruk. "Paman pemain yang hebat," sahut
Ruangan yang temaram seakan menyulut api gairah di antara dua insan yang terbuai dalam dekapan hangat ranjang. Ciuman-ciuman kasar dan penuh nafsu mengubah udara di sekeliling mereka menjadi panas dan sesak, seiring dengan satu per satu helai pakaian Alexa yang terlepas dan terlempar tak beraturan di lantai. Dengan gerakan penuh kuasa, Theo membalikkan tubuh gadis itu, mengambil alih kendali sepenuhnya. Nafas Alexa tersengal-sengal, matanya berkaca-kaca menatap Theo yang terlihat begitu berbeda malam ini. Pria yang biasanya tenang dan terkendali itu kini berubah menjadi sosok liar dan agresif, seolah semua batasannya runtuh dalam gelora nafsu yang tak terbendung. Ciuman-ciumannya yang membara bergerak turun dari lekuk leher, membasahi setiap inci kulit Alexa, dari dada yang bergairah, perut yang bergetar, hingga pinggang yang meliuk-liuk, meninggalkan jejak basah yang membuat Alexa merintih lemah. "Paman..." desahnya, suara parau penuh hasrat. Tapi Theo tak peduli. Dengan gerakan pe
Nafas Alexa masih tersengal-sengal, bibirnya terasa hangat oleh bekas ciuman Theo yang baru saja terjadi. Dalam-dalam, seluruh tubuhnya berteriak untuk menyerah, untuk tenggelam lebih dalam dalam momen itu. Tapi ingatan akan malam memalukan itu menyergapnya bagai air pasang, bayangan Theo yang mendorongnya pergi tepat di puncak keintiman mereka. "Tidak," desisnya pada dirinya sendiri, suaranya gemetar. "Aku tidak akan membiarkan diriku dipermalukan untuk kedua kalinya." Dengan sekuat tenaga, dia mendorong dada Theo, memutuskan kontak yang membuatnya nyaris kehilangan akal. "Cukup, Paman," ujarnya, menunduk agar Theo tidak melihat mata yang pasti penuh kerinduan. Sebelum Theo bisa berkata-kata, Alexa sudah berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Kali ini, Theo tidak mengejar. Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, dia tahu Alexa sedang melarikan diri, tapi bukan karena tidak ingin. Gadis itu hanya takut kehilangan kendali lagi. "Dia begitu... menggemaskan," gumam Theo, menyaksik
Matahari Miami bersinar tajam, memantulkan kilau emas di atas pasir putih. Pantai dipenuhi wisatawan yang ingin membakar kulit mereka menjadi coklat keemasan, dan Alexa adalah salah satu di antaranya.Hari keduanya berlibur sendirian. Tidak ada Felix, tidak ada Gio, tentu saja… tidak ada Theo. Hanya dirinya, laut biru, dan kebebasan.Alexa berbaring sambil tertawa kecil ketika menonton video lucu di ponselnya. Rambutnya sedikit berantakan karena angin pantai, tapi justru itu membuatnya terlihat semakin natural dan memikat.Hingga bayangan seorang pria menutupi cahaya matahari di wajahnya.“Hey, want to try surfing?” suara pria itu hangat, santai, jelas-jelas tipe surfer lokal yang mudah akrab dengan siapa saja.Alexa menurunkan kacamatanya, menatap pria itu sebelum tersenyum kecil. Ia bangkit, meraih rambut panjangnya dan menyibakkannya ke belakang bahu.“Ya, kebetulan aku—”Kalimat itu tidak pernah selesai.Tiba-tiba sebuah tangan kuat melingkari pinggangnya dengan posesif, membuat t
“Jujur saja, peningkatanmu dalam belajar itu melonjak drastis,” komentar Felix sambil meletakkan satu kaleng minuman di depan Alexa dan Gio. Ia lalu ikut duduk, menyandarkan punggung santai. “Dulu peringkatmu… yah, kita semua tahu kondisinya. Tapi sekarang? Kau membuktikan kalau diri sendiri tidak boleh diremehkan.” Gio mengangguk, senyumnya tulus. “Aku sempat kira aku salah lihat hasilnya. Nilaiku saja dibuat minder kalau dibandingkan lonjakanmu.” Alexa hanya tersenyum tipis, memainkan ujung kalengnya. “Aku perlu mengubah beberapa hal dalam hidupku. Kalau ingin mencapai tujuan, ya… harus serius.” Nada suaranya pelan, tapi tegas. “Selama perubahan itu ke arah yang benar, kami selalu dukung,” sahut Felix, memantapkan ucapan Gio. “Bagaimana kalau kita rayakan saja? Tidak perlu mewah,” usul Gio. Felix menatap Alexa, siap mengikuti keputusan apa pun. Namun Alexa terlebih dulu menggeleng. “Tidak perlu. Sore nanti aku harus bekerja. Tidak ada waktu.” “Kalau begitu… ulang tahunmu nanti,
Tidak ada balasan apa pun dari Alexa. Nafas gadis itu tersengal, air matanya jatuh satu per satu tanpa ia sadari. Theo yang masih memeluknya setelah ciuman singkat yang kacau barusan, perlahan menarik diri. Jemari pria itu terulur, menyapu air mata di pipi Alexa dengan lembut, terlalu lembut untuk seseorang yang selama ini menjaga jarak. Namun Alexa menepis tangannya. Tidak keras, tapi cukup tegas untuk membuat Theo membeku. “Jangan…” suara Alexa bergetar. “Jangan membuatku berharap lebih darimu, Paman.” Ia menunduk, kepalanya tertutupi rambut yang berantakan, seolah bersembunyi dari tatapan Theo. “Aku hanya seseorang yang kau anggap anak kecil. Aku tidak menarik untuk orang seperti paman.” Theo terdiam. Nafasnya terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. “Maaf,” ujar Theo akhirnya, lirih, namun jelas menusuk. “Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu.” Alexa menegakkan kepala seketika, menatap Theo dengan mata yang masih basah. “Tidak mempermainkanku?







